Share

8. Terungkap

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2022-01-10 17:26:40

Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang.

Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah.

Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada tahun itu.

Siapa sangka Candra mampu bangkit dengan cepat. Berbekal pinjaman modal dari ayah mertuanya, Candra membuka usaha yang sama dengan usaha Pak Brontowijaya. Usaha itu maju dengan cepat, hingga akhirnya keluarga mereka kembali dapat hidup layak. Saat itu bertepatan dengan waktunya Cantika masuk SD. Mungkin sudah rezeki Cantika sehingga putrinya dapat memasuki sekolah mahal ini.

Setengah berlari, Indira langsung menuju ke ruangan guru. Pintu ruangan guru terbuka, sehingga Indira langsung masuk. Ia dapati dua orang guru tengah berbincang serius di dalamnya.

“Assalamu’alaikum,” sapa Indira cukup keras untuk mengabari tentang kehadirannya di ruangan yang telah sepi tersebut. Seketika dua orang guru tersebut menoleh.

“Bu Indira, ya? Ibunya Cantika?” salah seorang guru perempuan yang mengenakan kerudung biru bangkit dan mendekati Indira. Indira baru kali ini melihat guru itu. Mungkin bukan guru wali kelas Cantika. Tapi mengapa ia bisa menebak bahwa dirinyalah ibu kandung Cantika?

“Betul, Bu. Di mana anak saya?” tanya Indira cemas.

“Mari ikut, Bu. Cantika ada di ruangan UKS.” Guru berkerudung biru bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar kamar mendahului Indira.

Rasanya waktu berjalan lambat sekali saat Indira mengikuti guru berkerudung biru itu dari belakang. Pikiran Indira berkecamuk dan dipenuhi prasangka, sedangkan hatinya cemas luar biasa. Mereka tiba di ruangan UKS. Guru yang membimbing Indira langsung masuk ke dalam ruang perawatan.

“Ibunya Cantika sudah datang, Bu.” Guru berkerudung biru memberi kabar.

“Mama!” Cantika memekik begitu mendengar bahwa ibunya sudah datang. Cantika menyibak tirai putih yang menghalangi pemandangan dari kasur tempatnya beristirahat dengan pintu masuk ruangan UKS. Indira melihat Cantika duduk di atas ranjang berseprai putih, sedangkan di sisinya berdiri guru wali kelasnya.

Indira menghambur menemui Cantika. Ia melihat kaki Cantika agak lebam dan ada luka yang ditutup dengan plester besar.

“Kenapa kakimu, Cantik? Luka kenapa? Kamu jatuh, ya?” Indira memberondong Cantika.

“Ehem. Begini, Bu. Tadi Cantika menunggu dijemput oleh Ibu. Entah mengapa dia berdiri di pinggir jalan raya, biasanya tidak begitu. Kebetulan kami para guru juga tidak ada yang memerhatikannya. Lalu--” Guru wali kelas Cantika berhenti sejenak, membuat Indira tak sabar.

“Lalu apa, Bu?” desak Indira.

“Ada motor yang menyenggolku, Ma. Aku jatuh terduduk di aspal. Lalu ada motor lain di belakang motor itu yang melindas kakiku,” kata Cantika lirih.

“Kami sudah mengobati lukanya seadanya. Mungkin sebaiknya sekarang saja dibawa ke rumah sakit, Bu. Takutnya ada tulang yang retak atau bagaimana, soalnya Cantika juga dari tadi kesakitan terus.” Guru Cantika memegang lengan Indira, sementara raut wajahnya terlihat amat cemas.

Indira mengangguk. Keadaan Cantika sekarang merupakan hal yang utama. Tentang siapakah pengendara motor yang sembrono itu atau tentang kelalaian guru mengawasi Cantika dapat diurusnya nanti.

“Mama pesan taksi dulu.” Indira meraih ponsel dari dalam tas bahunya. Gesit jarinya membuka aplikasi pemesanan taksi daring. Sebentar kemudian, sebuah mobil menerima permintaan Indira.

“Lima menit lagi mobil taksinya datang. Bagaimana cara membawa Cantika keluar ya, Bu?” Indira kebingungan. Jarak antara ruang UKS dan halaman sekolah cukup jauh.

“Kami ada kursi roda. Ayo kita pindahkan Cantika ke kursi roda.” Guru Cantika berbalik dan mengambil kursi roda yang tersimpan di sudut ruangan. Indira bersyukur sekolah Cantika memiliki fasilitas yang lengkap, sampai-sampai ruang UKS-nya pun menyediakan kursi roda.

Bersama guru Cantika, Indira memindahkan tubuh Cantika ke kursi roda. Cantika lalu didorong oleh Indira menuju lokasi penjemputan oleh taksi. Cantika mengaduh beberapa menit sekali, menandakan rasa sakit yang dirasakan oleh kakinya bukan main-main. Tentu ada sesuatu yang serius hingga Cantika merasakan sakit yang tak kunjung henti. Setiap kali mendengar rintihan Cantika, Indira mempercepat laju dorongan kursi roda.

Guru Cantika menemani Indira menanti datangnya taksi pesanan.

“Maafkan kami yang lalai mengawasi Cantika ya, Bu.”

“Iya, Bu. Saya maklum. Cantika juga tidak seharusnya berada di pinggir jalan. Semua sudah telanjur terjadi,” sahut Indira pasrah.

Mobil taksi yang dipesan Indira memasuki halaman sekolah yang sudah lengang. Indira sangat lega melihatnya. Sekarang ia berdoa agar perjalanan menuju rumah sakit tidak macet. Ia tak tahan mendengar rintihan yang keluar dari mulut Cantika.

Di dalam mobil, barulah Indira teringat bahwa ia belum mengabari suaminya tentang musibah yang menimpa Cantika. Tanpa menunggu tiba di rumah sakit, Indira langsung menghubungi suaminya dari dalam mobil.

“Ke mana Papamu ya, Cantik?” Indira berkata risau saat panggilan teleponnya tak kunjung diangkat oleh suaminya. Cantika menoleh, sejenak perhatiannya teralih dari kakinya yang terasa berdenyut saking sakitnya.

“Mama menelepon Papa? Syukurlah. Sejak tadi memang Cantika memikirkan Papa. Cantik ingin menemani Cantik saat berada di rumah sakit.”

“Sabar ya, Cantik. Mama sedang berusaha menghubungi Papa. Mungkin Papa sedang sibuk atau tidak dengar ponselnya berdering.” Indira menghibur Cantika.

Setelah sekian kali gagal menghubungi suaminya, Indira memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia mengecek waktu di jam digital ponselnya. Sudah pukul empat sore lebih. Seharusnya, waktu kerja Candra sudah akan usai.

Mereka tiba di rumah sakit. Indira langsung sibuk dengan Cantika. Indira memutuskan Cantika langsung mendaftar ke IGD, lantaran luka kakinya ia anggap gawat dan perlu penanganan yang cepat. Selama Cantika di IGD, Indira sibuk mengurus administrasi rumah sakit untuk Cantika. Seandainya putrinya harus rawat inap, maka kelengkapan administrasinya sudah siap.

“Ada tulang yang retak sedikit di kaki putri Ibu.” Informasi dari dokter IGD  membuat Indira merasa syok.

“Parah tidak, dok? Anak saya tetap bisa berjalan, kan?” Indira gemetaran saat menanyakan hal itu.

“Tidak. Kita bersyukur putri Ibu masih dalam masa pertumbuhan. Proses pemulihannya akan lebih cepat. Berbeda jika Ibu yang mengalami keretakan tulang, maka pemulihannya memerlukan waktu yang lebih lama,” jelas dokter jaga IGD.

“Tapi putri Ibu harus di opname. Sepertinya kakinya perlu diberi gips agar tulangnya tidak bergerak banyak. Untuk lebih yakin, biar dokter spesialis ortopedi yang menjelaskan.”

Indira mengangguk-angguk. Kepalanya terasa agak pening. Ingatannya kembali kepada suaminya yang masih sulit dihubungi. Indira berniat menelepon kembali Candra setelah Cantika mendapatkan kamar rawat inap.

Pada saat Cantika beristirahat, Indira kembali menelepon Candra. Namun sayang, panggilannya tetap tidak diangkat. Kemudian Indira teringat pada Niko, salah seorang pegawai di kantor Candra. Niko bekerja di kantor Candra atas rekomendasi dari dirinya. Pemuda yang baru lulus kuliah itu merupakan keponakan dari Isma, teman kuliahnya dulu yang juga teman baik Candra. Isma meminta bantuan Indira untuk mencarikan Niko pekerjaan.

Indira mencari-cari nama Niko di dalam daftar kontak teleponnya. Ketemu! Ternyata dulu dia memang pernah menyimpan nomor telepon anak itu. Sekali sentuhan jari pada layar ponsel, Indira memanggil Niko.

“Halo?” Tak sampai semenit, panggilan Indira telah diterima oleh Niko.

“Niko? Tante mau tanya. Sekarang semua karyawan lembur, ya?”

“Enggak, Tante. Kebetulan hari ini enggak ada lembur.”

“Oh, begitu. Jadi Om Candra lembur sendirian?”

“Om Candra? Enggak juga, Tante. Om sudah pulang jam 5 sore tadi. Seperti biasa.”

Indira terdiam. Dia pikir Candra hari ini lembur. Bukankah tadi pagi Candra mengatakan akan lembur selama seminggu ke depan? Tapi mengapa Niko berkata lain? Soal kejujuran, Indira yakin Niko tidak berbohong. Jadi ... pergi ke mana Candra sebetulnya?

Related chapters

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   9. Penemuan

    Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   10. Wajah Dari Masa Lalu

    Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   11. Janji Candra

    Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   12. Permintaan Maya

    Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   13. Kejutan Dari Indira

    Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   14. Rencana Maya

    Sudah lama Candra memikirkan rencananya hari ini. Ia akan menemui Maya. Ia sudah tak tahan untuk segera bertemu wanita itu. Entah mengapa, wajahnya yang tersenyum selalu terbayang di pelupuk mata Candra. Siang maupun malam, hanya wajah Maya yang dikenang Candra. Entah apa yang telah dilakukan Maya hingga Candra merasa takluk terhadapnya. Perasaannya terhadap Maya sekarang lebih kuat daripada perasaannya dulu. Kali ini, Candra merasakan dorongan yang amat kuat untuk menyanding Maya sebagai istri kedua. Setelah sekian lama berpisah, Candra baru menyadari bahwa hasrat di dalam dirinya untuk Maya tidak pernah betul-betul padam. Saat bertemu kembali, hasrat itu justru semakin kuat. Candra tahu bahwa ia telah disetir oleh nafsu, namun ia tak kuasa untuk menolak. Bukan lantaran ia tak cinta lagi terhadap Indira. Sama sekali bukan. Cintanya terhadap Indira akan terus ada. Perempuan itu telah menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Indira juga gambaran sempurna seorang ibu ideal

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   15. Tawaran Mengejutkan

    Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Candra kembali ke kantornya. Hal pertama yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Kikan yang kini menjadi satu-satunya wanita di kantor. “Kikan, ada yang mencari saya?” “Tidak ada, Pak.” Kikan menjawab lugas. Candra mengangguk, lalu memutar tubuh untuk masuk ke dalam ruangannya. Tatapannya menangkap sosok Niko yang tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depan monitor. Pemuda berkacamata dan berambut ala tentara tersebut serius menatap layar. Candra baru ingat, Niko merupakan satu-satunya karyawan yang diterimanya lewat jalur rekomendasi. Candra kembali terkenang pada waktu Indira meminta Niko diikutkan bekerja kepadanya. Kata Indira, Isma teman kuliah mereka dulu yang meminta pertolongan kepada Indira. “Ingat Isma, Pa? Teman kita yang menikah di semester 1? Dia punya keponakan baru lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Apa bisa kerja di kantor Papa?” Suara Indira bergema kembali di kepala Candra. “Keponakan Isma? Jurusan apa kuliahnya?” Can

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   16. Rencana Sempurna

    “Bagaimana, Ma?” “Tidak perlu mengalihtangankan usaha itu. Tetap Papa saja yang pegang. Papa bisa mengontrol kantor seminggu sekali. Selama Papa tidak hadir di kantor, Mama bisa mengontrol kerja karyawan.” “Betul juga ya, Ma. Lagi pula, sulit mencari orang kepercayaan untuk menangani usaha itu. Belum tentu juga orang yang dipercaya nanti mengerti tentang bisnis ini,” aku Candra. “Betul itu, Pa.” Indira menyemangati. Di dalam hati, Indira bersorak karena dengan cara ini Candra akan memiliki kewajiban pulang seminggu sekali. Ada keharusan untuk mengontrol usaha, selain menjenguk keluarga. “Mama memang pintar. Tidak salah Papa memilih Mama menjadi istri,” puji Candra seraya tersenyum. Candra sendiri memiliki pertimbangan lain tentang usulan Indira. Dengan menuruti keinginan Indira, Candra berharap Indira akan senang dan merasa sudah dapat mengendalikan suaminya. Indira tidak akan lagi fokus mengawasi dirinya. *** Satu bulan kemudian, Candra kembali menerima telepon dari Bang Hermans

    Last Updated : 2022-01-10

Latest chapter

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   31. Setia Selamanya (Tamat)

    Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   30. Ikut Ke Alam Kubur

    Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   29. Musibah

    Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   28. Bertobat

    Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   27. Melambung dan Jatuh

    Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   26. Titik Nol

    Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   25. Awal Kehancuran

    Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   24. Terusir

    Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   23. Lari!

    Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma

DMCA.com Protection Status