Share

7. Dusta

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2021-12-30 12:41:52

Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga.

Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti.

Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam.

“Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantika.” Candra bertanya heran sambil memasuki ambang pintu.

“Mama nungguin Papa. Cantika sih sudah tidur dari tadi. Katanya ngantuk, enggak kuat menunggu Papa pulang,” jelas Indira.

Candra mengempaskan diri di sofa ruang tamu. Indira kembali mengunci pintu depan.

“Capek ya, Pa? Mau makan dulu atau mau mandi sekalian?” tawar Indira.

“Enggak usah, Ma. Papa cuma haus. Tapi nanti Papa ambil sendiri saja. Kalau mandi sekarang juga udaranya sudah dingin,” tolak Candra.

“Jadi Papa mau apa sekarang?” tanya Indira lagi.

“Papa hanya perlu tidur. Capek sekali rasanya.” Candra bangkit lagi dan mulai berjalan menuju kamar tidur. Indira mengikuti suaminya dari belakang.

Candra mulai melepaskan satu demi satu bajunya di hadapan sang istri. Indira berjalan menuju lemari pakaian, lalu mengambilkan celana pendek dan baju kaos sebagai ganti baju kerja yang baru dilepaskan oleh suaminya. Candra melihat Indira yang meletakkan baju rumah yang bersih di atas kasur. Tangannya meraih celana sementara mulutnya menguap, pertanda kantuk sudah menguasainya.

“Sayang Papa capek, ya. Padahal kita sudah lama enggak mengobrol bersama.” Indira tiba-tiba memeluk suaminya dari belakang. Candra terbeliak.

“Iya, Ma. Sudah lama, ya. Tapi sekarang Papa mengantuk sekali. Maaf, ya.” Candra menatap istrinya. Indira menyembunyikan kekecewaannya.

“Iya, Pa. Mama maklum. Papa sudah bekerja keras buat menafkahi kita semua, jadi pasti lelah sekali.” Indira tersenyum meskipun hatinya tidak tersenyum.

“Terima kasih pengertiannya, Ma. Memang akhir-akhir ini Papa banyak pekerjaan di kantor. Mungkin di hari-hari ke depan Papa akan sering pulang malam.” Candra menguap lagi.

Indira menyiapkan tempat tidur. Ia menata bantal juga membentangkan selimut. Candra naik ke peraduan, sedangkan Indira mengikuti.

“Tapi ingat ya, Pa. Sesibuk-sibuknya Papa, jangan sampai tidak ada waktu buat Ando dan Cantika, ya.”

“Iya, Ma. Papa enggak akan lupa sama anak,” janji Candra sambil menarik selimut.

Sebetulnya Indira masih ingin berbicara, tapi sayang Candra keburu mengorok. Desah kecewa keluar dari mulut Indira. Padahal ia ingin menceritakan perkembangan anak-anak mereka, tentang Ando yang semakin sulit diatur, juga tentang Cantika yang berhasil menjadi perwakilan Olimpiade Matematika di sekolahnya. Namun sayangnya Candra telanjur tidur. Apa boleh buat, Indira pun memutuskan untuk menunda percakapan tentang anak-anak untuk lain waktu. Indira memejamkan mata.

***

Pagi-pagi sekali, Candra sudah bangun dan mandi. Agak lebih pagi daripada biasanya. Indira yang sedang menyapu rumah memandang suaminya heran.

“Pagi betul sudah mandi, Pa? Apa ada keperluan mendadak?” Indira meletakkan sapunya di tangan kiri, lalu berhenti di depan kamar. Candra sedang mengenakan kemeja putih bergaris-garis hitam yang menjadi kemeja kesukaannya. Kemeja itu selalu membuatnya tampak lebih gagah meskipun usianya sudah menjelang kepala empat.

“Enggak ada keperluan apa-apa, Ma. Papa hanya ingin datang lebih pagi ke kantor. Pekerjaan kemarin terpikirkan terus. Mungkin selama seminggu ini Papa akan lebih sibuk daripada biasanya.” Candra menjawab sambil mengenakan ikat pinggang ke celana panjangnya.

“Mama buatkan sarapan sekarang, ya?” Indira menyandarkan sapu ke salah satu dinding. Ia siap bergerak ke arah dapur.

“Enggak usah, Ma. Papa  makan bubur ayam atau lontong kari saja di luar, biar cepat. Mama siapkan saja keperluan anak-anak buat sekolah,” tolak Candra.

Indira mengurungkan niatnya untuk membuat sarapan. Ia mengikuti Candra yang beranjak hendak keluar rumah usai mengambil tas kerjanya. Di depan pintu, Candra berpamitan lagi kepada istrinya.

“Papa pergi dulu. Doakan Papa.” Candra mencium sekilas dahi Indira.

“Iya, Pa. Hati-hati di jalan. Oh ya, hampir lupa. Kemarin Ando bilang dia mau ikut kelas musik di sekolahnya sebagai ekstrakurikuler.”

“Oya? Musik apa yang ingin dipelajarinya? Ando minta belikan alat musik?” Candra mengerutkan dahi.

“Iya. Katanya mau main drum band, biar bisa main bersama teman-temannya--”

“Oh, oke. Nanti Papa bicara sama dia. Sekarang Papa pergi dulu ya, Ma. Takut terlambat.” Candra memotong kalimat istrinya yang ia yakini masih akan lama.

Indira terpaksa menghentikan ucapannya. Padahal ia masih belum sampai pada pokok pembicaraan utama, yaitu anak sulung mereka ingin memiliki studio musik sendiri di rumah. Namun, Indira sadar diri. Ia telah memilih waktu yang kurang tepat buat berbicara.

Dengan pasrah, Indira membiarkan suaminya pergi. Ia menatap punggung suaminya yang bergerak menuju mobil jenis city car yang terparkir di halaman rumah mereka. Candra membuka pintu penumpang di depan, lalu menyimpan tas kerjanya pada kursi. Saat melakukan itu, sinar mentari pagi yang lembut mulai bersinar dan menerpa wajah Candra yang segar karena mandi pagi. Sisa-sisa ketampanan masa lalu terpancar selama beberapa detik dalam momentum itu, membuat Indira mengingat lagi masa-masa muda mereka ketika baru menikah pada awal usia dua puluhan. Indira merasa cintanya bertambah kuat setelah puluhan tahun hidup bersama suaminya.

 Candra menutup pintu, lalu bergerak membuka pagar besi yang menjulang tinggi di belakang mobilnya. Setelah membuka pagar, Candra memasuki kursi pengemudi dan melaju pergi. Indira berjalan ke arah halaman, menutup kembali pagar rumah yang ditinggalkan terbuka oleh Candra. Indira masuk kembali ke dalam rumah. Fokus pikirannya kembali kepada anak-anaknya yang harus dipersiapkan sekolahnya. Ando yang duduk di kelas satu SMU dan Cantika yang duduk di kelas 4 SD.

***

Dering telepon berbunyi cukup lama. Indira membuka matanya dan terkejut mendapati dirinya yang tertidur di sofa. Astaga, dia ketiduran! Bisa-bisanya hal ini terjadi, padahal sudah lama ia tak pernah lagi tidur di tengah hari. Kesibukan rumah tangga dan anak-anak membuatnya tak pernah bisa menikmati waktu istirahat siang.

Bunyi dering telepon di atas meja menarik perhatian Indira. Namun, pandangan matanya yang masih berkunang-kunang akibat terbangun paksa membuatnya tak segera mengangkat telepon. Indira mengerjapkan matanya beberapa kali, juga memijat pelipisnya. Mungkin ia terlalu lelah karena sepagian tadi membersihkan kamar di belakang rumah. Indira berpikir, mungkin kamar itu bisa digunakan oleh Ando sebagai studio musik yang diinginkannya. Akibatnya ia kelelahan dan berakhir tertidur di sofa.

Dering telepon masih berbunyi, mendesak seolah-olah menjerit minta diangkat. Indira meraih ponselnya dan tersentak mendapati nama guru Cantika yang memanggil pada layar. Astaga, jam berapa sebetulnya ini? Apakah sudah waktunya menjemput Cantika pulang dari sekolah?

“Halo?” Indira menempelkan ponsel pada kuping kanannya.

“Ibu Indira? Mohon maaf, Bu. Cantika terluka di kakinya. Tolong segera datang kemari ya, Bu.”

“Terluka? Kenapa Cantika bisa terluka, Bu?” Indira terhenyak.

“Nanti kami jelaskan semuanya di sekolah, Bu. Tolong segera datang dulu.”

Indira memutuskan sambungan telepon. Tergesa-gesa ia mengganti baju dan meraih tasnya, lalu menyambar kunci motor di dalam laci. Pikirannya hanya tertuju pada Cantika saat ini.

Related chapters

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   8. Terungkap

    Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang. Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   9. Penemuan

    Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   10. Wajah Dari Masa Lalu

    Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   11. Janji Candra

    Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   12. Permintaan Maya

    Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   13. Kejutan Dari Indira

    Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   14. Rencana Maya

    Sudah lama Candra memikirkan rencananya hari ini. Ia akan menemui Maya. Ia sudah tak tahan untuk segera bertemu wanita itu. Entah mengapa, wajahnya yang tersenyum selalu terbayang di pelupuk mata Candra. Siang maupun malam, hanya wajah Maya yang dikenang Candra. Entah apa yang telah dilakukan Maya hingga Candra merasa takluk terhadapnya. Perasaannya terhadap Maya sekarang lebih kuat daripada perasaannya dulu. Kali ini, Candra merasakan dorongan yang amat kuat untuk menyanding Maya sebagai istri kedua. Setelah sekian lama berpisah, Candra baru menyadari bahwa hasrat di dalam dirinya untuk Maya tidak pernah betul-betul padam. Saat bertemu kembali, hasrat itu justru semakin kuat. Candra tahu bahwa ia telah disetir oleh nafsu, namun ia tak kuasa untuk menolak. Bukan lantaran ia tak cinta lagi terhadap Indira. Sama sekali bukan. Cintanya terhadap Indira akan terus ada. Perempuan itu telah menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Indira juga gambaran sempurna seorang ibu ideal

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   15. Tawaran Mengejutkan

    Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Candra kembali ke kantornya. Hal pertama yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Kikan yang kini menjadi satu-satunya wanita di kantor. “Kikan, ada yang mencari saya?” “Tidak ada, Pak.” Kikan menjawab lugas. Candra mengangguk, lalu memutar tubuh untuk masuk ke dalam ruangannya. Tatapannya menangkap sosok Niko yang tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depan monitor. Pemuda berkacamata dan berambut ala tentara tersebut serius menatap layar. Candra baru ingat, Niko merupakan satu-satunya karyawan yang diterimanya lewat jalur rekomendasi. Candra kembali terkenang pada waktu Indira meminta Niko diikutkan bekerja kepadanya. Kata Indira, Isma teman kuliah mereka dulu yang meminta pertolongan kepada Indira. “Ingat Isma, Pa? Teman kita yang menikah di semester 1? Dia punya keponakan baru lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Apa bisa kerja di kantor Papa?” Suara Indira bergema kembali di kepala Candra. “Keponakan Isma? Jurusan apa kuliahnya?” Can

    Last Updated : 2022-01-10

Latest chapter

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   31. Setia Selamanya (Tamat)

    Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   30. Ikut Ke Alam Kubur

    Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   29. Musibah

    Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   28. Bertobat

    Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   27. Melambung dan Jatuh

    Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   26. Titik Nol

    Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   25. Awal Kehancuran

    Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   24. Terusir

    Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   23. Lari!

    Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma

DMCA.com Protection Status