Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira.
“Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam.
“Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon.
Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut.
Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali.
“Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri.
Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah bisa pergi dan pulang sekolah sendiri. Itulah salah satu penyebab yang membuat Indira berpikir Ando telah mandiri dan bisa mengurus diri sendiri.
“Maaf, An. Mama tadi lupa mengabarimu, Cantika sedang ada di rumah sakit.”
“Hah? Cantika sakit apa, Ma?” Suara Ando terdengar cemas. Indira senang anak-anaknya saling peduli.
“Tadi Cantika tertabrak motor, sekarang harus menginap di rumah sakit. Kamu enggak ada kunci rumah, ya? Apa Papa masih belum pulang?” tanya Indira.
“Belum, Ma. Aku datang enggak ada mobil Papa. Rumah gelap. Aku jadi bingung,” aku Ando.
“Kamu ke rumah sakit saja dulu. Kalau enggak, coba kamu telepon Papa.”
“Aku ke rumah sakit saja, Ma. Sekalian melihat kondisi Cantika,” putus Ando.
“Oke kalau begitu. Kamu ke sini saja sekarang.” Indira memberi tahu nama rumah sakit dan nomor kamar tempat Cantika dirawat.
Setelah Ando memutuskan panggilan, Indira kembali teringat kepada suaminya. Rasa jengkel di hatinya telah berubah menjadi kedongkolan luar biasa. Ke mana Candra sampai sulit dihubungi? Di saat ia membutuhkan Candra, suaminya malah tidak ada. Dengan gemas, Indira kembali mencoba menghubungi suaminya. Ia tak akan berhenti sampai Candra mengangkat teleponnya.
“Halo?” Suara Candra terdengar dari seberang. Panggilan Indira diangkat. Indira merasa lega luar biasa.
“Papa ada di mana? Cantika masuk rumah sakit, Pa!” Terburu-buru Indira mengabarkan, saking paniknya dirinya.
“Masuk rumah sakit? Kenapa, Ma?” Nada cemas terdengar dari suara Candra.
“Tadi Cantika kecelakaan di depan sekolahnya. Kakinya terluka dan ada bagian tulang yang retak. Kakinya harus diberi gips, Pa.” Indira menceritakan keadaan Cantika seringkas mungkin.
“Astaga. Di mana rumah sakitnya? Papa ke sana sekarang juga.”
Indira menyebutkan nama rumah sakit dan nomor kamar Cantika.
“Papa segera ke sana.” Terdengar suara gemeresik sebelum Candra menutup telepon. Ada juga bunyi ramai orang berbicara dan musik di latar belakang secara samar-samar.
Indira tertegun. Di mana suaminya berada barusan? Kalau mendengar bunyi dan suara-suara ramai itu, Indira teringat pada suasana ruang publik seperti mal atau restoran. Apakah di sana Candra berada tadi? Hati Indira gelisah. Benaknya diliputi tanda tanya.
Indira mencoba berprasangka baik. Mungkin Candra sedang pergi bersama kliennya dan membicarakan bisnis sambil makan malam di luar. Namun kemungkinan itu dibantah oleh hati kecilnya sendiri. Mana mungkin ada klien yang membicarakan bisnis lepas waktu kerja? Tidak masuk akal rasanya. Bukankah pembicaraan bisnis biasanya dilakukan pada saat makan siang? Lagi pula, jika memang sedang menjamu klien seharusnya Candra tidak mengatakan sedang lembur. Cukup katakan saja sedang berada di luar bersama klien. Kegalauan berkecamuk di benak Indira.
“Bu Indira!” panggilan perawat membuat pikiran Indira buyar.
“Ya, sus?” Indira mendekati perawat. Seketika pikirannya akan keberadaan Candra menguap seketika.
***
Candra dan Ando datang hampir bersamaan ke rumah sakit. Indira merasa lega, kini ia tidak sendirian menghadapi musibah yang menimpa Cantika. Bahkan, keluarganya berada dalam formasi lengkap. Mereka semua sekarang berada di dalam kamar rawat inap Cantika.
"Papa dari mana saja? Dari sore tadi Mama telepon kok tidak diangkat-angkat?” Indira menumpahkan kekesalannya sesaat setelah Candra tiba.
“Papa kan lembur, Ma. Bukannya tadi pagi Papa sudah bilang kepada Mama?” kilah Candra.
Indira hendak mengatakan bahwa tadi dia menelepon Niko dan menurut Niko tidak ada yang lembur di kantor. Namun, niat Indira gagal terlaksana karena tiba-tiba perawat muncul.
“Silakan Bapak dan Ibu. Dokter sudah menunggu.”
“Oh, ya. Baik.” Indira menjawab spontan.
“Mama tinggal sebentar ya, Cantik.” Indira mengecup dahi Cantika yang terbaring pasrah di ranjang rumah sakit.
“Tapi Cantika enggak mau sendirian,” ujar Cantika memelas. Indira kebingungan.
“Biar Ando saja yang menjaga Cantika, Ma. Papa dan Mama bisa pergi menemui dokter.” Ando menawarkan diri.
“Dijaga Kak Ando ya, Cantik? Mama dan Papa hanya sebentar menemui dokter,” bujuk Indira.
Indira sangat lega saat Cantika mengangguk setuju. Ando lalu duduk di sebelah ranjang Cantika. Indira dan Candra beranjak pergi mengikuti perawat yang telah lebih dulu berjalan. Mereka menuju ke ruangan dokter yang menangani Cantika.
“Silakan, Bapak dan Ibu.” Dokter Ortopedi yang menangani Cantika menyambut ramah keluarga Candra di ruang kerjanya.
Candra dan Indira duduk di hadapan dokter. Dokter lalu menjelaskan kondisi Cantika.
“Apakah sembuhnya akan lama, dok?” tanya Indira penasaran.
“Cantika masih anak-anak. Biasanya, retak tulang pada anak-anak sembuh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena anak-anak masih dalam masa pertumbuhan, sehingga tulangnya masih aktif membuat jaringan baru yang terus tumbuh setiap harinya,” jelas dokter panjang lebar.
“Berapa lama sampai Cantika bisa berjalan lagi? Saya mencemaskan sekolahnya, dok. Saya takut ia ketinggalan banyak pelajaran,” urai Indira.
“Waktunya tidak dapat dipastikan. Semua itu tergantung dari kondisi masing-masing anak. Namun, retak di kaki Cantika tidak besar. Kita sama-sama berharap Cantika dapat pulih dalam waktu satu hingga dua bulan ke depan,” sahut dokter dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.
“Apa yang harus kami lakukan agar pemulihan Cantika berjalan lebih cepat?” Indira kembali bertanya.
“Ibu dapat memberikannya tambahan vitamin dan mineral agar pemulihannya terjadi lebih cepat. Putri Ibu juga harus tetap bergerak ringan agar aliran darah ke daerah cedera tetap lancar. Jangan biarkan putri Ibu hanya diam di tempat tidur sepanjang hari.” Dokter memberi saran secara terperinci.
Barulah Indira mengangguk puas setelah mendengarkan penjelasan dokter tersebut.
“Berapa lama Cantika di rumah sakit, dok?” Kali ini Candra yang bertanya.
“Kurang lebih seminggu. Setelah itu pasien bisa dibawa pulang untuk rawat jalan.”
Indira semakin lega mendengar penuturan dokter tersebut. Satu atau dua bulan ketinggalan pelajaran mungkin dapat dikejar. Indira lega Cantika tidak harus ketinggalan satu semester pelajaran. Tak terbayangkan rasanya apabila Cantika harus tinggal kelas akibat sakit.
“Apa masih ada yang ingin ditanyakan?” Dokter memandang ke arah Indira dan Candra secara bergantian.
“Cukup, dok. Terima kasih.” Indira yang menjawab.
Saat keluar dari ruangan dokter, Indira mulai dapat tersenyum kembali. Candra pun terlihat sama leganya. Ia merangkul pundak Indira saat berjalan kembali ke kamar rawat inap Cantika. Mesra dan romantis terlihat.
Indira kembali teringat pada pengakuan Niko bahwa tidak ada yang lembur hari ini di kantor, sedangkan Candra tadi mengatakan bahwa dia sedang lembur saat Indira menelepon. Indira bermaksud menanyakan kembali ketidaksesuaian ini.
“Pa,” panggil Indira.
“Ada apa, Ma?” Candra melirik sekilas, sambil mereka tetap berjalan.
Indira sudah akan bertanya tentang berita dari Niko, tapi tiba-tiba hati kecilnya mencegah. Niko dan Candra sama-sama sudah membuat pernyataan yang berlawanan. Apabila Indira sekarang mengonfrontasi suaminya dengan pernyataan Niko, belum tentu Candra akan mengaku begitu saja. Apabila Candra berniat berbohong, maka pasti ia akan mempertahankan kebohongan itu dengan beragam dalih dan alasan. Indira seketika mengurungkan niatnya untuk bertanya.
“Bagaimana dengan permintaan Ando untuk memiliki studio musik?” Indira membelokkan pertanyaannya kepada hal yang lain.
“Oh, itu. Nanti saja mungkin, Ma. Sekarang Cantika sakit dan perlu biaya besar. Dana yang ada tidak cukup bila harus menuruti keinginan Ando sekarang.”
“Betul juga ya, Pa. Biar nanti Mama yang memberi tahu Ando. Mama sih yakin dia mau mengerti keadaan kita,” sahut Indira.
Kemudian mereka berdua sama-sama diam dan tak bercakap-cakap lagi. Indira terus memikirkan tentang suara alunan musik yang didengarnya saat menelepon Candra sebelumnya. Ia akan mencari tahu sendiri tentang keberadaan Candra malam ini. Entah bagaimana caranya, tapi ia bermaksud melakukannya diam-diam. Bukannya tak memercayai suami, tapi kebohongan Candra terlalu nyata untuk diabaikan. Insting Indira sebagai seorang istri menuntunnya untuk waspada.
Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r
Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.
Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m
Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,
Sudah lama Candra memikirkan rencananya hari ini. Ia akan menemui Maya. Ia sudah tak tahan untuk segera bertemu wanita itu. Entah mengapa, wajahnya yang tersenyum selalu terbayang di pelupuk mata Candra. Siang maupun malam, hanya wajah Maya yang dikenang Candra. Entah apa yang telah dilakukan Maya hingga Candra merasa takluk terhadapnya. Perasaannya terhadap Maya sekarang lebih kuat daripada perasaannya dulu. Kali ini, Candra merasakan dorongan yang amat kuat untuk menyanding Maya sebagai istri kedua. Setelah sekian lama berpisah, Candra baru menyadari bahwa hasrat di dalam dirinya untuk Maya tidak pernah betul-betul padam. Saat bertemu kembali, hasrat itu justru semakin kuat. Candra tahu bahwa ia telah disetir oleh nafsu, namun ia tak kuasa untuk menolak. Bukan lantaran ia tak cinta lagi terhadap Indira. Sama sekali bukan. Cintanya terhadap Indira akan terus ada. Perempuan itu telah menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Indira juga gambaran sempurna seorang ibu ideal
Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Candra kembali ke kantornya. Hal pertama yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Kikan yang kini menjadi satu-satunya wanita di kantor. “Kikan, ada yang mencari saya?” “Tidak ada, Pak.” Kikan menjawab lugas. Candra mengangguk, lalu memutar tubuh untuk masuk ke dalam ruangannya. Tatapannya menangkap sosok Niko yang tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depan monitor. Pemuda berkacamata dan berambut ala tentara tersebut serius menatap layar. Candra baru ingat, Niko merupakan satu-satunya karyawan yang diterimanya lewat jalur rekomendasi. Candra kembali terkenang pada waktu Indira meminta Niko diikutkan bekerja kepadanya. Kata Indira, Isma teman kuliah mereka dulu yang meminta pertolongan kepada Indira. “Ingat Isma, Pa? Teman kita yang menikah di semester 1? Dia punya keponakan baru lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Apa bisa kerja di kantor Papa?” Suara Indira bergema kembali di kepala Candra. “Keponakan Isma? Jurusan apa kuliahnya?” Can
“Bagaimana, Ma?” “Tidak perlu mengalihtangankan usaha itu. Tetap Papa saja yang pegang. Papa bisa mengontrol kantor seminggu sekali. Selama Papa tidak hadir di kantor, Mama bisa mengontrol kerja karyawan.” “Betul juga ya, Ma. Lagi pula, sulit mencari orang kepercayaan untuk menangani usaha itu. Belum tentu juga orang yang dipercaya nanti mengerti tentang bisnis ini,” aku Candra. “Betul itu, Pa.” Indira menyemangati. Di dalam hati, Indira bersorak karena dengan cara ini Candra akan memiliki kewajiban pulang seminggu sekali. Ada keharusan untuk mengontrol usaha, selain menjenguk keluarga. “Mama memang pintar. Tidak salah Papa memilih Mama menjadi istri,” puji Candra seraya tersenyum. Candra sendiri memiliki pertimbangan lain tentang usulan Indira. Dengan menuruti keinginan Indira, Candra berharap Indira akan senang dan merasa sudah dapat mengendalikan suaminya. Indira tidak akan lagi fokus mengawasi dirinya. *** Satu bulan kemudian, Candra kembali menerima telepon dari Bang Hermans
“Sudah siap, May?” Suara Mama memanggil dari ambang pintu. Aku menoleh. Mama memasuki ruang rias pengantin, beliau tampak cantik dalam riasan tipis bernuansa natural. Hari ini hari besarku. Akhirnya setelah sekian lama memimpikan hari ini, aku akan menikah dengan Mas Candra. Menjadi istri keduanya, alangkah bahagia rasanya. “Sudah, Ma. Bagaimana wajahku? Cantik?” tanyaku sambil tersenyum. “Kamu cantik, bikin pangling,” puji Mama dengan senyum di bibir merahnya. Mama merupakan pendukung utamaku dalam keputusan menikah dengan Mas Candra, meskipun beliau tahu Mas Candra sudah beristri dan beranak dua. Aku tersenyum ceria. Tubuh aku tegakkan, berdiri dari kursi rias lalu mengangguk anggun pada perias pengantin yang sedari tadi berupaya membuatku menjadi secantik ratu. “Terima kasih, Mbak Riri,” ucapku kepada perias yang apabila menilik wajah, umurnya tak berbeda jauh denganku. “Sama-sama, Mbak,” balas Mbak Riri sebelum menyingkir ke sudut ruangan, ke kursi yang disediakan untuknya.
Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah
Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea
Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih
Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa
Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma
Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p
Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma