Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,
Sudah lama Candra memikirkan rencananya hari ini. Ia akan menemui Maya. Ia sudah tak tahan untuk segera bertemu wanita itu. Entah mengapa, wajahnya yang tersenyum selalu terbayang di pelupuk mata Candra. Siang maupun malam, hanya wajah Maya yang dikenang Candra. Entah apa yang telah dilakukan Maya hingga Candra merasa takluk terhadapnya. Perasaannya terhadap Maya sekarang lebih kuat daripada perasaannya dulu. Kali ini, Candra merasakan dorongan yang amat kuat untuk menyanding Maya sebagai istri kedua. Setelah sekian lama berpisah, Candra baru menyadari bahwa hasrat di dalam dirinya untuk Maya tidak pernah betul-betul padam. Saat bertemu kembali, hasrat itu justru semakin kuat. Candra tahu bahwa ia telah disetir oleh nafsu, namun ia tak kuasa untuk menolak. Bukan lantaran ia tak cinta lagi terhadap Indira. Sama sekali bukan. Cintanya terhadap Indira akan terus ada. Perempuan itu telah menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Indira juga gambaran sempurna seorang ibu ideal
Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Candra kembali ke kantornya. Hal pertama yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Kikan yang kini menjadi satu-satunya wanita di kantor. “Kikan, ada yang mencari saya?” “Tidak ada, Pak.” Kikan menjawab lugas. Candra mengangguk, lalu memutar tubuh untuk masuk ke dalam ruangannya. Tatapannya menangkap sosok Niko yang tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depan monitor. Pemuda berkacamata dan berambut ala tentara tersebut serius menatap layar. Candra baru ingat, Niko merupakan satu-satunya karyawan yang diterimanya lewat jalur rekomendasi. Candra kembali terkenang pada waktu Indira meminta Niko diikutkan bekerja kepadanya. Kata Indira, Isma teman kuliah mereka dulu yang meminta pertolongan kepada Indira. “Ingat Isma, Pa? Teman kita yang menikah di semester 1? Dia punya keponakan baru lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Apa bisa kerja di kantor Papa?” Suara Indira bergema kembali di kepala Candra. “Keponakan Isma? Jurusan apa kuliahnya?” Can
“Bagaimana, Ma?” “Tidak perlu mengalihtangankan usaha itu. Tetap Papa saja yang pegang. Papa bisa mengontrol kantor seminggu sekali. Selama Papa tidak hadir di kantor, Mama bisa mengontrol kerja karyawan.” “Betul juga ya, Ma. Lagi pula, sulit mencari orang kepercayaan untuk menangani usaha itu. Belum tentu juga orang yang dipercaya nanti mengerti tentang bisnis ini,” aku Candra. “Betul itu, Pa.” Indira menyemangati. Di dalam hati, Indira bersorak karena dengan cara ini Candra akan memiliki kewajiban pulang seminggu sekali. Ada keharusan untuk mengontrol usaha, selain menjenguk keluarga. “Mama memang pintar. Tidak salah Papa memilih Mama menjadi istri,” puji Candra seraya tersenyum. Candra sendiri memiliki pertimbangan lain tentang usulan Indira. Dengan menuruti keinginan Indira, Candra berharap Indira akan senang dan merasa sudah dapat mengendalikan suaminya. Indira tidak akan lagi fokus mengawasi dirinya. *** Satu bulan kemudian, Candra kembali menerima telepon dari Bang Hermans
“Sudah siap, May?” Suara Mama memanggil dari ambang pintu. Aku menoleh. Mama memasuki ruang rias pengantin, beliau tampak cantik dalam riasan tipis bernuansa natural. Hari ini hari besarku. Akhirnya setelah sekian lama memimpikan hari ini, aku akan menikah dengan Mas Candra. Menjadi istri keduanya, alangkah bahagia rasanya. “Sudah, Ma. Bagaimana wajahku? Cantik?” tanyaku sambil tersenyum. “Kamu cantik, bikin pangling,” puji Mama dengan senyum di bibir merahnya. Mama merupakan pendukung utamaku dalam keputusan menikah dengan Mas Candra, meskipun beliau tahu Mas Candra sudah beristri dan beranak dua. Aku tersenyum ceria. Tubuh aku tegakkan, berdiri dari kursi rias lalu mengangguk anggun pada perias pengantin yang sedari tadi berupaya membuatku menjadi secantik ratu. “Terima kasih, Mbak Riri,” ucapku kepada perias yang apabila menilik wajah, umurnya tak berbeda jauh denganku. “Sama-sama, Mbak,” balas Mbak Riri sebelum menyingkir ke sudut ruangan, ke kursi yang disediakan untuknya.
Kaki Indira terasa sangat pegal. Ia mengurut-urut pelan bagian betisnya yang telah membengkak tiga kali lipat dari semasa gadis. Beberapa kali ia menekan pedal rem dan beralih ke kopling selama mengantarkan Cantika ke sekolah pagi ini. Jalanan yang macet membuat Indira tak banyak pilihan selain bersabar. Terkadang Indira ingin mengantarkan putrinya dengan sepeda motor saja seperti dulu. Namun, apa gunanya dibelikan mobil bila tidak pernah digunakan? Lagi pula dengan mengendarai mobil, bajunya tidak akan berbau asap knalpot maupun terik matahari pagi. Sudah satu tahun Candra bekerja di Bekasi, Indira telah dilimpahi berbagai fasilitas yang membuat hidupnya lebih mudah dalam mengurus kedua buah hati, meskipun tidak ada suami di sisi. Tidak seperti perkiraan awal Indira yang merendahkan kemampuan sendiri, ternyata ia sanggup menjalani hari-hari mengurus dua anak tanpa kendala berarti. Candra pulang seminggu sekali, rutin dan hampir tak pernah absen. Selama satu tahun, terhitung hanya du
Candra melongok ke dalam kamar tidurnya bersama Maya. Ia lihat istrinya sedang memasukkan baju-baju yang akan dibawanya pulang ke Bandung nanti. “Sudah selesai belum, May?” tanya Candra tak sabar. Ia berjalan mendekati kasur dan duduk di atasnya. Maya menoleh sekilas ke arah Candra, kemudian tangannya kembali sibuk memasukkan sebuah sweater berwarna hitam keabu-abuan. Sweater itu mereka beli bersama di Plaza Indonesia, saat mereka berjalan-jalan berdua usai pernikahan mereka dulu. “Sebentar lagi, Mas. Ini tinggal memasukkan sweater, kok. “ Maya menutup ritsleting tas ransel yang sarat isi hingga menggelembung. Tas itu siap. Maya mengangkatnya dan meletakkan ke sebelah tempat tidur, dekat dengan kaki Candra. “Kenapa buru-buru sih, Mas? Kangen ya dengan istrimu yang di sana. Apa aku kurang cantik selama di sini?” tanya Maya seraya memajukan bibir. Ia sengaja berekspresi sedih agar terlihat mengibakan. “Bukan begitu, May. Baru kali ini aku pulang naik kereta api, bukan mobil seperti
Candra menganga mendengar ancaman Indira. Sepasang matanya juga melebar. Ia bergegas maju menghampiri Indira yang tangannya kini bersedekap di depan dada. Candra meraih Indira dengan tangan kanan, tapi Indiria menghindar dengan cara mundur dua langkah. Tangan Candra menggapai angin kosong belaka. Candra segera menyadari bahwa istrinya tak ingin tersentuh oleh jarinya. Tangan Candra terkulai. Candra pun memilih berdiri di hadapan Indira. Sejarak dua meter di depan Indira. Lalu, dengan suara yang berat namun tenang, ia berucap. “Jangan begitu, Ma. Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik antara kita saja? Tidak baik bila sedikit-sedikit mengadu kepada orang tua.” Seketika Indira merasakan panas di dadanya berubah menjadi gelegak amarah. “Sedikit-sedikit, Papa bilang? Coba, Pa. Sejak kita menikah apa pernah aku mengadukan masalah rumah tangga kepada orang tuaku? Pernah?!” sergah Indira dengan mata melotot merah. Bibirnya membentuk cemberut yang amat masam. Candra terdiam. Dia tak dapat
Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah
Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea
Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih
Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa
Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma
Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p
Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma