Share

4. Obsesi

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2021-12-30 12:40:08

"Aku ingin kamu kerja secara profesional. Anggap saja aku dan kamu tidak pernah saling kenal sebelumnya. Bagaimana?" tanya Mas Candra.

"Ba--baik, Mas," lirihku dengan tubuh yang lemas. Hilang sudah harapan dapat berdekatan lagi dengannya. Padahal kami sudah sedekat ini. Sayang sekali.

***

Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba bisa berterus terang kepada Darnia tentang masalahku, sore hari itu. Pengakuan itu terlontar begitu saja dari mulutku, padahal Darnia sama sekali tidak mengorek-ngorek apalagi mendesakku untuk mengeluarkan isi hati.

“Tumben cuci baju sore-sore, May.” Darnia menyapa saat melihatku menjemur pakaian di belakang rumah. Ia datang dari ujung jalan sempit, membawa bungkusan plastik hitam kecil di salah satu tangannya. Melihat gayanya yang hanya mengenakan pakaian santai rumahan, aku menduga Darnia baru pulang dari warung yang berada di kelokan jalan.

“Iya, Dar. Besok aku mulai kerja di kantoran lagi.” Tebersit rasa bangga di dalam suaraku. Bangga karena aku memiliki pekerjaan lagi yang penghasilannya jelas setiap bulan.

“Wah, selamat. Kerja di mana sekarang?” Darnia tersenyum saat menyahut.

“Di kantor IT, seperti dulu. Tahu enggak, pemilik kantor itu ternyata Mas Candra. Gebetanku dulu,” ceplosku. Darnia terbengong sampai mulutnya terbuka sedikit. Jelas sekali ia terlihat kaget.

“Waduh, jangan-jangan nanti bakal CLBK, dong.” Darnia menyeletuk spontan.

“Ah, enggak ada harapan kayaknya,” sahutku muram.

“Kalau ketemu lagi setiap hari, apa yang enggak mungkin? Kamu diterima kerja lagi sama dia saja sudah menunjukkan bahwa peluang itu diberikan oleh Mas Candra,” balas Darnia.

“Soalnya Mas Candra sudah memberiku rambu-rambu sewaktu menerimaku bekerja sama dia,” jelasku.

“Apa?” Darnia mendekati pagar halaman belakang rumah. Kedua tangannya menggenggam bilah-bilah besi BRC yang menjadi pembatas tanah belakang rumahku dengan jalan umum.

“Aku harus bekerja profesional. Aku juga diminta melupakan masa lalu kami.”

“Kalau melihat murung wajahmu, kamu masih mau dengannya, ya?” tembak Darnia.

“Mau sih sebetulnya. Tapi kalau Mas Candra enggak mau, percuma aku goda terus juga. Mana istrinya itu galak dan suka mengatur Mas Candra,” keluhku muram.

“Ya, bikin saja Mas Candra mau lagi sama kamu.”

“Bagaimana caranya? Digodain terus?” tanyaku seraya menatap Darnia. Darnia tersenyum simpul.

“Bukan hanya itu. Kamu harus main siasat juga. Coba kamu pasang susuk,” bisik Darnia seraya mencondongkan wajah ke arahku yang entah kapan sudah berada tepat di hadapannya.

“Pasang susuk?” desisku kaget. Hal itu tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

Darnia mengangguk-angguk sambil terus tersenyum. Baru kusadari senyuman Darnia amat menawan. Ia terlihat bersinar cantik di bawah matahari sore yang menebarkan cahaya jingga. Jangan-jangan Darnia juga pasang susuk kecantikan? Kecurigaan menyeruak di dalam benak.

“Kamu tahu orang yang bisa bantu pasang susuk buat pemikat?” Aku menatap Darnia penuh rasa ingin tahu.

“Tahu, dong. Kalau kamu betulan mau, bisa aku antarkan. Bagaimana?” tawar Darnia. Senyum tak lepas dari wajahnya. Spontan aku mengangguk, bahkan otakku tak sempat berpikir panjang lagi.

“Kapan kamu mau? Nanti biar aku janjian dulu dengan Nyai Sekar Kanti,” bisik Darnia lagi.

***

“Apa? Pasang susuk?” Kikan membulatkan sepasang matanya yang sipit ke arahku. Mulut mungilnya bahkan terbuka membentuk huruf O yang tak sempurna.

“Kamu tahu kan, pasang susuk itu perbuatan syirik? Dosanya besar, May!”

Ah, Kikan mulai menceramahiku. Aku agak risi mendengarnya, tapi aku memilih mengabaikan peringatannya. Aku tahu ia peduli kepadaku, makanya mencoba mencegah niatku itu. Namun sayang, keputusanku sudah bulat dan tak dapat dipatahkan lagi oleh siapa pun. Jangankan Kikan yang hanya rekan kerjaku di kantor, orang terdekatku saja tak akan aku hiraukan saat ini.

“Aku harus mendapatkan Mas Candra, Ki. Aku enggak mau kehilangan dia lagi seperti dulu. Cukup sekali aku dan dia gagal menikah. Kali ini, aku tak mau dikalahkan lagi oleh istrinya. Apa pun caranya, aku ingin menikah dengannya, walaupun aku harus dengan pasang susuk,” tegasku panjang lebar.

Kikan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah prihatin. Semangkuk bakso di hadapannya yang masih tersisa setengah dipandanginya dengan tatapan kosong. Sepertinya pernyataanku barusan betul-betul menyita pikirannya, sampai-sampai makanan kesukaannya itu hanya dipandangi dan tidak dihabiskan.

“Aku mohon, May. Jangan lakukan itu. Aku yakin masih banyak lelaki yang sama baiknya dengan Mas Candra untukmu. Lupakan dia, May. Carilah lelaki lain.” Kikan menatapku dengan pandangan sungguh-sungguh. Suaranya lirih dan mengiba.

“Kalau hati sudah memilih, susah buat pindah ke lain hati,” elakku.

“Tapi, May. Masa sih kamu ingin terjebak dua kali dengan lelaki yang sama?” Kikan terus berusaha menggoyang niatku.

“Udah deh, Ki. Aku cerita ke kamu tentang niatku pasang susuk bukan untuk dihalang-halangi begini. Aku hanya ingin cerita karena kamu temanku yang paling dekat saat ini .” Aku tatap mata Kikan tajam ketika menekankan setiap ucapan. Kikan mengembuskan napas kuat-kuat.

“Pokoknya aku sudah mengingatkanmu lho, ya!” ujarnya, akhirnya menyerah juga. Mungkin ia sudah kehabisan akal.

Kemudian Kikan meraih kembali sendok dan garpu yang tergeletak di mangkuk, lalu menghabiskan baksonya yang tersisa. Bakso pesananku sendiri sudah lama tandas. Aku habiskan sebelum menyatakan niatku pasang susuk kepada Kikan. Aku mengecek waktu digital pada layar ponselku.

“Sudah pukul satu. Sebaiknya kita segera kembali ke kantor.”

Kikan mengangguk. Kami berdua sama-sama meraih gelas es jeruk dan menghabiskan isinya secara bersamaan. Kami keluar dari warung bakso di dekat wilayah perkantoran yang tak jauh dari Jalan Soekarno-Hatta. Tatkala menuju pintu utama bangunan, langkah kami berpapasan dengan Mas Candra yang juga hendak masuk ke dalam gedung. Ia tersenyum saat melihatku. Aku membalas senyumnya.

“Dari makan siang, May?” sapanya berbasa-basi. Jam istirahat makan siang, sudah tentu semua orang pergi buat mengisi perut yang sudah keroncongan.

“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan tersenyum manis. Mas Candra mengalihkan pandang ke arah Kikan di sebelahku. Ia mengangguk sopan.

“Saya duluan, ya.” Mas Candra berjalan mendahuluiku dan Kikan. Ia tak menoleh lagi.

Aku menatapnya pergi dengan sebuncah rasa kecewa yang menggumpal di rongga dada. Tadinya aku berharap Mas Candra akan masuk ke dalam ruangan bersama-sama denganku. Apakah karena ada Kikan di antara kami sehingga Mas Candra merasa sungkan? Aku melirik Kikan di sisi kiriku. Ternyata Kikan juga sedang melirik ke arahku. Kami jadi saling melirik. Namun hanya sampai di situ. Kami berdua memasuki gedung dan kembali ke ruangan tempat kerja kami dalam diam.

Tunggu. Tunggu saja, Mas. Kalau aku sudah pasang susuk, kamu tidak akan pernah bisa melirik wanita lain selain diriku.

Dengan langkah gontai, aku berjalan beriringan bersama Kikan memasuki kantor. Setelah duduk kembali di kursiku, ingatan ini kembali mengembara kepada Darnia, tetangga yang membuka pandanganku untuk mendapatkan Mas Candra dengan cara pasang susuk. Aku harus segera minta diantarkan kepada orang pintar yang Darnia sarankan.

Aku pikir sekaranglah waktu yang tepat buat meminta bantuan Darnia. Awalnya aku pikir Mas Candra bisa aku dekati lagi tanpa perlu pasang susuk. Namun, sikap dingin Mas Candra selama sebulan terakhir membuat tekadku menjadi bulat. Aku harus menerima tawaran Darnia.

Ponsel yang tergeletak di meja aku raih. Jari jemariku lincah mengetikkan pesan buat Darnia, berisi permintaan untuk menemui Nyai Sekar Kanti secepatnya. Usai mengirim pesan, hatiku merasa lebih lega. Pikiranku kembali relaks. Tumpukan berkas di meja mulai aku jamah. Aku kembali bekerja dengan semangat baru.

***

“Mau ke mana, May?” Mama bertanya saat melihatku melintasi ruang makan. Mama mengernyitkan dahi melihat penampilanku yang rapi dengan tas tersandang di bahu.

“Ada perlu sebentar. Mau jalan dengan Darnia, anak Bu Yati. Mama ingat Darnia, kan?” sahutku setelah menghentikan langkah kaki demi menjawab pertanyaan Mama.

“Sedikit lupa, sih. Kalau nggak salah dia seumuran kamu, kan?” Mama terlihat mengingat-ingat.

“Iya, Ma. Kami sering bermain waktu masih SD. Mama lupa, ya?” Aku melirik jam analog di dinding ruang makan. Posisi jam itu tepat di atas kepala Mama.

“Mama sekarang ingat. Dulu kamu dan dia sering main ke empang ikan, kan?” tanya Mama lagi.

“Iya, Ma. Kami hanya jarang bertemu ketika aku dan dia mulai bekerja. Sudah dulu ya, Ma. Aku hampir telat.” Aku kembali melangkah dengan sedikit tergesa-gesa.

Aku dan Darnia sudah ada janji temu hari ini. Darnia akan mengajakku ke rumah Nyai Sekar Kanti, orang pintar yang konon bisa memasangkan susuk kecantikan kepadaku. Cukup berjalan kaki saja, aku sudah sampai di depan rumah Darnia. Senyum manisnya menyambut kedatanganku. Di halaman rumahnya yang cukup luas, terparkir manis sebuah sepeda motor matic berwarna merah. Darnia bangkit melihat kedatanganku.

“Kita ke rumah Nyai Sekar Kanti menggunakan motor saja, biar cepat.” Darnia menyerahkan satu helm kepadaku. Tanganku bergerak otomatis menyambut uluran dari Darnia. Aku membonceng motor Darnia, lantaran alamat tujuan memang tidak aku ketahui persis.

Related chapters

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   5. Nyai Sekar Kanti

    Sepuluh menit kami berkendara, melewati deretan rumah-rumah. Kemudian kelebat rumah berjarak semakin panjang, diselingi dengan pepohonan tinggi di kanan dan kiri jalan. Sampai akhirnya motor Darnia berhenti. Kami berdua turun dari motor. Kupandangi rumah di hadapanku. Biasa saja. Rumah tembok sederhana bercat putih pudar dengan halaman yang tak seberapa luas. Atapnya genteng yang mulai berlumut. Sebatang pohon mangga tumbuh kokoh di halaman, sementara daun-daunnya yang mengering berjatuhan ke tanah yang ditutupi dengan paving blok. Tidak terlihat seram ataupun istimewa. Orang-orang yang lewat pasti tidak tahu bahwa di rumah ini tinggal orang yang disebut oleh kebanyakan masyarakat sebagai “orang pintar”. Nyai Sekar Kanti, pemasang susuk yang sudah teruji kesaktiannya, terkenal sampai ke ibukota. Begitu informasi yang aku peroleh dari Darnia. “Kamu sudah siap, May?” Darnia setengah berbisik di sebelahku. Aku menoleh, lalu mengangguk mantap seraya menatap mata tetangga rumahku ini. Da

    Last Updated : 2021-12-30
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   6. Panggilan Telepon

    “Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung. “Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi. Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor. Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan. “Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini. “Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banya

    Last Updated : 2021-12-30
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   7. Dusta

    Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga. Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti. Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam. “Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantik

    Last Updated : 2021-12-30
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   8. Terungkap

    Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang. Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   9. Penemuan

    Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   10. Wajah Dari Masa Lalu

    Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   11. Janji Candra

    Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.

    Last Updated : 2022-01-10
  • Tobat Terakhir Istri Kedua   12. Permintaan Maya

    Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m

    Last Updated : 2022-01-10

Latest chapter

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   31. Setia Selamanya (Tamat)

    Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   30. Ikut Ke Alam Kubur

    Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   29. Musibah

    Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   28. Bertobat

    Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   27. Melambung dan Jatuh

    Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   26. Titik Nol

    Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   25. Awal Kehancuran

    Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   24. Terusir

    Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p

  • Tobat Terakhir Istri Kedua   23. Lari!

    Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma

DMCA.com Protection Status