“Sebaiknya kita enggak terlalu sering keluar berdua lagi,” kata Mas Candra dengan wajah muram pada suatu hari.
“Kenapa, Mas?” Dahiku mengerut pertanda tak rela. Baru saja aku merasakan ketenteraman berdekatan dengannya, tiba-tiba semua harus dihentikan. Aku tak rela jika kedekatan kami dibatasi begitu saja. Aku tak mau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.
“Istriku tahu soal kita.” Kabar itu bagaikan petir menyambar di siang bolong bagiku. Hal yang sebetulnya cepat atau lambat memang pasti terjadi. Tak mungkin hubunganku dengan Mas Candra akan tersimpan rapat selamanya. Meskipun sudah menyadari hal itu sejak dulu, tetap saja rasa hatiku teramat sakit mendengarnya.
Sedari awal aku juga sudah tahu bahwa Mas Candra memiliki istri dan anaknya sudah dua. Namun, entahlah. Sepertinya kenyataan itu bukan merupakan halangan bagiku untuk mendapatkan kasih sayang Mas Candra. Apalagi kami berdua sama-sama suka. Pikiranku seperti tertutup kabut setiap kali bersama Mas Candra. Saat bersamanya, bagiku dia hanya milikku seorang.
“Tapi aku enggak mau berpisah denganmu, Mas.” Aku merengek saat itu. Aku betul-betul merasa sedih, hingga tanpa terasa tetes air di sudut mata jatuh begitu saja. Aku tidak sedang bersandiwara. Air mataku bukanlah air mata palsu.
Aku rasa Mas Candra pun merasakan ketulusan hatiku. Terbukti dari caranya memandang penuh sesal tepat di manik mataku. Kemudian sebelah tangannya terangkat pelan, lalu jemarinya mengusap air yang membasahi pipi halusku.
“Jangan sedih. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku hanya ingin kita tidak terlalu sering bertemu, agar istriku merasa tenang dan tidak lagi mengajakku bertengkar. Setelah keadaan lebih aman, kita bisa kembali sering bertemu,” janji Mas Candra saat itu.
Aku mengangguk dengan terpaksa. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti keinginannya. Apalagi statusku yang hanya menjadi kekasih gelapnya. Posisiku amat lemah dan tidak memiliki hak apa-apa di mata masyarakat maupun agama. Saat itulah aku terpikir untuk mendapatkan status yang lebih kuat sebagai pasangan Mas Candra. Aku belum tahu caranya, tapi tekadku sudah bulat.
Aku semakin sering memberi perhatian diam-diam kepada Mas Candra selama di kantor. Aku tak berani lagi menghubunginya melalui telepon. Mas Candra melarangku meneleponnya dengan alasan hal itu terlalu riskan. Lebih baik kami berkomunikasi secara langsung saja. Makanya, satu-satunya kesempatanku berdekatan dan menikmati kebersamaan dengan Mas Candra hanya di kantor.
Selain semakin serius memerhatikan keadaannya, aku juga sering membuatkan penganan kesukaan Mas Candra dan membawanya ke kantor. Mas Candra sangat senang dan selalu melahap habis masakanku dan tak lupa ia selalu memuji.
“Masakanmu enak, May. Aku suka,” puji Mas Candra setiap kali usai menyantap makanan yang kubuat khusus untuknya. Aku tersenyum bangga dan bahagia mendengarkan pujiannya. Tak aku pedulikan bisik-bisik rekan kerja yang lain saat menonton kemesraan antara diriku dengan Mas Candra. Aku tak peduli dengan gosip di antara para lelaki. Toh, selemas apa pun mulut lelaki masih lebih lemas mulut perempuan. Untungnya seluruh isi kantor hanya manusia berjenis kaum Adam. Jadi aku merasa aman dari pergunjingan yang menyudutkan diriku.
Usaha-usaha yang kulakukan itu bertujuan agar Mas Candra tak bisa melupakanku. Aku tak mau dia menjauh sedikit demi sedikit lantaran istrinya semakin ketat mencengkeram kebebasannya. Apabila di rumah ia merasakan api, maka aku akan membuatnya merasa sejuk dengan perhatianku.
Akan tetapi, semua usahaku itu tak berjalan mulus meskipun sangat sempurna. Bukan lantaran Indira, istri Mas Candra lebih pintar dariku dalam mengambil hati suami. Bukan itu. Namun, keadaan di luar kuasa manusia yang memisahkan aku dari Mas Candra.
Tiba-tiba saja Pak Brontowijaya mengumpulkan kami semua karyawannya, tepat dua bulan setelah hubungan gelapku dengan Mas Candra diketahui oleh Indira. Perasaanku tak enak ketika melihat raut wajah Pak Brontowijaya saat itu. Belum pernah aku melihat wajah Pak Bronto semuram itu selama aku bekerja di kantornya.
“Saya punya kabar yang kurang menggembirakan buat kita semua.” Suara serak Pak Brontowijaya terdengar semakin serak saat berbicara kala itu.
“Kantor ini harus ditutup. Saya tidak punya pilihan selain menutup usaha ini.” Pak Brontowijaya menatap nanar ke arah depan, kosong dan seperti orang yang sedang melamun.
Suara riuh rendah keterkejutan datang dari belakang dan samping kiri dan kananku. Aku sendiri terlalu terkejut mendengar kabar itu, sehingga hanya bisa ternganga seraya menatap wajah Pak Brontowijaya yang sudah mengeriput hampir di semua tempat di wajahnya.
“Ada apa, Pak? Mengapa mendadak?” tanya Mas Rizal, salah seorang pembuat program yang paling tua. Umurnya kurang lebih dua puluh enam tahun.
“Usaha saya dituduh melakukan kolusi. Kamu masih ingat kan, tahun lalu kita menggarap proyek pemerintah? Nah, sekarang proyek itu diusut lagi oleh Ombudsman dan nama usaha saya disangkutpautkan.”
Penjelasan Pak Brontowjaya membuatku lemas. Aku lirik teman-temanku sekantor, semua sama tertunduk dan terkulai. Tak terkecuali Mas Candra. Ia tampak menghela napas berat beberapa kali.
“Saya minta maaf harus menutup usaha ini. Semoga kalian mendapatkan tempat kerja yang lebih baik daripada di kantor ini. Apabila ada kesalahan saya yang disengaja maupun tidak disengaja, saya minta kalian mau memaafkannya,” pungkas Pak Brontowijaya.
Tak ada yang bergerak selepas kalimat terakhir dari Pak Bronto, sebutan kami buat bos kantor. Aku yakin teman-temanku semua sama syoknya dengan diriku, sehingga tak tahu harus berbuat dan berkata-kata untuk membalas ucapan Pak Bronto.
“Oya satu lagi. Kalian jangan khawatir dengan uang pesangon. Saya tetap akan memberi uang pesangon yang pantas sesuai dengan aturan dari menteri ketenagakerjaan,” tegas Pak Bronto.
Pak Bronto memang bos yang baik. Selama bekerja di kantor miliknya, hampir tak ada keluhan dari para karyawan. Kami semua betah bekerja kepadanya. Oleh karena itulah, kami merasa sangat terpukul dengan berita yang dibawa Pak Bronto barusan.
Seharusnya ucapan Pak Bronto membuat kami merasa lega. Hak-hak kami sebagai pegawai tetap akan dibayarkan. Namun, bagiku pribadi hal itu justru membuat kesedihan terasa semakin dalam. Di mana lagi akan kuperoleh pekerjaan dengan gaji dan bos yang sebaik tempat ini? Mungkin pikiran rekan-rekan kerjaku juga sama dengan isi kepalaku.
Bagiku sendiri, ada hal yang jauh lebih menyedihkan dan membuat depresi daripada menjadi pengangguran. Bersamaan dengan bubarnya kantor tempat kerja kami, tak ada lagi alasan bagiku untuk dapat bertemu dengan Mas Candra secara leluasa. Dulu saja sewaktu masih bekerja satu kantor Mas Candra tak mau kami bertemu di luar secara sembunyi-sembunyi, apalagi setelah kami tak sekantor lagi. Bahkan sejak hari terakhir kami masuk kerja dan melakukan perpisahan secara resmi dengan teman sejawat, Mas Candra semakin sulit aku hubungi. Apalagi untuk aku temui.
Suatu kali, telepon dariku diangkat oleh Mas Candra. Hatiku bersorak gembira. Sebelum ini, seluruh panggilanku diabaikannya dan tak pernah diterima olehnya. Aku berpikir, mungkin saat aku menelepon itu istri Mas Candra sedang berada di dekatnya.
“Apa kabar, Mas?” Suara riangku tak dapat aku sembunyikan. Hatiku betul-betul merasa gembira.
“Baik, May. Bagaimana kabarmu sendiri?” balas Mas Candra. Suara datarnya tak aku perhatikan dan tak aku hiraukan.
“Aku juga baik. Setelah tak bekerja di kantor Pak Bronto lagi, aku membuka usaha warung makan.” Tanpa diminta, aku mengabari perkembangan diriku kepada dirinya. Aku berharap, ia akan sama terbukanya dengan diriku.
“Warung makan? Oh, hebat kamu, May.” Mas Candra lalu diam. Aku heran dan bertanya-tanya di dalam hati. Apakah saat itu ia sedang di rumah dan ada istri yang menguping pembicaraan kami di dekatnya?
Sebetulnya aku sangat ingin bertanya, apa yang dikerjakan Mas Candra selepas tak bekerja lagi kepada Pak Bronto. Namun, pertanyaan itu hanya berhenti di dalam hati saja. Lidahku seketika kelu untuk bertanya, ketika Mas Candra secara mendadak mengubah pokok pembicaraan.
“Maaf, May. Aku pikir kita tidak usah berkomunikasi lagi.” Kalimat Mas Candra berikutnya membuat tenggorokanku serasa tersedak kacang atom.
“Kenapa?” tanyaku dengan suara tercekat. Seketika dadaku terasa sesak. Kelopak mataku mengerjap seiring dengan memanasnya area di permukaan pupil. Tanpa dapat kucegah, air membasahi bulu-bulu mata. “Aku sedang pusing memikirkan ekonomi rumah tanggaku. Aku masih belum punya penghasilan lagi sejak kantor Pak Bronto tutup. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jelas Mas Candra panjang lebar. Aku terdiam. Semua kalimatnya masuk di akal. Aku hanya tak rela ia pergi dariku begitu cepat. Baru saja merasakan kebahagiaan selama enam bulan terakhir, sekarang aku harus merasa kesepian lagi. Tanpa dapat aku cegah, aliran air telah menganak sungai di pipi. “Aku yakin masih banyak lelaki yang lebih baik dariku buatmu. Selamat tinggal, Maya.” Kalimat perpisahan dari Mas Candra semakin membuat deras tumpahan air mataku. Tak sanggup aku menjawab ucapannya. Ada yang memberontak di relung dada, tapi tak sanggup aku utarakan. Sepenuh rasa kecewa, aku putuskan sambungan telepon. Aku menangis seja
"Aku ingin kamu kerja secara profesional. Anggap saja aku dan kamu tidak pernah saling kenal sebelumnya. Bagaimana?" tanya Mas Candra. "Ba--baik, Mas," lirihku dengan tubuh yang lemas. Hilang sudah harapan dapat berdekatan lagi dengannya. Padahal kami sudah sedekat ini. Sayang sekali. *** Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba bisa berterus terang kepada Darnia tentang masalahku, sore hari itu. Pengakuan itu terlontar begitu saja dari mulutku, padahal Darnia sama sekali tidak mengorek-ngorek apalagi mendesakku untuk mengeluarkan isi hati. “Tumben cuci baju sore-sore, May.” Darnia menyapa saat melihatku menjemur pakaian di belakang rumah. Ia datang dari ujung jalan sempit, membawa bungkusan plastik hitam kecil di salah satu tangannya. Melihat gayanya yang hanya mengenakan pakaian santai rumahan, aku menduga Darnia baru pulang dari warung yang berada di kelokan jalan. “Iya, Dar. Besok aku mulai kerja di kantoran lagi.” Tebersit rasa bangga di dalam suaraku. Bangga karena aku memiliki peke
Sepuluh menit kami berkendara, melewati deretan rumah-rumah. Kemudian kelebat rumah berjarak semakin panjang, diselingi dengan pepohonan tinggi di kanan dan kiri jalan. Sampai akhirnya motor Darnia berhenti. Kami berdua turun dari motor. Kupandangi rumah di hadapanku. Biasa saja. Rumah tembok sederhana bercat putih pudar dengan halaman yang tak seberapa luas. Atapnya genteng yang mulai berlumut. Sebatang pohon mangga tumbuh kokoh di halaman, sementara daun-daunnya yang mengering berjatuhan ke tanah yang ditutupi dengan paving blok. Tidak terlihat seram ataupun istimewa. Orang-orang yang lewat pasti tidak tahu bahwa di rumah ini tinggal orang yang disebut oleh kebanyakan masyarakat sebagai “orang pintar”. Nyai Sekar Kanti, pemasang susuk yang sudah teruji kesaktiannya, terkenal sampai ke ibukota. Begitu informasi yang aku peroleh dari Darnia. “Kamu sudah siap, May?” Darnia setengah berbisik di sebelahku. Aku menoleh, lalu mengangguk mantap seraya menatap mata tetangga rumahku ini. Da
“Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung. “Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi. Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor. Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan. “Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini. “Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banya
Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga. Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti. Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam. “Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantik
Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang. Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada
Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b
Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r
Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah
Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea
Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih
Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa
Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma
Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p
Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma