Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Majapahit, menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara Tuban. Burung-burung hitam yang hanya memiliki naluri mencabik dan melahap daging ratusan tubuh tak bernyawa itu seakan tak pernah puas. Sambil mengepakkan sayap-sayapnya mereka meloncat ke sana ke mari di antara onggokan bangkai prajurit-prajurit yang masih setia mendampingi Ranggalawe hingga jiwa terpisah dari raga.
Matahari mulai condong ke barat. Langit menjelma warna merah jingga. Warna air yang mengalir di sungai kecil itu juga belum berubah. Masih merah darah. Lembu Sora ingat, dua purnama lalu ia melepaskan Ranggalawe kembali ke Tuban di tepi sungai itu. Sungai yang saat itu masih mengalirkan air bening sehingga bebatuan dan ikan-ikan mungil di dasarnya bisa terlihat dari atas permukaan."Kang Sora, aku mohon diri. Tak ada gunanya aku berlama-lama di sini," ujar Ranggalawe sebelum menunggang kuda jantan hitam."Dimas Lawe, apa tidak ada cara lain, selain meninggalkan Majapahit?'' Lembu Sora masih berharap Ranggalawe menggurungkan niatnya.
"Tidak Kang. Tak ada jalan lain. Toh Raden Wijaya sudah tak menginginkanku mengabdi di sini. Beliau lebih memilih Nambi sebagai mahapatih. Raden Wijaya juga sudah memerintahkanku menjadi bupati di Tuban,'' Ranggalawe sudah duduk di atas pelana kudanya sambil memegang tali kekang.
Lembu Sora mendesah lirih. Tak ada yang bisa diperbuat untuk menolong sahabatnya. Pikirannya buntu. Tapi ia memahami pilihan sulit Ranggalawe untuk segera menyingkir dari hutan Tarik. Ia pun menyadari keputusan Raden Wijaya semata hanya membalas budi bupati Madura Arya Wiraraja, ayahanda Nambi.
Arya Wiraraja adalah sosok yang melindungi Raden Wijaya sebelum duduk di atas Singgasana. Berkat bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya bisa diselipkan untuk mengabdi pada Raja Kediri, Jayakatwang. Seorang raja ambisius yang membantai mertua Raden Wijaya, Kartanegara sang penguasa Singasari.Arya Wiraraja juga berandil membujuk Jayakatwang untuk memberi izin Raden Wijaya membuka hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggal. Di hutan terpencil dan jauh dari pangawasan Jayakatwang itu, diam-diam Raden Wijaya melatih pasukannya dan mendirikan Majapahit. Bersama pasukan Arya Wiraraja dan para sahabatnya, seperti Ranggalawe, Kebo Anabrang, Lembu Sora, Jurumedung, Gajah Biru, dan juga bala tentara Mongol, Raden Wijaya balik memukul dan menghancurkan Jayakatwang.Tapi Raden Wijaya seakan melupakan jasa besar sahabatnya, Ranggalawe, yang memimpin pasukan Majapahit di segala pertempuran. Ranggalawe sang panglima perang tanpa-tanding yang selalu berada di garis depan dengan keris yang selalu teracung ke langit. Ketika terhunus dari sarungnya, tujuh liukan keris itu berkilat-kilat seperti tarian dewa maut. Siapa pun lawan yang mendekatinya, berarti mati.Kecerdikan Ranggalawe juga membuat Majapahit berhasil mengusir tentara Mongol dari tanah Jawa. Tapi selanjutnya Ranggalawe justru dibuang ke daerah tandus di Tuban, sedangkan Nambi yang belum pernah memimpin pertempuran dinobatkan sebagai mahapatih; jabatan jelmaan tangan kanan raja.
''Selamat jalan Dimas Lawe, semoga sang waktu masih mempertemukan kita,'' ujar Lembu Sora. Ranggalawe hanya tersenyum getir. Setelah itu, derap-derap langkah kaki kuda Ranggalawe menjauh, diiringi ratusan derap kaki kuda para prajurit yang masih setia mendampingi Ranggalawe. Lembu Sora tak sanggup dan tak ingin mencegah kepergian ratusan prajurit yang mengiringi perjalanan Ranggalawe.
Lembu Sora masih saja berdiri mematung. Ketika kepulan debu bekas derap ratusan kaki kuda itu menghilang di kelokan jalan hutan, kebimbangan kembali menyeruak. Ia ingat pesan Raden Wijaya saat ia hendak mengantar kepergian Ranggalawe, ''Sora, jangan sampai ada satu pun prajurit yang menemani Ranggalawe ke Tuban. Aku tak ingin pasukan Majapahit terpecah!" Ah, begitu sulitkan menjatuhkan pilihan antara kepentingan negara dan kesetiaan kepada seorang sahabat.
***Entah angin busuk dari mana yang membongkar rahasia kepergian Ranggalawe dengan ratusan prajurit. Rahasia itu bocor sampai ke telinga Raden Wijaya. Raja Majapahit itu murka dan menganggap Ranggalawe sudah berani melakukan penghinaan. Ranggalawe telah melakukan pengkhianatan. Di mata baginda, Ranggalawa makar. Ranggalawe adalah pemberontak. Ranggalawe pantas dihukum mati. Tanpa banyak pertimbangan, Raden Wijaya memerintahkan Mahapatih Nambi dan ribuan tentara Majapahit menyerbu Tuban.
Gajah Biru, ksatria muda bekas anak buah Ranggalawe, mendengar rencana penyerbuan itu. Bergegas ia mengumpulkan puluhan prajurit tersisa yang masih setia dengan Ranggalawe. Senopati muda itu lalu berangkat menuju Tuban untuk mengabarkan rencana Raden Wijaya.Malam itu hujan deras mengguyur tapal batas Majapahit. Petir menyambar di mana-mana. Angin kencang melayangkan dedaunan dan ranting-ranting rapuh. Pohon-pohon angsana yang kukuh, tercerabut sampai akarnya, seperti malaikat maut yang dengan mudahnya mencabut nyawa manusia. Tanpa ada tunda, tanpa ada tambahan masa. Semua tepat sesuai titah Penguasa.Rembulan hilang di balik mendung kelam. Angin kencang lalu berubah seperti berbisik lirih kepada puluhan prajurit setia yang selalu merindukan bercumbu dengan maut.Di tepi sungai Brantas, Gajah Biru dan teman-temannya tersentak ketika ribuan pasukan Majapahit menghadang dari atas bukit. Tapi anak-anak muda itu selalu percaya, karang pun tak sanggup melenyapkan buih-buih samudera, seperti janji ombak kepada pantai untuk selalu setia menemaninya. Seperti juga janji mereka kepada Ranggalawe, panglima perang kebanggaan semua, untuk menjaga kewibawaannya."Aku ingin membela Kang Lawe. Ini semua tak adil. Kang Lawe sama sekali tidak bersalah!'' teriak Gajah Biru bersama tiupan angin yang tiba-tiba kembali kencang bergemuruh. Menderu selaksa gelegak darah muda Gajah Biru.
"Dimas Gajah Biru, siapapun yang membangkang perintah raja pantas dihukum mati. Ranggalawe adalah pemberontak!" Nambi berteriak lantang. Lengan kirinya menutupi mata dari rintik-rintik hujan yang masih menderas. "Jika membela Ranggalawe, Dimas juga pantas mati!"
Seperti kilat Nambi menghunus keris pusaka. Beberapa detik kemudian ribuan tentara Majapahit menyerbu turun ke tepi sungai seperti kawanan lalat yang mengerubungi bangkai.
Di antara rintik-rintik hujan, perang sesama prajurit Majapahit tak terhindarkan. Perang yang hanya sekedipan mata itu lebih tepat disebut pembantaian puluhan teman-teman Ranggalawe. Jeritan meregang nyawa bertebaran di mana-mana. Gajah Biru pun tewas di tepi sungai di tapal batas Majapahit. Wajah pemuda tampan yang berlumuran darah itu tampak bersinar. Senyuman kemenangan terkembang di bibirnya. Nambi hanya tercenung dari kejauhan di atas bukit.
***
Lembu Sora masih menatap nanar asap hitam tebal seperti jelaga dalam gumpalan-gumpalan besar pekat di angkasa. Cahaya merah bernuansa kilauan oranye terlihat di mana-mana. Kobaran lidah api mengelilingi kediamannya. Seperti air terjun yang tumpah dari atas tebing, api merah yang marah itu merayap deras menuju pendopo. Seperti ular sanca yang meliuk-liuk mencari mangsa.
Lembu Sora masih terlihat bersila di atas tempat duduknya. Ratusan prajurit Majapahit telah mengepungnya. Putera-putera terbaik Lembu Sora telah gugur demi membela kehormatan orang tua. Tapi ia tak pernah menyalahkan keganasan para prajurit muda Majapahit yang hanya mengemban tugas Sang Raja Jayanegara, putera mendiang Raden Wijaya, raja Majapahit berikutnya. Prajurit-prajurit muda itu hanya paham, Lembu Sora adalah pemberontak yang harus dihukum pancung.
Teriakan-teriakan meregang nyawa dari sisa-sisa pengawalnya terdengar membahana. Samar-samar Lembu Sora mengingat kisah Nambi yang pulang ke Lumajang untuk mengubur jasad ayahandanya, Arya Wiraraja. Entah hasutan dari mana, Nambi dituduh Jayanegara sebagai pemberontak yang sedang menyusun kekuatan. Tujuh malam Lumajang digempur habis-habisan. Nambi dan seluruh keluarganya binasa.Setelah Nambi tewas, sahabat mendiang Raden Wijaya yang tersisa hanya tinggal Lembu Sora. Ia menjadi satu-satunya calon mahapatih. Tapi fitnah menyergapnya. Lembu Sora dianggap bersekongkol dengan Nambi oleh raja belia itu.Kicauan burung hantu yang bertengger di ranting pohon beringin di depan kediaman Lembu Sora kian terdengar menyayat hati. Kicauan itu seakan mendendangkan tentang kefanaan dunia. Usia hanyalah perjalanan angka-angka dalam tahun. Lalu sejarah hadir. Kenangan tentang kehidupan orang-orang yang datang entah dari mana dan yang pergi entah ke mana.Lembu Sora sama sekali tak menyesal kematian hadir menjemputnya dengan jalan seperti ini. Ia hanya menyesalkan, mengapa Majapahit yang begitu megah dibangun di atas mayat-mayat ribuan prajurit dan rakyat jelata. Juga di atas mayat ksatria-ksatria yang sukarela berperang dan membuka hutan Tarik untuk sahabatnya, Raden Wijaya. Ksatria-ksatria yang gugur bukan karena menghadapi lawan dari mancanegara atau memberantas pemberontakan. Tapi, ksatria-ksatria yang melepas nyawa dalam tikaman keris, tombak, dan mata panah sahabat-sahabatnya sendiri.Lembu Sora, perwira yang sanggup membunuh puluhan orang hanya dari jarak sepuluh langkah, tak kuasa menyimpan berjuta kegetiran dalam dada. Perlahan-lahan air matanya meleleh. Membasahi pipi tuanya yang mulai keriput. Namun air matanya tak cukup untuk membangunkan istrinya yang tiba-tiba terbujur kaku di pangkuannya dengan sebatang anak panah menancap di perut. Air matanya tak cukup untuk memadamkan api yang menjilati sekujur tubuh emban-embannya yang mengendong puluhan cucu-cucunya. Air matanya juga tak cukup untuk menyiram kobaran api yang melumatkan kediamannya.
Ketika ratusan anak panah menghampiri Lembu Sora seperti halilintar yang menyambar puncak menara istana, pertanyaan-pertanyaan terus berkecamuk dalam dirinya. Mengapa dulu ia tak pernah menyangkal titah Raden Wijaya untuk mengangkat Nambi sebagai mahapatih? Mengapa ia tak mencegah ulah sembrono Gajah Biru? Haruskah ia mengizinkan ratusan prajurit mengiringi kepergian Ranggalawe ke Tuban?Pantaskah ia membeberkan rahasia kelemahan Ranggalawe yang tak sanggup bertarung lama dalam air pada Kebo Anabarang? Satriakah ia ketika meloncat dan menghujamkan keris ke dada Kebo Anabrang saat Ranggalawe sekarat dalam jepitan sahabatnya dari Pamalayu itu? Haruskah ia mengabarkan kematian Ranggalawe ke Tuban sehingga dua istri sahabatnya itu dengan seketika menghujamkan keris ke dalam raga? Haruskah seluruh keluarganya menjadi tumbal kebesaran Majapahit? Tapi, kini Lembu Sora hanya bisa pasrah. Ia menyerah.
***
Pemberontakan-pemberontakan bekas para pengikut Raden Wijaya sudah bisa dipadamkan. Namun masih ada yang masih mengganjal. Para prajurit Majapahit gagal menghabisi seluruh cucu Ranggalawe, Nambi, dan Lembu Sora. Anak-anak itu diselamatkan oleh sosok bertopeng panji putih yang selalu muncul dalam setiap pertempuran.
Sosok bertopeng itu datang dengan tiba-tiba. Ia tak membela pemberontak. Ia pun tak memihak Majapahit. Ia muncul hanya untuk menculik anak-anak itu. Kejadian ini membuat kepala Raja Jayanegara dan para pembesar Majapahit dipenuhi teka-teki, apa maksud sebenarnya sosok bertopeng itu. Jayanegara khawatir, anak-anak para ksatria itu kelak membalaskan dendam.Rodra yang mengabdi di Majapahit ditugaskan untuk menyelidiki kasus penculikan ini. Rodra adalah murid yang tersisa dari Perguruan Mata Angin. Setelah Dewa Penjuru Angin tewas dalam pertempuran di selatan Kediri, Perguruan Mata Angin pun dibubarkan.Sisa-sisa murid Mata Angin diberi kebebasan bergabung menjadi prajurit Majapahit atau menjadi rakyat biasa. Rodra yang dianggap sebagai pewaris ajian Tapak Liman ciptaan Dewa Penjuru Angin, memilih bergabung ke Majapahit. Ia menjadi salah satu senopati Majapahit.Tak mudah bagi Rodra dan para prajurit lainnya untuk mengungkap siapa sosok bertopeng itu. Apalagi sosok itu sepertinya bukan manusia sembarangan. Kecepatannya sulit diikuti mata. Sehingga, meski sambil menggendong bocah-bocah kecil yang diculiknya, sosok bertopeng itu terlihat mudah kabur dari kepungan dan kejaran prajurit Majapahit.Para prajurit hanya tahu, sosok misterius itu selalu menjauh ke arah selatan. Rodra yang didampingi dua puluh prajurit lalu memutuskan mengikuti jejak sosok bertopeng itu ke arah selatan. Arah menuju hutan belantara rimba Semungklung.Rodra terlihat gagah di atas pelana kudanya. Namun di belakangnya, para prajurit sebenarnya mengikutinya dengan tak percaya diri. Sebagian prajurit itu sudah mengenal reputasi Rodra. Bekas murid Dewa Penjuru Angin itu pernah kabur di area pertempuran selatan kala menghadapi prajurit Kediri tujuh tahun lalu.Namun salah satu prajurit yang selalu menyandang golok pendek, Tancaka, meminta teman-temannya untuk bersabar. Ia mengingatkan tugas negara lebih penting dibanding mengeluhkan kepemimpinan Rodra. Tancaka merupakan adik seperguruan Rodra. Keduanya sama-sama bekas murid Perguruan Mata Angin.***
Setelah berhari-hari keluar dari tapal batas Kerajaan Majapahit, rombongan Rodra kini berada di tepi rimba Semungklung. Di depan mata, hamparan pakis, pisang hutan, randu alas, dan tumbuhan besar lainnya menutupi pandangan. Seorang lelaki separuh baya pencari kayu hutan menghampiri rombongan itu.
“Benar ki sanak sering mendengar ada suara anak-anak kecil di dalam hutan itu?” tanya Rodra.“Benar tuan, saya sering mendengar tawa dan teriakan aneh, seperti suara anak-anak kecil. Suaranya di sekitar air terjun Kepyur. Saya tak berani mendekatinya. Saya takut itu mahluk halus penunggu hutan…” jawab lelaki pencari kayu hutan itu.Mata Rodra dan Tancaka saling berpandangan. Agaknya keduanya merasa sepemikiran. Pencarian terhadap anak-anak yang diculik sosok bertopeng panji selama berhari-hari mulai menemukan titik terang.Awal 1215 Saka. Dusun Walangsewu porak poranda. Api masih berkobar di atap-atap rumbia rumah warga. Mayat-mayat seratusan warga dusun tergeletak di mana-mana. Tua, muda, laki-laki, perempuan, kakek-kakek, nenek-nenek, anak-anak, bahkan bayi-bayi, semua tak tersisa. Bau anyir darah menyebar ke mana-mana.Dari balik pohon angsana terlihat dua bayangan hitam berkelebat saling susul menyusul menjauhi Dusun Walangsewu. Di antara pepohonan, dua bayangan itu lebih mirip sepasang kupu-kupu hitam yang beterbangan di antara kuntum-kuntum bunga.Di tepi hutan yang dipenuhi pepohonan raksasa, salah satu bayangan tiba-tiba memperlamban gerakannya."Kek berhenti dulu. Mengapa kita harus menghindar? Kita masih sanggup melawan. Mereka sangat sadis! Mereka kejam sekali, Kek. Gerombolan berkuda itu telah menghancurkan ratusan warga desa yang tak berdosa. Kita harus menghentikan mereka!" teriak Parasu dengan napas yang masih terengah-engah.Mendengar teriak
Mata Lintang Abang nanar. Tatapannya kosong. Di hadapannya, sosok mayat lelaki bercambang tebal terlihat memeluk mayat seorang perempuan dan bocah laki-laki. Mayat-mayat itu adalah Jakaprana dan keluarganya."Mengapa semua harus dibunuh guru? Bukankah musuh kita hanya Jakaprana?" tanya Lintang Abang tak mengerti.Dewa Penjuru Angin langsung menghardik Lintang Abang, "Kamu jangan jadi murid tolol, Lintang! Kalau semua dibiarkan hidup, mereka bisa balas dendam! Bapaknya pemberontak, siapa tahu anaknya kelak juga jadi pemberontak!"Dewa Penjuru Angin adalah pendekar pilih tanding. Ia juga dinobatkan sebagai laskar utama Singasari. Usianya belum genap enam puluh tahun, tapi ia sudah memiliki perguruan tersohor, Mata Angin. Muridnya sudah mencapai ratusan. Salah satu murid
Hari belum beranjak siang, di Perguruan Mata Angin di pinggir Sendang Saradan, Lintang Abang terlihat sedang menemui gurunya. Tak biasanya Dewa Penjuru Angin memanggilnya untuk berbicara empat mata di ruang khusus latihan Sang Guru."Lintang Abang, hari ini engkau kuberi anugerah untuk mempelajari kitab sakti Tapak Liman. Jika Tapak Liman dipadukan secara bersamaan di empat penjuru mata angin, maka kekuatannya akan sangat dahsyat. Empat pasang Tapak Liman akan menghasilkan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka," Dewa Penjuru Angin menyerahkan sebuah kitab lusuh kepada Lintang Abang.Sudah tiga hari sejak kematian Jakaprana, kondisi Begal Barat yang terluka parah belum membaik. Begal Barat yang lemah ditinggalkan begitu saja di rumah seorang tabib di dusun sebelah Wingitan, Dusun Demulur. Demi menyempurnakan ajian pamungkas
Setelah meminta izin kepada gurunya, Lintang Abang memilih berlatih di kampung halamannya di Dusun Kaliungu, sekitar dua hari perjalanan kaki dari Perguruan Mata Angin. Tak hanya berlatih, ia juga sudah sangat kangen dengan putra tunggalnya, Perisai. Sudah beberapa purnama ia meninggalkan Perisai yang hanya ditemani pembantunya, Dayang Rimbi.Sejak kecil, Perisai sama sekali tak mendapatkan belaian kasih sayang dari ibundanya. Sang Ibu meninggal saat melahirkannya.Meski sering ditinggal ayahnya yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Mata Angin, Perisai yang sudah menginjak usia lima belas tahun tak pernah sedih atau marah. Ia bahkan merasa bangga memiliki ayah seorang pendekar. Saat bermain perang-perangan dengan teman-temannya, ia selalu membayangkan dirinya sebagai Lintang Abang yang sedang beraksi menumpas para penj
Senja datang begitu cepat, mengusir terang dengan remang. Matahari mulai menyipitkan matanya saat Lintang Abang kedatangan tamu, dua kakak seperguruannya, Begal Utara dan Begal Selatan. "Dik Lintang sudah tak mau balik ke Mata Angin?!" hardik Begal Utara seraya berdiri mengepalkan tangan. "Maaf Kangmas, saya memilih tetap tinggal di sini saja. Mohon sampaikan permohonan maaf saya kepada Sang Guru," ujar Lintang Abang hati-hati. "TIDAK BISA!!!" teriak Begal Selatan yang terkenal temperamental sambil menggebrak meja. "Aku tunggu kau di luar! Serahkan kitabnya dan segera ikut kami balik! Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!"
"Kek, ayo Kek. Kok dari tadi bengong aja? Lagi mikirin nenek ya?" Parasu merajuk. Sudah satu jam mereka duduk di bawah pohon rambutan. Namun tak seperti biasanya, Lintang Abang hanya terdiam. Matanya menatap kosong jauh ke depan, ke sisa-sisa debu derap kaki kuda rombongan Jayakenanga. Parasu sebenarnya tak ingin mengganggu kakeknya yang sedang asyik melamun. Apalagi ia sendiri bisa sepuas-puasnya melahap buah rambutan yang tinggal dipetik tanpa perlu melompat tinggi. Puluhan kulit rambutan merah kehijauan sudah terlihat berserakan di tanah yang mulai kering tersengat cahaya mentari yang kian berada di atas kepala. Lama-lama Parasu heran, biasanya kakeknya doyan makan buah-buahan. Tapi, kali ini tidak. Kakeknya seperti berada di dunia lain. Entah dunia apa itu namanya.
Permukaan Sungai Brantas terlihat tenang, tanda kedalaman sungai yang bermata air di Gunung Arjuno itu sulit diduga. Seperti sulitnya menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala warga Kediri yang terpaksa harus mengungsi, berlindung, dan bersembunyi di tempat aman. Jalanan di sepanjang pinggiran kota hanya diisi lalu-lalang prajurit yang terlihat waspada dan siaga.Lintang Abang dan Parasu sudah berada di tapal batas kota. Tak sulit bagi mereka untuk melewati penjagaan. Prajurit penjaga tak melihat keanehan dari keduanya sebagai warga dusun yang sedang mencari perlindungan dari kekejaman para rampok bekas laskar Singasari. Para prajurit itu bahkan menyarankan agar keduanya bersembunyi di balik Bukit Maskumambang atau di Pegunungan Klotok bersama ribuan warga dusun lainnya."Kek apa yang sebenarnya sedang terjadi
Perisai pun tersentak. "Pedang itu hilang!? Bagaimana bisa?"Ki Carik Tresna tertunduk. Ia tak mampu menatap Perisai. Namun ia memberanikan diri memberi alasan. "Kami sudah berusaha menjaganya, Ki Perisai. Tapi apa daya pendekar tangan buntung itu terlalu digdaya. Meski kami bersepuluh, kami tak sanggup menghadapinya. Kami mohon maaf." Perisai hanya bisa mengepalkan tangannya. Giginya gemeretuk menahan geram. Ia menyesal meninggalkan pedang cahaya di kediamannya. Tapi itu terpaksa dilakukannya karena istrinya, Nuri Gagap, menginginkannya tak membawa senjata saat menghadiri pesta pernikahan adiknya di sebelah Dusun Kaliantu. Ia lantas menitipkan pedang cahaya pada Ki Carik Tresna."Bagaimana mungkin pencuri itu tahu pedang cahaya aku tinggal di rumah? Pasti ada orang d
Malam itu di tengah siraman cahaya rembulan di antara deburan ombak pantai selatan Jawa, dua insan sedang memilin asa. Parasu terdiam. Tubuhnya kaku menegang dalam desiran angin malam yang menyapa. Matanya memerah dialiri sungai kecil. Seolah tak peduli lingkungan sekitar, Parasu mendadak memeluk Kinarsih. Erat. Seakan tiada hari esok. Sejenak keduanya menetralkan gejolak dalam dada. Parasu melepaskan pelukannya. Genggaman erat tangannya, teduh matanya, bahkan air mata yang belum mengering menjelaskan betapa tersiksanya dia menahan rasa. Rasa yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Kinarsih yang menjelma wanita cantik, anggun, merekah semerbak bunga, telah menjadi milik orang lain. Seseorang yang selama tujuh tahun selalu setia menjaganya, Kutira. Kinarsih telah menjalin ikatan pernikahan dengan Kutira sejak tahun lalu. Parasu hadir terlambat. Andai ia datang setahun lebih cepat. “Maafkan aku, Rasu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” ucap li
Parasu membuka topeng panji putih yang selama ini selalu dikenakannya. Topeng pemberian Kutira saat prahara di Kediri beberapa tahun silam.Wajahnya lega setelah para prajurit Majapahit meninggalkan air terjun Kepyur. Bukan berarti ia tak berani menghadapi puluhan prajurit. Ia lebih senang tak ada pertumpahan darah di tempat itu. Pertumpahan darah yang sangat tak diinginkannya di depan lima anak kecil itu.Parasu tak ingin kekerasan dan dendam selalu menyelimuti dan mengendap di hati dan pikiran anak-anak itu. Seperti yang pernah ia alami di masa lalu.Parasu menghela napas. Ia lega tak lagi memendam dendam dan amarah seperti dulu. Padahal ia sedari tadi tahu sosok lawannya adalah musuh lamanya, Rodra. Salah seorang penyebab kehancuran keluarganya di masa lalu.Parasu berusaha keras untuk tak melampiaskan dendam. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan anak-anak itu tanpa pertumpahan darah. Kini ia bisa memahami pesan mendiang kakeknya, Lintang Abang, unt
Rodra duduk di atas pelana kuda dengan pongahnya. Tancaka dan dua puluh prajurit mengikuti di belakangnya. Rombongan itu telah berada di tepi rimba Semungklung.“Kalian harus bersyukur, berkat aku, kalian semua tak mati sia-sia di tangan pendekar bertopeng itu. Aku melakukan ini agar semua selamat. Hahaha betapa lihainya aku, kita bisa bebas keluar dari hutan ini,” cetus Rodra yang menunggang kuda di posisi paling depan.Tancaka dan para prajurit lainnya hanya membisu mendengar bualan Rodra. Sebagai ksatria dan laskar Majapahit, mereka tampak kecewa lantaran tak mampu menjalankan perintah Sang Raja dan justru memilih kabur. “Kalian tak usah waswas, tak perlu khawatir, nanti di dusun manapun, kita berhenti untuk menculik anak-anak kecil, kita bunuh mereka, kita rusak wajah-wajahnya hingga tak dikenali lagi. Lalu kita persembahkan kepada Sang Raja.Kita pasti dianggap telah menuntaskan misi untuk membunuh cucu
Sepengetahuan Rodra, setelah Dewa Penjuru Angin tewas, hanya dia dan Tancaka, dua bekas murid Perguruan Mata Angin tersisa, yang masih menyimpan ajian ini. Sosok yang mampu meredam Tapak Liman pasti sudah lama mengenal dan mempelajari ajian yang melegenda di tanah Jawa.Rodra berpikir keras siapa sosok bertopeng yang kini berdiri gagah di hadapannya. Sosok itu seolah tak terdampak pukulan Tapak Liman milik Rodra dan Tancaka.Tak mungkin sosok itu Dewa Penjuru Angin, Begal Timur, Begal Barat, Begal Selatan, Begal Utara, Arya Kemusuk, atau Lintang Abang. Seingat Rodra, para pendekar penguasa ajian Tapak Liman itu sudah tewas beberapa tahun lalu.Sekilas Rodra terbesit sosok cucu Lintang Abang yang pernah melukai tangannya dalam pertempuran tujuh tahun lalu. Tapi cucu Lintang Abang sudah lama menghilang sejak pertempuran di selatan Kediri. Tak jelas rimbanya. Rasa penasaran kian menyelimutinya.Lantas siapa sosok di hadapannya itu? Peluh
1223 Saka. Rodra, Tancaka, dan dua puluh prajurit Majapahit menggerakkan kuda-kudanya memasuki rimba Semungklung.Ada rasa gentar dalam diri Rodra saat rombongannya sudah berada di tengah hutan. Ia waswas dengan sosok misterius yang akan dihadapinya nanti. Tapi tugas dari Raja Jayanegara sudah sangat jelas, ia diharuskan melenyapkan seluruh keturunan para pemberontak.Sempat tebersit untuk kabur dari hutan itu. Tapi kali ini Rodra malu pada Tancaka dan anak buahnya. Ia tak ingin reputasinya yang sempat tercoreng karena pernah kabur dari pertempuran terus membayangi.Semakin memasuki kedalaman hutan, gemuruh suara air terjun terdengar jelas. Suara cekikikan anak-anak kecil juga kian terdengar nyaring. Dada Rodra berdegub kencang. Ia kini harus kembali mengemban tugas untuk menghabisi nyawa anak kecil. Seakan sejarah terulang.Beberapa tahun silam, ia juga mendapat tugas untuk menghabisi seorang anak, meski upaya itu gagal.
BLUKKK!!! Parasu kaget sekali.Bukan pukulan amat keras yang diterimanya. Tapi pelukan. Iya, pelukan hangat dan erat sekali.“Kau pasti anak Perisai...” ujar Tan Kim Lian lirih tepat di telinga Parasu. Parasu terperangah. Ia berusaha mengenali sosok yang memeluknya dengan erat itu. Tan Kim Lian lalu membuka pelindung kepalanya.Sosoknya kini terlihat jelas. Wajah berkulit kuning dengan kumis dan cambang putih yang memanjang. Wajah yang sudah mulai dipenuhi keriput. Wajah yang tenang dan teduh seperti kakek Parasu, Lintang Abang. Parasu mencoba mengingat-ingat. Samar-samar ingatan masa kecilnya timbul. Sepertinya wajah lelaki tua di hadapannya pernah menghiasi hari-hari masa kecilnya dulu. “Kaki Gunung Wilis,” Tan Kim Lian seolah menjawab kebimbangan dan kebingungan Parasu terhadap sosoknya.Mendengar kata Gunung Wilis, lamat-lamat ingatan Parasu menguat. Sekonyong-konyong gil
Tan Kim Lian kaget, berjarak sekitar lima belas tombak di hadapannya, sosok bertopeng memberanikan diri menantangnya duel satu lawan satu.Ia lebih kaget lagi saat sosok bertopeng yang entah masih bocah atau memang manusia cebol menghunus pedang yang jelas tak asing bagi dirinya. Itu pedang miliknya. Beberapa tahun silam pedang itu ia berikan kepada murid kesayangannya, Perisai. Sejak Perisai turun gunung ke Dusun Kaliantu, Tan Kim Lian sudah tak pernah lagi tahu keberadaan Perisai dan Nuri Gagap. Hanya kabar samar-samar berembus, Perisai tewas di tangan gerombolan dari Mata Angin.Sebagai guru, Tan Kim Lian jelas amat bersedih dan terpukul kehilangan murid terbaiknya. Tapi ia tak sempat memperdalam kabar itu karena kesibukannya membantu persiapan pasukan Mongol untuk menggempur Jayakatwang. Ketika Parasu kian mendekat. Sekitar lima tombak lagi. Tan Kim Lian memperkirakan sosok di hadapannya adalah seorang bocah. Ia menerka-nerk
Di sisi selatan Kediri, di kaki Gunung Bolo, Parasu, Kinarsih, dan Kutira duduk bersimpuh di depan tiga gundukan tanah yang masih basah. Kaki gunung itu menjadi peristirahatan terakhir Lintang Abang, Begal Barat, dan Tatya.Rintik rintik air hujan tiba tiba hadir pagi itu membasahi tanah kuburan. Di antara gerimis, Kinarsih menangis, menyertai kepergian ibundanya untuk selama-lamanya.Parasu memandang lemah Kinarsih. Ia ingin sekali menghiburnya. Atau mungkin memeluknya. Tapi apa daya, dadanya terasa sesak menahan agar air matanya tak tumpah di pemakaman.Parasu bisa merasakan kesedihan dan kegetiran Kinarsih yang kini harus hidup sebatang kara. Seperti dirinya.Parasu tak bisa membayangkan bagaimana ia akan menjalani hidupnya hari demi hari ke depan. Ia pun tak bisa berpikir terlalu jauh membayangkan nasib Kinarsih.Pertempuran dahsyat, peperangan hebat di tanah Jawa dari tahun ke tahun telah mengorbankan banyak nyawa tak
Ketika dua kekuatan dahsyat itu tengah beradu, Parasu bergegas melambungkan badannya dengan Gingkang Kijang. Dua tangannya menggenggam erat pedang cahaya.Tiga kali lompatan, Parasu sudah berada lima kaki di atas kepala Dewa Penjuru Angin yang kini terhuyung-huyung setelah dua kali beradu ajian dengan Lintang Abang.Dewa Penjuru Angin sempat menengadahkan wajahnya untuk melihat sosok yang menerjangnya dari atas. Namun matanya langsung terpicing karena silaunya pedang cahaya yang memantulkan sinar matahari. Sekelebat ia sadar sosok di atasnya adalah bocah kecil yang tadi membuat Rodra memilih kabur. Dewa Penjuru Angin mendelik. Ia sudah tak punya kesempatan menghindar. Kepongahannya runtuh berubah ketakutan. Kesombongannya sebagai pendekar pilih tanding musnah. Mahaguru Mata Angin yang tersohor itu begidik ngeri. Tak menyangka nyawanya bakal sirna di depan mata, bukan di tangan pendekar pilih tanding, tapi di tangan bocah yan