Share

Permohonan

Senja datang begitu cepat, mengusir terang dengan remang. Matahari mulai menyipitkan matanya saat Lintang Abang kedatangan tamu, dua kakak seperguruannya, Begal Utara dan Begal Selatan.

     "Dik Lintang sudah tak mau balik ke Mata Angin?!" hardik Begal Utara seraya berdiri mengepalkan tangan.

     "Maaf Kangmas, saya memilih tetap tinggal di sini saja. Mohon sampaikan permohonan maaf saya kepada Sang Guru," ujar Lintang Abang hati-hati.

     "TIDAK BISA!!!" teriak Begal Selatan yang terkenal temperamental sambil menggebrak meja. "Aku tunggu kau di luar! Serahkan kitabnya dan segera ikut kami balik! Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!"

     Lintang Abang terhenyak. Belum sempat ia berkata-kata, Begal Selatan sudah ngeloyor pergi ke halaman rumah.

     "Begini Dik Lintang. Mungkin Dik Lintang juga sudah tahu, kitab milik Sang Guru harus dikembalikan. Tak mungkin kitab itu hilang begitu saja. Murid perguruan juga dilarang mundur karena sudah terlanjur menyerap ilmu dari Sang Guru. Dewa Penjuru Angin tak ingin ilmunya menyebar ke mana-mana tanpa sepengetahuannya. Jadi tolong untuk mengerti posisi kami di sini," bujuk Begal Utara.

     "Saya tidak bisa memenuhinya, Kangmas. Saya tidak bisa...Maafkan saya," jawab Lintang Abang seraya melirik Perisai dan Dayang Rimbi yang bersembunyi di balik daun pintu.

     "Kalau begitu, terpaksa...Tak ada cara lain... Bersiaplah, kami menunggumu di luar..." tegas Begal Utara.

     Matahari telah lama terbenam. Gelap menyelimuti pekarangan rumah Lintang Abang. Hanya ada titik-titik cahaya di kejauhan yang berasal dari tiang-tiang obor yang dipasang di depan rumah-rumah warga dusun.

     Begal Selatan berdiri tegak menantang. Begal Utara mengawasi gerak-gerik Lintang Abang.

     "Kalau tetap membangkang, Sang Guru sudah berpesan untuk membawamu kembali, hidup atau mati. Jadi bersiaplah Lintang!!!" teriak Begal Utara yang sedang merapal ajian Tapak Liman. Begal Selatan kontan mengikuti gerakan Begal Utara.

     Lintang Abang pasrah. Ia tak mungkin beradu ilmu dengan dua kakak seperguruannya. Mati konyol namanya. Ia berpikir keras untuk menghindar atau bila mungkin kabur. Ia berupaya keras mencari celah.

     "Tapi, bagaimana nasib Perisai dan Dayang Rimbi nanti?" gumam Lintang Abang. Buru-buru ia berteriak,"Rimbiii lekas bawa Perisai menjauh dari sini!"

     Begal Utara melirik Begal Selatan. Seakan mengerti isyarat itu, Begal Selatan bergegas mengejar Rimbi dan Perisai yang sudah berlari meninggalkan rumah. Lintang Abang berusaha mencegahnya, namun sekali meloncat, Begal Utara sudah berada lima kaki tepat di hadapannya.

     Kedua tangan Begal Utara terentang di udara. Secepat kilat, ia meloncat ke depan, sesaat kedua tangannya menapak tanah, tak lama kemudian, dua tapak tangan itu langsung tertuju pada dada Lintang Abang.

     "Tapak Liman..." desis Lintang Abang. Ia mengayunkan kakinya mundur beberapa langkah. Ia berpikir cepat. Kakinya lantas menyepak gundukan pasir tepat ke wajah Begal Utara yang tak sempat menghindar.

     Begal Utara mengaduh saat matanya terkena butiran pasir. Kesempatan itu tak disia-siakan Lintang Abang. Ia langsung melompati pagar bambu dan bergegas menjauh.

     Tapi, pelarian Lintang Abang tak berlangsung lama. Di tepi Sungai Brantas ia terjengkang. Tapak Liman Begal Utara berhasil memukul punggungnya.

     Lintang Abang masih berusaha berdiri dan berlari, tapi dorongan Tapak Liman yang kedua kalinya membuat tubuhnya bergetar hingga terlempar ke tengah arus sungai yang deras. Dinginnya air langsung menyergapnya. Kesadarannya berangsur-angsur pudar. Lalu semua menjadi gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status