Hujan tiba-tiba mengguyur deras di tapal batas Dusun Kaliantu. Petir menyambar di mana-mana. Angin kencang melayangkan dedaunan dan ranting-ranting rapuh. Pohon-pohon angsana yang kukuh, tercerabut sampai akarnya, seperti malaikat maut yang dengan mudahnya mencabut nyawa manusia. Tanpa ada tunda, tanpa ada tambahan masa. Semua tepat sesuai titah Sang Penguasa.
Di antara rintik-rintik hujan, Ki Carik Tresna tetap menjalankan kudanya. Matanya yang setajam elang melihat sekeliling.
"Ayah dan ibu di mana, Paman Tresna? Mengapa kita harus pergi meninggalkan rumah?" Parasu sudah duduk di atas pelana kuda. Di belakangnya Ki Carik Tresna masih mengendalikan tali kekang kuda. Kuda Jagabaya Rodra mengikutinya dari belakang. Mata Rodra juga berputar ke sekeliling selama perjalanan.
Parasu masih terbengong. Lintang Abang yang melihat cucunya bengong, heran. Tak biasanya cucunya diam membisu dengan tatapan mata kosong.''Ada apa Rasu?''''Terima kasih Kek.''''Lho kok tiba-tiba mengucapkan terima kasih?''''Iya Kek, Rasu ingat kejadian beberapa bulan lalu, coba kalau tak ada kakek, Rasu pasti sudah mati di tangan Paman Rodra. Maafkan Rasu selama ini telah merepotkan kakek.'' ''Ah Rasu, seharusnya kakeklah yang harus minta maaf, kalau saja kakek tidak datang terlambat, ayah ibumu mungkin masih bisa selamat.'' ''Kok kakek tahu ayah dan ibu ada di Dusun Kaliantu?'' ''Kakek sebenarnya tak sengaja sampai di Kaliantu. Bertahun-tahun kakek terjebak di dasar jurang sedalam tiga puluhan kaki. Kakek hanyut di tempat itu setelah pingsan terkena pukulan kakak seperguruan Kakek, Begal Utara. Setiap hari Kakek hanya makan seadanya, apa saja yang ada di sekeliling Kakek, ulat, kodok, cacing, ular.
Di atas permukaan bumi, ada lembah, ngarai, bukit, gunung, hutan, sawah, ladang, sungai, danau, pantai, dan laut yang membentang terhampar dengan segala keindahannya yang berbeda-beda. Yang Maha Kuasa memang memanjakan mata manusia dengan segala warna-warni yang berbeda. Namun dilihat dari sudut-sudut bumi manapun, di atas ada langit yang tetap sama.Kinarsih masih memandang langit. Langit masih tampak memerah. Matahari yang merah seakan enggan tenggelam ke ufuk barat, meski senja telah hadir merekah.Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ratusan anak panah yang telah dilepaskan sisa-sisa laskar Singasari dan Mata Angin. Menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara Kediri.Burung-burung hitam yang hanya memiliki naluri mencabik dan melahap daging ratusan tubuh tak bernyawa itu seakan tak pernah puas. Sambil mengepakkan sayap-sayapnya mereka meloncat kesana-kemari di antara onggokan bangkai prajurit-prajurit y
''SAYAP GENI!!!'' kedua tangan Jayakenanga merapal ke depan.Kobaran api yang sangat besar keluar dari kedua tapak tangannya membakar perahu layar Dewa Penjuru Angin. Para prajurit sisa laskar Singasari pun sibuk memadam api. Saat itulah Jayakenanga meloncat menerjang perahu layar yang terbakar. Sementara, Tatya yang menggendong Kinarsih menggerakkan sampan menjauhi sungai menuju darat. Begal Timur bergegas menyosong kedatangan Jayakenanga. ''Biar aku saja guru yang akan menghabisi cecunguk itu,'' cetusnya kepada Dewa Penjuru Angin. Begal Timur bergerak menyongsong kehadiran Jayakenanga. Kedua pendekar itu kini sudah saling berhadapan sejauh empat batang tombak.''Hai Jayakenanga, dulu ada pendekar di sebuah dusun yang memiliki ilmu kanugaran sepertimu. Mirip sekali. Tapi bagiku tak ada apa-apanya, dengan sekali gebrak ia langsung mati ha...ha...ha...!'' sesumbar Begal Timur.Sesaat Jayakenanga terhenyak. Tak mu
Akhir 1215 saka. Udara sejuk di pagi hari berubah panas menyesakkan.Suara gong sayup-sayup terdengar dan genderang perang ramai ditabuhkan. Lalu derak perahu-perahu layar raksasa merapat. Derap ribuan kaki kuda menggema.Teriakan perang menyusul, menuntut darah. Pedang dan tombak bergemerincing, diikuti rintihan dan erangan yang terkena.Parasu terus bergerak dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Ketika turun dari atas pohon, tak lelah ia bertanya ke sana ke mari untuk mengetahui di mana keberadaan kelompok Perguruan Mata Angin yang tergabung dalam pasukan Mongol untuk menyerang Kediri.Ia hanya ingin memastikan tak salah tempat untuk mendapatkan musuh yang dia cari, Jagabaya Rodra. Si pengkhianat dari Perguruan Mata Angin yang telah membuatnya kehilangan ayah dan ibunda.Pada tahun 1215 Saka ini, pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanagara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan pada 1212 Saka. Pasukan
Ketika kedua kubu bersiap saling menghantam, dari dalam gubuk, Kinarsih berteriak histeris.“Bundaaa…jangan tinggalkan aku sendirian, bundaaa…!”Tak seberapa lama, Kinarsih bergegas keluar dari gubuk. Matanya masih berkaca-kaca.Ada sedikit isak tangis di sana, tapi sorot matanya berubah merah. Kemudian kedua tapak tangannya menyala api.Sejurus kemudian, Kinarsih menerjang Rodra dan lima penunggang kuda. Rodra berusaha menghindar.“Kalian semua harus mati!!!” seru Kinarsih.Lima prajurit berkuda mencoba mengadang Kinarsih.“Sayap Geni!!!” teriak Kinarsih merapal ajian keluarganya.Seketika api berkobar membakar para prajurit itu sekaligus kuda-kudanya. Napas Kinarsih tersengal-sengal. Tangannya masih menyisakan kepulan asap. Namun ia sudah terlihat sempoyongan. Agaknya jurus Sayap Geni-nya belum sesempurna ayah dan kakeknya.Rodra b
BLETHAK!!! DHUAARR!!! Benturan dahsyat tak terhindarkan. Dewa Penjuru Angin terkesiap. Serangan ajian Tapak Limannya mampu dibendung dengan ajian yang sama pula. Di depannya berdiri sosok yang terlihat terhuyung-huyung menahan luka di dada. Sosok itu bukan Parasu, bukan Kutira, bukan pula Kinarsih. Ia mengenakan baju layaknya brahmana. Topi caping lebar menempel di kepalanya. Tangan kanan sosok itu terlihat buntung. Ketika sosok itu membuka topi capingnya, Dewa Penjuru Angin kaget bukan kepalang, ”Begal Barat?! Kau?”“Iya guru, maafkan aku guru. Sebaiknya kita hentikan saja pertempuran ini guru, agar tak banyak lagi korban berjatuhan,” ujar Begal Barat sembari menjura.Dewa Penjuru Angin gusar. Ia kesal bukan kepalang, Begal Barat kini sudah tak lagi berpihak pada dirinya. Begal Barat memilih menentangnya. “Lama menghilang, bukannya kembali ke perguruan, kini kau malah sok menggurui gurumu, mau melawanku? Apa kau pikir pantas? H
Dewa Penjuru Angin tersenyum sinis. Wajah pongahnya terlihat jelas.“Ooo akhirnya kau menampakkan batang hidungmu, Lintang Abang! Murid pengkhianat, pencuri kitab! Murid paling tolol!” teriaknya menghardik.Lintang Abang selangkah demi selangkah mendekati posisi berdiri Dewa Penjuru Angin. Kini tak ada alasan untuk tidak menghadapi gurunya sendiri.Bukan hanya soal pesan Begal Barat, Lintang Abar tak akan mundur atau kabur karena ia sadar di tempat ini hanya dirinya satu-satunya yang sanggup menghadapi Dewa Penjuru Angin. Jika tak dihadapi, ia khawatir dengan keselamatan Parasu dan orang-orang di samping cucunya. Ia tak ingin semua binasa karena kebiadaban gurunya.Dewa Penjuru Angin merapal ajian Tapak Liman-nya. “Maju sini murid pengkhianat! Pecundang pencuri kitab! Pengecut yang suka kabur! Kau tak pantas hidup. Jika kau masih hidup, hidupmu hanya mempermalukan Mata Angin!!!”“Tapak Li
Ketika dua kekuatan dahsyat itu tengah beradu, Parasu bergegas melambungkan badannya dengan Gingkang Kijang. Dua tangannya menggenggam erat pedang cahaya.Tiga kali lompatan, Parasu sudah berada lima kaki di atas kepala Dewa Penjuru Angin yang kini terhuyung-huyung setelah dua kali beradu ajian dengan Lintang Abang.Dewa Penjuru Angin sempat menengadahkan wajahnya untuk melihat sosok yang menerjangnya dari atas. Namun matanya langsung terpicing karena silaunya pedang cahaya yang memantulkan sinar matahari. Sekelebat ia sadar sosok di atasnya adalah bocah kecil yang tadi membuat Rodra memilih kabur. Dewa Penjuru Angin mendelik. Ia sudah tak punya kesempatan menghindar. Kepongahannya runtuh berubah ketakutan. Kesombongannya sebagai pendekar pilih tanding musnah. Mahaguru Mata Angin yang tersohor itu begidik ngeri. Tak menyangka nyawanya bakal sirna di depan mata, bukan di tangan pendekar pilih tanding, tapi di tangan bocah yan