Rodra duduk di atas pelana kuda dengan pongahnya. Tancaka dan dua puluh prajurit mengikuti di belakangnya. Rombongan itu telah berada di tepi rimba Semungklung.
“Kalian harus bersyukur, berkat aku, kalian semua tak mati sia-sia di tangan pendekar bertopeng itu. Aku melakukan ini agar semua selamat. Hahaha betapa lihainya aku, kita bisa bebas keluar dari hutan ini,” cetus Rodra yang menunggang kuda di posisi paling depan.Tancaka dan para prajurit lainnya hanya membisu mendengar bualan Rodra. Sebagai ksatria dan laskar Majapahit, mereka tampak kecewa lantaran tak mampu menjalankan perintah Sang Raja dan justru memilih kabur.“Kalian tak usah waswas, tak perlu khawatir, nanti di dusun manapun, kita berhenti untuk menculik anak-anak kecil, kita bunuh mereka, kita rusak wajah-wajahnya hingga tak dikenali lagi. Lalu kita persembahkan kepada Sang Raja.Kita pasti dianggap telah menuntaskan misi untuk membunuh cucu
Parasu membuka topeng panji putih yang selama ini selalu dikenakannya. Topeng pemberian Kutira saat prahara di Kediri beberapa tahun silam.Wajahnya lega setelah para prajurit Majapahit meninggalkan air terjun Kepyur. Bukan berarti ia tak berani menghadapi puluhan prajurit. Ia lebih senang tak ada pertumpahan darah di tempat itu. Pertumpahan darah yang sangat tak diinginkannya di depan lima anak kecil itu.Parasu tak ingin kekerasan dan dendam selalu menyelimuti dan mengendap di hati dan pikiran anak-anak itu. Seperti yang pernah ia alami di masa lalu.Parasu menghela napas. Ia lega tak lagi memendam dendam dan amarah seperti dulu. Padahal ia sedari tadi tahu sosok lawannya adalah musuh lamanya, Rodra. Salah seorang penyebab kehancuran keluarganya di masa lalu.Parasu berusaha keras untuk tak melampiaskan dendam. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan anak-anak itu tanpa pertumpahan darah. Kini ia bisa memahami pesan mendiang kakeknya, Lintang Abang, unt
Malam itu di tengah siraman cahaya rembulan di antara deburan ombak pantai selatan Jawa, dua insan sedang memilin asa. Parasu terdiam. Tubuhnya kaku menegang dalam desiran angin malam yang menyapa. Matanya memerah dialiri sungai kecil. Seolah tak peduli lingkungan sekitar, Parasu mendadak memeluk Kinarsih. Erat. Seakan tiada hari esok. Sejenak keduanya menetralkan gejolak dalam dada. Parasu melepaskan pelukannya. Genggaman erat tangannya, teduh matanya, bahkan air mata yang belum mengering menjelaskan betapa tersiksanya dia menahan rasa. Rasa yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Kinarsih yang menjelma wanita cantik, anggun, merekah semerbak bunga, telah menjadi milik orang lain. Seseorang yang selama tujuh tahun selalu setia menjaganya, Kutira. Kinarsih telah menjalin ikatan pernikahan dengan Kutira sejak tahun lalu. Parasu hadir terlambat. Andai ia datang setahun lebih cepat. “Maafkan aku, Rasu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” ucap li
1222 Saka *). Ranggalawe terkulai lemas di tepi sungai itu. Kebo Anabrang roboh bersimbah darah. Lembu Sora menatap nanar dengan keris terhunus, yang masih meneteskan darah kental merah berkilap.Lembu Sora tak mengerti, siapa yang pantas disalahkannya. Dua sahabat yang terkapar itu, dirinya, atau bahkan sang raja pemberi titah. Sementara, kehidupan telah menggariskannya. Pantaskah ia menyalahkan Sang Pemberi Hidup yang pada akhirnya memberikan kematian?Keris yang masih saja tergenggam di tangan, diangkat tinggi-tinggi dan diarahkan tepat ke jantungnya. Namun, pelan-pelan keris itu diturunkan kembali. Di antara kilatan ujung keris itu, Lembu Sora menyadari, suatu saat nanti, kematian pasti juga akan menjemputnya, dengan jalan yang ia sendiri tak akan pernah mengerti.Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Majapahit, menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara
Awal 1215 Saka. Dusun Walangsewu porak poranda. Api masih berkobar di atap-atap rumbia rumah warga. Mayat-mayat seratusan warga dusun tergeletak di mana-mana. Tua, muda, laki-laki, perempuan, kakek-kakek, nenek-nenek, anak-anak, bahkan bayi-bayi, semua tak tersisa. Bau anyir darah menyebar ke mana-mana.Dari balik pohon angsana terlihat dua bayangan hitam berkelebat saling susul menyusul menjauhi Dusun Walangsewu. Di antara pepohonan, dua bayangan itu lebih mirip sepasang kupu-kupu hitam yang beterbangan di antara kuntum-kuntum bunga.Di tepi hutan yang dipenuhi pepohonan raksasa, salah satu bayangan tiba-tiba memperlamban gerakannya."Kek berhenti dulu. Mengapa kita harus menghindar? Kita masih sanggup melawan. Mereka sangat sadis! Mereka kejam sekali, Kek. Gerombolan berkuda itu telah menghancurkan ratusan warga desa yang tak berdosa. Kita harus menghentikan mereka!" teriak Parasu dengan napas yang masih terengah-engah.Mendengar teriak
Mata Lintang Abang nanar. Tatapannya kosong. Di hadapannya, sosok mayat lelaki bercambang tebal terlihat memeluk mayat seorang perempuan dan bocah laki-laki. Mayat-mayat itu adalah Jakaprana dan keluarganya."Mengapa semua harus dibunuh guru? Bukankah musuh kita hanya Jakaprana?" tanya Lintang Abang tak mengerti.Dewa Penjuru Angin langsung menghardik Lintang Abang, "Kamu jangan jadi murid tolol, Lintang! Kalau semua dibiarkan hidup, mereka bisa balas dendam! Bapaknya pemberontak, siapa tahu anaknya kelak juga jadi pemberontak!"Dewa Penjuru Angin adalah pendekar pilih tanding. Ia juga dinobatkan sebagai laskar utama Singasari. Usianya belum genap enam puluh tahun, tapi ia sudah memiliki perguruan tersohor, Mata Angin. Muridnya sudah mencapai ratusan. Salah satu murid
Hari belum beranjak siang, di Perguruan Mata Angin di pinggir Sendang Saradan, Lintang Abang terlihat sedang menemui gurunya. Tak biasanya Dewa Penjuru Angin memanggilnya untuk berbicara empat mata di ruang khusus latihan Sang Guru."Lintang Abang, hari ini engkau kuberi anugerah untuk mempelajari kitab sakti Tapak Liman. Jika Tapak Liman dipadukan secara bersamaan di empat penjuru mata angin, maka kekuatannya akan sangat dahsyat. Empat pasang Tapak Liman akan menghasilkan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka," Dewa Penjuru Angin menyerahkan sebuah kitab lusuh kepada Lintang Abang.Sudah tiga hari sejak kematian Jakaprana, kondisi Begal Barat yang terluka parah belum membaik. Begal Barat yang lemah ditinggalkan begitu saja di rumah seorang tabib di dusun sebelah Wingitan, Dusun Demulur. Demi menyempurnakan ajian pamungkas
Setelah meminta izin kepada gurunya, Lintang Abang memilih berlatih di kampung halamannya di Dusun Kaliungu, sekitar dua hari perjalanan kaki dari Perguruan Mata Angin. Tak hanya berlatih, ia juga sudah sangat kangen dengan putra tunggalnya, Perisai. Sudah beberapa purnama ia meninggalkan Perisai yang hanya ditemani pembantunya, Dayang Rimbi.Sejak kecil, Perisai sama sekali tak mendapatkan belaian kasih sayang dari ibundanya. Sang Ibu meninggal saat melahirkannya.Meski sering ditinggal ayahnya yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Mata Angin, Perisai yang sudah menginjak usia lima belas tahun tak pernah sedih atau marah. Ia bahkan merasa bangga memiliki ayah seorang pendekar. Saat bermain perang-perangan dengan teman-temannya, ia selalu membayangkan dirinya sebagai Lintang Abang yang sedang beraksi menumpas para penj
Senja datang begitu cepat, mengusir terang dengan remang. Matahari mulai menyipitkan matanya saat Lintang Abang kedatangan tamu, dua kakak seperguruannya, Begal Utara dan Begal Selatan. "Dik Lintang sudah tak mau balik ke Mata Angin?!" hardik Begal Utara seraya berdiri mengepalkan tangan. "Maaf Kangmas, saya memilih tetap tinggal di sini saja. Mohon sampaikan permohonan maaf saya kepada Sang Guru," ujar Lintang Abang hati-hati. "TIDAK BISA!!!" teriak Begal Selatan yang terkenal temperamental sambil menggebrak meja. "Aku tunggu kau di luar! Serahkan kitabnya dan segera ikut kami balik! Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!"
Malam itu di tengah siraman cahaya rembulan di antara deburan ombak pantai selatan Jawa, dua insan sedang memilin asa. Parasu terdiam. Tubuhnya kaku menegang dalam desiran angin malam yang menyapa. Matanya memerah dialiri sungai kecil. Seolah tak peduli lingkungan sekitar, Parasu mendadak memeluk Kinarsih. Erat. Seakan tiada hari esok. Sejenak keduanya menetralkan gejolak dalam dada. Parasu melepaskan pelukannya. Genggaman erat tangannya, teduh matanya, bahkan air mata yang belum mengering menjelaskan betapa tersiksanya dia menahan rasa. Rasa yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Kinarsih yang menjelma wanita cantik, anggun, merekah semerbak bunga, telah menjadi milik orang lain. Seseorang yang selama tujuh tahun selalu setia menjaganya, Kutira. Kinarsih telah menjalin ikatan pernikahan dengan Kutira sejak tahun lalu. Parasu hadir terlambat. Andai ia datang setahun lebih cepat. “Maafkan aku, Rasu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” ucap li
Parasu membuka topeng panji putih yang selama ini selalu dikenakannya. Topeng pemberian Kutira saat prahara di Kediri beberapa tahun silam.Wajahnya lega setelah para prajurit Majapahit meninggalkan air terjun Kepyur. Bukan berarti ia tak berani menghadapi puluhan prajurit. Ia lebih senang tak ada pertumpahan darah di tempat itu. Pertumpahan darah yang sangat tak diinginkannya di depan lima anak kecil itu.Parasu tak ingin kekerasan dan dendam selalu menyelimuti dan mengendap di hati dan pikiran anak-anak itu. Seperti yang pernah ia alami di masa lalu.Parasu menghela napas. Ia lega tak lagi memendam dendam dan amarah seperti dulu. Padahal ia sedari tadi tahu sosok lawannya adalah musuh lamanya, Rodra. Salah seorang penyebab kehancuran keluarganya di masa lalu.Parasu berusaha keras untuk tak melampiaskan dendam. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan anak-anak itu tanpa pertumpahan darah. Kini ia bisa memahami pesan mendiang kakeknya, Lintang Abang, unt
Rodra duduk di atas pelana kuda dengan pongahnya. Tancaka dan dua puluh prajurit mengikuti di belakangnya. Rombongan itu telah berada di tepi rimba Semungklung.“Kalian harus bersyukur, berkat aku, kalian semua tak mati sia-sia di tangan pendekar bertopeng itu. Aku melakukan ini agar semua selamat. Hahaha betapa lihainya aku, kita bisa bebas keluar dari hutan ini,” cetus Rodra yang menunggang kuda di posisi paling depan.Tancaka dan para prajurit lainnya hanya membisu mendengar bualan Rodra. Sebagai ksatria dan laskar Majapahit, mereka tampak kecewa lantaran tak mampu menjalankan perintah Sang Raja dan justru memilih kabur. “Kalian tak usah waswas, tak perlu khawatir, nanti di dusun manapun, kita berhenti untuk menculik anak-anak kecil, kita bunuh mereka, kita rusak wajah-wajahnya hingga tak dikenali lagi. Lalu kita persembahkan kepada Sang Raja.Kita pasti dianggap telah menuntaskan misi untuk membunuh cucu
Sepengetahuan Rodra, setelah Dewa Penjuru Angin tewas, hanya dia dan Tancaka, dua bekas murid Perguruan Mata Angin tersisa, yang masih menyimpan ajian ini. Sosok yang mampu meredam Tapak Liman pasti sudah lama mengenal dan mempelajari ajian yang melegenda di tanah Jawa.Rodra berpikir keras siapa sosok bertopeng yang kini berdiri gagah di hadapannya. Sosok itu seolah tak terdampak pukulan Tapak Liman milik Rodra dan Tancaka.Tak mungkin sosok itu Dewa Penjuru Angin, Begal Timur, Begal Barat, Begal Selatan, Begal Utara, Arya Kemusuk, atau Lintang Abang. Seingat Rodra, para pendekar penguasa ajian Tapak Liman itu sudah tewas beberapa tahun lalu.Sekilas Rodra terbesit sosok cucu Lintang Abang yang pernah melukai tangannya dalam pertempuran tujuh tahun lalu. Tapi cucu Lintang Abang sudah lama menghilang sejak pertempuran di selatan Kediri. Tak jelas rimbanya. Rasa penasaran kian menyelimutinya.Lantas siapa sosok di hadapannya itu? Peluh
1223 Saka. Rodra, Tancaka, dan dua puluh prajurit Majapahit menggerakkan kuda-kudanya memasuki rimba Semungklung.Ada rasa gentar dalam diri Rodra saat rombongannya sudah berada di tengah hutan. Ia waswas dengan sosok misterius yang akan dihadapinya nanti. Tapi tugas dari Raja Jayanegara sudah sangat jelas, ia diharuskan melenyapkan seluruh keturunan para pemberontak.Sempat tebersit untuk kabur dari hutan itu. Tapi kali ini Rodra malu pada Tancaka dan anak buahnya. Ia tak ingin reputasinya yang sempat tercoreng karena pernah kabur dari pertempuran terus membayangi.Semakin memasuki kedalaman hutan, gemuruh suara air terjun terdengar jelas. Suara cekikikan anak-anak kecil juga kian terdengar nyaring. Dada Rodra berdegub kencang. Ia kini harus kembali mengemban tugas untuk menghabisi nyawa anak kecil. Seakan sejarah terulang.Beberapa tahun silam, ia juga mendapat tugas untuk menghabisi seorang anak, meski upaya itu gagal.
BLUKKK!!! Parasu kaget sekali.Bukan pukulan amat keras yang diterimanya. Tapi pelukan. Iya, pelukan hangat dan erat sekali.“Kau pasti anak Perisai...” ujar Tan Kim Lian lirih tepat di telinga Parasu. Parasu terperangah. Ia berusaha mengenali sosok yang memeluknya dengan erat itu. Tan Kim Lian lalu membuka pelindung kepalanya.Sosoknya kini terlihat jelas. Wajah berkulit kuning dengan kumis dan cambang putih yang memanjang. Wajah yang sudah mulai dipenuhi keriput. Wajah yang tenang dan teduh seperti kakek Parasu, Lintang Abang. Parasu mencoba mengingat-ingat. Samar-samar ingatan masa kecilnya timbul. Sepertinya wajah lelaki tua di hadapannya pernah menghiasi hari-hari masa kecilnya dulu. “Kaki Gunung Wilis,” Tan Kim Lian seolah menjawab kebimbangan dan kebingungan Parasu terhadap sosoknya.Mendengar kata Gunung Wilis, lamat-lamat ingatan Parasu menguat. Sekonyong-konyong gil
Tan Kim Lian kaget, berjarak sekitar lima belas tombak di hadapannya, sosok bertopeng memberanikan diri menantangnya duel satu lawan satu.Ia lebih kaget lagi saat sosok bertopeng yang entah masih bocah atau memang manusia cebol menghunus pedang yang jelas tak asing bagi dirinya. Itu pedang miliknya. Beberapa tahun silam pedang itu ia berikan kepada murid kesayangannya, Perisai. Sejak Perisai turun gunung ke Dusun Kaliantu, Tan Kim Lian sudah tak pernah lagi tahu keberadaan Perisai dan Nuri Gagap. Hanya kabar samar-samar berembus, Perisai tewas di tangan gerombolan dari Mata Angin.Sebagai guru, Tan Kim Lian jelas amat bersedih dan terpukul kehilangan murid terbaiknya. Tapi ia tak sempat memperdalam kabar itu karena kesibukannya membantu persiapan pasukan Mongol untuk menggempur Jayakatwang. Ketika Parasu kian mendekat. Sekitar lima tombak lagi. Tan Kim Lian memperkirakan sosok di hadapannya adalah seorang bocah. Ia menerka-nerk
Di sisi selatan Kediri, di kaki Gunung Bolo, Parasu, Kinarsih, dan Kutira duduk bersimpuh di depan tiga gundukan tanah yang masih basah. Kaki gunung itu menjadi peristirahatan terakhir Lintang Abang, Begal Barat, dan Tatya.Rintik rintik air hujan tiba tiba hadir pagi itu membasahi tanah kuburan. Di antara gerimis, Kinarsih menangis, menyertai kepergian ibundanya untuk selama-lamanya.Parasu memandang lemah Kinarsih. Ia ingin sekali menghiburnya. Atau mungkin memeluknya. Tapi apa daya, dadanya terasa sesak menahan agar air matanya tak tumpah di pemakaman.Parasu bisa merasakan kesedihan dan kegetiran Kinarsih yang kini harus hidup sebatang kara. Seperti dirinya.Parasu tak bisa membayangkan bagaimana ia akan menjalani hidupnya hari demi hari ke depan. Ia pun tak bisa berpikir terlalu jauh membayangkan nasib Kinarsih.Pertempuran dahsyat, peperangan hebat di tanah Jawa dari tahun ke tahun telah mengorbankan banyak nyawa tak
Ketika dua kekuatan dahsyat itu tengah beradu, Parasu bergegas melambungkan badannya dengan Gingkang Kijang. Dua tangannya menggenggam erat pedang cahaya.Tiga kali lompatan, Parasu sudah berada lima kaki di atas kepala Dewa Penjuru Angin yang kini terhuyung-huyung setelah dua kali beradu ajian dengan Lintang Abang.Dewa Penjuru Angin sempat menengadahkan wajahnya untuk melihat sosok yang menerjangnya dari atas. Namun matanya langsung terpicing karena silaunya pedang cahaya yang memantulkan sinar matahari. Sekelebat ia sadar sosok di atasnya adalah bocah kecil yang tadi membuat Rodra memilih kabur. Dewa Penjuru Angin mendelik. Ia sudah tak punya kesempatan menghindar. Kepongahannya runtuh berubah ketakutan. Kesombongannya sebagai pendekar pilih tanding musnah. Mahaguru Mata Angin yang tersohor itu begidik ngeri. Tak menyangka nyawanya bakal sirna di depan mata, bukan di tangan pendekar pilih tanding, tapi di tangan bocah yan