Awal 1215 Saka. Dusun Walangsewu porak poranda. Api masih berkobar di atap-atap rumbia rumah warga. Mayat-mayat seratusan warga dusun tergeletak di mana-mana. Tua, muda, laki-laki, perempuan, kakek-kakek, nenek-nenek, anak-anak, bahkan bayi-bayi, semua tak tersisa. Bau anyir darah menyebar ke mana-mana.
Dari balik pohon angsana terlihat dua bayangan hitam berkelebat saling susul menyusul menjauhi Dusun Walangsewu. Di antara pepohonan, dua bayangan itu lebih mirip sepasang kupu-kupu hitam yang beterbangan di antara kuntum-kuntum bunga.
Di tepi hutan yang dipenuhi pepohonan raksasa, salah satu bayangan tiba-tiba memperlamban gerakannya.
"Kek berhenti dulu. Mengapa kita harus menghindar? Kita masih sanggup melawan. Mereka sangat sadis! Mereka kejam sekali, Kek. Gerombolan berkuda itu telah menghancurkan ratusan warga desa yang tak berdosa. Kita harus menghentikan mereka!" teriak Parasu dengan napas yang masih terengah-engah.
Mendengar teriakan cucunya. Lintang Abang menghentikan langkah. Mata Lintang Abang kian memerah. Bibirnya bergetar menahan amarah. Namun untuk saat ini ia hanya bisa pasrah.
"Rasu, seperti hari ini, nanti di suatu masa, ketika tanah tak bisa lagi menumbuhkan tanaman, ketika air tak bisa lagi menghidupkan ikan, dan ketika udara begitu sulit dihirup manusia, akan jamak terjadi seseorang yang bisa membunuh ratusan bahkan ribuan manusia, cukup dengan menekan jari telunjuknya," desah Lintang Abang.
"Apakah seseorang itu seperti Sang Raja yang menitahkan algojo untuk membunuh penjahat penghuni penjara, Kek?" tanya Parasu.
"Bukan. Bukan seperti itu. Ia tak harus seorang raja. Ia bisa saja prajurit biasa. Manusia biasa. Ia bisa membunuh tanpa harus mengeluarkan jurus-jurus ilmu kanuragan."
"Betapa hebatnya kesaktian orang-orang di masa itu ya Kek."
Lintang Abang menghela napas. Ia tak ingin cucunya berpikir terlalu jauh ke masa yang entah kapan datangnya. Bayangan masa-masa seperti itu terkadang melintas begitu saja di benaknya.
Lintang Abang sadar, masih banyak persoalan dan tantangan yang menghadang cucunya beberapa hari ke depan. Atau bahkan mungkin beberapa jam ke depan.Lintang Abang harus lekas menyembunyikan cucunya di tempat yang paling aman. Ia yakin, Begal Timur dan puluhan anak buahnya masih mengejar.
Tak ada cara lain baginya kecuali menghindar dan berlari sejauh mungkin. Sembunyi di sebuah dusun, seperti di Walangsewu ternyata justru telah menimbul petaka bagi warga dusun. Para begal yang murka membantai seluruh warga. Saat ini persembunyian teraman mungkin adalah tempat yang tak dihuni dan dijamah manusia.
Hutan hujan tropis lebat yang dihuni ribuan pohon-pohon raksasa mungkin bisa menjadi lokasi persembunyian terbaik bagi Lintang Abang dan cucunya. Kadang pepohonan raksasa itu seakan menutup langit sehingga jalanan lebih mirip sebuah lorong gelap. Sesekali jalanan menanjak, sesekali menukik. Beberapa kali mereka melintasi sungai-sungai kecil yang penuh dengan bebatuan. Lintang Abang berharap kondisi hutan seperti ini akan menyulitkan gerombolan berkuda Begal Timur mencari mereka.
Napas Parasu tersengal-sengal. Perjalanan di hutan belantara ini, tentu sangat merepotkan dan melelahkan bagi bocah usia sepuluh tahun seperti dirinya. Sesekali ia menyeka keringat di keningnya yang terus mengalir seperti aliran air dari bendungan yang jebol. Mendadak ia menghentikan langkahnya. Wajahnya terlihat cemberut.
"Kek, aku lelah…Coba kalau Kakek dulu mempelajari kitab sakti Tapak Liman, kita nggak perlu terus menghindar. Mengapa sih Kakek nggak mau mempelajarinya? Mengapa Kakek justru memilih membuang kitab itu ke Sungai Brantas?" Parasu merajuk.
"Lho Rasu, tahu soal kitab itu dari siapa?" Lintang Abang kaget bukan kepalang.
"Da...dari Ayah... Ayah sering cerita menjelang aku tidur kalau Kakek sebetulnya bisa menjadi pendekar yang hebat. Tapi kata Ayah, Kakek tak mau meneruskan ke level tinggi dengan menguasai ajian pamungkas Tapak Liman. Kitab Tapak Liman dari guru Kakek, malah Kakek lempar ke sungai."
Lintang Abang terhenyak. Ia tak menyangka jika putra semata wayangnya, Perisai, memendam kekecewaan yang begitu dalam. Sampai-sampai menceritakan peristiwa puluhan tahun yang lalu itu kepada cucunya.
"Kakek tak ingin menjadi manusia yang arogan dan angkuh, Rasu. Jika Kakek berhasil menguasai Tapak Liman, Kakek memang bisa menjadi pendekar pilih-tanding karena memiliki ilmu langka itu. Tapi, Kakek khawatir tak mampu menahan gejolak rasa sombong dan nafsu angkara murka setelah menguasai ilmu itu. Kakek takut dengan ilmu itu justru membutakan mata hati Kakek," Lintang Abang berusaha memberikan jawaban.
Namun, Parasu tak puas dengan jawaban Lintang Abang. "Kakek aneh! Padahal orang-orang berebut menjadi pendekar pilih-tanding, dengan ilmu itu Kakek juga bisa menolong orang yang lemah. Dengan Tapak Liman, mungkin Ayah dan Ibu tak akan gugur di Dusun Kaliantu!"
Lintang Abang takjub, ia tak menyangka cucunya sudah memiliki pemikiran yang kritis untuk anak seusianya. Lekas ia menjawab, "Itu semua sudah digariskan Yang Kuasa, Rasu." "Tidak, Kek. Seandainya Kakek memiliki Tapak Liman..." tukas Parasu.
"Tidak Rasu, seandainya Kakek memiliki ilmu itu, mungkin Kakek tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Mungkin Kakek tak akan ada bedanya dengan para begal itu," Lintang Abang berusaha memberikan jawaban yang masuk akal pada cucunya.
"Tapi setidaknya Kakek bisa lebih bahagia dengan Tapak Liman, ajian pamungkas yang sudah sangat tersohor di kalangan pendekar papan atas. Kakek akan menjadi pendekar tak terkalahkan!" sergah Parasu.
Seakan tak mau kalah berdebat, Lintang Abang melontarkan alasannya. "Bukan dengan kesaktian luar biasa, raga sempurna, atau wajah mempesona, manusia merasakan bahagia, Rasu. Tapi dengan apa yang sudah kita punya, asal kita mampu mensyukurinya, memanfaatkannya, semua bisa menjelma menjadi kebahagiaan yang nyata."Parasu terdiam. Ia berusaha mencerna kata-kata kakeknya. Tapi kali ini tak bisa. Ia masih saja mengeluh. Mulutnya komat-kamit, tapi suaranya tak jelas. Wajahnya masih nampak cemberut. Pipinya yang merona merah terlihat semakin bulat seperti kue bakpoa. Lintang Abang tersenyum geli dibuatnya.
Matahari kian condong ke sisi barat. Senja merayap mengusir sore dengan perlahan. Sisa-sisa sinar matahari yang menembus celah-celah dedaunan melahirkan garis-garis cahaya oranye yang lembut.
"Kek, aku lapar..." rengek Parasu seraya memegangi perutnya yang keroncongan.
Lintang Abang tersenyum tipis. "Sebentar ya Rasu, sabar dulu. Kakek hendak memanjat pohon mangga itu," bujuknya.
Tak butuh waktu sampai sepuluh detik bagi Lintang Abang untuk memetik buah mangga dari pohon setinggi sepuluh kaki. Ilmu meringankan tubuh Gingkang Kijang jelas sangat membantunya untuk menjangkau sekaligus lima buah mangga yang ranum.
"Hmmm…sedap!" teriak Parasu saat mencicipi daging buah berwarna oranye kekuningan itu.
Air liur Lintang Abang menetes saat melihat cucunya melahap mangga yang telah dikupasnya dengan belati kecil yang selalu diselipkan di balik jubah kumalnya. Tapi, tiba-tiba...BRIEEET! Perut Lintang Abang mules, padahal ia sama sekali belum mencicipi mangga itu.
"Kenapa Kek, kok kentut, sakit perut ya?" tanya Parasu.
"Ah enggak, biasaaa...panggilan alam. Rasu, tolong jaga makanannya ya, Kakek mau buang air besar dulu," Lintang Abang yang kebelet, buru-buru meloncat lima belas langkah ke balik semak-semak. Parasu tertawa geli.
Tujuh menit berlalu. Lintang Abang muncul dari balik semak dengan mimik muka cerah.
"Aaah, enteng rasanya badan ini."
Namun sejurus kemudian, Lintang Abang kaget, tak satu pun buah mangga yang tersisa. Hanya ada potongan kulit mangga yang berserakan di tanah lembab.
"Lho? Mana sisa buah mangganya, Rasu, kok nggak kamu jaga, tadi kan Kakek sudah pesan?"
"Hmn...Rasu jaga kok Kek, tapi… jaganya di perut Rasu...he...he...he..."
***
Malam merayap pelan menyelimuti langit dengan jubahnya yang hitam. Rembulan yang malu sembunyi di balik awan. Suara-suara binatang malam bersahutan memecah keheningan.
"Kek, Rasu takut..." bisik Rasu pada Lintang Abang. Kedua tangan Rasu mendekap erat pinggang kakeknya.
"Nggak usah takut, Rasu, kan ada Kakek di samping Rasu," bujuk Lintang Abang.
Lintang Abang dan Parasu duduk di bawah pohon kalpataru raksasa setinggi duapuluh kaki. Mendadak terdengar suara berisik dari balik semak.
NGUUUIKK!
Seekor babi hutan sudah ada sekitar sepuluh kaki di depannya. Babi itu terlihat resah. Ia memutar-mutarkan badan.
Beberapa detik kemudian, bayangan hitam muncul di antara mereka. Langkahnya pelan tapi jejakan kakinya mantap. Matanya merah menyala.
AUUUMMMGRRH!
Semakin bayangan hitam itu mendekat, cahaya bulan yang sesekali muncul makin memperlihatlah sosoknya yang kekar dan besar. Mulutnya menyeringai. Taring besar dan tajam mengintip di balik celah mulutnya yang terbuka. Warna bulunya coklat kemerahan dengan belang-belang hitam kontras. Seekor harimau jawa!
"Keeekkk! Ada harimau Kek, ayo larriii!!!" teriak Parasu cemas.
"Tenang Rasu, tenang. Jangan berisik. Dia sedang mengincar mangsanya," bujuk Lintang Abang.
"Bagaimana bisa tenang Kek, itu harimau, bukan kucing!"
"Iya..Iya...Kakek tahu. Harimau itu sedang mengincar babi hutan, bukan kita. Lebih baik kita mundur pelan-pelan merapat ke pohon,"
"Aahhh Kakek. Lebih baik kita pungut batu-batu besar itu, lalu dengan jurus Gingkang Kijang kita lempari dia. Kalau kena kepalanya pasti mati!"
"Jangan Rasu, dia hanya mencari makan. Ingat, nanti di suatu masa, masa yang mungkin tak akan lama lagi. Kita tak akan bisa melihat harimau itu lagi di tanah Jawa."
"Mengapa bisa begitu, Kek?"
"Harimau jawa akan punah, Rasu. Harimau jawa betina mengandung cukup lama, selama seratus hari. Anak harimau akan memasuki masa dewasa dan bisa berdiri sendiri setelah dua tahun. Itupun kalau anak harimau bisa bertahan hidup.
Masa bertahan hidup mereka di alam bebas pun cukup singkat. Ya seusiamu sekarang ini, antara sepuluh hingga lima belas tahun. Harimau adalah hewan penyendiri, kecuali saat hendak mencari pasangan.
Perilaku harimau seperti itu, hutan yang semakin menyempit, dan banyaknya pemburu yang mengincarnya sekadar untuk mengambil kulitnya, tentu bisa membuat harimau itu punah di pulau ini."
Beberapa detik berlalu, hanya dengan dua kali terkaman harimau jawa itu sudah mampu menancapkan kuku dan kemudian taringnya ke tengkuk babi hutan. Si babi hutan hanya bisa meronta-ronta lalu lemas, ketika sang harimau membawanya dengan mulutnya yang besar, menjauhi Lintang Abang dan Parasu.
Wajah Parasu tak lagi pucat seperti tadi, meski keringat dingin masih terlihat di keningnya. Lintang Abang tersenyum sembari menepuk bahu cucunya. "Rasu benar-benar anak yang berani. Ayo Rasu, kita istirahat, di atas cabang pohon kalpataru itu..."
***
Kokok ayam hutan saling bersahutan menyambut cahaya matahari yang hangat. Daun-daun di pucuk pepohonan raksasa berkilauan, perak keemasan disepuh cahaya matahari. Angin bertiup sepoi-sepoi seakan tak mau ketinggalan mempercantik pagi.
Namun, kecantikan pagi ini sirna seketika saat derap suara puluhan ekor kuda terdengar dari kejauhan. Tapak-tapak kaki kuda itu menerbangkan debu-debu dan daun-daun kering.
Suara langkah kaki kuda yang menginjak dedaunan kering terdengar semakin lambat, sebelum akhirnya berhenti. Derit roda kayu mengakhiri seluruh bunyi-bunyian.
Sang kusir seperti bangun dari tidur oleh tarikan tali kekang di tangannya sendiri. Kepala sang kusir bergerak maju-mundur. Empat ekor kuda yang mengikuti kereta kuda di depannya turut menghentikan langkah.
Dari balik tirai kereta kuda, muncul sosok lelaki tegap dengan bahu yang terlihat kokoh. Usianya tiga puluh tahunan. Ia mengenakan rompi bangsawan berwarna kuning-ungu. Di pinggangnya terselip keris panjang. Dengan sopan, lelaki itu bertanya, "Kek, Dusun Walangsewu masih jauh atau tidak dari sini?"
"Wah masih jauh, ki sanak, masih setengah hari perjalanan. Ki sanak ini siapa ya?" selidik Lintang Abang.
Lelaki dengan rompi bangsawan itu tersenyum. "Oh maaf Kek, saya lupa mengenalkan diri. Saya Jayakenanga dari Kediri."
Lintang Abang berusaha tersenyum ramah, meski giginya sudah banyak yang ompong. Ia lalu juga mengenalkan dirinya dan kemudian bertanya hati-hati, "Kalau boleh tahu dan dianggap tidak lancang, Denmas Jayakenanga ini ada keperluan apa hingga jauh-jauh mencari Dusun Walangsewu yang terpencil itu?"
"Ooo...Tak apa-apa Kek, saya hanya mau menitipkan putri saya ke bibinya di Walangsewu. Maklum, di Kediri sedang ada prahara. Bala tentara Mongol dan sisa-sisa laskar Singasari tak seberapa lama lagi akan menyerbu. Sang Raja Jayakatwang menitahkan seluruh warga yang bukan prajurit mengungsi atau bersembunyi di tempat aman," jawab Jayakenanga.
Lintang Abang melongo. Buru-buru ia menjawab, "Aduh Denmas, sayang sekali, sayang sekali...Saya kemarin baru saja melintas di Dusun Walangsewu. Di sana juga sedang terjadi kekacauan mungkin seluruh warganya tak ada yang tersisa. Para begal dan rampok telah menbumihanguskan dusun..."
Jayakenanga tersentak. Ia lalu menoleh ke belakangnya. "Dinda Tatya, bagaimana ini? Bagaimana sebaiknya?"
Dua wajah perempuan berparas cantik nan anggun menyeruak membuka kain pintu kereta kuda. Satu perempuan yang dipanggil Tatya berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sedangkan satu perempuan lainnya bertubuh mungil namun subur, berusia sekitar delapan atau sembilan tahun.
"Oh ya Kek, kenalkan, ini istri saya, Tatya, dan ini putri saya, Kinarsih. O ya hampir lupa, Kakek juga belum mengenalkan bocah di samping Kakek itu?" tanya Jayakenanga sambil melempar senyuman.
Lintang Abang menoleh ke Parasu, ia tertawa geli, "He...he...he...Saya juga hampir lupa, maklum sudah mulai pikun. Ini cucu saya, namanya Parasu..."
Tiba-tiba bocah perempuan yang bernama Kinarsih nyeletuk, "Iiiihhh, namanya jelek sekali seperti orangnya, ya Ayah. Masak namanya...PARAS...ASU...Artinya kan wajahnya anjing..."
Lintang Abang tertawa terpingkal-pingkal. Sementara wajah Parasu merah padam seperti ubi rebus. Parasu berusaha menahan marah, "Bocah perempuan gendut yang sombong," gumamnya.
"Huussshhh! Narsih nggak boleh ngomong kasar seperti itu, ayo lekas minta maaf! Parasu itu artinya kapak, siapa tahu kalau sudah besar Parasu menjadi seperti kapak yang jika dimanfaatkan dengan baik bisa untuk menolong sesama," ujar Jayakenanga.
"Iya Ayah, menolong orang...Menolong orang untuk menebang pohon...hi...hi...hi..." celetuk Kinarsih.
"Sudah, sudah, Narsih duduk lagi sana! Kasihan temannya, cemberut terus tuh," Tatya, ibunda Kinarsih, angkat bicara.
Tatya terlihat menawan dengan gaun kebaya biru muda dan selendang merah jambu yang diselempangkannya. Kulitnya bersih, kuning langsat, Matanya teduh, hidungnya bangir, dan bibirnya yang merah selalu menyungging senyuman. Merekah seperti cahaya mentari pagi yang lembut. Anggun sekali, khas putri bangsawan. Mungkin kecantikan Kinarsih berasal dari ibundanya.
"Kangmas Jayakenanga, sebaiknya kita mengalihkan tujuan. Mungkin sebaiknya kita ke rumah Kek Wuragil di Dusun Sendangijo," Tatya memberi saran.
Jayakenanga mengangguk pelan. "Baiklah, Kek, terima kasih atas informasinya. Saya mohon diri hendak melanjutkan perjalanan ke Sendangijo. Kami akan berbalik arah," ujarnya sambil memberi isyarat kusir untuk berputar.
"Iya sama-sama Denmas, semoga di lain hari kita masih bisa bertemu..." tukas Lintang Abang seraya melambaikan tangan.
Ringkikan kuda-kuda terlihat tak sabar untuk segera berlari menembus hutan belantara. Sejurus kemudian, rombongan Jayakenanga hanya menyisakan debu yang mengepul.
Lintang Abang mendesah perlahan. Debu-debu yang mengepul dan ringkik kuda yang membawa pergi Jayakenanga, seakan memaksanya mengingat, Perisai. Yah, sosok Jayakenanga tak beda jauh dengan putra semata wayangnya. Hanya ada sedikit perbedaan; warna kulit Perisai lebih gelap dan rambutnya lebih ikal.
Mata Lintang Abang nanar. Tatapannya kosong. Di hadapannya, sosok mayat lelaki bercambang tebal terlihat memeluk mayat seorang perempuan dan bocah laki-laki. Mayat-mayat itu adalah Jakaprana dan keluarganya."Mengapa semua harus dibunuh guru? Bukankah musuh kita hanya Jakaprana?" tanya Lintang Abang tak mengerti.Dewa Penjuru Angin langsung menghardik Lintang Abang, "Kamu jangan jadi murid tolol, Lintang! Kalau semua dibiarkan hidup, mereka bisa balas dendam! Bapaknya pemberontak, siapa tahu anaknya kelak juga jadi pemberontak!"Dewa Penjuru Angin adalah pendekar pilih tanding. Ia juga dinobatkan sebagai laskar utama Singasari. Usianya belum genap enam puluh tahun, tapi ia sudah memiliki perguruan tersohor, Mata Angin. Muridnya sudah mencapai ratusan. Salah satu murid
Hari belum beranjak siang, di Perguruan Mata Angin di pinggir Sendang Saradan, Lintang Abang terlihat sedang menemui gurunya. Tak biasanya Dewa Penjuru Angin memanggilnya untuk berbicara empat mata di ruang khusus latihan Sang Guru."Lintang Abang, hari ini engkau kuberi anugerah untuk mempelajari kitab sakti Tapak Liman. Jika Tapak Liman dipadukan secara bersamaan di empat penjuru mata angin, maka kekuatannya akan sangat dahsyat. Empat pasang Tapak Liman akan menghasilkan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka," Dewa Penjuru Angin menyerahkan sebuah kitab lusuh kepada Lintang Abang.Sudah tiga hari sejak kematian Jakaprana, kondisi Begal Barat yang terluka parah belum membaik. Begal Barat yang lemah ditinggalkan begitu saja di rumah seorang tabib di dusun sebelah Wingitan, Dusun Demulur. Demi menyempurnakan ajian pamungkas
Setelah meminta izin kepada gurunya, Lintang Abang memilih berlatih di kampung halamannya di Dusun Kaliungu, sekitar dua hari perjalanan kaki dari Perguruan Mata Angin. Tak hanya berlatih, ia juga sudah sangat kangen dengan putra tunggalnya, Perisai. Sudah beberapa purnama ia meninggalkan Perisai yang hanya ditemani pembantunya, Dayang Rimbi.Sejak kecil, Perisai sama sekali tak mendapatkan belaian kasih sayang dari ibundanya. Sang Ibu meninggal saat melahirkannya.Meski sering ditinggal ayahnya yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Mata Angin, Perisai yang sudah menginjak usia lima belas tahun tak pernah sedih atau marah. Ia bahkan merasa bangga memiliki ayah seorang pendekar. Saat bermain perang-perangan dengan teman-temannya, ia selalu membayangkan dirinya sebagai Lintang Abang yang sedang beraksi menumpas para penj
Senja datang begitu cepat, mengusir terang dengan remang. Matahari mulai menyipitkan matanya saat Lintang Abang kedatangan tamu, dua kakak seperguruannya, Begal Utara dan Begal Selatan. "Dik Lintang sudah tak mau balik ke Mata Angin?!" hardik Begal Utara seraya berdiri mengepalkan tangan. "Maaf Kangmas, saya memilih tetap tinggal di sini saja. Mohon sampaikan permohonan maaf saya kepada Sang Guru," ujar Lintang Abang hati-hati. "TIDAK BISA!!!" teriak Begal Selatan yang terkenal temperamental sambil menggebrak meja. "Aku tunggu kau di luar! Serahkan kitabnya dan segera ikut kami balik! Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!"
"Kek, ayo Kek. Kok dari tadi bengong aja? Lagi mikirin nenek ya?" Parasu merajuk. Sudah satu jam mereka duduk di bawah pohon rambutan. Namun tak seperti biasanya, Lintang Abang hanya terdiam. Matanya menatap kosong jauh ke depan, ke sisa-sisa debu derap kaki kuda rombongan Jayakenanga. Parasu sebenarnya tak ingin mengganggu kakeknya yang sedang asyik melamun. Apalagi ia sendiri bisa sepuas-puasnya melahap buah rambutan yang tinggal dipetik tanpa perlu melompat tinggi. Puluhan kulit rambutan merah kehijauan sudah terlihat berserakan di tanah yang mulai kering tersengat cahaya mentari yang kian berada di atas kepala. Lama-lama Parasu heran, biasanya kakeknya doyan makan buah-buahan. Tapi, kali ini tidak. Kakeknya seperti berada di dunia lain. Entah dunia apa itu namanya.
Permukaan Sungai Brantas terlihat tenang, tanda kedalaman sungai yang bermata air di Gunung Arjuno itu sulit diduga. Seperti sulitnya menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala warga Kediri yang terpaksa harus mengungsi, berlindung, dan bersembunyi di tempat aman. Jalanan di sepanjang pinggiran kota hanya diisi lalu-lalang prajurit yang terlihat waspada dan siaga.Lintang Abang dan Parasu sudah berada di tapal batas kota. Tak sulit bagi mereka untuk melewati penjagaan. Prajurit penjaga tak melihat keanehan dari keduanya sebagai warga dusun yang sedang mencari perlindungan dari kekejaman para rampok bekas laskar Singasari. Para prajurit itu bahkan menyarankan agar keduanya bersembunyi di balik Bukit Maskumambang atau di Pegunungan Klotok bersama ribuan warga dusun lainnya."Kek apa yang sebenarnya sedang terjadi
Perisai pun tersentak. "Pedang itu hilang!? Bagaimana bisa?"Ki Carik Tresna tertunduk. Ia tak mampu menatap Perisai. Namun ia memberanikan diri memberi alasan. "Kami sudah berusaha menjaganya, Ki Perisai. Tapi apa daya pendekar tangan buntung itu terlalu digdaya. Meski kami bersepuluh, kami tak sanggup menghadapinya. Kami mohon maaf." Perisai hanya bisa mengepalkan tangannya. Giginya gemeretuk menahan geram. Ia menyesal meninggalkan pedang cahaya di kediamannya. Tapi itu terpaksa dilakukannya karena istrinya, Nuri Gagap, menginginkannya tak membawa senjata saat menghadiri pesta pernikahan adiknya di sebelah Dusun Kaliantu. Ia lantas menitipkan pedang cahaya pada Ki Carik Tresna."Bagaimana mungkin pencuri itu tahu pedang cahaya aku tinggal di rumah? Pasti ada orang d
Hanya semalam setelah pedang cahaya hilang, keesokan paginya Dusun Kaliantu diserbu ratusan murid dari Perguruan Mata Angin. Warga dusun hanya bisa sembunyi dan meringkuk di rumah masing-masing.Penyerbuan itu menggunakan pasukan berkuda di bawah pimpinan langsung Begal Utara, Begal Timur, dan Begal Barat. Para begal datang untuk menuntut balas kematian saudara seperguruannya, Begal Selatan. Begal Selatan tewas di tangan Perisai sepuluh purnama sebelumnya. Kala itu Perisai harus turun dari Gunung Wilis untuk menemani istrinya, Nuri Gagap, pulang ke kampung halamannya di Dusun Kaliantu. Sepasang suami istri itu meminta izin pada Tan Kim Lian yang juga hendak berangkat ke Tuban untuk menemui pasukan Mongol yang dikabarkan telah membongkar muatan.Nuri Gagap terpaksa pul
Malam itu di tengah siraman cahaya rembulan di antara deburan ombak pantai selatan Jawa, dua insan sedang memilin asa. Parasu terdiam. Tubuhnya kaku menegang dalam desiran angin malam yang menyapa. Matanya memerah dialiri sungai kecil. Seolah tak peduli lingkungan sekitar, Parasu mendadak memeluk Kinarsih. Erat. Seakan tiada hari esok. Sejenak keduanya menetralkan gejolak dalam dada. Parasu melepaskan pelukannya. Genggaman erat tangannya, teduh matanya, bahkan air mata yang belum mengering menjelaskan betapa tersiksanya dia menahan rasa. Rasa yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Kinarsih yang menjelma wanita cantik, anggun, merekah semerbak bunga, telah menjadi milik orang lain. Seseorang yang selama tujuh tahun selalu setia menjaganya, Kutira. Kinarsih telah menjalin ikatan pernikahan dengan Kutira sejak tahun lalu. Parasu hadir terlambat. Andai ia datang setahun lebih cepat. “Maafkan aku, Rasu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” ucap li
Parasu membuka topeng panji putih yang selama ini selalu dikenakannya. Topeng pemberian Kutira saat prahara di Kediri beberapa tahun silam.Wajahnya lega setelah para prajurit Majapahit meninggalkan air terjun Kepyur. Bukan berarti ia tak berani menghadapi puluhan prajurit. Ia lebih senang tak ada pertumpahan darah di tempat itu. Pertumpahan darah yang sangat tak diinginkannya di depan lima anak kecil itu.Parasu tak ingin kekerasan dan dendam selalu menyelimuti dan mengendap di hati dan pikiran anak-anak itu. Seperti yang pernah ia alami di masa lalu.Parasu menghela napas. Ia lega tak lagi memendam dendam dan amarah seperti dulu. Padahal ia sedari tadi tahu sosok lawannya adalah musuh lamanya, Rodra. Salah seorang penyebab kehancuran keluarganya di masa lalu.Parasu berusaha keras untuk tak melampiaskan dendam. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan anak-anak itu tanpa pertumpahan darah. Kini ia bisa memahami pesan mendiang kakeknya, Lintang Abang, unt
Rodra duduk di atas pelana kuda dengan pongahnya. Tancaka dan dua puluh prajurit mengikuti di belakangnya. Rombongan itu telah berada di tepi rimba Semungklung.“Kalian harus bersyukur, berkat aku, kalian semua tak mati sia-sia di tangan pendekar bertopeng itu. Aku melakukan ini agar semua selamat. Hahaha betapa lihainya aku, kita bisa bebas keluar dari hutan ini,” cetus Rodra yang menunggang kuda di posisi paling depan.Tancaka dan para prajurit lainnya hanya membisu mendengar bualan Rodra. Sebagai ksatria dan laskar Majapahit, mereka tampak kecewa lantaran tak mampu menjalankan perintah Sang Raja dan justru memilih kabur. “Kalian tak usah waswas, tak perlu khawatir, nanti di dusun manapun, kita berhenti untuk menculik anak-anak kecil, kita bunuh mereka, kita rusak wajah-wajahnya hingga tak dikenali lagi. Lalu kita persembahkan kepada Sang Raja.Kita pasti dianggap telah menuntaskan misi untuk membunuh cucu
Sepengetahuan Rodra, setelah Dewa Penjuru Angin tewas, hanya dia dan Tancaka, dua bekas murid Perguruan Mata Angin tersisa, yang masih menyimpan ajian ini. Sosok yang mampu meredam Tapak Liman pasti sudah lama mengenal dan mempelajari ajian yang melegenda di tanah Jawa.Rodra berpikir keras siapa sosok bertopeng yang kini berdiri gagah di hadapannya. Sosok itu seolah tak terdampak pukulan Tapak Liman milik Rodra dan Tancaka.Tak mungkin sosok itu Dewa Penjuru Angin, Begal Timur, Begal Barat, Begal Selatan, Begal Utara, Arya Kemusuk, atau Lintang Abang. Seingat Rodra, para pendekar penguasa ajian Tapak Liman itu sudah tewas beberapa tahun lalu.Sekilas Rodra terbesit sosok cucu Lintang Abang yang pernah melukai tangannya dalam pertempuran tujuh tahun lalu. Tapi cucu Lintang Abang sudah lama menghilang sejak pertempuran di selatan Kediri. Tak jelas rimbanya. Rasa penasaran kian menyelimutinya.Lantas siapa sosok di hadapannya itu? Peluh
1223 Saka. Rodra, Tancaka, dan dua puluh prajurit Majapahit menggerakkan kuda-kudanya memasuki rimba Semungklung.Ada rasa gentar dalam diri Rodra saat rombongannya sudah berada di tengah hutan. Ia waswas dengan sosok misterius yang akan dihadapinya nanti. Tapi tugas dari Raja Jayanegara sudah sangat jelas, ia diharuskan melenyapkan seluruh keturunan para pemberontak.Sempat tebersit untuk kabur dari hutan itu. Tapi kali ini Rodra malu pada Tancaka dan anak buahnya. Ia tak ingin reputasinya yang sempat tercoreng karena pernah kabur dari pertempuran terus membayangi.Semakin memasuki kedalaman hutan, gemuruh suara air terjun terdengar jelas. Suara cekikikan anak-anak kecil juga kian terdengar nyaring. Dada Rodra berdegub kencang. Ia kini harus kembali mengemban tugas untuk menghabisi nyawa anak kecil. Seakan sejarah terulang.Beberapa tahun silam, ia juga mendapat tugas untuk menghabisi seorang anak, meski upaya itu gagal.
BLUKKK!!! Parasu kaget sekali.Bukan pukulan amat keras yang diterimanya. Tapi pelukan. Iya, pelukan hangat dan erat sekali.“Kau pasti anak Perisai...” ujar Tan Kim Lian lirih tepat di telinga Parasu. Parasu terperangah. Ia berusaha mengenali sosok yang memeluknya dengan erat itu. Tan Kim Lian lalu membuka pelindung kepalanya.Sosoknya kini terlihat jelas. Wajah berkulit kuning dengan kumis dan cambang putih yang memanjang. Wajah yang sudah mulai dipenuhi keriput. Wajah yang tenang dan teduh seperti kakek Parasu, Lintang Abang. Parasu mencoba mengingat-ingat. Samar-samar ingatan masa kecilnya timbul. Sepertinya wajah lelaki tua di hadapannya pernah menghiasi hari-hari masa kecilnya dulu. “Kaki Gunung Wilis,” Tan Kim Lian seolah menjawab kebimbangan dan kebingungan Parasu terhadap sosoknya.Mendengar kata Gunung Wilis, lamat-lamat ingatan Parasu menguat. Sekonyong-konyong gil
Tan Kim Lian kaget, berjarak sekitar lima belas tombak di hadapannya, sosok bertopeng memberanikan diri menantangnya duel satu lawan satu.Ia lebih kaget lagi saat sosok bertopeng yang entah masih bocah atau memang manusia cebol menghunus pedang yang jelas tak asing bagi dirinya. Itu pedang miliknya. Beberapa tahun silam pedang itu ia berikan kepada murid kesayangannya, Perisai. Sejak Perisai turun gunung ke Dusun Kaliantu, Tan Kim Lian sudah tak pernah lagi tahu keberadaan Perisai dan Nuri Gagap. Hanya kabar samar-samar berembus, Perisai tewas di tangan gerombolan dari Mata Angin.Sebagai guru, Tan Kim Lian jelas amat bersedih dan terpukul kehilangan murid terbaiknya. Tapi ia tak sempat memperdalam kabar itu karena kesibukannya membantu persiapan pasukan Mongol untuk menggempur Jayakatwang. Ketika Parasu kian mendekat. Sekitar lima tombak lagi. Tan Kim Lian memperkirakan sosok di hadapannya adalah seorang bocah. Ia menerka-nerk
Di sisi selatan Kediri, di kaki Gunung Bolo, Parasu, Kinarsih, dan Kutira duduk bersimpuh di depan tiga gundukan tanah yang masih basah. Kaki gunung itu menjadi peristirahatan terakhir Lintang Abang, Begal Barat, dan Tatya.Rintik rintik air hujan tiba tiba hadir pagi itu membasahi tanah kuburan. Di antara gerimis, Kinarsih menangis, menyertai kepergian ibundanya untuk selama-lamanya.Parasu memandang lemah Kinarsih. Ia ingin sekali menghiburnya. Atau mungkin memeluknya. Tapi apa daya, dadanya terasa sesak menahan agar air matanya tak tumpah di pemakaman.Parasu bisa merasakan kesedihan dan kegetiran Kinarsih yang kini harus hidup sebatang kara. Seperti dirinya.Parasu tak bisa membayangkan bagaimana ia akan menjalani hidupnya hari demi hari ke depan. Ia pun tak bisa berpikir terlalu jauh membayangkan nasib Kinarsih.Pertempuran dahsyat, peperangan hebat di tanah Jawa dari tahun ke tahun telah mengorbankan banyak nyawa tak
Ketika dua kekuatan dahsyat itu tengah beradu, Parasu bergegas melambungkan badannya dengan Gingkang Kijang. Dua tangannya menggenggam erat pedang cahaya.Tiga kali lompatan, Parasu sudah berada lima kaki di atas kepala Dewa Penjuru Angin yang kini terhuyung-huyung setelah dua kali beradu ajian dengan Lintang Abang.Dewa Penjuru Angin sempat menengadahkan wajahnya untuk melihat sosok yang menerjangnya dari atas. Namun matanya langsung terpicing karena silaunya pedang cahaya yang memantulkan sinar matahari. Sekelebat ia sadar sosok di atasnya adalah bocah kecil yang tadi membuat Rodra memilih kabur. Dewa Penjuru Angin mendelik. Ia sudah tak punya kesempatan menghindar. Kepongahannya runtuh berubah ketakutan. Kesombongannya sebagai pendekar pilih tanding musnah. Mahaguru Mata Angin yang tersohor itu begidik ngeri. Tak menyangka nyawanya bakal sirna di depan mata, bukan di tangan pendekar pilih tanding, tapi di tangan bocah yan