Mata Lintang Abang nanar. Tatapannya kosong. Di hadapannya, sosok mayat lelaki bercambang tebal terlihat memeluk mayat seorang perempuan dan bocah laki-laki. Mayat-mayat itu adalah Jakaprana dan keluarganya.
"Mengapa semua harus dibunuh guru? Bukankah musuh kita hanya Jakaprana?" tanya Lintang Abang tak mengerti.
Dewa Penjuru Angin langsung menghardik Lintang Abang, "Kamu jangan jadi murid tolol, Lintang! Kalau semua dibiarkan hidup, mereka bisa balas dendam! Bapaknya pemberontak, siapa tahu anaknya kelak juga jadi pemberontak!"
Dewa Penjuru Angin adalah pendekar pilih tanding. Ia juga dinobatkan sebagai laskar utama Singasari. Usianya belum genap enam puluh tahun, tapi ia sudah memiliki perguruan tersohor, Mata Angin. Muridnya sudah mencapai ratusan. Salah satu muridnya adalah Lintang Abang.
Sementara, Jakaprana adalah kepala Dusun Wingitan. Ia telah dua musim menolak membayar upeti dan pajak ke Singasari. Alasannya, dalam dua musim terakhir, akibat kemarau yang panjang, warga Dusun Wingitan gagal panen. Tak ada warga yang sanggup membayar upeti. Dusun Wingitan mengalami kekurangan pangan.
Namun, hampir tiap pekan, para prajurit Singasari terus memaksa warga untuk membayar upeti. Warga dusun hanya bisa memohon pada para prajurit untuk memberi keringanan atau datang kembali di musim berikutnya.
Prajurit-prajurit itu bergeming. Upeti dan pajak harus dibayarkan di bawah ancaman tombak dan pedang. Mereka berniat menghabisi warga yang membangkang.
Tiba-tiba sang kepala dusun, Jakaprana, yang dari tadi memilih diam, bergerak. Delapan jurus Sayap Geni langsung merobohkan enam belas prajurit. Mereka tewas seketika dengan tubuh terpanggang api.
Kabar tewasnya enam belas prajurit berhembus sampai Singasari. Para pejabat Singasari tak menyangka di sebuah dusun terpencil masih tersisa pendekar pilih-tanding. Tapi Singasari tak ingin kehilangan muka. Jakaprana pun dituduh makar. Ia dianggap pengkhianat. Ia dihujat sebagai pemberontak dan berniat menggulingkan Singasari. Pengumuman tentang pemberontakan Jakaprana disebar ke mana-mana.
Dewa Penjuru Angin mendapat titah dari Sang Raja Kertanegara untuk menghukum Jakaprana. Si kepala dusun yang berilmu elemen api itu harus mati. Sosok Jakaprana dianggap mengganggu kebesaran dan kemegahan Singasari yang sedang memperluas wilayah ke mancanegara.
Berbekal seratus prajurit dan puluhan murid-muridnya, Dewa Penjuru Angin membumihanguskan Dusun Wingitan. Nyaris tak ada perlawanan. Seperti menebas batang pohon pisang dengan parang tajam.
Tapi, di depan kediaman Jakaprana, tak ada satu pun prajurit Singasari yang mampu melangkah masuk. Semburan api dari tapak tangan Jakaprana melindungi keluarganya dari amukan tombak para prajurit.
Menyaksikan para prajurit ciut nyalinya untuk menerobos api, Arya Kemusuk dan Begal Barat, dua murid utama Dewa Penjuru Angin, bergegas mengeroyok Jakaprana. Seperti sambaran kilat, dua pasang ajian Tapak Liman beradu dengan Sayap Geni milik Jakaprana.
DHUAARRR!!!
Jayaprana tersentak mundur beberapa langkah. Begal Barat terhuyung-huyung lalu roboh. Lengan kanannya terpanggang. Arya Kemusuk terpental, dua lengannya terbakar. Mulutnya memuncratkan darah hitam kental. Ia tewas seketika.
Mata Dewa Penjuru Angin terbelalak menyaksikan dua murid andalannya terkapar. Wajahnya merah padam menahan amarah. Mulutnya bergetar.
"Lintang Abang! Cepat kau bunuh istri dan anak Jakaprana di sana!!!"
Lintang Abang tertegun. Ia ragu-ragu.
"Cepaaat! Murid tolol!!!"
Bergegas Lintang Abang meloncat menghampiri istri dan anak Jakaprana.
Jakaprana kaget. Konsentrasinya buyar. Belum lagi kondisi tubuhnya yang mulai kendur setelah menjajal Arya Kemusuk dan Begal Barat. Ia berusaha melentingkan badannya ke belakang untuk melindungi istri dan anaknya.
Tanpa disadari Jakaprana, diam-diam Dewa Penjuru Angin bersama Begal Timur, Begal Selatan, dan Begal Utara merapal jurus pamungkas; Bayu Segara Murka!!!
Pukulan sangat kencang dari empat penjuru mata angin laksana topan meluncur menembus pertahanan Jakaprana yang terbuka. Ia lengah saat hendak memeluk istri dan anaknya untuk menghindar. Mereka terpental lima belas langkah ke belakang dengan posisi saling berpelukan. Tubuh mereka berkali-kali terangkat di udara seperti berada di pusaran angin. Satu keluarga itu pun tewas seketika sebelum tubuh-tubuh mereka menyentuh bumi.
Lintang Abang memalingkan wajahnya. Ia tak ingin menyaksikan kejadian yang mengenaskan itu. Tatapan matanya kosong saat prajurit-prajurit Singasari bersorak-sorai merayakan keberhasilan Dewa Penjuru Angin. Dadanya terasa sesak.
Hari belum beranjak siang, di Perguruan Mata Angin di pinggir Sendang Saradan, Lintang Abang terlihat sedang menemui gurunya. Tak biasanya Dewa Penjuru Angin memanggilnya untuk berbicara empat mata di ruang khusus latihan Sang Guru."Lintang Abang, hari ini engkau kuberi anugerah untuk mempelajari kitab sakti Tapak Liman. Jika Tapak Liman dipadukan secara bersamaan di empat penjuru mata angin, maka kekuatannya akan sangat dahsyat. Empat pasang Tapak Liman akan menghasilkan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka," Dewa Penjuru Angin menyerahkan sebuah kitab lusuh kepada Lintang Abang.Sudah tiga hari sejak kematian Jakaprana, kondisi Begal Barat yang terluka parah belum membaik. Begal Barat yang lemah ditinggalkan begitu saja di rumah seorang tabib di dusun sebelah Wingitan, Dusun Demulur. Demi menyempurnakan ajian pamungkas
Setelah meminta izin kepada gurunya, Lintang Abang memilih berlatih di kampung halamannya di Dusun Kaliungu, sekitar dua hari perjalanan kaki dari Perguruan Mata Angin. Tak hanya berlatih, ia juga sudah sangat kangen dengan putra tunggalnya, Perisai. Sudah beberapa purnama ia meninggalkan Perisai yang hanya ditemani pembantunya, Dayang Rimbi.Sejak kecil, Perisai sama sekali tak mendapatkan belaian kasih sayang dari ibundanya. Sang Ibu meninggal saat melahirkannya.Meski sering ditinggal ayahnya yang sedang menuntut ilmu di Perguruan Mata Angin, Perisai yang sudah menginjak usia lima belas tahun tak pernah sedih atau marah. Ia bahkan merasa bangga memiliki ayah seorang pendekar. Saat bermain perang-perangan dengan teman-temannya, ia selalu membayangkan dirinya sebagai Lintang Abang yang sedang beraksi menumpas para penj
Senja datang begitu cepat, mengusir terang dengan remang. Matahari mulai menyipitkan matanya saat Lintang Abang kedatangan tamu, dua kakak seperguruannya, Begal Utara dan Begal Selatan. "Dik Lintang sudah tak mau balik ke Mata Angin?!" hardik Begal Utara seraya berdiri mengepalkan tangan. "Maaf Kangmas, saya memilih tetap tinggal di sini saja. Mohon sampaikan permohonan maaf saya kepada Sang Guru," ujar Lintang Abang hati-hati. "TIDAK BISA!!!" teriak Begal Selatan yang terkenal temperamental sambil menggebrak meja. "Aku tunggu kau di luar! Serahkan kitabnya dan segera ikut kami balik! Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya!"
"Kek, ayo Kek. Kok dari tadi bengong aja? Lagi mikirin nenek ya?" Parasu merajuk. Sudah satu jam mereka duduk di bawah pohon rambutan. Namun tak seperti biasanya, Lintang Abang hanya terdiam. Matanya menatap kosong jauh ke depan, ke sisa-sisa debu derap kaki kuda rombongan Jayakenanga. Parasu sebenarnya tak ingin mengganggu kakeknya yang sedang asyik melamun. Apalagi ia sendiri bisa sepuas-puasnya melahap buah rambutan yang tinggal dipetik tanpa perlu melompat tinggi. Puluhan kulit rambutan merah kehijauan sudah terlihat berserakan di tanah yang mulai kering tersengat cahaya mentari yang kian berada di atas kepala. Lama-lama Parasu heran, biasanya kakeknya doyan makan buah-buahan. Tapi, kali ini tidak. Kakeknya seperti berada di dunia lain. Entah dunia apa itu namanya.
Permukaan Sungai Brantas terlihat tenang, tanda kedalaman sungai yang bermata air di Gunung Arjuno itu sulit diduga. Seperti sulitnya menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala warga Kediri yang terpaksa harus mengungsi, berlindung, dan bersembunyi di tempat aman. Jalanan di sepanjang pinggiran kota hanya diisi lalu-lalang prajurit yang terlihat waspada dan siaga.Lintang Abang dan Parasu sudah berada di tapal batas kota. Tak sulit bagi mereka untuk melewati penjagaan. Prajurit penjaga tak melihat keanehan dari keduanya sebagai warga dusun yang sedang mencari perlindungan dari kekejaman para rampok bekas laskar Singasari. Para prajurit itu bahkan menyarankan agar keduanya bersembunyi di balik Bukit Maskumambang atau di Pegunungan Klotok bersama ribuan warga dusun lainnya."Kek apa yang sebenarnya sedang terjadi
Perisai pun tersentak. "Pedang itu hilang!? Bagaimana bisa?"Ki Carik Tresna tertunduk. Ia tak mampu menatap Perisai. Namun ia memberanikan diri memberi alasan. "Kami sudah berusaha menjaganya, Ki Perisai. Tapi apa daya pendekar tangan buntung itu terlalu digdaya. Meski kami bersepuluh, kami tak sanggup menghadapinya. Kami mohon maaf." Perisai hanya bisa mengepalkan tangannya. Giginya gemeretuk menahan geram. Ia menyesal meninggalkan pedang cahaya di kediamannya. Tapi itu terpaksa dilakukannya karena istrinya, Nuri Gagap, menginginkannya tak membawa senjata saat menghadiri pesta pernikahan adiknya di sebelah Dusun Kaliantu. Ia lantas menitipkan pedang cahaya pada Ki Carik Tresna."Bagaimana mungkin pencuri itu tahu pedang cahaya aku tinggal di rumah? Pasti ada orang d
Hanya semalam setelah pedang cahaya hilang, keesokan paginya Dusun Kaliantu diserbu ratusan murid dari Perguruan Mata Angin. Warga dusun hanya bisa sembunyi dan meringkuk di rumah masing-masing.Penyerbuan itu menggunakan pasukan berkuda di bawah pimpinan langsung Begal Utara, Begal Timur, dan Begal Barat. Para begal datang untuk menuntut balas kematian saudara seperguruannya, Begal Selatan. Begal Selatan tewas di tangan Perisai sepuluh purnama sebelumnya. Kala itu Perisai harus turun dari Gunung Wilis untuk menemani istrinya, Nuri Gagap, pulang ke kampung halamannya di Dusun Kaliantu. Sepasang suami istri itu meminta izin pada Tan Kim Lian yang juga hendak berangkat ke Tuban untuk menemui pasukan Mongol yang dikabarkan telah membongkar muatan.Nuri Gagap terpaksa pul
Hujan tiba-tiba mengguyur deras di tapal batas Dusun Kaliantu. Petir menyambar di mana-mana. Angin kencang melayangkan dedaunan dan ranting-ranting rapuh. Pohon-pohon angsana yang kukuh, tercerabut sampai akarnya, seperti malaikat maut yang dengan mudahnya mencabut nyawa manusia. Tanpa ada tunda, tanpa ada tambahan masa. Semua tepat sesuai titah Sang Penguasa. Di antara rintik-rintik hujan, Ki Carik Tresna tetap menjalankan kudanya. Matanya yang setajam elang melihat sekeliling. "Ayah dan ibu di mana, Paman Tresna? Mengapa kita harus pergi meninggalkan rumah?" Parasu sudah duduk di atas pelana kuda. Di belakangnya Ki Carik Tresna masih mengendalikan tali kekang kuda. Kuda Jagabaya Rodra mengikutinya dari belakang. Mata Rodra juga berputar ke sekeliling selama perjalanan.