"Kek, ayo Kek. Kok dari tadi bengong aja? Lagi mikirin nenek ya?" Parasu merajuk. Sudah satu jam mereka duduk di bawah pohon rambutan. Namun tak seperti biasanya, Lintang Abang hanya terdiam. Matanya menatap kosong jauh ke depan, ke sisa-sisa debu derap kaki kuda rombongan Jayakenanga.
Parasu sebenarnya tak ingin mengganggu kakeknya yang sedang asyik melamun. Apalagi ia sendiri bisa sepuas-puasnya melahap buah rambutan yang tinggal dipetik tanpa perlu melompat tinggi. Puluhan kulit rambutan merah kehijauan sudah terlihat berserakan di tanah yang mulai kering tersengat cahaya mentari yang kian berada di atas kepala.
Lama-lama Parasu heran, biasanya kakeknya doyan makan buah-buahan. Tapi, kali ini tidak. Kakeknya seperti berada di dunia lain. Entah dunia apa itu namanya.
"Sudahlah Kek, jangan bersedih, nenek sudah tenang di alam sana,"
"Whuiiih, Parasu, sok tua kamu. Kakek tidak sedang membayangkan nenekmu. Kakek sedang melamunkan kata-kata Kinarsih tadi, benar juga ya katanya...PARASU...PARAS...ASU...he...he...he..."
Wajah Parasu langsung cemberut. Ia pura-pura hendak melempar kakeknya dengan sisa-sisa kulit rambutan.
"Ha...ha...ha...sudah...sudah, Parasu, kakek hanya bercanda kok..."
"Lagian Kakek, masak kelakuan bocah perempuan sombong itu ditiru,"
"Iya, iya, maaf. Ayo kita jalan lagi, kita harus cepat sampai tapal perbatasan Kediri sebelum matahari tenggelam," ujar Lintang Abang seraya mengamit lengan Parasu.
"Tapi mengapa harus ke Kediri Kek?"
"Begini Rasu, Kakek kira di sana bisa menjadi persembunyian yang paling aman. Pasukan Kediri sedang melakukan penjagaan ketat bagi orang-orang yang masuk kota. Mereka akan menghalau siapa saja yang dianggap membahayakan Kediri, termasuk Begal Timur dan anak buahnya yang bekas laskar Singasari."
***
Hari beranjak sore. Namun matahari masih menyengat kulit. Lintang Abang dan Parasu sudah menjejakkan kaki di pinggiran Kediri. Kakek dan cucu itu telah tiba di Dusun Warujayeng.
Warungjayeng dibelah oleh sungai-sungai kecil. Di sepanjang sungai merupakan lahan pertanian yang subur. Tidak selalu air sungai mengalir sepanjang tahun, tetapi cukup menjadikan Warujayeng sebagai lingkungan yang nyaman ditempati untuk bisa bertani dan berkebun.
Kedai-kedai bertebaran di sepanjang sisi masuk Warujayeng menyajikan makanan sehari-hari yang begitu mengundang selera. Lintang Abang memutuskan untuk singgah sejenak di salah satu kedai nasi untuk makan siang menjelang sore bersama Parasu.
Lintang Abang memilih meja di pojok yang menghadap sawah membentang. Di meja lainnya di seberang Lintang Abang dan Parasu, sudah ada empat pemuda berpakaian layaknya pendekar sedang menyantap hidangan.
"Perjalanan ke Perguruan Mata Angin, masih jauhkan dari sini, Tancaka?" tanya salah seorang pemuda yang mengenakan rompi berwarna merah menyala.
Tancaka yang selalu menyandang golok pendek lantas menjawab, "Sepertinya masih lumayan jauh, masih satu atau dua hari perjalanan dari sini."
"Aku sudah tak sabar ingin segera sampai di sana dan berguru pada pendekar pilih tanding Dewa Penjuru Angin," giliran pemuda lainnya yang berambut gondrong dan sedang menyantap ayam bakar mengeluarkan suara.
"Aku juga sudah tak sabar. Aku ingin sekali jadi pendekar hebat seperti orang-orang di Mata Angin," tukas pemuda yang mengenakan ikat kepala warna hitam. Ia terlihat menyandarkan tombaknya di belakang kursi duduknya.
Sembari menyantap sayur dan sambal, pemuda yang mengenakan rompi merah lantas bertanya kembali ke teman-temannya,"Selain Dewa Penjuru Angin, menurut kalian di tanah Jawa ini, siapa yang layak jadi tempat menimba ilmu dan memperdalam ilmu kanuragan kita?"
Tancaka menjawab, "Aku kira tak ada yang membantah salah satu panglima dari Kediri, Jayakenanga, adalah pendekar pilih-tanding. Ia menguasai ajian pamungkas elemen api."
Namun pemuda yang berambut gondrong dengan cepat membantahnya. "Tidak, aku rasa pendekar paling hebat ya Kebo Anabrang, pendekar penguasa eleman air. Tak ada satu pun yang mampu mengalahkannya jika pertarungan terjadi di sungai, danau, atau lautan. Ia bekas panglima Singasari di ekspedisi Pamalayu. Sayang ia tak membuka perguruan kanuragan."
Pemuda yang mengenakan ikat kepala hitam lantas terlibat dalam perdebatan siapa pendekar pilih-tanding saat ini. "Kalian aneh! Kita kan mau berguru ke Dewa Penjuru Angin, jelas saja dia yang paling hebat. Ingat dia menguasai elemen tanah dan angin. Murid-muridnya, seperti Begal Timur dan Begal Barat juga tak kalah hebat. Makanya kemarin-kemarin kita sepakat hendak berguru ke Mata Angin. Mau pindah cari guru lain?"
Pemuda berompi merah yang melontarkan pertanyaan itu lantas menengahi. Ia merasa tak enak hati karena memunculkan pertanyaan yang membuat teman-temannya berdebat sengit.
"Sudah-sudah tak usah bertengkar. Aku rasa semua pendekar itu memang hebat, namanya kesohor di tanah Jawa. Para pendekar dari Dusun Majapahit, seperti Raden Wijaya, Ranggalawe, dan Lembu Sora juga punya ilmu kanuragan yang mempuni. Tapi kita sudah sepakat untuk berguru ke Mata Angin, jadi tujuan kita tetap ke sana ya."
Parasu mendengar jelas obrolan empat pemuda itu yang memang bersuara lantang. Ia sepertinya gusar nama kakeknya sama sekali tak disebutkan. Ia beranjak menghampiri meja para pemuda berpakaian layaknya pendekar itu. Lintang Abang yang sedang asyik menyantap ayam bakar terkesiap. Ia tak sempat menahan langkah kaki Parasu.
"Kangmas-kangmas, lihatlah, itu pendekar pilih tanding, paling hebat di tanah Jawa. Kakekku!" telunjuk Parasu lantas mengarah ke Lintang Abang yang masih terbengong-bengong sambil memegang paha ayam di kedua tangannya.
Para pemuda itu saling berpandangan. Mengernyitkan dahi. Semuanya serempak memandangi Lintang Abang, sosok kakek-kakek ompong yang tampak ringkih dengan baju kumal, lusuh, compang-camping layaknya pengemis. Kemudian empat pemuda itu serentak tertawa terbahak-bahak.
Parasu yang kesal kakeknya dihina langsung menggebrak meja. Empat pemuda itu dengan cepat berdiri. "Heh! Anak kecil kurang ajar tak tahu sopan santun! Sini kuberi kau pelajaran!!!" teriak pemuda berompi merah. Tangannya melayang hendak menempeleng Parasu.
Tapi ayunan tangan pemuda berompi merah itu hanya menerpa angin karena buru-buru Lintang Abang menarik Parasu. Lintang Abang lantas mendudukkan Parasu ke kursinya lagi.
Lintang Abang bergegas menghampiri empat pemuda itu seraya menjura meminta maaf. "Para ksatria yang budiman, maafkan kenakalan dan kelancangan cucu saya. Ia sama sekali tak paham apa yang dikatakannya."
Mendengar kata-kata Lintang Abang, pemuda berompi merah hanya memandang menyelidik. Kemarahannya pada Parasu belum sirna. Ia pun penasaran apakah yang dikatakan Parasu benar adanya atau hanya mengada-ada. Tiba-tiba ia mendorong Lintang Abang hingga terjengkang ke lantai. Ia lalu bersiap memukul Lintang Abang, tapi langsung dicegah Tancaka.
"Sudah-sudah buat apa cari keributan di sini. Apalagi menghadapi kakek tua yang tak berdaya itu. Buat apa kita hajar, tak ada gunanya, buang-buang tenaga saja" sergah Tancaka.
Napas pemuda berompi merah masih tersengal-sengal, namun amarahnya terlihat reda. Kali ini Lintang Abang yang dalam posisi berlutut kembali meminta maaf. Parasu yang kesal sekali dengan tingkah kakeknya hendak beranjak dari kursi. Namun langsung dicegah Lintang Abang dengan isyarat tangan.
"Makanya Kek, didik yang benar cucunya itu soal sopan santun. Suruh belajar bicara yang benar. Bilang ke dia juga jangan mimpi dan berkhayal ketinggian. Baiklah, kali ini kalian kumaafkan," cetus pemuda berompi merah sambil beringsut kembali ke mejanya.
Sekitar lima belas menit kemudian, setelah selesai bersantap, Lintang Abang dan Parasu meninggalkan kedai itu. Wajah Parasu masih terlihat bersungut-sungut. Ia kesal sekali kakeknya terkesan pengecut. Padahal, ia sangat yakin dengan satu atau dua kali gebrakan saja, kakeknya akan mampu membuat empat pemuda sombong yang masih nongkrong di kedai itu roboh tak berkutik.
"Kok kayak gitu amat sih Kek. Mengapa kakek mengalah dan menghindar. Bikin malu aku saja. Padahal tadi aku sudah bilang kakek itu pendekar hebat. Mereka semua jadi tak percaya. Ah bikin malu aja," gerutu Parasu.
Sesaat Lintang Abang terdiam. Ia memandang Parasu dengan lembut. Kemudian ia tersenyum tipis. Betapa sayangnya ia dengan cucunya itu.
"Kakek tak ingin Rasu terluka. Kakek tak mau Rasu terlibat dalam persoalan yang tak ada manfaatnya jika diteruskan. Tak ada untungnya kita berkelahi untuk sesuatu yang tak ada alasannya, Rasu. Apalagi tadi Rasu sendiri yang memulai pertengkaran, itu tak baik."
Parasu masih menggerutu. Omelan-omelannya soal kakeknya yang selalu memilih menghindar dan menjauhi masalah terus terlontar dari bibir mungilnya. Seperti biasa, Lintang Abang selalu membalas omelan-omelan Parasu dengan senyuman.
Dalam hatinya Lintang Abang hanya berharap, nanti di suatu masa, Parasu memahami semua langkah yang diambilnya. Alasan-alasan mengapa ia selalu berusaha sebisa mungkin menghindari kekerasan dan dendam.
Permukaan Sungai Brantas terlihat tenang, tanda kedalaman sungai yang bermata air di Gunung Arjuno itu sulit diduga. Seperti sulitnya menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala warga Kediri yang terpaksa harus mengungsi, berlindung, dan bersembunyi di tempat aman. Jalanan di sepanjang pinggiran kota hanya diisi lalu-lalang prajurit yang terlihat waspada dan siaga.Lintang Abang dan Parasu sudah berada di tapal batas kota. Tak sulit bagi mereka untuk melewati penjagaan. Prajurit penjaga tak melihat keanehan dari keduanya sebagai warga dusun yang sedang mencari perlindungan dari kekejaman para rampok bekas laskar Singasari. Para prajurit itu bahkan menyarankan agar keduanya bersembunyi di balik Bukit Maskumambang atau di Pegunungan Klotok bersama ribuan warga dusun lainnya."Kek apa yang sebenarnya sedang terjadi
Perisai pun tersentak. "Pedang itu hilang!? Bagaimana bisa?"Ki Carik Tresna tertunduk. Ia tak mampu menatap Perisai. Namun ia memberanikan diri memberi alasan. "Kami sudah berusaha menjaganya, Ki Perisai. Tapi apa daya pendekar tangan buntung itu terlalu digdaya. Meski kami bersepuluh, kami tak sanggup menghadapinya. Kami mohon maaf." Perisai hanya bisa mengepalkan tangannya. Giginya gemeretuk menahan geram. Ia menyesal meninggalkan pedang cahaya di kediamannya. Tapi itu terpaksa dilakukannya karena istrinya, Nuri Gagap, menginginkannya tak membawa senjata saat menghadiri pesta pernikahan adiknya di sebelah Dusun Kaliantu. Ia lantas menitipkan pedang cahaya pada Ki Carik Tresna."Bagaimana mungkin pencuri itu tahu pedang cahaya aku tinggal di rumah? Pasti ada orang d
Hanya semalam setelah pedang cahaya hilang, keesokan paginya Dusun Kaliantu diserbu ratusan murid dari Perguruan Mata Angin. Warga dusun hanya bisa sembunyi dan meringkuk di rumah masing-masing.Penyerbuan itu menggunakan pasukan berkuda di bawah pimpinan langsung Begal Utara, Begal Timur, dan Begal Barat. Para begal datang untuk menuntut balas kematian saudara seperguruannya, Begal Selatan. Begal Selatan tewas di tangan Perisai sepuluh purnama sebelumnya. Kala itu Perisai harus turun dari Gunung Wilis untuk menemani istrinya, Nuri Gagap, pulang ke kampung halamannya di Dusun Kaliantu. Sepasang suami istri itu meminta izin pada Tan Kim Lian yang juga hendak berangkat ke Tuban untuk menemui pasukan Mongol yang dikabarkan telah membongkar muatan.Nuri Gagap terpaksa pul
Hujan tiba-tiba mengguyur deras di tapal batas Dusun Kaliantu. Petir menyambar di mana-mana. Angin kencang melayangkan dedaunan dan ranting-ranting rapuh. Pohon-pohon angsana yang kukuh, tercerabut sampai akarnya, seperti malaikat maut yang dengan mudahnya mencabut nyawa manusia. Tanpa ada tunda, tanpa ada tambahan masa. Semua tepat sesuai titah Sang Penguasa. Di antara rintik-rintik hujan, Ki Carik Tresna tetap menjalankan kudanya. Matanya yang setajam elang melihat sekeliling. "Ayah dan ibu di mana, Paman Tresna? Mengapa kita harus pergi meninggalkan rumah?" Parasu sudah duduk di atas pelana kuda. Di belakangnya Ki Carik Tresna masih mengendalikan tali kekang kuda. Kuda Jagabaya Rodra mengikutinya dari belakang. Mata Rodra juga berputar ke sekeliling selama perjalanan.
Parasu masih terbengong. Lintang Abang yang melihat cucunya bengong, heran. Tak biasanya cucunya diam membisu dengan tatapan mata kosong.''Ada apa Rasu?''''Terima kasih Kek.''''Lho kok tiba-tiba mengucapkan terima kasih?''''Iya Kek, Rasu ingat kejadian beberapa bulan lalu, coba kalau tak ada kakek, Rasu pasti sudah mati di tangan Paman Rodra. Maafkan Rasu selama ini telah merepotkan kakek.'' ''Ah Rasu, seharusnya kakeklah yang harus minta maaf, kalau saja kakek tidak datang terlambat, ayah ibumu mungkin masih bisa selamat.'' ''Kok kakek tahu ayah dan ibu ada di Dusun Kaliantu?'' ''Kakek sebenarnya tak sengaja sampai di Kaliantu. Bertahun-tahun kakek terjebak di dasar jurang sedalam tiga puluhan kaki. Kakek hanyut di tempat itu setelah pingsan terkena pukulan kakak seperguruan Kakek, Begal Utara. Setiap hari Kakek hanya makan seadanya, apa saja yang ada di sekeliling Kakek, ulat, kodok, cacing, ular.
Di atas permukaan bumi, ada lembah, ngarai, bukit, gunung, hutan, sawah, ladang, sungai, danau, pantai, dan laut yang membentang terhampar dengan segala keindahannya yang berbeda-beda. Yang Maha Kuasa memang memanjakan mata manusia dengan segala warna-warni yang berbeda. Namun dilihat dari sudut-sudut bumi manapun, di atas ada langit yang tetap sama.Kinarsih masih memandang langit. Langit masih tampak memerah. Matahari yang merah seakan enggan tenggelam ke ufuk barat, meski senja telah hadir merekah.Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ratusan anak panah yang telah dilepaskan sisa-sisa laskar Singasari dan Mata Angin. Menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara Kediri.Burung-burung hitam yang hanya memiliki naluri mencabik dan melahap daging ratusan tubuh tak bernyawa itu seakan tak pernah puas. Sambil mengepakkan sayap-sayapnya mereka meloncat kesana-kemari di antara onggokan bangkai prajurit-prajurit y
''SAYAP GENI!!!'' kedua tangan Jayakenanga merapal ke depan.Kobaran api yang sangat besar keluar dari kedua tapak tangannya membakar perahu layar Dewa Penjuru Angin. Para prajurit sisa laskar Singasari pun sibuk memadam api. Saat itulah Jayakenanga meloncat menerjang perahu layar yang terbakar. Sementara, Tatya yang menggendong Kinarsih menggerakkan sampan menjauhi sungai menuju darat. Begal Timur bergegas menyosong kedatangan Jayakenanga. ''Biar aku saja guru yang akan menghabisi cecunguk itu,'' cetusnya kepada Dewa Penjuru Angin. Begal Timur bergerak menyongsong kehadiran Jayakenanga. Kedua pendekar itu kini sudah saling berhadapan sejauh empat batang tombak.''Hai Jayakenanga, dulu ada pendekar di sebuah dusun yang memiliki ilmu kanugaran sepertimu. Mirip sekali. Tapi bagiku tak ada apa-apanya, dengan sekali gebrak ia langsung mati ha...ha...ha...!'' sesumbar Begal Timur.Sesaat Jayakenanga terhenyak. Tak mu
Akhir 1215 saka. Udara sejuk di pagi hari berubah panas menyesakkan.Suara gong sayup-sayup terdengar dan genderang perang ramai ditabuhkan. Lalu derak perahu-perahu layar raksasa merapat. Derap ribuan kaki kuda menggema.Teriakan perang menyusul, menuntut darah. Pedang dan tombak bergemerincing, diikuti rintihan dan erangan yang terkena.Parasu terus bergerak dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Ketika turun dari atas pohon, tak lelah ia bertanya ke sana ke mari untuk mengetahui di mana keberadaan kelompok Perguruan Mata Angin yang tergabung dalam pasukan Mongol untuk menyerang Kediri.Ia hanya ingin memastikan tak salah tempat untuk mendapatkan musuh yang dia cari, Jagabaya Rodra. Si pengkhianat dari Perguruan Mata Angin yang telah membuatnya kehilangan ayah dan ibunda.Pada tahun 1215 Saka ini, pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanagara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan pada 1212 Saka. Pasukan