Suara gong sayup-sayup terdengar dan genderang perang ramai ditabuhkan. Lalu derak perahu-perahu layar raksasa merapat. Derap ribuan kaki kuda menggema.
Teriakan perang menyusul, menuntut darah. Pedang dan tombak bergemerincing, diikuti rintihan dan erangan yang terkena.
Parasu terus bergerak dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Ketika turun dari atas pohon, tak lelah ia bertanya ke sana ke mari untuk mengetahui di mana keberadaan kelompok Perguruan Mata Angin yang tergabung dalam pasukan Mongol untuk menyerang Kediri.
Ia hanya ingin memastikan tak salah tempat untuk mendapatkan musuh yang dia cari, Jagabaya Rodra. Si pengkhianat dari Perguruan Mata Angin yang telah membuatnya kehilangan ayah dan ibunda.
Pada tahun 1215 Saka ini, pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanagara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan pada 1212 Saka. Pasukan
Ketika kedua kubu bersiap saling menghantam, dari dalam gubuk, Kinarsih berteriak histeris.“Bundaaa…jangan tinggalkan aku sendirian, bundaaa…!”Tak seberapa lama, Kinarsih bergegas keluar dari gubuk. Matanya masih berkaca-kaca.Ada sedikit isak tangis di sana, tapi sorot matanya berubah merah. Kemudian kedua tapak tangannya menyala api.Sejurus kemudian, Kinarsih menerjang Rodra dan lima penunggang kuda. Rodra berusaha menghindar.“Kalian semua harus mati!!!” seru Kinarsih.Lima prajurit berkuda mencoba mengadang Kinarsih.“Sayap Geni!!!” teriak Kinarsih merapal ajian keluarganya.Seketika api berkobar membakar para prajurit itu sekaligus kuda-kudanya. Napas Kinarsih tersengal-sengal. Tangannya masih menyisakan kepulan asap. Namun ia sudah terlihat sempoyongan. Agaknya jurus Sayap Geni-nya belum sesempurna ayah dan kakeknya.Rodra b
BLETHAK!!! DHUAARR!!! Benturan dahsyat tak terhindarkan. Dewa Penjuru Angin terkesiap. Serangan ajian Tapak Limannya mampu dibendung dengan ajian yang sama pula. Di depannya berdiri sosok yang terlihat terhuyung-huyung menahan luka di dada. Sosok itu bukan Parasu, bukan Kutira, bukan pula Kinarsih. Ia mengenakan baju layaknya brahmana. Topi caping lebar menempel di kepalanya. Tangan kanan sosok itu terlihat buntung. Ketika sosok itu membuka topi capingnya, Dewa Penjuru Angin kaget bukan kepalang, ”Begal Barat?! Kau?”“Iya guru, maafkan aku guru. Sebaiknya kita hentikan saja pertempuran ini guru, agar tak banyak lagi korban berjatuhan,” ujar Begal Barat sembari menjura.Dewa Penjuru Angin gusar. Ia kesal bukan kepalang, Begal Barat kini sudah tak lagi berpihak pada dirinya. Begal Barat memilih menentangnya. “Lama menghilang, bukannya kembali ke perguruan, kini kau malah sok menggurui gurumu, mau melawanku? Apa kau pikir pantas? H
Dewa Penjuru Angin tersenyum sinis. Wajah pongahnya terlihat jelas.“Ooo akhirnya kau menampakkan batang hidungmu, Lintang Abang! Murid pengkhianat, pencuri kitab! Murid paling tolol!” teriaknya menghardik.Lintang Abang selangkah demi selangkah mendekati posisi berdiri Dewa Penjuru Angin. Kini tak ada alasan untuk tidak menghadapi gurunya sendiri.Bukan hanya soal pesan Begal Barat, Lintang Abar tak akan mundur atau kabur karena ia sadar di tempat ini hanya dirinya satu-satunya yang sanggup menghadapi Dewa Penjuru Angin. Jika tak dihadapi, ia khawatir dengan keselamatan Parasu dan orang-orang di samping cucunya. Ia tak ingin semua binasa karena kebiadaban gurunya.Dewa Penjuru Angin merapal ajian Tapak Liman-nya. “Maju sini murid pengkhianat! Pecundang pencuri kitab! Pengecut yang suka kabur! Kau tak pantas hidup. Jika kau masih hidup, hidupmu hanya mempermalukan Mata Angin!!!”“Tapak Li
Ketika dua kekuatan dahsyat itu tengah beradu, Parasu bergegas melambungkan badannya dengan Gingkang Kijang. Dua tangannya menggenggam erat pedang cahaya.Tiga kali lompatan, Parasu sudah berada lima kaki di atas kepala Dewa Penjuru Angin yang kini terhuyung-huyung setelah dua kali beradu ajian dengan Lintang Abang.Dewa Penjuru Angin sempat menengadahkan wajahnya untuk melihat sosok yang menerjangnya dari atas. Namun matanya langsung terpicing karena silaunya pedang cahaya yang memantulkan sinar matahari. Sekelebat ia sadar sosok di atasnya adalah bocah kecil yang tadi membuat Rodra memilih kabur. Dewa Penjuru Angin mendelik. Ia sudah tak punya kesempatan menghindar. Kepongahannya runtuh berubah ketakutan. Kesombongannya sebagai pendekar pilih tanding musnah. Mahaguru Mata Angin yang tersohor itu begidik ngeri. Tak menyangka nyawanya bakal sirna di depan mata, bukan di tangan pendekar pilih tanding, tapi di tangan bocah yan
Di sisi selatan Kediri, di kaki Gunung Bolo, Parasu, Kinarsih, dan Kutira duduk bersimpuh di depan tiga gundukan tanah yang masih basah. Kaki gunung itu menjadi peristirahatan terakhir Lintang Abang, Begal Barat, dan Tatya.Rintik rintik air hujan tiba tiba hadir pagi itu membasahi tanah kuburan. Di antara gerimis, Kinarsih menangis, menyertai kepergian ibundanya untuk selama-lamanya.Parasu memandang lemah Kinarsih. Ia ingin sekali menghiburnya. Atau mungkin memeluknya. Tapi apa daya, dadanya terasa sesak menahan agar air matanya tak tumpah di pemakaman.Parasu bisa merasakan kesedihan dan kegetiran Kinarsih yang kini harus hidup sebatang kara. Seperti dirinya.Parasu tak bisa membayangkan bagaimana ia akan menjalani hidupnya hari demi hari ke depan. Ia pun tak bisa berpikir terlalu jauh membayangkan nasib Kinarsih.Pertempuran dahsyat, peperangan hebat di tanah Jawa dari tahun ke tahun telah mengorbankan banyak nyawa tak
Tan Kim Lian kaget, berjarak sekitar lima belas tombak di hadapannya, sosok bertopeng memberanikan diri menantangnya duel satu lawan satu.Ia lebih kaget lagi saat sosok bertopeng yang entah masih bocah atau memang manusia cebol menghunus pedang yang jelas tak asing bagi dirinya. Itu pedang miliknya. Beberapa tahun silam pedang itu ia berikan kepada murid kesayangannya, Perisai. Sejak Perisai turun gunung ke Dusun Kaliantu, Tan Kim Lian sudah tak pernah lagi tahu keberadaan Perisai dan Nuri Gagap. Hanya kabar samar-samar berembus, Perisai tewas di tangan gerombolan dari Mata Angin.Sebagai guru, Tan Kim Lian jelas amat bersedih dan terpukul kehilangan murid terbaiknya. Tapi ia tak sempat memperdalam kabar itu karena kesibukannya membantu persiapan pasukan Mongol untuk menggempur Jayakatwang. Ketika Parasu kian mendekat. Sekitar lima tombak lagi. Tan Kim Lian memperkirakan sosok di hadapannya adalah seorang bocah. Ia menerka-nerk
BLUKKK!!! Parasu kaget sekali.Bukan pukulan amat keras yang diterimanya. Tapi pelukan. Iya, pelukan hangat dan erat sekali.“Kau pasti anak Perisai...” ujar Tan Kim Lian lirih tepat di telinga Parasu. Parasu terperangah. Ia berusaha mengenali sosok yang memeluknya dengan erat itu. Tan Kim Lian lalu membuka pelindung kepalanya.Sosoknya kini terlihat jelas. Wajah berkulit kuning dengan kumis dan cambang putih yang memanjang. Wajah yang sudah mulai dipenuhi keriput. Wajah yang tenang dan teduh seperti kakek Parasu, Lintang Abang. Parasu mencoba mengingat-ingat. Samar-samar ingatan masa kecilnya timbul. Sepertinya wajah lelaki tua di hadapannya pernah menghiasi hari-hari masa kecilnya dulu. “Kaki Gunung Wilis,” Tan Kim Lian seolah menjawab kebimbangan dan kebingungan Parasu terhadap sosoknya.Mendengar kata Gunung Wilis, lamat-lamat ingatan Parasu menguat. Sekonyong-konyong gil
1223 Saka. Rodra, Tancaka, dan dua puluh prajurit Majapahit menggerakkan kuda-kudanya memasuki rimba Semungklung.Ada rasa gentar dalam diri Rodra saat rombongannya sudah berada di tengah hutan. Ia waswas dengan sosok misterius yang akan dihadapinya nanti. Tapi tugas dari Raja Jayanegara sudah sangat jelas, ia diharuskan melenyapkan seluruh keturunan para pemberontak.Sempat tebersit untuk kabur dari hutan itu. Tapi kali ini Rodra malu pada Tancaka dan anak buahnya. Ia tak ingin reputasinya yang sempat tercoreng karena pernah kabur dari pertempuran terus membayangi.Semakin memasuki kedalaman hutan, gemuruh suara air terjun terdengar jelas. Suara cekikikan anak-anak kecil juga kian terdengar nyaring. Dada Rodra berdegub kencang. Ia kini harus kembali mengemban tugas untuk menghabisi nyawa anak kecil. Seakan sejarah terulang.Beberapa tahun silam, ia juga mendapat tugas untuk menghabisi seorang anak, meski upaya itu gagal.