Home / All / Titimangsa Parasu / Persenjataan

Share

Persenjataan

Author: Omeye
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Permukaan Sungai Brantas terlihat tenang, tanda kedalaman sungai yang bermata air di Gunung Arjuno itu sulit diduga. Seperti sulitnya menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala warga Kediri yang terpaksa harus mengungsi, berlindung, dan bersembunyi di tempat aman. Jalanan di sepanjang pinggiran kota hanya diisi lalu-lalang prajurit yang terlihat waspada dan siaga.

Lintang Abang dan Parasu sudah berada di tapal batas kota. Tak sulit bagi mereka untuk melewati penjagaan. Prajurit penjaga tak melihat keanehan dari keduanya sebagai warga dusun yang sedang mencari perlindungan dari kekejaman para rampok bekas laskar Singasari. Para prajurit itu bahkan menyarankan agar keduanya bersembunyi di balik Bukit Maskumambang atau di Pegunungan Klotok bersama ribuan warga dusun lainnya.

"Kek apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?" tanya Parasu setelah melangkah jauh dari gerbang perbatasan.

"Ceritanya sangat panjang, Rasu. Nanti di suatu masa, kamu juga akan mengerti..."

"Ah nanti di suatu masa...nanti di suatu masa terus...capek deh...Pokoknya Rasu maunya sekarang, nggak mau nanti di suatu masa lagi," rengek Parasu.

"Iya-iya, baiklah cucuku yang paling bawel," tukas Lintang Abang.

"Ah Kakek, buruan dong sudah nggak sabar nih," Parasu merajuk.

"Rasu, inti cerita ini sebenarnya adalah tentang kekuasaan. Kekuasaan yang diperoleh dengan pertumpahan darah tidak akan mudah untuk dipertahankan. Dendam untuk memperoleh kekuasaan kembali oleh pihak terkalahkan tak mudah dipadamkan. Tapi, tak hanya saat ini, nanti di suatu masa, kisah-kisah seperti itu akan berulang kembali seperti roda pedati,"

"Ah, kalimat itu lagi, itu lagi, nanti di suatu masa bla bla bla...Bosan ah Kek. Teruskan ceritanya, Kek. Tapi, nggak pakai 'nanti di suatu masa' ya," celetuk Parasu.

Lintang Abang tertawa terkekeh-kekeh. Ia pun meneruskan ceritanya.

"Kakek awali cerita ini melalui tokoh bernama Ken Arok. Ia berkedudukan sebagai akuwu atau bupati di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Sang Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kediri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka sekitar tahun 1144 Saka, Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di Dusun Ganter.

Dengan kemenangannya, Ken Arok dapat menguasai seluruh kekuasaan Kerajaan Kediri dan menyatakan dirinya sebagai raja dari kerajaan baru, Singasari, dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Sebagai raja pertama Singasari, Ken Arok menandai munculnya dinasti baru, yaitu dinasti Rajasa atau dinasti Girindra.

Tapi, perebutan kekuasan berdarah tak berhenti sampai di situ. Tak lama setelah memerintah Singasari, Ken Arok dibunuh seorang pengalasan atau prajurit atas insiatif Anusapati. Anusapati merupakan anak tiri Ken Arok dengan Ken Dedes. Anusapati merasa yakin sebagai anak kandung Ken Dedes dengan Tunggul Ametung yang sebelumnya dibunuh Ken Arok. Sebab, ketika Ken Arok mengawini Ken Dedes, Ken Dedes sebelumnya sudah mengandung anak Tunggul Ametung.

Anusapati kemudian dibunuh Tohjaya, anak Ken Arok dari istri keduanya, Ken Umang. Tohjaya kemudian berhasil dibunuh pula oleh Wisnuwardhana, anak dari Anusapati. Wisnuwardhana ini kemudian memimpin Singasari mulai tahun 1149 hingga 1190 Saka dengan aman. Singasari lalu dipimpin anak Wisnuwardhana bernama Kertanegara."

Lintang Abang menghentikan ceritanya. Tinggal sepelemparan batu ia dan Parasu sampai di kaki bukit Maskumambang. Puluhan orang terlihat berkerumun di depan sebuah goa batu. Mereka terlihat menonton perkelahian antarprajurit Kediri yang berebut sesuatu yang menancap di dinding goa. Sebuah pedang. Gagangnya terbuat dari perak dengan ukiran naga berwarna hitam. Namun batang hingga ujung pedang tak terlihat karena terbenam di dinding batu hitam.

Tiba-tiba seorang berjubah layaknya brahmana dengan jenggot memutih menyeruak dari kerumunan yang mulai beringas. Ia mengenakan topi caping amat lebar sehingga wajahnya tak bisa terlihat jelas. "Sudah...sudah...saudaraku, jangan memperebutkan sesuatu yang bukan milik kita hingga harus mengorbankan nyawa," teriak sosok berjubah brahmana.

"Lalu bagaimana sebaiknya Brahmana? Karena semua orang di sini merasa memilikinya?" cetus seorang prajurit bertubuh gempal.

Sosok berjubah brahmana tersenyum tipis, "Baiklah agar adil, semua harus mendapat kesempatan bergilir. Siapa yang mampu mencabut pedang itu, berarti dia pemiliknya dan siapapun tak berhak mengambil pedang itu dari tangan pemiliknya!"

Satu jam berlalu. Sebelas prajurit telah berusaha mencabut pedang itu, tapi tak ada satu pun yang mampu. Wajah mereka dihiasi peluh penuh kekecewaan.

"Baiklah, siapa lagi yang hendak mencoba mencabut pedang itu? Siapa pun boleh, silakan mencoba!" teriak sosok berjubah brahmana sambil mengedarkan pandangan.

Lintang Abang dan Parasu sudah sampai di kerumunan di depan goa. "Kek, Rasu mau mencoba cabut pedang itu," bisik Parasu.

"Hush, buat apa, kita tak membutuhkan pedang," hardik Lintang Abang.

"Tapi Kek, Rasu ingin punya pedang untuk menghadapi gerombolan Begal Timur. Rasu capek berlari dan sembunyi terus. Rasu yakin dengan Gingkang Kijang dan sebuah pedang, Rasu bisa kalahkan para begal itu. BRAHMANA! Saya mau coba!!!" spontan Parasu mengajukan diri.

Lintang Abang kaget sekali, namun ia tak mampu mencegah. Parasu telanjur maju ke depan.

Sosok berjubah brahmana menoleh sesaat ke arah Parasu. Wajah bocah itu sepertinya tak asing bagi dirinya. Tapi buru-buru ia memalingkan wajah dan menutup kepalanya dengan topi caping lebar saat melihat sosok Lintang Abang. Sekilas. ia sempat menggenggam gagang pedang itu sebelum mempersilakan Parasu. "Silakan saja Nak, jika merasa mampu!"

Parasu berlari kecil mendekati dinding goa. Sesaat ia tertegun. Ia seakan tak asing dengan gagang pedang berukir naga hitam itu. Namun ia tak ingin mengingatnya karena pikirannya terpusat untuk mengumpulkan tenaga di kedua tangannya.

Dua tangan Parasu terjulur ke depan, takbutuh waktu lama gagang pedang pun sudah ada dalam genggaman. SREEET!

Pedang itu lolos dari himpitan batu hitam seperti lepas dari sarungnya. Cahaya sangat menyilaukan mata segera terpancar saat Parasu mengangkat pedang ke udara. Cahaya terang itu berasal dari batang pedang yang memantulkan sinar matahari. Kerumunan orang yang ada di sekitar goa segera memicingkan mata. Adapula yang langsung memejamkan mata.

"Pe-pe-pe-dang cahaya!" teriak seorang prajurit yang terlihat paling tua di antara prajurit-prajurit lainnya.

"Pedang cahaya..." gumam sosok berjubah brahmana.

"Pedang itu..." desis Lintang Abang.

Sosok berjubah brahmana mendekati Parasu seraya menepuk pundaknya. "Nak, pedang itu berjodoh denganmu, itu milikmu. Gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Sebuah pedang tetaplah pedang, tergantung siapa yang menggunakannya." Usai berujar, sekali loncat sosok berjubah brahmana sudah keluar dari kerumunan.

Di loncatan kedua dan ketiga, tubuhnya sudah berada di separuh puncak bukit Maskumambang. Jubah hitamnya yang lebar berkibar-kibar diterpa angin. Kibaran jubah kian memperlihatkan lengan kanannya yang ternyata buntung.

"Rasu ada-ada saja kamu! Ayo lekas sini!" teriak Lintang Abang. Parasu bergegas menghampiri kakeknya. Wajahnya terlihat riang. Kerumunan orang-orang mulai berkurang.

"Ada apa Kek, kok kelihatannya nggak senang Rasu dapat senjata pusaka? Iri ya, nggak bisa mendapatkannya hayo? Ini pedang hebat lho Kek, kata orang-orang, ini namanya pedang cahaya. Senjata yang sangat terkenal dari daratan Cina," cetus Parasu.

Lintang Abang hanya membisu. Namun matanya tak lepas lekat pada pedang yang digenggam Parasu. Ia lalu menghela napas, "Itu...itu... pedang milik ayahmu yang telah lama hilang, Rasu..."

"Hah!!!? Parasu tersentak.

Related chapters

  • Titimangsa Parasu   Pencurian

    Perisai pun tersentak. "Pedang itu hilang!? Bagaimana bisa?"Ki Carik Tresna tertunduk. Ia tak mampu menatap Perisai. Namun ia memberanikan diri memberi alasan. "Kami sudah berusaha menjaganya, Ki Perisai. Tapi apa daya pendekar tangan buntung itu terlalu digdaya. Meski kami bersepuluh, kami tak sanggup menghadapinya. Kami mohon maaf." Perisai hanya bisa mengepalkan tangannya. Giginya gemeretuk menahan geram. Ia menyesal meninggalkan pedang cahaya di kediamannya. Tapi itu terpaksa dilakukannya karena istrinya, Nuri Gagap, menginginkannya tak membawa senjata saat menghadiri pesta pernikahan adiknya di sebelah Dusun Kaliantu. Ia lantas menitipkan pedang cahaya pada Ki Carik Tresna."Bagaimana mungkin pencuri itu tahu pedang cahaya aku tinggal di rumah? Pasti ada orang d

  • Titimangsa Parasu   Penyerbuan

    Hanya semalam setelah pedang cahaya hilang, keesokan paginya Dusun Kaliantu diserbu ratusan murid dari Perguruan Mata Angin. Warga dusun hanya bisa sembunyi dan meringkuk di rumah masing-masing.Penyerbuan itu menggunakan pasukan berkuda di bawah pimpinan langsung Begal Utara, Begal Timur, dan Begal Barat. Para begal datang untuk menuntut balas kematian saudara seperguruannya, Begal Selatan. Begal Selatan tewas di tangan Perisai sepuluh purnama sebelumnya. Kala itu Perisai harus turun dari Gunung Wilis untuk menemani istrinya, Nuri Gagap, pulang ke kampung halamannya di Dusun Kaliantu. Sepasang suami istri itu meminta izin pada Tan Kim Lian yang juga hendak berangkat ke Tuban untuk menemui pasukan Mongol yang dikabarkan telah membongkar muatan.Nuri Gagap terpaksa pul

  • Titimangsa Parasu   Pengkhianatan

    Hujan tiba-tiba mengguyur deras di tapal batas Dusun Kaliantu. Petir menyambar di mana-mana. Angin kencang melayangkan dedaunan dan ranting-ranting rapuh. Pohon-pohon angsana yang kukuh, tercerabut sampai akarnya, seperti malaikat maut yang dengan mudahnya mencabut nyawa manusia. Tanpa ada tunda, tanpa ada tambahan masa. Semua tepat sesuai titah Sang Penguasa. Di antara rintik-rintik hujan, Ki Carik Tresna tetap menjalankan kudanya. Matanya yang setajam elang melihat sekeliling. "Ayah dan ibu di mana, Paman Tresna? Mengapa kita harus pergi meninggalkan rumah?" Parasu sudah duduk di atas pelana kuda. Di belakangnya Ki Carik Tresna masih mengendalikan tali kekang kuda. Kuda Jagabaya Rodra mengikutinya dari belakang. Mata Rodra juga berputar ke sekeliling selama perjalanan.

  • Titimangsa Parasu   Pengharapan

    Parasu masih terbengong. Lintang Abang yang melihat cucunya bengong, heran. Tak biasanya cucunya diam membisu dengan tatapan mata kosong.''Ada apa Rasu?''''Terima kasih Kek.''''Lho kok tiba-tiba mengucapkan terima kasih?''''Iya Kek, Rasu ingat kejadian beberapa bulan lalu, coba kalau tak ada kakek, Rasu pasti sudah mati di tangan Paman Rodra. Maafkan Rasu selama ini telah merepotkan kakek.'' ''Ah Rasu, seharusnya kakeklah yang harus minta maaf, kalau saja kakek tidak datang terlambat, ayah ibumu mungkin masih bisa selamat.'' ''Kok kakek tahu ayah dan ibu ada di Dusun Kaliantu?'' ''Kakek sebenarnya tak sengaja sampai di Kaliantu. Bertahun-tahun kakek terjebak di dasar jurang sedalam tiga puluhan kaki. Kakek hanyut di tempat itu setelah pingsan terkena pukulan kakak seperguruan Kakek, Begal Utara. Setiap hari Kakek hanya makan seadanya, apa saja yang ada di sekeliling Kakek, ulat, kodok, cacing, ular.

  • Titimangsa Parasu   Pengorbanan

    Di atas permukaan bumi, ada lembah, ngarai, bukit, gunung, hutan, sawah, ladang, sungai, danau, pantai, dan laut yang membentang terhampar dengan segala keindahannya yang berbeda-beda. Yang Maha Kuasa memang memanjakan mata manusia dengan segala warna-warni yang berbeda. Namun dilihat dari sudut-sudut bumi manapun, di atas ada langit yang tetap sama.Kinarsih masih memandang langit. Langit masih tampak memerah. Matahari yang merah seakan enggan tenggelam ke ufuk barat, meski senja telah hadir merekah.Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ratusan anak panah yang telah dilepaskan sisa-sisa laskar Singasari dan Mata Angin. Menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara Kediri.Burung-burung hitam yang hanya memiliki naluri mencabik dan melahap daging ratusan tubuh tak bernyawa itu seakan tak pernah puas. Sambil mengepakkan sayap-sayapnya mereka meloncat kesana-kemari di antara onggokan bangkai prajurit-prajurit y

  • Titimangsa Parasu   Pelampiasan

    ''SAYAP GENI!!!'' kedua tangan Jayakenanga merapal ke depan.Kobaran api yang sangat besar keluar dari kedua tapak tangannya membakar perahu layar Dewa Penjuru Angin. Para prajurit sisa laskar Singasari pun sibuk memadam api. Saat itulah Jayakenanga meloncat menerjang perahu layar yang terbakar. Sementara, Tatya yang menggendong Kinarsih menggerakkan sampan menjauhi sungai menuju darat. Begal Timur bergegas menyosong kedatangan Jayakenanga. ''Biar aku saja guru yang akan menghabisi cecunguk itu,'' cetusnya kepada Dewa Penjuru Angin. Begal Timur bergerak menyongsong kehadiran Jayakenanga. Kedua pendekar itu kini sudah saling berhadapan sejauh empat batang tombak.''Hai Jayakenanga, dulu ada pendekar di sebuah dusun yang memiliki ilmu kanugaran sepertimu. Mirip sekali. Tapi bagiku tak ada apa-apanya, dengan sekali gebrak ia langsung mati ha...ha...ha...!'' sesumbar Begal Timur.Sesaat Jayakenanga terhenyak. Tak mu

  • Titimangsa Parasu   Pertempuran

    Akhir 1215 saka. Udara sejuk di pagi hari berubah panas menyesakkan.Suara gong sayup-sayup terdengar dan genderang perang ramai ditabuhkan. Lalu derak perahu-perahu layar raksasa merapat. Derap ribuan kaki kuda menggema.Teriakan perang menyusul, menuntut darah. Pedang dan tombak bergemerincing, diikuti rintihan dan erangan yang terkena.Parasu terus bergerak dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Ketika turun dari atas pohon, tak lelah ia bertanya ke sana ke mari untuk mengetahui di mana keberadaan kelompok Perguruan Mata Angin yang tergabung dalam pasukan Mongol untuk menyerang Kediri.Ia hanya ingin memastikan tak salah tempat untuk mendapatkan musuh yang dia cari, Jagabaya Rodra. Si pengkhianat dari Perguruan Mata Angin yang telah membuatnya kehilangan ayah dan ibunda.Pada tahun 1215 Saka ini, pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanagara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan pada 1212 Saka. Pasukan

  • Titimangsa Parasu   Persiapan

    Ketika kedua kubu bersiap saling menghantam, dari dalam gubuk, Kinarsih berteriak histeris.“Bundaaa…jangan tinggalkan aku sendirian, bundaaa…!”Tak seberapa lama, Kinarsih bergegas keluar dari gubuk. Matanya masih berkaca-kaca.Ada sedikit isak tangis di sana, tapi sorot matanya berubah merah. Kemudian kedua tapak tangannya menyala api.Sejurus kemudian, Kinarsih menerjang Rodra dan lima penunggang kuda. Rodra berusaha menghindar.“Kalian semua harus mati!!!” seru Kinarsih.Lima prajurit berkuda mencoba mengadang Kinarsih.“Sayap Geni!!!” teriak Kinarsih merapal ajian keluarganya.Seketika api berkobar membakar para prajurit itu sekaligus kuda-kudanya. Napas Kinarsih tersengal-sengal. Tangannya masih menyisakan kepulan asap. Namun ia sudah terlihat sempoyongan. Agaknya jurus Sayap Geni-nya belum sesempurna ayah dan kakeknya.Rodra b

Latest chapter

  • Titimangsa Parasu   Penutupan Awal

    Malam itu di tengah siraman cahaya rembulan di antara deburan ombak pantai selatan Jawa, dua insan sedang memilin asa. Parasu terdiam. Tubuhnya kaku menegang dalam desiran angin malam yang menyapa. Matanya memerah dialiri sungai kecil. Seolah tak peduli lingkungan sekitar, Parasu mendadak memeluk Kinarsih. Erat. Seakan tiada hari esok. Sejenak keduanya menetralkan gejolak dalam dada. Parasu melepaskan pelukannya. Genggaman erat tangannya, teduh matanya, bahkan air mata yang belum mengering menjelaskan betapa tersiksanya dia menahan rasa. Rasa yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Kinarsih yang menjelma wanita cantik, anggun, merekah semerbak bunga, telah menjadi milik orang lain. Seseorang yang selama tujuh tahun selalu setia menjaganya, Kutira. Kinarsih telah menjalin ikatan pernikahan dengan Kutira sejak tahun lalu. Parasu hadir terlambat. Andai ia datang setahun lebih cepat. “Maafkan aku, Rasu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” ucap li

  • Titimangsa Parasu   Perasaan

    Parasu membuka topeng panji putih yang selama ini selalu dikenakannya. Topeng pemberian Kutira saat prahara di Kediri beberapa tahun silam.Wajahnya lega setelah para prajurit Majapahit meninggalkan air terjun Kepyur. Bukan berarti ia tak berani menghadapi puluhan prajurit. Ia lebih senang tak ada pertumpahan darah di tempat itu. Pertumpahan darah yang sangat tak diinginkannya di depan lima anak kecil itu.Parasu tak ingin kekerasan dan dendam selalu menyelimuti dan mengendap di hati dan pikiran anak-anak itu. Seperti yang pernah ia alami di masa lalu.Parasu menghela napas. Ia lega tak lagi memendam dendam dan amarah seperti dulu. Padahal ia sedari tadi tahu sosok lawannya adalah musuh lamanya, Rodra. Salah seorang penyebab kehancuran keluarganya di masa lalu.Parasu berusaha keras untuk tak melampiaskan dendam. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan anak-anak itu tanpa pertumpahan darah. Kini ia bisa memahami pesan mendiang kakeknya, Lintang Abang, unt

  • Titimangsa Parasu   Pembantaian

    Rodra duduk di atas pelana kuda dengan pongahnya. Tancaka dan dua puluh prajurit mengikuti di belakangnya. Rombongan itu telah berada di tepi rimba Semungklung.“Kalian harus bersyukur, berkat aku, kalian semua tak mati sia-sia di tangan pendekar bertopeng itu. Aku melakukan ini agar semua selamat. Hahaha betapa lihainya aku, kita bisa bebas keluar dari hutan ini,” cetus Rodra yang menunggang kuda di posisi paling depan.Tancaka dan para prajurit lainnya hanya membisu mendengar bualan Rodra. Sebagai ksatria dan laskar Majapahit, mereka tampak kecewa lantaran tak mampu menjalankan perintah Sang Raja dan justru memilih kabur. “Kalian tak usah waswas, tak perlu khawatir, nanti di dusun manapun, kita berhenti untuk menculik anak-anak kecil, kita bunuh mereka, kita rusak wajah-wajahnya hingga tak dikenali lagi. Lalu kita persembahkan kepada Sang Raja.Kita pasti dianggap telah menuntaskan misi untuk membunuh cucu

  • Titimangsa Parasu   Persamaan

    Sepengetahuan Rodra, setelah Dewa Penjuru Angin tewas, hanya dia dan Tancaka, dua bekas murid Perguruan Mata Angin tersisa, yang masih menyimpan ajian ini. Sosok yang mampu meredam Tapak Liman pasti sudah lama mengenal dan mempelajari ajian yang melegenda di tanah Jawa.Rodra berpikir keras siapa sosok bertopeng yang kini berdiri gagah di hadapannya. Sosok itu seolah tak terdampak pukulan Tapak Liman milik Rodra dan Tancaka.Tak mungkin sosok itu Dewa Penjuru Angin, Begal Timur, Begal Barat, Begal Selatan, Begal Utara, Arya Kemusuk, atau Lintang Abang. Seingat Rodra, para pendekar penguasa ajian Tapak Liman itu sudah tewas beberapa tahun lalu.Sekilas Rodra terbesit sosok cucu Lintang Abang yang pernah melukai tangannya dalam pertempuran tujuh tahun lalu. Tapi cucu Lintang Abang sudah lama menghilang sejak pertempuran di selatan Kediri. Tak jelas rimbanya. Rasa penasaran kian menyelimutinya.Lantas siapa sosok di hadapannya itu? Peluh

  • Titimangsa Parasu   Penemuan

    1223 Saka. Rodra, Tancaka, dan dua puluh prajurit Majapahit menggerakkan kuda-kudanya memasuki rimba Semungklung.Ada rasa gentar dalam diri Rodra saat rombongannya sudah berada di tengah hutan. Ia waswas dengan sosok misterius yang akan dihadapinya nanti. Tapi tugas dari Raja Jayanegara sudah sangat jelas, ia diharuskan melenyapkan seluruh keturunan para pemberontak.Sempat tebersit untuk kabur dari hutan itu. Tapi kali ini Rodra malu pada Tancaka dan anak buahnya. Ia tak ingin reputasinya yang sempat tercoreng karena pernah kabur dari pertempuran terus membayangi.Semakin memasuki kedalaman hutan, gemuruh suara air terjun terdengar jelas. Suara cekikikan anak-anak kecil juga kian terdengar nyaring. Dada Rodra berdegub kencang. Ia kini harus kembali mengemban tugas untuk menghabisi nyawa anak kecil. Seakan sejarah terulang.Beberapa tahun silam, ia juga mendapat tugas untuk menghabisi seorang anak, meski upaya itu gagal.

  • Titimangsa Parasu   Perantauan

    BLUKKK!!! Parasu kaget sekali.Bukan pukulan amat keras yang diterimanya. Tapi pelukan. Iya, pelukan hangat dan erat sekali.“Kau pasti anak Perisai...” ujar Tan Kim Lian lirih tepat di telinga Parasu. Parasu terperangah. Ia berusaha mengenali sosok yang memeluknya dengan erat itu. Tan Kim Lian lalu membuka pelindung kepalanya.Sosoknya kini terlihat jelas. Wajah berkulit kuning dengan kumis dan cambang putih yang memanjang. Wajah yang sudah mulai dipenuhi keriput. Wajah yang tenang dan teduh seperti kakek Parasu, Lintang Abang. Parasu mencoba mengingat-ingat. Samar-samar ingatan masa kecilnya timbul. Sepertinya wajah lelaki tua di hadapannya pernah menghiasi hari-hari masa kecilnya dulu. “Kaki Gunung Wilis,” Tan Kim Lian seolah menjawab kebimbangan dan kebingungan Parasu terhadap sosoknya.Mendengar kata Gunung Wilis, lamat-lamat ingatan Parasu menguat. Sekonyong-konyong gil

  • Titimangsa Parasu   Perlawanan

    Tan Kim Lian kaget, berjarak sekitar lima belas tombak di hadapannya, sosok bertopeng memberanikan diri menantangnya duel satu lawan satu.Ia lebih kaget lagi saat sosok bertopeng yang entah masih bocah atau memang manusia cebol menghunus pedang yang jelas tak asing bagi dirinya. Itu pedang miliknya. Beberapa tahun silam pedang itu ia berikan kepada murid kesayangannya, Perisai. Sejak Perisai turun gunung ke Dusun Kaliantu, Tan Kim Lian sudah tak pernah lagi tahu keberadaan Perisai dan Nuri Gagap. Hanya kabar samar-samar berembus, Perisai tewas di tangan gerombolan dari Mata Angin.Sebagai guru, Tan Kim Lian jelas amat bersedih dan terpukul kehilangan murid terbaiknya. Tapi ia tak sempat memperdalam kabar itu karena kesibukannya membantu persiapan pasukan Mongol untuk menggempur Jayakatwang. Ketika Parasu kian mendekat. Sekitar lima tombak lagi. Tan Kim Lian memperkirakan sosok di hadapannya adalah seorang bocah. Ia menerka-nerk

  • Titimangsa Parasu   Pemakaman

    Di sisi selatan Kediri, di kaki Gunung Bolo, Parasu, Kinarsih, dan Kutira duduk bersimpuh di depan tiga gundukan tanah yang masih basah. Kaki gunung itu menjadi peristirahatan terakhir Lintang Abang, Begal Barat, dan Tatya.Rintik rintik air hujan tiba tiba hadir pagi itu membasahi tanah kuburan. Di antara gerimis, Kinarsih menangis, menyertai kepergian ibundanya untuk selama-lamanya.Parasu memandang lemah Kinarsih. Ia ingin sekali menghiburnya. Atau mungkin memeluknya. Tapi apa daya, dadanya terasa sesak menahan agar air matanya tak tumpah di pemakaman.Parasu bisa merasakan kesedihan dan kegetiran Kinarsih yang kini harus hidup sebatang kara. Seperti dirinya.Parasu tak bisa membayangkan bagaimana ia akan menjalani hidupnya hari demi hari ke depan. Ia pun tak bisa berpikir terlalu jauh membayangkan nasib Kinarsih.Pertempuran dahsyat, peperangan hebat di tanah Jawa dari tahun ke tahun telah mengorbankan banyak nyawa tak

  • Titimangsa Parasu   Perpisahan

    Ketika dua kekuatan dahsyat itu tengah beradu, Parasu bergegas melambungkan badannya dengan Gingkang Kijang. Dua tangannya menggenggam erat pedang cahaya.Tiga kali lompatan, Parasu sudah berada lima kaki di atas kepala Dewa Penjuru Angin yang kini terhuyung-huyung setelah dua kali beradu ajian dengan Lintang Abang.Dewa Penjuru Angin sempat menengadahkan wajahnya untuk melihat sosok yang menerjangnya dari atas. Namun matanya langsung terpicing karena silaunya pedang cahaya yang memantulkan sinar matahari. Sekelebat ia sadar sosok di atasnya adalah bocah kecil yang tadi membuat Rodra memilih kabur. Dewa Penjuru Angin mendelik. Ia sudah tak punya kesempatan menghindar. Kepongahannya runtuh berubah ketakutan. Kesombongannya sebagai pendekar pilih tanding musnah. Mahaguru Mata Angin yang tersohor itu begidik ngeri. Tak menyangka nyawanya bakal sirna di depan mata, bukan di tangan pendekar pilih tanding, tapi di tangan bocah yan

DMCA.com Protection Status