Permukaan Sungai Brantas terlihat tenang, tanda kedalaman sungai yang bermata air di Gunung Arjuno itu sulit diduga. Seperti sulitnya menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala warga Kediri yang terpaksa harus mengungsi, berlindung, dan bersembunyi di tempat aman. Jalanan di sepanjang pinggiran kota hanya diisi lalu-lalang prajurit yang terlihat waspada dan siaga.
Lintang Abang dan Parasu sudah berada di tapal batas kota. Tak sulit bagi mereka untuk melewati penjagaan. Prajurit penjaga tak melihat keanehan dari keduanya sebagai warga dusun yang sedang mencari perlindungan dari kekejaman para rampok bekas laskar Singasari. Para prajurit itu bahkan menyarankan agar keduanya bersembunyi di balik Bukit Maskumambang atau di Pegunungan Klotok bersama ribuan warga dusun lainnya.
"Kek apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?" tanya Parasu setelah melangkah jauh dari gerbang perbatasan.
"Ceritanya sangat panjang, Rasu. Nanti di suatu masa, kamu juga akan mengerti..."
"Ah nanti di suatu masa...nanti di suatu masa terus...capek deh...Pokoknya Rasu maunya sekarang, nggak mau nanti di suatu masa lagi," rengek Parasu.
"Iya-iya, baiklah cucuku yang paling bawel," tukas Lintang Abang.
"Ah Kakek, buruan dong sudah nggak sabar nih," Parasu merajuk.
"Rasu, inti cerita ini sebenarnya adalah tentang kekuasaan. Kekuasaan yang diperoleh dengan pertumpahan darah tidak akan mudah untuk dipertahankan. Dendam untuk memperoleh kekuasaan kembali oleh pihak terkalahkan tak mudah dipadamkan. Tapi, tak hanya saat ini, nanti di suatu masa, kisah-kisah seperti itu akan berulang kembali seperti roda pedati,"
"Ah, kalimat itu lagi, itu lagi, nanti di suatu masa bla bla bla...Bosan ah Kek. Teruskan ceritanya, Kek. Tapi, nggak pakai 'nanti di suatu masa' ya," celetuk Parasu.
Lintang Abang tertawa terkekeh-kekeh. Ia pun meneruskan ceritanya.
"Kakek awali cerita ini melalui tokoh bernama Ken Arok. Ia berkedudukan sebagai akuwu atau bupati di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Sang Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kediri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka sekitar tahun 1144 Saka, Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di Dusun Ganter.
Dengan kemenangannya, Ken Arok dapat menguasai seluruh kekuasaan Kerajaan Kediri dan menyatakan dirinya sebagai raja dari kerajaan baru, Singasari, dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Sebagai raja pertama Singasari, Ken Arok menandai munculnya dinasti baru, yaitu dinasti Rajasa atau dinasti Girindra.
Tapi, perebutan kekuasan berdarah tak berhenti sampai di situ. Tak lama setelah memerintah Singasari, Ken Arok dibunuh seorang pengalasan atau prajurit atas insiatif Anusapati. Anusapati merupakan anak tiri Ken Arok dengan Ken Dedes. Anusapati merasa yakin sebagai anak kandung Ken Dedes dengan Tunggul Ametung yang sebelumnya dibunuh Ken Arok. Sebab, ketika Ken Arok mengawini Ken Dedes, Ken Dedes sebelumnya sudah mengandung anak Tunggul Ametung.
Anusapati kemudian dibunuh Tohjaya, anak Ken Arok dari istri keduanya, Ken Umang. Tohjaya kemudian berhasil dibunuh pula oleh Wisnuwardhana, anak dari Anusapati. Wisnuwardhana ini kemudian memimpin Singasari mulai tahun 1149 hingga 1190 Saka dengan aman. Singasari lalu dipimpin anak Wisnuwardhana bernama Kertanegara."
Lintang Abang menghentikan ceritanya. Tinggal sepelemparan batu ia dan Parasu sampai di kaki bukit Maskumambang. Puluhan orang terlihat berkerumun di depan sebuah goa batu. Mereka terlihat menonton perkelahian antarprajurit Kediri yang berebut sesuatu yang menancap di dinding goa. Sebuah pedang. Gagangnya terbuat dari perak dengan ukiran naga berwarna hitam. Namun batang hingga ujung pedang tak terlihat karena terbenam di dinding batu hitam.
Tiba-tiba seorang berjubah layaknya brahmana dengan jenggot memutih menyeruak dari kerumunan yang mulai beringas. Ia mengenakan topi caping amat lebar sehingga wajahnya tak bisa terlihat jelas. "Sudah...sudah...saudaraku, jangan memperebutkan sesuatu yang bukan milik kita hingga harus mengorbankan nyawa," teriak sosok berjubah brahmana.
"Lalu bagaimana sebaiknya Brahmana? Karena semua orang di sini merasa memilikinya?" cetus seorang prajurit bertubuh gempal.
Sosok berjubah brahmana tersenyum tipis, "Baiklah agar adil, semua harus mendapat kesempatan bergilir. Siapa yang mampu mencabut pedang itu, berarti dia pemiliknya dan siapapun tak berhak mengambil pedang itu dari tangan pemiliknya!"
Satu jam berlalu. Sebelas prajurit telah berusaha mencabut pedang itu, tapi tak ada satu pun yang mampu. Wajah mereka dihiasi peluh penuh kekecewaan.
"Baiklah, siapa lagi yang hendak mencoba mencabut pedang itu? Siapa pun boleh, silakan mencoba!" teriak sosok berjubah brahmana sambil mengedarkan pandangan.
Lintang Abang dan Parasu sudah sampai di kerumunan di depan goa. "Kek, Rasu mau mencoba cabut pedang itu," bisik Parasu.
"Hush, buat apa, kita tak membutuhkan pedang," hardik Lintang Abang.
"Tapi Kek, Rasu ingin punya pedang untuk menghadapi gerombolan Begal Timur. Rasu capek berlari dan sembunyi terus. Rasu yakin dengan Gingkang Kijang dan sebuah pedang, Rasu bisa kalahkan para begal itu. BRAHMANA! Saya mau coba!!!" spontan Parasu mengajukan diri.
Lintang Abang kaget sekali, namun ia tak mampu mencegah. Parasu telanjur maju ke depan.
Sosok berjubah brahmana menoleh sesaat ke arah Parasu. Wajah bocah itu sepertinya tak asing bagi dirinya. Tapi buru-buru ia memalingkan wajah dan menutup kepalanya dengan topi caping lebar saat melihat sosok Lintang Abang. Sekilas. ia sempat menggenggam gagang pedang itu sebelum mempersilakan Parasu. "Silakan saja Nak, jika merasa mampu!"
Parasu berlari kecil mendekati dinding goa. Sesaat ia tertegun. Ia seakan tak asing dengan gagang pedang berukir naga hitam itu. Namun ia tak ingin mengingatnya karena pikirannya terpusat untuk mengumpulkan tenaga di kedua tangannya.
Dua tangan Parasu terjulur ke depan, takbutuh waktu lama gagang pedang pun sudah ada dalam genggaman. SREEET!
Pedang itu lolos dari himpitan batu hitam seperti lepas dari sarungnya. Cahaya sangat menyilaukan mata segera terpancar saat Parasu mengangkat pedang ke udara. Cahaya terang itu berasal dari batang pedang yang memantulkan sinar matahari. Kerumunan orang yang ada di sekitar goa segera memicingkan mata. Adapula yang langsung memejamkan mata.
"Pe-pe-pe-dang cahaya!" teriak seorang prajurit yang terlihat paling tua di antara prajurit-prajurit lainnya.
"Pedang cahaya..." gumam sosok berjubah brahmana.
"Pedang itu..." desis Lintang Abang.
Sosok berjubah brahmana mendekati Parasu seraya menepuk pundaknya. "Nak, pedang itu berjodoh denganmu, itu milikmu. Gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Sebuah pedang tetaplah pedang, tergantung siapa yang menggunakannya." Usai berujar, sekali loncat sosok berjubah brahmana sudah keluar dari kerumunan.
Di loncatan kedua dan ketiga, tubuhnya sudah berada di separuh puncak bukit Maskumambang. Jubah hitamnya yang lebar berkibar-kibar diterpa angin. Kibaran jubah kian memperlihatkan lengan kanannya yang ternyata buntung.
"Rasu ada-ada saja kamu! Ayo lekas sini!" teriak Lintang Abang. Parasu bergegas menghampiri kakeknya. Wajahnya terlihat riang. Kerumunan orang-orang mulai berkurang.
"Ada apa Kek, kok kelihatannya nggak senang Rasu dapat senjata pusaka? Iri ya, nggak bisa mendapatkannya hayo? Ini pedang hebat lho Kek, kata orang-orang, ini namanya pedang cahaya. Senjata yang sangat terkenal dari daratan Cina," cetus Parasu.
Lintang Abang hanya membisu. Namun matanya tak lepas lekat pada pedang yang digenggam Parasu. Ia lalu menghela napas, "Itu...itu... pedang milik ayahmu yang telah lama hilang, Rasu..."
"Hah!!!? Parasu tersentak.
Perisai pun tersentak. "Pedang itu hilang!? Bagaimana bisa?"Ki Carik Tresna tertunduk. Ia tak mampu menatap Perisai. Namun ia memberanikan diri memberi alasan. "Kami sudah berusaha menjaganya, Ki Perisai. Tapi apa daya pendekar tangan buntung itu terlalu digdaya. Meski kami bersepuluh, kami tak sanggup menghadapinya. Kami mohon maaf." Perisai hanya bisa mengepalkan tangannya. Giginya gemeretuk menahan geram. Ia menyesal meninggalkan pedang cahaya di kediamannya. Tapi itu terpaksa dilakukannya karena istrinya, Nuri Gagap, menginginkannya tak membawa senjata saat menghadiri pesta pernikahan adiknya di sebelah Dusun Kaliantu. Ia lantas menitipkan pedang cahaya pada Ki Carik Tresna."Bagaimana mungkin pencuri itu tahu pedang cahaya aku tinggal di rumah? Pasti ada orang d
Hanya semalam setelah pedang cahaya hilang, keesokan paginya Dusun Kaliantu diserbu ratusan murid dari Perguruan Mata Angin. Warga dusun hanya bisa sembunyi dan meringkuk di rumah masing-masing.Penyerbuan itu menggunakan pasukan berkuda di bawah pimpinan langsung Begal Utara, Begal Timur, dan Begal Barat. Para begal datang untuk menuntut balas kematian saudara seperguruannya, Begal Selatan. Begal Selatan tewas di tangan Perisai sepuluh purnama sebelumnya. Kala itu Perisai harus turun dari Gunung Wilis untuk menemani istrinya, Nuri Gagap, pulang ke kampung halamannya di Dusun Kaliantu. Sepasang suami istri itu meminta izin pada Tan Kim Lian yang juga hendak berangkat ke Tuban untuk menemui pasukan Mongol yang dikabarkan telah membongkar muatan.Nuri Gagap terpaksa pul
Hujan tiba-tiba mengguyur deras di tapal batas Dusun Kaliantu. Petir menyambar di mana-mana. Angin kencang melayangkan dedaunan dan ranting-ranting rapuh. Pohon-pohon angsana yang kukuh, tercerabut sampai akarnya, seperti malaikat maut yang dengan mudahnya mencabut nyawa manusia. Tanpa ada tunda, tanpa ada tambahan masa. Semua tepat sesuai titah Sang Penguasa. Di antara rintik-rintik hujan, Ki Carik Tresna tetap menjalankan kudanya. Matanya yang setajam elang melihat sekeliling. "Ayah dan ibu di mana, Paman Tresna? Mengapa kita harus pergi meninggalkan rumah?" Parasu sudah duduk di atas pelana kuda. Di belakangnya Ki Carik Tresna masih mengendalikan tali kekang kuda. Kuda Jagabaya Rodra mengikutinya dari belakang. Mata Rodra juga berputar ke sekeliling selama perjalanan.
Parasu masih terbengong. Lintang Abang yang melihat cucunya bengong, heran. Tak biasanya cucunya diam membisu dengan tatapan mata kosong.''Ada apa Rasu?''''Terima kasih Kek.''''Lho kok tiba-tiba mengucapkan terima kasih?''''Iya Kek, Rasu ingat kejadian beberapa bulan lalu, coba kalau tak ada kakek, Rasu pasti sudah mati di tangan Paman Rodra. Maafkan Rasu selama ini telah merepotkan kakek.'' ''Ah Rasu, seharusnya kakeklah yang harus minta maaf, kalau saja kakek tidak datang terlambat, ayah ibumu mungkin masih bisa selamat.'' ''Kok kakek tahu ayah dan ibu ada di Dusun Kaliantu?'' ''Kakek sebenarnya tak sengaja sampai di Kaliantu. Bertahun-tahun kakek terjebak di dasar jurang sedalam tiga puluhan kaki. Kakek hanyut di tempat itu setelah pingsan terkena pukulan kakak seperguruan Kakek, Begal Utara. Setiap hari Kakek hanya makan seadanya, apa saja yang ada di sekeliling Kakek, ulat, kodok, cacing, ular.
Di atas permukaan bumi, ada lembah, ngarai, bukit, gunung, hutan, sawah, ladang, sungai, danau, pantai, dan laut yang membentang terhampar dengan segala keindahannya yang berbeda-beda. Yang Maha Kuasa memang memanjakan mata manusia dengan segala warna-warni yang berbeda. Namun dilihat dari sudut-sudut bumi manapun, di atas ada langit yang tetap sama.Kinarsih masih memandang langit. Langit masih tampak memerah. Matahari yang merah seakan enggan tenggelam ke ufuk barat, meski senja telah hadir merekah.Burung-burung gagak hitam terlihat bertebaran di angkasa seperti ratusan anak panah yang telah dilepaskan sisa-sisa laskar Singasari dan Mata Angin. Menghujam tubuh-tubuh lelah ratusan bala tentara Kediri.Burung-burung hitam yang hanya memiliki naluri mencabik dan melahap daging ratusan tubuh tak bernyawa itu seakan tak pernah puas. Sambil mengepakkan sayap-sayapnya mereka meloncat kesana-kemari di antara onggokan bangkai prajurit-prajurit y
''SAYAP GENI!!!'' kedua tangan Jayakenanga merapal ke depan.Kobaran api yang sangat besar keluar dari kedua tapak tangannya membakar perahu layar Dewa Penjuru Angin. Para prajurit sisa laskar Singasari pun sibuk memadam api. Saat itulah Jayakenanga meloncat menerjang perahu layar yang terbakar. Sementara, Tatya yang menggendong Kinarsih menggerakkan sampan menjauhi sungai menuju darat. Begal Timur bergegas menyosong kedatangan Jayakenanga. ''Biar aku saja guru yang akan menghabisi cecunguk itu,'' cetusnya kepada Dewa Penjuru Angin. Begal Timur bergerak menyongsong kehadiran Jayakenanga. Kedua pendekar itu kini sudah saling berhadapan sejauh empat batang tombak.''Hai Jayakenanga, dulu ada pendekar di sebuah dusun yang memiliki ilmu kanugaran sepertimu. Mirip sekali. Tapi bagiku tak ada apa-apanya, dengan sekali gebrak ia langsung mati ha...ha...ha...!'' sesumbar Begal Timur.Sesaat Jayakenanga terhenyak. Tak mu
Akhir 1215 saka. Udara sejuk di pagi hari berubah panas menyesakkan.Suara gong sayup-sayup terdengar dan genderang perang ramai ditabuhkan. Lalu derak perahu-perahu layar raksasa merapat. Derap ribuan kaki kuda menggema.Teriakan perang menyusul, menuntut darah. Pedang dan tombak bergemerincing, diikuti rintihan dan erangan yang terkena.Parasu terus bergerak dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya. Ketika turun dari atas pohon, tak lelah ia bertanya ke sana ke mari untuk mengetahui di mana keberadaan kelompok Perguruan Mata Angin yang tergabung dalam pasukan Mongol untuk menyerang Kediri.Ia hanya ingin memastikan tak salah tempat untuk mendapatkan musuh yang dia cari, Jagabaya Rodra. Si pengkhianat dari Perguruan Mata Angin yang telah membuatnya kehilangan ayah dan ibunda.Pada tahun 1215 Saka ini, pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanagara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan pada 1212 Saka. Pasukan
Ketika kedua kubu bersiap saling menghantam, dari dalam gubuk, Kinarsih berteriak histeris.“Bundaaa…jangan tinggalkan aku sendirian, bundaaa…!”Tak seberapa lama, Kinarsih bergegas keluar dari gubuk. Matanya masih berkaca-kaca.Ada sedikit isak tangis di sana, tapi sorot matanya berubah merah. Kemudian kedua tapak tangannya menyala api.Sejurus kemudian, Kinarsih menerjang Rodra dan lima penunggang kuda. Rodra berusaha menghindar.“Kalian semua harus mati!!!” seru Kinarsih.Lima prajurit berkuda mencoba mengadang Kinarsih.“Sayap Geni!!!” teriak Kinarsih merapal ajian keluarganya.Seketika api berkobar membakar para prajurit itu sekaligus kuda-kudanya. Napas Kinarsih tersengal-sengal. Tangannya masih menyisakan kepulan asap. Namun ia sudah terlihat sempoyongan. Agaknya jurus Sayap Geni-nya belum sesempurna ayah dan kakeknya.Rodra b