Share

Bab 6

Sang dokter yang sudah dipenuhi uban dan pengalaman menatap wanita itu dengan rasa cemas. “Bu, saat ini kondisinya kritis, kita tidak punya waktu untuk menunggu tes DNA.”

“Tapi, masalahnya, Anda tidak mengerti, aku...aku tidak yakin,” wanita itu memohon dengan suara yang gemetar. Hatinya berdebar kencang menatap Darwin yang terbaring tak sadarkan diri di meja operasi. Wajah Darwin pucat, napasnya tersendat.

Dokter itu menggeleng mendengar permohonannya, “Bu, saya paham, tapi di sini kita tidak bisa ambil resiko jika belum ada kepastian tentang hubungan darah ini. Dia sekarang sedang dalam kondisi darurat.”

Wanita bangsawan itu merasa mulutnya mengering, telapak tangannya berkeringat meski sedang di ruangan AC. Dia segera mengambil ponselnya, jemarinya gemetar saat menekan nomor di layar.

“Ini Nyonya Margaret Pangestu, dengarkan baik-baik,” sentaknya pada orang yang sedang diteleponnya. “Aku butuh satu unit darah AB negatif dikirimkan ke Rumah Sakit Umum Sumber Kasih dalam 10 menit, paham?” Nada suaranya terdengar tegas.

Saat mengakhiri panggilan, jantungnya berdebar kencang. Dia menoleh pada dokter yang ternyata menatapnya dengan kernyitan.

“Bu, saya ingatkan lagi, kemungkinan bisa mendapat donor AB negatif secepat itu... rasanya hampir mustahil,” ucapnya dengan cemas. “Jika Anda bisa menjamin tidak ada hubungan darah dengan anak ini, kita bisa langsung proses tranfusinya.”

Wanita bangsawan itu terpaku sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Dia bisa merasakan rasa takutnya menjalari tulang belakangnya. Sudah puluhan tahun dia habiskan untuk mengubur masa lalunya, tetapi sekarang, rahasia tersebut malah muncul di hadapannya. Dia menatap Darwin lagi, wajah Darwin terlihat sangat tenang, begitu muda. Mungkinkah?

Dia menoleh ke arah dokter sambil menghela napas panjang, “Aku ingin tes DNA sekarang juga. Itu cara tercepat untuk memperjelas keadaan ini. Aku paham konsekuensinya, tapi kita tidak punya pilihan.”

Dokter itu terperanjat, “Bu, hasil tes DNA itu tidak akan keluar dengan cepat, bisa jadi berjam-jam, bukan hanya hitungan menit.”

“Aku mengerti,” ucap wanita itu penuh tekad. “Tetapi itulah resiko yang harus kita ambil, demi anak ini.”

Sang dokter ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk, memahami betapa seriusnya keadaan ini, “Baiklah Bu, kita lakukan sesuai yang Anda mau.”

Saat itulah terdengar desingan keras dari luar ruangan.

Dokter itu mengernyit, “Apa-apaan ini? Siapa yang ribut-ribut, apa mereka tidak tahu di rumah sakit itu tidak boleh berisik?” Dia berujar dengan kesal.

Nyonya Pangestu berdiri, meminta maf dengan tenang, “Maaf Dokter, itu orang-orang saya membawa donor darahnya.”

Dokter itu terkejut, suaranya semakin tidak terdengar di tengah keriuhan, dia mendongak kaget melihat helikopter hitam mendarat mulus di atap rumah sakit.

Beberapa saat kemudian, seorang pria berjas hitam bergegas masuk ke ruang operasi sambil membawa tas. “Nyonya Pangestu, saya membawa donor darah sesuai yang Nyonya minta,” ucapnya terengah sambil membungkuk.

Sang dokter menatap dengan tidak percaya, “Tapi ini baru lima menit!”

“Nyonya bukan orang yang suka menunggu,” pria itu menjawab dengan serius.

Nyonya Pangestu mengangguk dengan muram. “Berikan pada dokter sekarang.”

Dokter segera mengambil tas itu dengan setengah sadar, masih terpana dengan betapa cepatnya donor itu sampai. “Saya tidak tahu bagaimana Anda melakukan itu, Bu, tapi terima kasih. Sekarang saya bisa langsung proses tranfusinya sambil menunggu hasil tes.”

Saat para perawat mempersiapkan darahnya, dokter itu menoleh ke arah Nyonya Pangestu. “Maafkan keraguan saya, sepertinya Anda punya banyak koneksi.”

Nyonya Pangestu tersenyum dengan sedih, “Di situasi hidup dan mati, bukankah harus memanfaatkan segala koneksi yang ada.” Pandangannya beralih pada Darwin yang masih berjuang di tiap tarikan napasnya. “Cepatlah Dokter, mulai tranfusinya. Kita kehabisan waktu.”

Sang dokter segera memulai proses tranfusi, memasangkan kantong darah ke saluran infus Darwin. Saat darah yang berharga itu mulai mengalir masuk, dia menenangkan Nyonya Pangestu, “Melihat kondisinya, saya yakin dia akan segera stabil dan kita punya cukup waktu untuk mendapat jawaban yang Anda butuhkan.”

Nyonya Margaret memejamkan mata untuk menghalau air matanya, hatinya memanjatkan doa supaya hasil tes nanti memberinya kejelasan alih-alih lebih banyak pertanyaan.

Setelah satu jam yang menegangkan, tranfusi mulai membuahkan hasil. Warna-warna kehidupan mulai kembali ke tubuh Darwin seiring dengan kondisi vitalnya yang makin stabil.

Saat kesadarannya pulih, dia melihat Nyonya Margaret di samping tempat tidurnya. Mata Nyonya Margaret terlihat merah dan lelah. “Di mana...” suara Darwin serak karena tenggorokannya yang kering.

Nyonya Margaret menggenggam tangannya dengan lembut. “Tidak apa-apa, simpan tenagamu. Dokter akan menjelaskan semuanya.”

Seolah mendapat aba-aba, sang dokter memasuki ruangan dengan wajah lega. “Kamu sempat membuat kami khawatir, Nak, untungnya kesigapan Nyonya Pangestu menyelamatkanmu.”

Darwin mengernyit bingung, memandang mereka berdua bergantian, “Saya...tidak mengerti.”

Nyonya Pangestu membuka mulutnya hendak berbicara, tetapi kata-katanya tersendat. Air matanya kembali mengalir.

Untungnya pada saat itu juga datanglah seorang pria tua yang tampak elegan. “Nyonya Margaret, saya membawa hasilnya!” dia mengumumkan dengan gembira sambil mengulurkan setumpuk kertas.

Nyonya Pangestu mengambilnya dengan gemetaran, matanya mengamati hasil yang tertera. Isak tangis segera terdengar saat dia sadar akan kebenarannya. “Ternyata benar... Setelah sekian lama...”

Dokter itu mendekat, membacakan hasilnya, “Hasil tes DNA menyatakan, Nyonya Pangestu, anak ini adalah anak kandung Anda.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status