“Ini acara bergengsi, bukan ajang untuk bertengkar,” dia melanjutkan. Lukas menarik napas dalam-dalam dan berhasil tersenyum dalam ketegangan. "Tidak ada masalah sama sekali. Kami baru saja mau pergi," katanya sambil meraih tangan Lisa dan menariknya menjauh sebelum Lisa sempat protes. Saat mereka berjalan pergi, kata-kata terakhir dari Lisa adalah desisan, "Ini belum berakhir." Darwin memperhatikan mereka pergi, dihinggapi rasa puas bercampur dengan frustrasi. Dia beralih ke Fiona dan tersenyum, "Mari?" Fiona membalas senyuman Darwin dengan senyumannya sendiri dan mengangguk, "Ayo." Saat mereka berjalan menuju pesta amal, bisikan dan tatapan para tamu mengikuti mereka. Saat Darwin dan Fiona memasuki pesta amal, mereka merasakan tatapan mata tertuju pada mereka. Bisik-bisik memenuhi ruangan. Darwin menarik napas dalam-dalam dan menegakkan bahunya, bertekad untuk tidak membiarkan gosip itu menghancurkan malam mereka. Dia menoleh ke Fiona dan tersenyum menenangkan. "Bagaimana ka
Suasana pesta mereda ketika penyelenggara yang merupakan seorang pria yang cukup berpengaruh, maju ke depan mikrofon. Suaranya bergema menarik perhatian semua tamu terhormat yang berkumpul di balai riung. "Hadirin sekalian, selamat datang di Penghargaan Pesta Amal Tahunan Rosserte yang kelima," dia memulai, senyumnya hangat dan percaya diri. “Malam ini, kita berkumpul untuk merayakan individu-individu luar biasa yang inovasi dan visinya telah mendorong kemajuan komunitas kita.” Dia berhenti sejenak, memandang ke arah para tamu yang memenuhi balai riung mewah itu. "Sebelum melanjutkan, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada sponsor utama kami, Wijaya Industri. Dukungan mereka sangat berharga." Ruangan itu dipenuhi dengan tepuk tangan ketika Toni Wijaya yang berdiri tegap dengan angkuh, merespon dengan anggukan. Matanya menatap mata Darwin sejenak, menantang tanpa ucapan. “Selama setahun terakhir, kita telah menyaksikan gebrakan luar biasa dalam bidang t
Keheningan menyelimuti ruangan ketika penyelenggara mengumumkan nama Darwin. Gema bisikan segera pecah di antara para tamu. “Darwin Pangestu?” kata seorang pria dengan setelan jas yang rapi. “Aku tidak pernah mendengar nama itu.” Rekannya yang merupakan seorang wanita yang mengenakan perhiasan elegan juga menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak. Aku penasaran bagaimana seseorang yang begitu tidak dikenal bisa menerima penghargaan seperti itu." Di meja dekat mereka, dua pengusaha saling berbisik. "Pangestu... bukan nama yang terkenal," renung salah satu di antara mereka. "Benar, ini aneh," rekannya menyetujui. "Siapapun pasti mengira kita paling tidak pernah mendengar seseorang yang dianggap lebih bergengsi daripada pemenang Piala Pelopor. Aku penasaran apa yang telah dilakukannya hingga mendapatkan pengakuan seperti ini?" Di sebuah meja di sudut ruangan, rahang Toni menegang marah. Tangannya mengepal di bawah meja saat dia menatap tajam ke arah Darwin, badai berkecamuk di mata
Para tamu di sekitar mereka mulai menyadari pertengkaran itu, bisikan dan pandangan mereka makin membakar situasi yang sudah bergejolak. “Orang-orang ini lagi,” desah seorang wanita. “Mereka tampaknya iri dengan penghargaan Tuan Pangestu,” komentar seorang pria. "Sepertinya tidak tahan kalau ada orang lain yang mendapat perhatian." Kata-kata itu hanya membuat Lukas semakin marah. Cengkeramannya pada lengan Darwin semakin erat sembari menggeram, “Apa katamu?!” Darwin tahu dia harus meredakan situasi ini sebelum meledak. Dengan pertimbangan yang tenang, dia berkata, "Lukas, tolong lepaskan aku. Mari kita berpisah baik-baik, dan biarkan perayaan malam ini menjadi acara yang sudah lewat." Tapi Lukas sudah tidak meneriman perdamaian lagi. "Aku akan pergi setelah kamu menjawab!" dia berteriak. Jari-jarinya menusuk kulit Darwin dengan tajam. "Aku mendapatkan tempatku di sini dengan usahaku sendiri, sama seperti orang lain. Aku tidak perlu menjelaskan pencapaianku padamu," balas Darwin,
Jantung Darwin berdebar kencang saat mobil-mobil itu mengapitnya dari kedua sisi. Tangannya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Melalui kaca spion dia melihat dua pria bertubuh besar bertopeng keluar dari kendaraan di belakangnya, melangkah pelan ke arah mobilnya. Saat pintu sopir mobil di depan terbuka, Darwin mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi. Seorang pria tinggi berbahu lebar muncul, wajahnya tertutup topeng ski hitam. Dia pun berjalan menuju mobil Darwin dengan langkah kaki yang berat. Pikiran Darwin berpacu, mati-matian mencari jalan keluar. Namun dia terjebak di antara kedua mobil tanpa jalan keluar. Saat pria itu mendekat, Darwin dapat melihat matanya yang mengancam mengintip melalui lubang mata topengnya, memancarkan kebencian di bawah sinar bulan. Darwin menurunkan kaca mobilnya sedikit, lalu bertanya dengan nada tenang namun waspada, "Apa yang kamu inginkan?" Pria itu mencondongkan tubuhnya, tangannya mencengkram pintu den
"Bagaimana?" tanya Lukas tajam ketika orang-orang itu mendekat. Jake meludah ke tanah, “Dia melawanan dengan hebat. Hampir saja membuat kami kalah.” Alis Lisa terangkat karena terkejut, "Hampir apa?" Roy mengangguk dengan muram. "Bajingan itu lebih tangguh dari kelihatannya. Perlu bertiga untuk mengalahkannya." "Bajingan itu memukuli kami," tambah Mitch, hidungnya yang berdarah masih menetes. "Aku juga dipukul dengan sikunya. Dia bertarung kotor." Mata Lukas berbinar kejam, "Dan apakah pekerjaannya sudah selesai?" Jake membalas tatapannya dengan mantap, "Kami meninggalkannya dalam keadaan yang parah. Tidak mungkin dia selamat. Tulang rusuk patah, luka dan memar di mana-mana. Dia hampir tidak bernapas saat kami pergi." Mendengar ini, Lisa tersenyum dingin, menggosok kedua tangannya dengan gembira. Namun rahang Lukas mengatup, tinju mengepal di sisi tubuhnya. “Aku ingin melihat mayatnya.” Para pria itu saling bertukar pandang gelisah. "Begini ya, tidak ada mayat yang bisa kami
Margaret Pangestu mondar-mandir di rumahnya yang mewah, kekhawatiran terpampang di wajahnya yang menua. Sudah dua hari sejak Darwin dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan babak belur dan memar akibat serangan keji itu. Para dokter meyakinkannya bahwa luka-lukanya akan sembuh, namun hal itu tidak mengurangi kekhawatirannya sebagai ibu. Dia mengusap rambut yang mulai memutih dengan jari-jarinya, matanya berkaca-kaca saat dia mengingat sosok putranya yang babak belur terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terhubung ke mesin-mesin rumah sakit. Siapa yang melakukan hal seperti itu? Dan mengapa? Berbagai kemungkinan muncul di benaknya, sampai satu tersangka tampak lebih mungkin dari yang lain, Lukas Adiguna. Bocah sombong itu pernah memukul Darwin sekali, bukan tidak mugkin dia melakukannya lagi. Semua ini terlalu mudah. Sambil menghela nafas, Margaret menekan tombol interkom. "Jefri, ke ruang kerjaku." Dalam beberapa menit, kepala pelayannya yang setia masuk sambil membungkuk horm
Sementara itu, di rumah Adiguna, Lukas dan Lisa sedang merayakan di ruang tamu dengan minum-minum. Namun suasana menjadi suram ketika John Adiguna melangkah masuk, wajahnya bagaikan awan badai. Tanpa peringatan, dia memukul wajah Lukas dengan keras. Lisa tersentak ketika Lukas terhuyung-huyung, memegangi pipinya yang perih karena terkejut. “Ayah! Apa-apaan ini?” Mata John berkobar karena marah. "Tindakan bodohmulah yang membuat kami kehilangan kontrak dengan Manufaktur Weston, dasar bodoh, tidak tahu berterima kasih!" Mata Lukas melebar. "A-apa maksudmu?" tuntut Lukas, masih memegangi pipinya yang perih. Ayahnya belum pernah memukulnya sebelumnya, tindakan itu membuatnya terguncang. John menggeram. “Kita kehilangan kontrak kerja sama yang berharga.” Mata Lukas semakin membelalak tak percaya. "Apa? Itu tidak mungkin! Bagaimana bisa?" Lukas bertanya, mengatupkan rahangnya sambil mengusap pipinya yang perih. Dia mencoba memahami apa yang menyebabkan mereka kehilangan kontrak pent