Darwin menegakkan badannya, keluar dari kursi berlapis kulit itu dengan elegan, bersiap untuk menegur gadis itu. Saat itulah, seseorang menndekati si gadis, seorang pramuniagawati yang ramah dan tegas. “Permisi Nona,” dia menegur gadis yang sedang siaran langsung itu dengan sopan. “Saya tidak sengaja mendengar siaran langsung Anda, sepertinya ada beberapa hal yang Anda salah pahami, boleh saya bantu jelaskan?”Gadis itu menghentikan siaran langsungnya sejenak, menatap pramuniagawati itu dengan rasa penasaran dan sedikit congkak. Sementara pramuniagawati itu tersenyum hangat walau suasananya diliputi ketegangan. “Begini,” dia memulai, pandangannya mengarah ke mobil yang barusan dibicaraikan, “Mobil itu bukan model dasar biasa. Yang bisa kita lihat di sini adalah BMW seri 8 edisi terbatas,” ucapnya sembari menunjuk pada mobil biru gelap itu dengan tangannya yang anggun.Darwin mengamati pramuniagawati itu dengan cermat—rambut pirang kecoklatannya tertata sempurna, dia mengenakan setelan
Darwin mempertimbangkan sejenak, tentang bagaimana cara yang tepat menghadapi situasi ini. Di satu sisi, dia mulai bosan dengan tuduhan tanpa bukti dan asumsi kejam gadis ini. Tapi, jika dia terus berdebat, apa bedanya dia dan si gadis? Dia merasakan berbagai emosi bercampu dalam dirinya, dia marah dan malu, tapi juga ada ketenangan, dia merasa cerdik.Dia menarik napas panjang, mengingatkan dirinya sendiri bahwa mengendalikan diri sering kali merupakan balasan paling mumpuni. Dia tersenyum kecil saat suatu ide akhirnya muncul di benaknya. ‘Aku ingin tahu caramu menghadapi ini, wahai gadis sombong!' dia pikir. “Benar juga, Nona. Pembelian besar seperti ini memang seharusnya dipertimbangkan baik-baik dahulu,” kata Darwin dengan lancar. "Namun, sebelum mengambil keputusan, bukankah sebaiknya berdiskusi dengan jujur dari pada berspekulasi?" Gadis itu tercekat mendengar nada sopan Darwin. Melihat celah, Darwin terus menyerang. "Pramuniagawati itu hanya melakukan tugasnya dengan memberi
Sambil menyeka air matanya, dengan panik dia berusaha memikirkan apapun yang dapat memperbaiki situasi. Rumah Darwin... di mana alamatnya? Dia berpikir keras, mencoba memutar kembali interaksi mereka. "Si pramuniagawati tadi bilang mobilnya akan diantar malam ini..." gumamnya. "Tapi kemana? Di mana alamatnya?!" Setelah beberapa menit sia-sia mencoba mengingat, secercah harapan muncul. "Kastil Pangestu...itu dia! Tapi di jalan mana?" Dia memejamkan mata, membayangkan kejadian tadi saat Darwin berbicara. Lalu dia teringat, "1234 Perkebunan Pangestu!" Hatinya melonjak gembira, segera dia mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. “Aku harus menebus kesalahanku. Aku harus meminta maaf secara langsung!” Dia mengetik alamatnya dengan penuh semangat ke dalam aplikasi peta untuk memeriksa jaraknya. Namun ketika lokasinya termuat di layar, harapannya kembali padam ketika dia hanya disambut oleh sebuah notifikasi: “Akses Terbatas. Tidak Untuk Umum.”"No...it can't be!" She stared in dismay, re
Jaka membuat-buat suaranya, “Aww, apa hatimu sakit sayang? Mau kembali ke pelukan ibu?” Dia merangkul Darwin dengan sok akrab sambil menyeringai dengan kejam. “Jadi, nanti saat ibumu menyelimutimu di buaian, apakah kamu akan mengadu tentang pramuniaga mobil jahat yang gagal kamu bohongi?” Para pramuniaga yang berkumpul di dekat situ turut berteriak mengejeknya. Darwin menatap Jaka tajam.Untuk pertama kalinya, keraguan menyelusupi benak Jaka, apakah Darwin akan membalasnya? Tidak, pria ini sama saja seperti yang lainnya, benaknya menenangkannya, namun hati kecilnya seakan terus mengingatkannya untuk berhenti sebelum keadaannya menjadi lebih buruk.Saat Darwin melepaskan diri dari rangkulan itu, Jaka mengamatinya dengan perlahan, berusaha mencari hal baru untuk diejek. Namun saat mata mereka bertemu lagi, tatapan tenang Darwin justru terasa lebih mengancam dari pada jika pria itu membentaknya.“Kamu sudah bersenang-senang kan. Berhentilah membuang waktuku sebelum aku terpaksa melakuka
Tubuh Darwin terasa pegal malam itu saat dia kembali ke rumahnya. Hari ini sangat melelahkan, padahal dia berniat bersenang-senang bertemu dengan Nick tapi malah menjadi lebih sibuk. Alih-alih beristirahat, dia justru malah lebih banyak masalah.Saat sedang menyetir, tiba-tiba ponselnya berdering, menyadarkannya dari lamunan.Dia mengernyit melihat layar ponsel menampilkan nomor tidak dikenal, Darwin ingin mengabaikan telepon itu, tetapi dia penasaran. Akhirnya diangkatnya telepon itu, dia menempelkan ponselnya ke telinganya.“Halo?”Suara wanita yang familiar terdengar, “Darwin, ini Jessica. Baru saja kita bertemu di klub tadi.”Darwin untungnya berhasil menahan diri dari mengaduh. Jessica, dengan rambut ikal pirangnya dan pesonanya, adalah salah satu yang bersama Trevor malam ini, menghujani pria itu dengan perhatian.Darwin yang penasaran pun bertanya lebih jauh. "Bagaimana kamu mendapatkan nomorku, Jessica?" Jessica tertawa kecil, suaranya terdengar genit. "Kita kan pernah menjadi
Keesokan harinya, Darwin merasa segar bangun dari tidurnya, dia siap masuk kantor sebagai CEO yang baru. Saat dia melangkah memasuki lobi, dia menyadari ada wajah baru di area resepsionis. Seorang wanita muda dengan senyum yang cemerlang, papan namanya bertuliskan, “Ami Albar.”“Selamat pagi, Pak, selamat datang di Weston. Apa ada yang bisa saya bantu?” dia menyambut dengan senyuman, membuat Darwin terkejut dengan kebaikannya.“Aku Darwin Pangestu, CEO baru perusahaan ini,” jawabnya mengamati sikap ramah wanita itu. Rambut cokelatnya diikat kebelakang dengan rapi, membuat mata cokelatnya mencolok."Oh, Tuan Pangestu, senang bertemu dengan Anda! Saya Ami Albar, saya baru mulai bekerja kemarin." Rona merah samar tampak di pipinya saat dia berbicara. Darwin tersenyum, dia menyukai watak ceria Ami. “Senang bertemu denganmu, Ami. Saya harap kamu akan menyukai pekerjaanmu.” “Terima kasih banyak,” dia tersenyum berseri-seri. Darwin mengangguk, dia berhenti sejenak untuk mensyukuri peruba
Edi berdiri menjulang tinggi di hadapan Darwin, wajahnya menunjukkan kemarahan. “Aku bertanya padamu, Nak. Apa yang kamu lakukan di sini?” dia menggeram, para direktur lain di sekitar mereka merasa tidak nyaman karena ketegangan yang terjadi. Darwin tetap tenanga meskipun di dalam hati dia merasakan luapan emosi saat melihat mantan bosnya. "Saya memang berharap untuk mencari tahu alasan pemecatan saya," jawabnya datar, mempertahankan nada tenang namun berwibawa saat dia mendekati meja. Kilatan kegelisahan melintas di mata Edi. Dia tidak menyangka akan dipertanyakan seperti ini. Meski begitu, dia membusungkan dadanya, menatap ke arah Darwin. "Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu," semburnya. Meski tubuhnya lebih kecil, Darwin membalas tatapan dingin Edi dengan tajam. “Justru sebaliknya, sebagai mantan atasan saya, Anda wajib memberikan alasan yang sah atas pemutusan hubungan kerja saya,” jawab Darwin dingin. Namun, pikirannya terpacu, bertanya-tanya apa yang menyebabkan pemec
Kemarahan Darwin membara, tapi dia tahu bahwa dia harus menangani situasi ini dengan bijaksana. Sebagai CEO baru, kehilangan ketenangan dapat melemahkan wibawanya nantinya. Dia menghela napas tenang sebelum menjawab, ‘Tidak perlulah mengancam-ancam, Pak Edi. Saya datang ke sini supaya bisa memahami, bukannya malah bertengkar.”Darwin terdiam, membiarkan ketegangan di ruangan itu meningkat saat Edi balas menatapnya, dengan geram seperti banteng. Darwin berkata dengan tenang, "Sepertinya ada sesuatu yang Anda sembunyikan. Saya berhak mengetahui keadaan lengkap seputar keputusan ketenagakerjaan apa pun." Wajah Edi memerah. Dalam hati dia berteriak, "Persetan, berengsek! Akan kubalas kamu!" Dia ingin Darwin pergi selamanya dari hidupnya, bajingan itu malah tidak mau mundur. Ruangan itu menjadi sunyi ketika semua orang menyaksikan konfrontasi yang berlangsung antara Edi dan Darwin. Para direktur dan manajer lainnya bisa merasakan ketegangan di ruangan itu, mereka saling bertukar pand