Tubuh Darwin terasa pegal malam itu saat dia kembali ke rumahnya. Hari ini sangat melelahkan, padahal dia berniat bersenang-senang bertemu dengan Nick tapi malah menjadi lebih sibuk. Alih-alih beristirahat, dia justru malah lebih banyak masalah.Saat sedang menyetir, tiba-tiba ponselnya berdering, menyadarkannya dari lamunan.Dia mengernyit melihat layar ponsel menampilkan nomor tidak dikenal, Darwin ingin mengabaikan telepon itu, tetapi dia penasaran. Akhirnya diangkatnya telepon itu, dia menempelkan ponselnya ke telinganya.“Halo?”Suara wanita yang familiar terdengar, “Darwin, ini Jessica. Baru saja kita bertemu di klub tadi.”Darwin untungnya berhasil menahan diri dari mengaduh. Jessica, dengan rambut ikal pirangnya dan pesonanya, adalah salah satu yang bersama Trevor malam ini, menghujani pria itu dengan perhatian.Darwin yang penasaran pun bertanya lebih jauh. "Bagaimana kamu mendapatkan nomorku, Jessica?" Jessica tertawa kecil, suaranya terdengar genit. "Kita kan pernah menjadi
Keesokan harinya, Darwin merasa segar bangun dari tidurnya, dia siap masuk kantor sebagai CEO yang baru. Saat dia melangkah memasuki lobi, dia menyadari ada wajah baru di area resepsionis. Seorang wanita muda dengan senyum yang cemerlang, papan namanya bertuliskan, “Ami Albar.”“Selamat pagi, Pak, selamat datang di Weston. Apa ada yang bisa saya bantu?” dia menyambut dengan senyuman, membuat Darwin terkejut dengan kebaikannya.“Aku Darwin Pangestu, CEO baru perusahaan ini,” jawabnya mengamati sikap ramah wanita itu. Rambut cokelatnya diikat kebelakang dengan rapi, membuat mata cokelatnya mencolok."Oh, Tuan Pangestu, senang bertemu dengan Anda! Saya Ami Albar, saya baru mulai bekerja kemarin." Rona merah samar tampak di pipinya saat dia berbicara. Darwin tersenyum, dia menyukai watak ceria Ami. “Senang bertemu denganmu, Ami. Saya harap kamu akan menyukai pekerjaanmu.” “Terima kasih banyak,” dia tersenyum berseri-seri. Darwin mengangguk, dia berhenti sejenak untuk mensyukuri peruba
Edi berdiri menjulang tinggi di hadapan Darwin, wajahnya menunjukkan kemarahan. “Aku bertanya padamu, Nak. Apa yang kamu lakukan di sini?” dia menggeram, para direktur lain di sekitar mereka merasa tidak nyaman karena ketegangan yang terjadi. Darwin tetap tenanga meskipun di dalam hati dia merasakan luapan emosi saat melihat mantan bosnya. "Saya memang berharap untuk mencari tahu alasan pemecatan saya," jawabnya datar, mempertahankan nada tenang namun berwibawa saat dia mendekati meja. Kilatan kegelisahan melintas di mata Edi. Dia tidak menyangka akan dipertanyakan seperti ini. Meski begitu, dia membusungkan dadanya, menatap ke arah Darwin. "Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu," semburnya. Meski tubuhnya lebih kecil, Darwin membalas tatapan dingin Edi dengan tajam. “Justru sebaliknya, sebagai mantan atasan saya, Anda wajib memberikan alasan yang sah atas pemutusan hubungan kerja saya,” jawab Darwin dingin. Namun, pikirannya terpacu, bertanya-tanya apa yang menyebabkan pemec
Kemarahan Darwin membara, tapi dia tahu bahwa dia harus menangani situasi ini dengan bijaksana. Sebagai CEO baru, kehilangan ketenangan dapat melemahkan wibawanya nantinya. Dia menghela napas tenang sebelum menjawab, ‘Tidak perlulah mengancam-ancam, Pak Edi. Saya datang ke sini supaya bisa memahami, bukannya malah bertengkar.”Darwin terdiam, membiarkan ketegangan di ruangan itu meningkat saat Edi balas menatapnya, dengan geram seperti banteng. Darwin berkata dengan tenang, "Sepertinya ada sesuatu yang Anda sembunyikan. Saya berhak mengetahui keadaan lengkap seputar keputusan ketenagakerjaan apa pun." Wajah Edi memerah. Dalam hati dia berteriak, "Persetan, berengsek! Akan kubalas kamu!" Dia ingin Darwin pergi selamanya dari hidupnya, bajingan itu malah tidak mau mundur. Ruangan itu menjadi sunyi ketika semua orang menyaksikan konfrontasi yang berlangsung antara Edi dan Darwin. Para direktur dan manajer lainnya bisa merasakan ketegangan di ruangan itu, mereka saling bertukar pand
Ketika pertengkaran antara Edi, Darwin, dan Jenkins semakin parah, suara mereka yang meninggi mulai menarik perhatian. Para karyawan mengintip, penasaran dengan keributan yang terjadi di ruang rapat. "Menurutmu, mereka bertengkar karena apa?" tanya seorang wanita kepada rekan kerjanya. “Entah, tapi sepertinya Pak Edi benar-benar kehilangan kesabaran,” jawab pria itu. "Semoga Pak Jenkins dan Darwin baik-baik saja di sana bersamanya." Makin lama makin banyak karyawan berkumpul di pintu, berusaha mendengar apa yang terjadi. Para karyawan bertukar pandangan dengan khawatir ketika pertengkaran di dalam ruang rapat itu kian parah. Mau tak mau mereka tertarik pada perselisihan itu, mereka sangat penasaran. “Aku mendengar Darwin berkata menginginkan kebenaran,” salah satu karyawan berbisik kepada karyawan lainnya. "Entah apa yang disembunyikan Pak Edi. Situasi ini memang agak mencurigakan." "Entahlah, tapi yang pasti di dalam sana sangat menegangkan," jawab pegawai lainnya sambil men
Darwin terdiam, membiarkan kata-katanya menggantung saat keheningan perlahan kembali menyelimuti ruangan. Dia menatap mereka satu per satu dengan percaya diri, menatap mata mereka yang terbelalak dengan keyakinan yang tenang. Keheningan itu akhirnya dipecahkan oleh tawa tak percaya dari Edi. "Ce-CEO? Kamu?" dia tergagap, ekspresinya menunjukkan jijik. "Itu hal paling konyol yang pernah aku dengar." Beberapa orang di belakang mulai menahan tawa, asalnya dari para karyawan berdesakan di ambang pintu untuk menyaksikan perselisihan di ruang rapat. Edi menyeringai sambil menoleh ke arah kerumunan yang berkumpul. "Apakah kalian semua mendengarnya?" dia mencemooh sambil menunjuk Darwin. "Mantan karyawan kita berkhayal dia dipromosikan menjadi CEO! Dasar konyol." Ketika Darwin berdiri di depan dengan teguh, beberapa dari mereka mulai tertawa lebih lepas saat ejekan Edi menyebar ke seluruh kerumunan, setiap komentar yang mereka lontarkan menusuk lebih dalam dari yang sebelumnya, semua d
Apa?! Darwin? CEO?Edi berdiri mematung dengan kaget, benaknya terguncang oleh pengumuman mengejutkan Randolf. "Tidak mungkin," pikirnya putus asa. "Anda pasti bercanda!" Edi tergagap, wajahnya pucat pasi. "Dia? CEO baru?" Dia menunjuk dengan ke arah Darwin, yang hanya mengangkat alis karena geli. "Anda dengar Tuan Randolf, kan," jawab Darwin dingin. “Aku menerima ucapan selamat.”Edi tertawa skeptis, "Ini lelucon yang memuakkan. Anda pasti berbohong!" Dia mengitari Randolf dengan tinju terkepal di sisinya. Randolf menatapnya tajam, "Saya tidak bercanda, Pak Edi. Tuan Pangestu adalah CEO kita yang baru. Jadi sebaiknya Anda menunjukkan rasa hormat kepadanya." Edi masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa pecundang miskin itu menjadi CEO perusahaan Weston? Ini tidak mungkin! Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua adalah mimpi buruk dan dia akan segera terbangun. Tapi ketika melihat seringai sombong Darwin dan ekspresi cemberut Randolf, dia sadar ini se
Edi tertelungkup, dunianya runtuh sudah. Saat dia sudah mulai menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, matanya berkaca-kaca oleh kemarahan. Namun dia tidak berani menangis di depan rekan-rekan kerjanya atau pun Darwin. Kerumunan para karyawan itu menyaksikan dalam keheningan yang tegang, tidak ada yang berani bergerak atau berbicara. Seorang manajer paruh baya berbisik, “Menurutmu apa Edi benar-benar melakukan hal yang Darwin bilang?” Rekannya mengangkat bahu, ekspresinya cemas, "Siapa yang tahu? Tapi kalau Darwin punya bukti, maka Edi dalam masalah besar." Di bagian belakang ruangan, sekelompok eksekutif berkumpul dan mendiskusikan kejadian dihadapan mereka dengan suara pelan."Gila," gumam salah satu di antara mereka sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. "Siapa sangka keadaannya jadi seperti ini." Yang lain saling bertukar pandang dengan gelisah, tak satu pun dari mereka berani menyuarakan ketakutan mereka masing-masing. Namun di benak masing-masing, mereka semua tahu