Zelin kini duduk di depan cermin kamar pengantinnya. Ranjang berhiaskan bunga itu bahkan masih utuh tak tersentuh. Ia menangis semalaman di atas karpet, hingga tak tau kapan matanya terpejam dalam sesak yang tak dapat dia ceritakan. Matanya bengkak kemerahan, bahkan dia masih kesulitan bernapas sekarang. Waktu menunjukkan pukul enam pagi, dan lelaki yang baru semalam menjadikannya istri itu masih tak terlihat.
Perlahan zelin melepaskan sanggul nya, melepaskan baju pegantin dan menghapus riasan yang sejak semalam tidak sempat dia bersihkan. Tubuh kecilnya kini terlihat jelas, dia bukan wanita yang buruk, wajahnya bahkan bisa di bilang sangat mempesona, tubuh indahnya terawat, kulit nya putih bak pualam, bahkan orang tak perlu mempertanyakan siapa Zelin, sebab hanya dengan melihatnya saja, mereka akan tau wanita itu memang berkelas. Tapi apalah semua yang dia miliki, jika pada akhirnya hanyalah pernikahan semu yang dia dapatkan. Jika saja dia punya nyali untuk mengatakan tidak, tentu sekarang dirinya masih menikmati masa lajangnya dan mungkin bisa melanjutkan hidupnya di luar negeri saja, jauh dari keluarganya dan jauh dari keluarga Saka Gunawan.. Namun semuaya sudah terjadi, jalan yang tak ingin dia lalui akhirnya harus dia terima juga sebagai takdirnya. Tubuh kecil itu kini berjalan masuk ke dalam kamar mandi, membenamkan tubuhnya pada kumpulan busa di dalam bak, seolah dia ingin segala kesialan ikut tersingkir juga dari hidupnya. Zelin kembali menangis, berulang kali ia coba tenang, namun kalimat menyakitkan dari suaminya masih terus terngiang dengan jelas di dalam kepalanya. Setelah membersihkan dirinya, Zelin berjalan kembali masuk ke dalam kamar asing yang baru malam ini dia masuki. Dia berjalan mebuka koper milik nya di sudut kamar, ia bahkan tak tau di mana harus menyimpan baju-bajunya sekarang. Zelin mengambil dres putih panjang dan mengenakannya, dres tanpa lengan itu membuat lehernya terlihat jenjang, ia lantas menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan kardigan berwarna senada. Zelinda menyisir rambutnya yang panjang dan sedikit basah, merias tipis wajahnya yang sembab dan memoleskan lipblam merah muda untuk menutupi pucat di bibirnya. Rahanynya terlihat kemerahan kini, bekas cengkraman tangan Saka semalam, Cengkareng yang membuat tubuhnya masih gemetar saat mengingatnya. "Untuk apa aku berdandan." Ucapnya lirih sembari tersenyum getir pada pantulan dirinya sendiri di cermin. Zelin lantas berjalan keluar kamar, melihat rumah besar itu kosong tanpa ada siapapun. Zelin baru ingat, ibu mertuanya sudah bilang bahwa rumah ini memang milik Saka sendiri, tentu saja tak ada siapapun selain dirinya sekarang. Ia latas berjalan menuruni anak tangga, merasakan sunyi yang tercipta seakan membersamai takdirnya yang kejam. "Nyonya sudah bagun?" Suara lirih seorang gadis muda membuat Zelin terkejut. Gadis itu nampak sibuk menata ruang makan yang tak jauh dari tangga tempatnya berdiri kini. Gadis berkulit sawo matang dengan seragam pelayan itu nampak tersenyum menyambut Zelin, tubuhnya kecil namun terlihat cekatan kala menata meja makan besar di tengah ruang belakang itu. "Ah maaf nyonya, maafkan saya." Gadis itu berlari kecil mendekati Zelin, menunduk dengan sopan lalu tersenyum. " Nama saya Rani, saya adalah pelayan di rumah ini. Sebenarnya bukan hanya saya yag kerja di sini, tapi khusus hari ini nyonya besar hanya meminta saya untuk datang menyiapkan sarapan." Zelin tertegun sebentar, ia merasa kagum dengan pembawaan pelayan di depannya itu. Meski masih muda, gadis itu nampak menikmati pekerjaanya. "Jadi hanya ada kamu dan aku di rumah ini?" Tanya Zelin sembari berjalan melewati Rani dan duduk di kursi makan. "Hanya saya dan nyonya? Apa tuan muda Saka ti...." Rani segera menutup mulutnya dengan cepat, ia begitu takut salah bicara. "Maafkan saya nyonya, maafkan kelancangan saya." Ucapnya penuh penyesalan, ia megigit bibir bawahnya dengan khawatir, takut Zelinda merasa tersinggung dan marah. "Hahaaa, kamu lucu sekali Rani. Tidak apa-apa, aku bukan orang yang kejam Rani, kenapa kamu harus minta maaf, kamu tak melakukan kesalahan apapun." Zelin tertawa melihat Rani ketakutan sendiri, ia bahkan tak melakukan kesalahan apapun tapi terus saja meminta maaf. "Ada apa? Jangan takut Rani, aku tak gala seperti tuan mudamu itu." Ucap Zelin pelan lantas kembali tersenyum melihat Rani masih terpaku di tempatnya. "Apa dia sering pergi begitu? Seperti nya pergi tanpa pamit adalah salah satu sifat buruknya. Betulkan Rani?" Rani masih tertunduk dengan takut. Zelin berdiri dan mendekati Rani, dia menyentuh pundak gadis itu dengan lembut dan mendudukkan nya di kursi makan, tepat di sampingnya. "Tidak nyonya, saya tidak boleh duduk di sini." Rani dengan cepat menolak dan berdiri di tempat nya lagi. "Kenapa? Siapa juga yang akan memarahi kamu? Di sini tidak ada siapapun selain kamu dan aku Ran, jadi duduk saja dan temani aku makan." "Tapi nyonya, saya_" "Tolong Rani, makanan yang kamu buat begitu banyak, aku tak akan sanggup memakannya sendiri, jadi duduk lah dan temani aku makan. Ini perintah dari nyonya mudamu!" Ucap Zelin dengan sedikit dingin, membuat Rani bergegas duduk kembali di kursi makan. Zelin tersenyum melihat tingkah pelayanan nya itu, ia lantas membalik piring yang tertelakup di depannya, mengambil sedikit sayuran dan telur setengah matang ke dalam piring miliknya. "Aku tak bisa sarapan berat Ran, jadi kamu bisa sediakan salad sayur, buah atau telur saja setiap pagi, dan segelas jus." "Baik nyonya." Ucap Rani pelan. "Aku senang melihatmu di sini Rani, setidaknya aku tak terlihat nelangsa sebagai pengantin yang di tinggalkan pada malam pertamanya." Zelin bicara tanpa beban, seolah dirinya sedang bicara dengan temannya sendiri, ia merasa Rani adalah gadis yang baik dan membuat dirinya merasa nyaman. Sementara Rani merasa canggung mendengar ucapan Zelin. Ia memang sudah beberapa tahun ini bekerja dengan keluarga Gunawan, tapi belum pernah sekalipun dirinya di perlakukan sebaik ini. "Nyonya baik-baik saja?" Rani memberanikan diri untuk bertanya, ia merasa khawatir dengan keadaan Zelinds. "Aku baik-baik saja Rani, kamu tak tau apa yang sudah aku alami semalam Rani, tapi setidaknya pagiku lebih baik sekarang. "Hah, tuan muda kasar itu pasti bicara menyakitkan lagi! Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu, dia kira karena dia tampan, dia bisa seenaknya sendiri!" Rani mengumpat dengan lirih, dia begitu kesal dengan sikap Saka, hingga tanpa sadar memaki tuan muda tempatnya bekerja di depan istrinya sendiri. Zelin tersenyum mendegar ucapan Rani, gadis itu kembali menutup mulutnya dengan malu saat menyadari ucapan nya di dengar oleh Zelinda. "Apa Saka terlihat sangat tampan bagimu Rani?" "Ah, maaf nyonya. Tuan Saka hanya tampan saja, nyonya belum bertemu tuan Erlando, dia jauh lebih tampan dari tuan Saka. Dan yang lebih penting, tuan Erlan sangat baik." Zelinda mengerutkan kedua alisnya, ia tak tau siapa itu Erlando dan apa hubungannya dengan keluarga suaminya. "Siapa itu Erlando?" "Sepupu tuan Saka, dia berbeda dari tuan Saka, tuan Erlando sangat baik. Nyonya pasti belum bertemu dengan nya, saya dengar beberapa bulan ini tuan Erlan sedang di Singapore karena urusan bisnis nya." "Benarkah?" "Ya Nyonya, tuan Saka kalah tampan dengan tuan Erlan." Ucap Rani dengan sangat yakin. "Kamu terdengar sangat jujur Rani, tapi Saka adalah suamiku jadi aku akan diam saja dan pura-pura tak mendengar apapun. Sekarang makanlah!" Ucapnya dengan senyum mengembang dan membiarkan Rani menikmati sarapan nya dengan tenang. Mereka berbincang seperti teman, Rani yang bersemangat dan ceria membuat suasan hati Zelin mejadi lebih baik, dia membuat Zelin merasa tak sendiri sekarang. Ting... Tong... Ting... Tong... Suara bel pintu berbunyi, membuat Rani bergegas pergi ke depan dan melihat siapa yang datang. Gadis itu membuka pintu dan terkejut melihat saudara perempuan Saka sudah berdiri di depannya. "Hay Rani, Saka ada?" "Ada siapa Rani?" Zelin yang penasaran berjalan keluar rumah juga dan melihat seorang lelaki berdiri di ambang pintu. "eh, ini nyonya ada nyonya Stela." Ucap Rani canggung. Stela adalah kakak tertua Saka, wanita itu memang terkenal tempramen dan tak segan memaki siapapun yang menurut nya tak sesuai dengan kelasnya.Suara bel pintu berbunyi, membuat Rani bergegas pergi ke depan dan melihat siapa yang datang. Gadis itu membuka pintu dan terkejut melihat saudara perempuan Saka sudah berdiri di depannya. "Hay Rani, Saka ada?" Belum sempat Rani menjawab, Zelinda sudah berjalan mendekati mereka "Ada siapa Rani?" Zelin yang penasaran berjalan keluar rumah juga dan melihat seorang lelaki berdiri di ambang pintu. "Eh, ini nyonya ada nyonya Stela" Ucap Rani canggung. Stela adalah kakak tertua Saka, wanita itu memang terkenal tempramen dan tak segan memaki siapapun yang menurut nya tak sesuai dengan kelasnya. "Hay Zelinda, wah sepertinya kau sangat menikmati hidup barumu ya?" Stela menatap Zelin dengan sinis, memperhatikan paras ayu Zelinda sembari menilai caranya berpakaian. Zelinda sama canggung nya dengan Rani hingga tanpa sadar dia juga memperhatikan wajah Stela yang begitu mirip dengan Saka. Dua kali mereka pernah bertemu, dan Zelinda masih tak bisa bersikap baik dengan wanita di depannya itu.
Stela memarkirkan mobilnya di basemen apartemen besar di kotanya, bergegas dia keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke dalam lif. Dia menekan tombol lantai tertinggi gedung itu, menunggu dengan tak sabar lif segera membawanya ke lantai yang ia tuju. Di lantai itu hanya ada dua ruang apartemen mewah, satu milik Erlando sepupunya dari pihak ibunya dan satu lagi di beli atas nama adiknya Saka Gunawan. Meski terlihat kesal dan malas, Stela akhirnya menekan juga bel yang ada di sisi pintu. Bayang wajah menyebalkan Saka membuat dirinya harus memberi adiknya itu pelajaran Klek! Suara hendel pintu di buka, seorang wanita dengan baju tidur terbuka kini berdiri di depan Erlan, rambutnya sebahu, sedikit acak-acakan dengan wajah sembab dia menetap Stela dengan terkejut. "Ada apa? Kau seperti melihat hantu di wajahku!" Ucap Stela, dia sudah memperlihatkan rasa tak sukanya pada Clara. Stela masih menatap nyalang wanita bernama Clara itu, menunjukkan bahwa dirinya memang tak suka dengan
Menyadari saudaranya ini benar-benar marah sekarang, meski kesal, Saka memilih tak membahas Clara lebih dulu. "Apa maumu kak? Aku sedang tak ingin bertengkar dengan siapapun sekarang!" Saka berusaha menahan amarahnya sendiri, ia lantas berbalik dan berdiri di tengah ruangan. Stela menghela napas berat, menatap kesal pada lelaki yang hanya memikirkan dirinya sendiri itu. Jika saja bisa, saat ini juga ingin rasanya Stela menyeret Saka untuk berlutut dan meminta maaf pada Mama nya, karena entah sudah berapa kali Saka membuat masalah dalam keluarga nya.. "Harusnya aku memang menghajarmu Saka!" Ucap Stela kesal, ia serius dengan ucapannya kali ini, bukan sedang menggertak atau menakuti saudaranya. "Kenapa kau akan menghajarku?" Saka melirik dengan kesal. "Untuk menjernihkan pikiranmu yang kotor dan bodoh!" Saka tersenyum sinis, ia berjalan ke arah sofa, melemparkan dengan kesal tubuhnya ke atas busa yanh empuk dan menutupi kembali wajahnya dengan selimut. "Bangun! Aku masih be
Saka keluar kamar mandi, mendapati Stela masih duduk di ruang tengah apartemen nya, Saka berjalan sembari mengusap rambutnya yang basah."Kamu masih di sini? Pulang sana!" Saka meminta kakak perempuannya itu pergi, ia serasa di awasi sejak kakaknya itu datang."Kenapa? Aku hanya duduk, urus saja dirimu sekarang, pakai baju yang betul, aku bukan Clara yang tergoda melihatmu bertelanjang dada. Menjijikkan!" Stela mencemooh dengan terang-terangan lantas kembali sibuk dengan _Ultrabook_di tangannya.Saka ingin sekali membalas ucapan kakak namun bunyi ponsel membuat dia urung untuk beradu argumen lagi. Segera Saka membuka tas kecilnya di sisi ranjang, melihat nama "Mama" di layar ponsel membuat lelaki itu terdiam sebentar."Kau hubungi mama?" Tanya Saka dengan mata memicing, ia curiga pada Stela yang sudah tau masalah yang dirinya buat."Buat apa aku menghubungi mam." Ucap Stela acuh, matanya sibuk menatap layar laptopnya."Lalu kenapa mama menelepon sepagi ini?"Stela meghela napas, lant
Setelah kepulangan Stela dari rumah Saka, Zelinda masih duduk di teras rumahnya, ia tak lagi berselera untuk makan, bahkan ingatan nya terus berputar pada kejadian demi kejadian bersama Saka.Zelinda menghela napas panjang, ia masih bimbang bagaimana menjelaskan pada keluarga nya bila bertemu nanti, dia bahkan tak tau di mana Saka sekarang, sementara mungkin saja kakeknya atau mama Saka datang ke mari hari ini.Lama Zelinda duduk diam di teras, hingga akhirnya dia memutuskan masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tengah."Nyonya tidak makan lagi?" Rani bertanya dengan pelan, gadis itu berdirii di sisi meja makan yang masih penuh."Tidak Rani, bereskan saja mejanya, bawa pulang makanan yang kamu suka juga, masih banyak makanan di situ, sayang jika akhirnya tak termakan.""Mana boleh begitu nyonya, saya bisa di pecat nanti." Rani menjawab dengan santai, namun tangannya sudah sibuk membereskan meja makan."Lalu, kemana makanan itu nanti akhirya?" "Ya di sini nyonya, kalau basi nanti di
Pov Zelinda.Aku selalu berharap keluar dari rumah kakekku saat menikah, aku selalu berharap pernikahan ku bisa menyelamatkan aku dari sikap egois kakek, didikan kerasnya padaku dan juga hidupku yang tersandra. Namun ternyata pernikahan ini seperti membawa aku masuk ke dalam lubang yang sama, yang bahkan lebin dalam dari apa yang aku bisa bayangkan.Saka Gunawan adalah lelaki yang meminang aku dengan baik, keluarga nya begitu baik, aku tak pernah membayangka bahwa sedikitpun di hatinya tak ada cinta untuk diriku.Lelaki itu kini berdiri di depanku, entah kenapa tiba-tiba saja dia menarik aku ke dalam kamar. Dia mendekat perlahan sekarang, membuat aku juga akhirnya mundur menjauh. Aku masih terus menatap kedua matanya dengan perasaan marah dan kecewa yang bercampur."Ganti bajumu!" Ucapnya dingin, meminta aku segera mengganti baju.Aku hanya diam, menatap nya dengan tatapan nanar, sungguh haruskah aku menjalani seumur hidup dengan lelaki tempramen sepertinya sekarang?"Kenapa masih dia
Pov Zelinda.Aku sudah siap dengan dres berwarna merah muda, berulang kali juga ku pastikan make-up ku bisa menutupi segala memar akibat perbuatan Saka. Sejujurnya saat aku tau akan di jodohkan dengan Saka, aku menyukainya. Kami pernah bertemu beberapa kali di sebuah acara dan aku sudah jatuh hati padanya sejak pertama aku melihatnya.Saka adalah pria baik di mataku, aku menyelipkan namanya dalam doaku selama ini, ku pikir tak ada yang salah bila aku menaruh rasa padanya dulu, dan aku tak pernah membayangkan kami akhirnya akan berjodoh. Tapi aku tak pernah membayangka dia akan bersikap begitu mengerikan sekarang, setelah kami menikah.Brak! Brak!"Sampai kapan kau akan di dalam sana, ha!"Teriakan Saka dari luar membuat aku terkejut. Aku kembali menatap diri ini di kaca, bertemu dengan kolega keluarga Saka aku tak ingin membuat mama Sintia kecewa. Wanita itu sangat menyayangi aku, dan dia begitu bangga memiliki menantu seperti diriku."Zelinda! Apa yang kau lakukan di dalam sana!" Sak
Pov Zelinda.Kami tiba di depan hotel Pionix, salah satu hotel yang di miliki oleh mama Sintia. Aku pernah mendengar bahwa mama Sintia memang bukan orang biasa, selain dia cantik dan istri dari pengusaha ternama Jodi Gunawan, Mama Sintia juga anak dari salah satu pengusaha besar di Asia dan hotel ini adalah salah satu milik keluarganya."Ayo sayang, kita masuk." Mama Sintia meminta aku segera turun dari mobil dan mengikuti wanita itu masuk ke dalam lobi hotel. Aku sedikut terkejut saat baru memasuki pintu kaca nan megah, deretan staf bahan menejer hotel sudah berjajar menyambut kami dengan minuman selamat datang dan memberikan buket bunga yang cantik padaku."Selamat datang nyonya Zelinda, kami dari hotel pionix mengucapkan selamat atas pernikahan nyonya dengan tuan Saka." Seorang lelaki dengan jas yang rapi menyalami aku."Terimakasih atas sambutannya yang hangat." Aku tersenyum dengan tulus, sungguh apa yang mereka lakukan sangat menyentuhku."Mari kami antar ke ruang pertemuan nyo
Pov Zelinda"Kau bisa pulang sendiri?" Saka bertanya padaku setelah acara kantor selesai.Tentu saja aku masih terpaku menatapnya dengan tajam. Kami pergi bersama hari ini, tapi Saka tak bisa mengantarkanku pulang?"Ada apa?" Tanyaku akhirnya, aku jelas terus melihatnya selalu menatap ke arah jam di tangan."Aku ada janji bertemu dengan orang, jadi kau bisa pulang sendiri?"Dia memintaku pulang sendiri? Yang benar saja."Jika kau sibuk biar aku yang antar Zelinda pulang."Tiba-tiba saja Erlando mendekat dan mengatakan akan mengantarkan aku pulang."Kau tak keberatan?" Saka bertanya pada Erlando."Tidak, aku tak keberatan. Tapi tanya dulu pada Zelinda, apakah dia mau ikut bersamaku." Mereka berdua menatapku dengan tatapan menanti jawaban."Bagaimana, kau mau ikut Erlando?"Sejujurnya, aku tak keberatan. Erlando dan aku cukup dekat belakangan ini, meski aku memang masih menjaga jarak, takut jika ada berita yang tak menyenangkan di luar."Apa kau akan pulang juga?" Tanyaku memastikan ba
Pov Zelinda1 tahun setelah hari itu.Sejak hari di mana aku kembali di antarkan ke rumah keluarga Gunawan, maka hari itu hatiku sudah mati.Aku hanya tau bahwa menurut sebagai seorang istri adalah cara terbaikku untuk tetap hidup. Tak ada lagi kabar yang ingin ku dengar dari rumah Wijaya, bahkan aku tak pernah mau menerima panggilan masuk dari kakek yang entah sudah berapa puluh kali ku tolak.Hari ini adalah pesta peresmian perusahaan baru Saka, aku menyerahkan segala aset yang di berikan mama Sintia padanya, salah satu hal yang meyelamatkan hidupku hingga sekarang. Amukannya masih sering ku terima, tapi menggadu juga tak akan membuat posisiku berubah lebih baik, jadi aku menerima segalanya sebagai takdirku sendiri."Apa kau tak bisa lebih cepat!" Saka datang dengan wajah tak senang, aku belum selesai bersiap saat dia membuka pintu kamar."Aku akan segera siap." Ucapku bergegas menyelesaikan makeup ku.Saa berdiri di belakangku dengan tatapan ambisius, berulang kali dia membetulkan
"Apa tidurmu nyenyak?" Saka bertanya pada Zelinda dan wanita itu mengangguk dengan pelan.Empay bulan sudah mereka laui setelah hari itu, tak ada lagi drama pertengkaran terdengar. Zelinda menjadi istri yang sangat patuh pada suaminya. Setidaknya itu yang mereka semua pikirkan sekarang."Baguslah, jadi kau bisa ikut aku ke kantor hari ini." Ucapan Saka terdengar datar tapi membuat ke dua manik mata Zelinda membulat dengan sempurna."Aku? Ke kantormu? Kenapa, ah maksudnya untuk apa aku ke sana?.""Mama memintamu datang. Lagi pula ada baiknya juga kau bekerja kan, jadi pikiranmu bisa terbebas dari hal-hal buruk.".Zelinda mengerutkan alisnya."Hal buruk apa yang kau maksud?""Ya apa lagi, seperti kabur dari rumah misalnya."Zelin membuang wajahnya dengan malas. Dia tak pernah melakukan itu lagi kan, tapi Saka masih suka membahasnya tanpa alasan."Mama memberikanmu posisi di kantor, kau bisa belajar banyak hal di sana bukan?"Zelinda masih terdiam. Dia memang lulusan terbaik di kampusnya
"Mama dan papa ingin bicara dengan mu Saka!"Setelah kepulangan Tuan Hans, Jodi mengajak putranya bicara serius. Kali ini wajahnya tak menunjukkan sebuah keramahan."Pergilah ke depan dulu, aku akan menyusul." Sintia meminta anak dan suaminya ke depan lebih dulu, sementra dia memastikan Zelinda tenang."Istirahat lah di kamar sayang. Mama pastikan ini tak akan terjadi lagi." Ucap Sintia dengan lebut."Apa kita perlu ke dokter?" "Tidak ma, ini sudah lebih baik." "Baiklah, jika begitu istirahalah di atas." Wanita itu mengantarkan Zelinda naik menuju ke kamar atas, tapi belum sampai Zelinda naik, ia lantas berbalik dan menatap mertuanya."Ada apa sayang?""Em_ Bisakah Zelin meminta bantuan mama.""Tentu, apa yang bia mama bantu?""Bisakah mama bawa kembali Rani ke rumah ini?"Kedua alis Sintai terangkat. "Rani? Ada apa dengannya? Apa dia tida bekerja lagi di sini?"Zelinda menggelengkan kepalanya perlahan."Benarkah? Siapa yang memintanya berhenti? Saka?""Iya, aku dengar begitu. Ma,
Mobil kakek Zelinda masuk ke pekarangan rumah Saka, lelaki itu sudah berdiri di depan rumah saat kakek datang bersama Zelinda. Zelin yakin, ada yang sudah memberi tahu saka bahwa dirinya akan datang bersama Zelinda.Hans melihat tubuh cucunya gemetar, dia lantas mrngengam tangan Zelinda dengan erat sembari menatap manik mata cucunya dengan hangat."Tenanglah Zelin, kakek tak akan membiarkan kamu mati di sini. Percayalah pada kekekmu ini." Ucapnya seperti menjamin bahwa apa yang di lakukan Saka tak akan terulang lagi.Zelinda hanya terdiam dengan mata yang lekat menatap sang kekek. Meski terlihat kasar dan begitu keras akan pilihannya, jauh di lubuk hati Hans dia begitu menyayangi Zelinda."Keluarlah dengan nama besar keluargamu Zelin, pastikan hal itu tak terjadi lagi." Ucap kakek Hans lalu keluar dari dalam mobilnya."Kakek." Saka menyambut dengan hagat. Penuh semangat, Saka bahka membukakan pintu untuk Kakek dan Zelinda.Kakek Hans tersenyum menyambut pelukan hangat cucu menantunya,
Zelinda ikut masuk ke dalam ruang kerja kakenya, wanita itu masih berdiri di sisi pintu hingga kakeknya berbalik dan memintanya menutup ruangan.Zelinda mendekat dengan perasaan tak menentu, berharap keinginannya kali ini bisa di dengar kakek Hans."Katakan apa yang ingin kamu katakan." Suara kakek Hans terdengar begitu dingin, Zelinda tau dia tak punya banyak waktu sekarang."Aku ingin berpisah dari Saka Gunawan kakek." Ucap Zelinda dengan suara sedikit gemetar.Mendengar hal itu, suasana mejadi hening seketika, kakek Hans tak melihat ke arah Zelinda, namun lelaki itu mengarahkan kursi rodanya ke dekat meja kerja dan....Prak!Vas bunga peony putih terbanting, pecah dengan tangkai2 bunga peony berhambur di lantai ruangan.Zelinda tak lagi punya nyali untuk menatap sang kakek, dia bahkan berlutut tanpa sadar, merasakan kakinya seperti tak lagi punya tenaga untuk menopang tubuh."Kamu kira pernikahan ini sebuah mainan?" Suara tegas sang kakek membuat Zelinda menelan ludah dengan pahit.
Erlando menyetir mobilnya dalam diam, bahkan tak bertanya di mana alamat rumah Zelinda, lelaki itu sudah megarahkan mobilnya ke tempat tujuan."Apa kau tau di mana rumah kakekku?""Ya, aku tau."Zelinda mengerutkan kedua alisnya, menatap tak percaya pada Erlando." Bagaumana bisa kau tau di mana rumah kakekku?"Erlando hanya tersenyum dan menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah kakek Zelinda."Masuklah, aku akan menunggu di luar " ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Zelinda.Zelinda melepaskan sabuk pengaman nya dan menatap Erlando dengan perasaan penuh tanya."Masuklah." Ucap Erlando dengan lembut."Aku akan masuk. Terimakasih tumpangannya. Sebaiknya kau pulang, aku mungkin tidak akan keluar." Ucap Zelinda dengan wajah tenang, ia bahkan menghela napas panjang untuk menggumpulkan kembali keberaniannya dan memastikan dirinya baik-baik saja.Zelinda keluar dari dalam mobil Erlando, wanita itu berjalan mendekati gerbang dan menekan bel yang ada di dekat pintu, dia melirik sebent
Zelinda menemukan banyak baju wanita di lemari paling ujung kamar itu, sebuah kemeja satin putih dan rok putih plisket dia pilih untuk di pakai. Zelinda tak tau baju siapa ini, tapi Erlando bilang dia boleh paka baju apapun yang ada di lemari.Zelinda berjalan turun dari tangga dan saat membuka pintu, dia melihat Erlsndo sudah menunggu di ruang tengah. Lelaki itu terkejut melihat Zelinda memakai baju yang ia ingat dengan jelas siapa pemilik sebelumnya."Apa aku salah abil baju? Kau yang bilang aku boleh pakai baju manapun yang aku mau."Erlando sempat merasa tak nyaman, namun setelah memperhatikan lagi, Zelinda pantas memakai baju istimewa itu."Ya, pakai saja, aku tak keberatan.""Dan apa aku boleh memakai ini?" Zelinda memperlihatkan sandal kulit berwarna coklat tua, sandal itu tersimpan rapi di lemari kaca yang tepat berada di sisi lemari baju."Pakai saja, aku harap pemilik nya akan senang sebab barang-barangnya pantas saat kamu pakai." Ucapnya lagi lalu berjalan keluar rumah.Er
Erlando kembali ke dalam rumahnya, baru saja dia melangka ke ruang tengah, pintu tangga terbuka, Zelinda sudah berdiri di sana dengan wajah yang binggung dan sedih."Dia sudah pergi, tenanglah." Erlando menjelaskan pada Zelinda.Zelinda keluar begitu saja dari ruangan, mencoba berlari dari rumah itu, tapi Erlando segera menangkap tubub wanita itu dan memintanya untuk tenang."Aku tak akan menyakitimu, tenanglah." Ucapnya mencoba menjelaskan."Bagaiman aku bisa percaya padamu? Kau sudah berbohong sejak semalam." Zelinda bicara dengan suara serak, ia merasa dunia selalu tak berpihak padanya. Bahkan keberuntungan yang baru saja dia pikir di miliki ternyata semu."Aku tidak berbohong, aku tak tau siapa dirimu sampai kau bilang rumah di bawah itu milik suamimu. Aku baru tau kau adalah Zelinda." Erlando menjelaskan dengan jujur."Lepaskan aku, aku harus pergi!" Ucap Zelinda gigih."Kau akan pergi dengan berjalan kaki? Sejauh puluhan kilo?" Tanya Erlando dengan kesal, dirinya tak tau bagaima