Zelin kini duduk di depan cermin kamar pengantinnya. Ranjang berhiaskan bunga itu bahkan masih utuh tak tersentuh. Ia menangis semalaman di atas karpet, hingga tak tau kapan matanya terpejam dalam sesak yang tak dapat dia ceritakan. Matanya bengkak kemerahan, bahkan dia masih kesulitan bernapas sekarang. Waktu menunjukkan pukul enam pagi, dan lelaki yang baru semalam menjadikannya istri itu masih tak terlihat.
Perlahan zelin melepaskan sanggul nya, melepaskan baju pegantin dan menghapus riasan yang sejak semalam tidak sempat dia bersihkan. Tubuh kecilnya kini terlihat jelas, dia bukan wanita yang buruk, wajahnya bahkan bisa di bilang sangat mempesona, tubuh indahnya terawat, kulit nya putih bak pualam, bahkan orang tak perlu mempertanyakan siapa Zelin, sebab hanya dengan melihatnya saja, mereka akan tau wanita itu memang berkelas. Tapi apalah semua yang dia miliki, jika pada akhirnya hanyalah pernikahan semu yang dia dapatkan. Jika saja dia punya nyali untuk mengatakan tidak, tentu sekarang dirinya masih menikmati masa lajangnya dan mungkin bisa melanjutkan hidupnya di luar negeri saja, jauh dari keluarganya dan jauh dari keluarga Saka Gunawan.. Namun semuaya sudah terjadi, jalan yang tak ingin dia lalui akhirnya harus dia terima juga sebagai takdirnya. Tubuh kecil itu kini berjalan masuk ke dalam kamar mandi, membenamkan tubuhnya pada kumpulan busa di dalam bak, seolah dia ingin segala kesialan ikut tersingkir juga dari hidupnya. Zelin kembali menangis, berulang kali ia coba tenang, namun kalimat menyakitkan dari suaminya masih terus terngiang dengan jelas di dalam kepalanya. Setelah membersihkan dirinya, Zelin berjalan kembali masuk ke dalam kamar asing yang baru malam ini dia masuki. Dia berjalan membuka koper milik nya di sudut kamar, ia bahkan tak tau di mana harus menyimpan baju-bajunya sekarang. Zelin mengambil dres putih panjang dan mengenakannya, dres tanpa lengan itu membuat lehernya terlihat jenjang, ia lantas menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan kardigan berwarna senada. Zelinda menyisir rambutnya yang panjang dan sedikit basah, merias tipis wajahnya yang sembab dan memoleskan lipblam merah muda untuk menutupi pucat di bibirnya. Rahangnya terlihat kemerahan kini, bekas cengkraman tangan Saka semalam, Cengkraman yang membuat tubuhnya masih gemetar saat mengingatnya. "Untuk apa aku berdandan." Ucapnya lirih sembari tersenyum getir pada pantulan dirinya sendiri di cermin. Zelin lantas berjalan keluar kamar, melihat lantai dua rumah besar itu kosong tanpa ada siapapun. Zelin baru ingat, ibu mertuanya sudah bilang bahwa rumah ini memang milik Saka sendiri, tentu saja tak ada siapapun selain dirinya sekarang. Ia latas berjalan menuruni anak tangga, merasakan sunyi yang tercipta seakan membersamai takdirnya yang kejam. "Nyonya sudah bagun?" Suara lirih seorang gadis muda membuat Zelin terkejut. Gadis itu nampak sibuk menata ruang makan yang tak jauh dari tangga tempatnya berdiri kini. Gadis berkulit sawo matang dengan seragam pelayan itu nampak tersenyum menyambut Zelin, tubuhnya kecil namun terlihat cekatan kala menata meja makan besar di tengah ruang belakang itu. "Ah maaf nyonya, maafkan saya." Gadis itu berlari kecil mendekati Zelin, menunduk dengan sopan lalu tersenyum. " Nama saya Rani, saya adalah pelayan di rumah ini. Sebenarnya bukan hanya saya yag kerja di sini, tapi khusus hari ini nyonya besar hanya meminta saya untuk datang menyiapkan sarapan." Zelin tertegun sebentar, ia merasa kagum dengan pembawaan pelayan di depannya itu. Meski masih muda, gadis itu nampak menikmati pekerjaanya. "Jadi hanya ada kamu dan aku di rumah ini?" Tanya Zelin sembari berjalan melewati Rani dan duduk di kursi makan. "Hanya saya dan nyonya? Apa tuan muda Saka ti...." Rani segera menutup mulutnya dengan cepat, ia begitu takut salah bicara. "Maafkan saya nyonya, maafkan kelancangan saya." Ucapnya penuh penyesalan, ia megigit bibir bawahnya dengan khawatir, takut Zelinda merasa tersinggung dan marah. "Hahaaa, kamu lucu sekali Rani. Tidak apa-apa, aku bukan orang yang kejam Rani, kenapa kamu harus minta maaf, kamu tak melakukan kesalahan apapun." Zelin tertawa melihat Rani ketakutan sendiri, ia bahkan tak melakukan kesalahan apapun tapi terus saja meminta maaf. "Ada apa? Jangan takut Rani, aku tak galak seperti tuan mudamu itu." Ucap Zelin pelan lantas kembali tersenyum melihat Rani masih terpaku di tempatnya. "Apa dia sering pergi begitu? Seperti nya pergi tanpa pamit adalah salah satu sifat buruknya. Betulkan Rani?" Rani masih tertunduk dengan takut. Zelin berdiri dan mendekati Rani, dia menyentuh pundak gadis itu dengan lembut dan mendudukkan nya di kursi makan, tepat di sampingnya. "duduklah, temani aku makan." "Tidak nyonya, saya tidak boleh duduk di sini." Rani dengan cepat menolak dan berdiri di tempat nya lagi. "Kenapa? Siapa juga yang akan memarahimu? Di sini tidak ada siapapun selain kamu dan aku Ran, jadi duduk saja dan temani aku makan." "Tapi nyonya, saya_" "Tolong Rani, makanan yang kamu buat begitu banyak, aku tak akan sanggup memakannya sendiri, jadi duduk lah dan temani aku makan. Ini perintah dari nyonya mudamu!" Ucap Zelin dengan sedikit dingin, membuat Rani bergegas duduk kembali di kursi makan. Zelin tersenyum melihat tingkah pelayanan nya itu, ia lantas membalik piring yang tertelakup di depannya, mengambil sedikit sayuran dan telur setengah matang ke dalam piring miliknya. "Aku tak bisa sarapan berat Ran, jadi kamu bisa sediakan salad sayur, buah atau telur saja setiap pagi, dan segelas jus." "Baik nyonya." Ucap Rani pelan. "Aku senang melihatmu di sini Rani, setidaknya aku tak terlihat nelangsa sebagai pengantin yang di tinggalkan pada malam pertamanya." Zelin bicara tanpa beban, seolah dirinya sedang bicara dengan temannya sendiri, ia merasa Rani adalah gadis yang baik dan membuat dirinya merasa nyaman. Sementara Rani merasa canggung mendengar ucapan Zelin. Ia memang sudah beberapa tahun ini bekerja dengan keluarga Gunawan, tapi belum pernah sekalipun dirinya di perlakukan sebaik ini. "Nyonya baik-baik saja?" Rani memberanikan diri untuk bertanya, ia merasa khawatir dengan keadaan Zelinds. "Aku baik-baik saja Rani, kamu tak tau apa yang sudah aku alami semalam Rani, tapi setidaknya pagiku lebih baik sekarang." "Hah, tuan muda kasar itu pasti bicara menyakitkan lagi! Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu, dia kira karena dia tampan, dia bisa seenaknya sendiri!" Rani mengumpat dengan lirih, dia begitu kesal dengan sikap Saka, hingga tanpa sadar memaki tuan muda tempatnya bekerja di depan istrinya sendiri. Zelin tersenyum mendegar ucapan Rani, gadis itu kembali menutup mulutnya dengan malu saat menyadari ucapan nya di dengar oleh Zelinda. "Apa Saka terlihat sangat tampan bagimu Rani?" "Ah, maaf nyonya. Tuan Saka hanya tampan saja, nyonya belum bertemu tuan Erlando, dia jauh lebih tampan dari tuan Saka. Dan yang lebih penting, tuan Erlan sangat baik." Zelinda mengerutkan kedua alisnya, ia tak tau siapa itu Erlando dan apa hubungannya dengan keluarga suaminya. "Siapa itu Erlando?" "Sepupu tuan Saka, dia berbeda dari tuan Saka, tuan Erlando sangat baik. Nyonya pasti belum bertemu dengan nya, saya dengar beberapa bulan ini tuan Erlan sedang di Singapore karena urusan bisnis nya." "Benarkah?" "Ya Nyonya, tuan Saka kalah tampan dengan tuan Erlan." Ucap Rani dengan sangat yakin. "Kamu terdengar sangat jujur Rani, tapi Saka adalah suamiku jadi aku akan diam saja dan pura-pura tak mendengar apapun. Sekarang makanlah!" Ucapnya dengan senyum mengembang dan membiarkan Rani menikmati sarapan nya dengan tenang. Mereka berbincang seperti teman, Rani yang bersemangat dan ceria membuat suasan hati Zelin mejadi lebih baik, dia membuat Zelin merasa tak sendiri sekarang. Ting... Tong... Ting... Tong... Suara bel pintu berbunyi, membuat Rani bergegas pergi ke depan dan melihat siapa yang datang. Gadis itu membuka pintu dan terkejut melihat saudara perempuan Saka sudah berdiri di depannya. "Hay Rani, Saka ada?" "Ada siapa Rani?" Zelin yang penasaran berjalan keluar rumah juga dan melihat seorang lelaki berdiri di ambang pintu. "eh, ini nyonya ada nyonya Stela." Ucap Rani canggung. Stela adalah kakak tertua Saka, wanita itu memang terkenal tempramen dan tak segan memaki siapapun yang menurut nya tak sesuai dengan kelasnya.Suara bel pintu berbunyi, membuat Rani bergegas pergi ke depan dan melihat siapa yang datang. Gadis itu membuka pintu dan terkejut melihat saudara perempuan Saka sudah berdiri di depannya. "Hay Rani, Saka ada?" Belum sempat Rani menjawab, Zelinda sudah berjalan mendekati mereka. "Ada siapa Rani?" Zelin yang penasaran berjalan keluar rumah juga dan melihat seorang wanita nan cantik berdiri di ambang pintu. "Eh, ini nyonya, ada nyonya Stela" Ucap Rani canggung. Stela adalah kakak tertua Saka, wanita itu memang terkenal tempramen dan tak segan memaki siapapun yang menurut nya tak sesuai dengan kelasnya. "Hay Zelinda, wah sepertinya kamu sangat menikmati hidup barumu ya?" Stela menatap Zelin dengan sinis, memperhatikan paras ayu Zelinda sembari menilai caranya berpakaian. Zelinda sama canggung nya dengan Rani hingga tanpa sadar dia juga memperhatikan wajah Stela yang begitu mirip dengan Saka. Dua kali mereka pernah bertemu, dan Zelinda masih tak bisa bersikap baik dengan wan
Stela memarkirkan mobilnya di basemen apartemen besar di kota. Bergegas dia keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke dalam gedung. Stela bahkan tak perlu menemui scurity untuk bisa mendapatkan akses ke lantasi atas. dia masuk ke dalam lif, menekan tombol lantai tertinggi gedung it dan menunggu dengan tak sabar lif segera membawanya ke lantai yang ia tuju. Di lantai itu hanya ada dua ruang apartemen mewah, satu milik Erlando sepupunya dari pihak ibunya dan satu lagi di beli atas nama adiknya Saka Gunawan. Meski terlihat kesal dan malas, Stela akhirnya menekan juga bel yang ada di sisi pintu. Bayang wajah menyebalkan Saka membuat dirinya semakin tak sabar untuk segera memberi adiknya itu pelajaran Klek! Suara hendel pintu di buka, seorang wanita dengan baju tidur terbuka kini berdiri di depan Stela, rambutnya sebahu, sedikit acak-acakan dengan wajah sembab dia menetap Stela dengan terkejut. "Ada apa? Kau seperti melihat hantu!" Ucap Stela, dia sudah memperlihatkan rasa t
Menyadari saudaranya ini benar-benar marah sekarang, meski kesal, Saka memilih tak membahas Clara lebih dulu. "Apa maumu kak? Aku sedang tak ingin bertengkar dengan siapapun sekarang!" Saka berusaha menahan amarahnya sendiri, ia lantas berbalik dan berdiri di tengah ruangan. Stela menghela napas berat, menatap kesal pada lelaki yang hanya memikirkan dirinya sendiri itu. Jika saja bisa, saat ini juga ingin rasanya Stela menyeret Saka untuk berlutut dan meminta maaf pada Mama nya, karena entah sudah berapa kali Saka membuat masalah dalam keluarga mereka. "Harusnya aku memang menghajarmu Saka!" Ucap Stela kesal, ia serius dengan ucapannya kali ini, bukan sedang menggertak atau menakuti saudaranya. "Kenapa kamu akan menghajarku?" Saka melirik dengan kesal. "Untuk menjernihkan pikiranmu yang kotor dan bodoh!" Saka tersenyum sinis, ia berjalan ke arah sofa, melemparkan dengan kesal tubuhnya ke atas busa yang empuk dan menutupi kembali wajahnya dengan selimut. "Bangun! Aku masih
Saka keluar kamar mandi, mendapati Stela masih duduk di ruang tengah apartemen nya, Saka berjalan sembari mengusap rambutnya yang basah. "Kamu masih di sini? Pulang sana!" Saka meminta kakak perempuannya itu pergi, ia serasa di awasi sejak kakaknya itu datang. "Kenapa? Aku hanya duduk, urus saja dirimu sekarang, pakai baju yang betul, aku bukan Clara yang tergoda melihatmu bertelanjang dada. Menjijikkan!" Stela mencemooh dengan terang-terangan lantas kembali sibuk dengan _Ultrabook_ di tangannya. Saka ingin sekali membalas ucapan kakaknya, namun bunyi ponsel membuat dia urung untuk beradu argumen lagi. Segera Saka membuka tas kecilnya di sisi ranjang, melihat nama "Mama" di layar ponsel membuat lelaki itu terdiam sebentar. "Kamu menghubungi mama?" Tanya Saka dengan mata memicing, ia curiga pada Stela yang sudah tau masalah yang dirinya buat sekarang. "Tidak! Buat apa aku menghubungi mama." Ucap Stela acuh, matanya sibuk menatap layar laptopnya. "Lalu kenapa mama menelepon
Setelah kepulangan Stela dari rumah Saka, Zelinda masih duduk di teras rumahnya, ia tak lagi berselera untuk makan, bahkan ingatan nya terus berputar pada kejadian demi kejadian bersama Saka. Zelinda menghela napas panjang, ia masih bimbang bagaimana menjelaskan pada keluarga nya bila bertemu nanti, dia bahkan tak tau di mana Saka sekarang, sementara mungkin saja kakeknya atau mama Saka datang ke mari hari ini. Lama Zelinda duduk diam di teras, hingga akhirnya dia memutuskan masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tengah. "Nyonya tidak makan lagi?" Rani bertanya dengan pelan, gadis itu berdirii di sisi meja makan yang masih penuh. "Tidak Rani, bereskan saja mejanya, bawa pulang makanan yang kamu suka juga, masih banyak makanan di situ, sayang jika akhirnya tak termakan." "Mana boleh begitu nyonya, saya bisa di pecat nanti." Rani menjawab dengan santai, namun tangannya sudah sibuk membereskan meja makan. "Lalu, kemana makanan itu nanti akhirya?" "Ya di sini nyonya, kalau
Pov Zelinda. Aku selalu berharap keluar dari rumah kakekku saat menikah, aku selalu berharap pernikahan ku bisa menyelamatkan aku dari sikap egois kakek, didikan kerasnya padaku dan juga hidupku yang tersandra. Namun ternyata pernikahan ini seperti membawa aku masuk ke dalam lubang yang sama, yang bahkan lebin dalam dari apa yang aku bisa bayangkan. Saka Gunawan adalah lelaki yang meminang aku dengan baik, keluarga nya begitu baik, aku tak pernah membayangka bahwa sedikitpun di hatinya tak ada cinta untuk diriku. Lelaki itu kini berdiri di depanku, entah kenapa tiba-tiba saja dia menarik aku ke dalam kamar. Dia mendekat perlahan sekarang, membuat aku juga akhirnya mundur menjauh. Aku masih terus menatap kedua matanya dengan perasaan marah dan kecewa yang bercampur. Tamparannya tak bisa aku lupakan, dia membuat aku benar-benar merasa terpuruk sekarang. "Katakan kenapa kamu akhirnya memilih menikahi aku?" Aku masih menuntutnya menjawab tanya yang sejak tadi terus membuat aku
Pov Zelinda. Aku sudah siap dengan dres berwarna merah muda, berulang kali juga ku pastikan make-up ku bisa menutupi segala memar akibat perbuatan Saka. Sejujurnya saat aku tau akan di jodohkan dengan Saka, aku menyukainya. Kami pernah bertemu beberapa kali di sebuah acara dan aku sudah jatuh hati padanya sejak pertama aku melihatnya. Saka adalah pria baik di mataku, aku menyelipkan namanya dalam doaku selama ini, ku pikir tak ada yang salah bila aku menaruh rasa padanya dulu, dan aku tak pernah membayangkan kami akhirnya akan berjodoh. Tapi aku tak pernah membayangka dia akan bersikap begitu mengerikan sekarang, setelah kami menikah. Brak! Brak! "Masih lama? mau sampai kapan kamu akan di dalam sana, ha!" Teriakan Saka dari luar membuat aku terkejut. Aku kembali menatap diri ini di kaca, bertemu dengan kolega keluarga Saka membuat aku sedikit canggung. terlebih aku tak ingin membuat mama Sintia kecewa. Wanita itu sangat menyayangi aku, dan dia begitu bangga memiliki menantu s
Pov Zelinda. Kami tiba di depan hotel Pionix, salah satu hotel yang di miliki oleh mama Sintia. Aku pernah mendengar bahwa mama Sintia memang bukan orang biasa, selain dia cantik dan istri dari pengusaha ternama Jodi Gunawan, Mama Sintia juga anak dari salah satu pengusaha besar di Asia dan hotel ini adalah salah satu milik keluarganya. "Ayo sayang, kita masuk." Mama Sintia meminta aku segera turun dari mobil dan mengikuti wanita itu masuk ke dalam lobi hotel. Aku sedikit terkejut saat baru memasuki pintu kaca nan megah, deretan staf bahan menejer hotel sudah berjajar menyambut kami dengan minuman selamat datang dan memberikan buket bunga yang cantik padaku. "Selamat datang nyonya Zelinda, kami dari hotel pionix mengucapkan selamat atas pernikahan nyonya dengan tuan Saka." Seorang lelaki dengan jas yang rapi menyalami aku. "Terimakasih atas sambutannya yang hangat." Aku tersenyum dengan tulus, sungguh apa yang mereka lakukan sangat menyentuhku. "Mari kami antar ke ruang pe
Malam begitu cerah, bintang banyak bertaburan di langit dan angin pantai seolah menambah kesan romantis pada malam itu. "Pelan-pelan." Ucap Saka menggandeng tangan Zelinda yanv sengaja dia minta untuk menutup mata. "Kita mau kemana?" Tanya Zelinda dengan perasaan tak menentu. "sabar dulu, kita hampir sampai." Ucap Saka dan terus menuntun Zelinda ke arah tampat mereka akan makan malam bersama. Sampi di sebuah gazebo dekat pantas, Saka membuka penutup mata Zelinda. Dengan mata yang sedikut kabur, Zelin berusaha meluhat apa yang kini ada di depannya. Sebuah meja makan bulay dengan taplak putih bersih sudah ada di depannya. lilin merah menyala di tengah meja dengan makanan pembuka yang mencuri perhatian karena bentuknya yang cantik. "Apa ini?" Zelinda bertanya dengan jantung berdegup kencang, diamerasa binggung sejaligus bahagia melihat apa yang saka usahakan untuknya malam ini. Saka menarik kursi makan dan mempersilahkan Zelinda duduk, merapikan gaun wanita itu dan barulah dia d
Saka berjalan cepat ke arah hotelnya, melewati hamparan rumput yang cukup luas, dia masuk dari area kolam renang yang tak terlalu ramai. Sebelum sampai ke dalam hotel, dirinya sudah melihat Zelinda berdiri dengan tatapan binggung seolah sedang mencari seserang. "Apa yang kamu lakaukan di sini?" Ucap Saka megejutkan Zelin. lelaki itu tiba-tiba saja berdiri di belakang Zelinda. "kenapa kamu ada di sini?" Zelin bertanya lebih dulu, dia baru saja ingin mencari Saka di area pantai namun lelaki itu sudah berada di sini. "Aku, aku sudah bilang ingin jalan-jalan. kenapa?" "kamu di sini sejak tadi?" "ya, hanya di sekitar sini. Ada apa?" Tanya saka mulai merasa cemas jika Zelinda melihatnya bersama Clara. "kamu yakin?" Zelinda bertanya lagi, ia yakin betul melihat seseorang yng mirip dengan Saka berpelukan tadi. "Apa sih, aku sedang tak ingin bercanda. Ayo masuk!" Saka berjalan meninggalkan Zelinda dan masuk lebih dulu ke area dalam hotel. Dia berharap Zelinda percaya dan tak memba
Saka memutuskan keluar dari hotel tempat nya meginap dengan Zelinda, dia lantas berjalan ke arah pantai yang jaraknya hanya perlu menyeberang jalanan yang tak terlalu ramai. menikmati pemandangan pantai yang indah, membuat Saka tersenyum sendiri. Entah kapan terakhir dirinya menikmati suasana yang begitu menyenangkan seperti saat ini. "Hay!" Sebuah suara dari belakang membuat Saka terkejut. Tangan lentik dengan kuku panjang yang terawat sudah memeluknya begitu erat. Saka berbalik dengan cepat dan melihat Clara berdiri dengan bikini seksinya yang meyala terang di tengah panasnya pantai kuta sore itu. "Clara! kamu ngapain di sini?" Saka nampak tak suka melihat kedatangan pacarnya itu, entah kenapa dia merasa kali ini harusnya Clara tak berada di dekatnya. Wajah Clara nampak kesal sekarang, ia lantas melepaskan tangannya dari Saka dan melipat tangan di dada. "Aku ingin liburan ke sini, jadi aku menyusulmu. Ingat ya, aku nggak mau kamu dekat-dekat dengan si kampungan itu!" Uc
Zelin masih meyiapkan semua bajunya saat Saka datang dengan tergesa. wanita itu memilih diam, tak terlalu perduli dengan apa yang suaminya akan lakukan. Dia sudah menyiapkan baju Saka dalam koper, baju yang entah cocok atau tidak bagi suaminya. "Apa bajuku di sini?" Saka datang lebih siang dan tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. "ya, bajumu ada di dalam koper ini. Aku hanya siapkan yang menurutku terpakai, jadi kamu bisa tambahka sendiri baju mana yang ingin kaku bawa. "Nggak usah, itu saja susah cukup. Sudah aku mau bersiap." Ucap Saka lantas berjalan menuju ke kamar mandi di rumah itu. Saka bahkan tak mandi di rumah Clara karena merasa terburu-buru untuk pulang. zelinda mengangguk dengan ucapan Saka, dia lantas menarik kopernya sendiri keluar kamar dan membiarkan lelaki itu bersiap. zelinda menunggu di lantai bawah, meminum segelas jus sebelum berangkat dan meminta Rani memberinya salad sayur yang masih segar. "Ada surat untuk nyonya." Rani menaruh amplop coklat di ata
"Apa, ke Bali?" Clara berdecak kesal mendengar Saka akan pergi bulan madu dengan Zelinda, istrinya. "Hadiah dari mama, aku tak bisa menolak Clara." Wanita itu berbalik dengan kesal dan menatap Saka dengan tajam. "Ya kamu kasih alasan apa gitu. Aku nggak rela ya kamu pergi berdua dengan wanita itu!" Ucapnya dengan tatapan tak mau kalah. "Jangan begitu Clara, aku juga tidak bisa menolak apa yang mama berikan. Jika aku tak pergi bulan madu dengan Zelin, mama bisa curiga pada kami." Clara melipat tangannya di depan dada. Mereka bertemu secara diam-diam hari ini, bertemu di rumah Clara. Saka menyewakan rumah itu untuk Clara tinggali. Saka memeluk wanita itu dari belakang dan berusaha merayunya agar mengizinkan dia pergi dengan Zelinda. Dia merasa sedang di puncak libidonya setelah kontak fisiknya dengan Zelinda pagi tadi. "Jika mama sampai curiga dan kami ketahuan, aku bisa kehilangan semuanya Clara. Jika aku kehilangan semuanya, bagaimana bisa aku membelikan rumah baru untukm
Zelinda mengendarai mobil menuju ke tempat Erlando merawat kuda-kudanya. Wanita itu memarkirkan mobilnya di area luar dan berjalan masuk mencari sosok yang dia ingin temui. "Nyonya ada di sini rupanya." Seorang staf Erlando menyapa dengan hangat. Dia adalah Bella, sekertaris yang sering ikut saat Erlando memiliki urusan bisnis. Kedatangan Zelin ke tempat itu bukanlah hal baru. Zelinda cukup sering datang untuk berkuda, dia selalu senang berada di ruangan terbuka, menimati udara yang sejuk dan merasakan adrenalinya terpacu kala menguasai laju kudanya dan merasa dirinya bisa mengendalikan laju kuda adalah sesuatu yang menyenangkan baginya. Zelin menatao Bella dengan senyum, meski dia bisa melihat bahwa Bella memang tak terlalu suka padanya sejak awal mereka bertemu. "Hay Bella, apa Elando sedang ada urusan pentingnya?." Zelinda menanyai sekertaris Erlando. Wanita itu selalu ada jika Erlando sedang mengurusi bisninya. "Iya nyonya, tuan ada pertemuan. Apa nyonya akan berkuda ha
Setelah kepulangan Sintia hari itu, Saka dan Zelinda tak banyak bicara seharian. Pagi ini mereka duduk bersama di halama belakang. Mereka jarang menikmati waktu seperti ini, namun kali ini Saka meminta Zelinda menemaninya duduk di teras belakang dan menikmati suasana pagi yang damai dan tenang. "Kopimu." Zelinda meletakkan secangkir kopi di meja, wanita itu latas duduk bersebelahan dengan Saka, suaminya. "Apa kamu sangat sibuk?" Saka bertanya pada Zelinda lebih dulu, sebelum ia mengeluarkan tiket pesawat untuk bulan madu mereka pada Zelinda. "Lumayan, besok harusnya aku ada pertemuan dengan salah satu kolega Star hotel dan melihat desain villa baru Rayon grup di kantor. Tapi mau bagaimana lagi, mama tiba-tiba saja meminta kita pergi sore ini. "Apa lusa dan selama satu minggu kedepan kamu sibuk sekali?" Zelin meletakkan lagi cangkirnya di meja, menatap wajah Saka dengan heran, kedua alisnya bahkan bertaut. "Ada apa? Tidak biasanya kamu begini?" "Tentang bulan madu ini, a
Saka berjalan pelan ke arah mamanya, wajahnya berusaha setenang mungkin agar tak menimbulkan pikiran buruk padanya. "Apa kamu tak dengar saka, mama bertanya dari mana saja kamu?" "Ah, ada urusan mendadak ma, em... Sebaiknya kita masuk ke ruanganku saja." Ucap Saka setengah berbisik, ia tak mau Zelinda dan Erlando mendengarnya di marahi. "Kenapa harus di ruang kerjamu? Mama mau di sini saja." Sintia tak beranjak dari tempatnya duduk. "Ayolah ma, sebentar saja." Ucap Saka memohon dengan manja. Zelinda dan Erlando saling pandang dengan wajah datar, Zelin juga baru kali ini melihat Saka benar-benar maja pada mamaya. Sintia tak dapat menolak ajakan Saka, wanita itu berjalan masuk ke runag kerja putranya dan duduk di kursi utama ruangan itu. Wajahnya tajam menatap anak lelaki satu-satunya itu. "Kenapa mama harus ke ruangan ini untuk bicara padamu, kenapa? Ada yang kamu sembunyikan?" Saka mendekat perlahan dan duduk di depan ibunya. "Sebenarnya ini rahasia ma." Ucapnya mulai
Berbicara dengan Erlndo ternyata membuat Zelinda merasa nyaman. Mereka lantas mengobrol lama, bahkan dia membantu wanita itu menyelesaikan semua pekerjaan kantor dengan mudah, dia selalu mendengarkan apa yang Zelinda katakan, bertukar pikiran dengannya dalam banyak cerita, bahkan tertawa lepas. Hal yang tak pernah Zelinda lakukan dengan siapapun selama ini. Zelinda menggagumi sikap dan cara Erlando menghargai orang lain. Kopi buatannya juga sangat enak, Zelinda tak tau dia juga seorang barista yang handal. Dia membuat Zelinda merasa punya harga diri sekarang. "Aku tak tau kau pandai membuat kopi." Zelin memuji dengan santun saudara suaminya itu. Niatnya membuatkan kopi untuk Erlando terganti karena Erlando memutuskan membuat kopinya sendiri. "Aku pernah belajar kopi saat berkunjung ke Italia beberapa tahun lalu." Ucapnya memjelaskan, bahkan suaranya saja membuat Zelinda merasa damai dan aman. "Kau suka bepergian?" Zelin bertanya dengan sangat antusias. "Ya, ke beberapa negara