Malam begitu cerah, bintang banyak bertaburan di langit dan angin pantai seolah menambah kesan romantis pada malam itu. "Pelan-pelan." Ucap Saka menggandeng tangan Zelinda yanv sengaja dia minta untuk menutup mata. "Kita mau kemana?" Tanya Zelinda dengan perasaan tak menentu. "sabar dulu, kita hampir sampai." Ucap Saka dan terus menuntun Zelinda ke arah tampat mereka akan makan malam bersama. Sampi di sebuah gazebo dekat pantas, Saka membuka penutup mata Zelinda. Dengan mata yang sedikut kabur, Zelin berusaha meluhat apa yang kini ada di depannya. Sebuah meja makan bulay dengan taplak putih bersih sudah ada di depannya. lilin merah menyala di tengah meja dengan makanan pembuka yang mencuri perhatian karena bentuknya yang cantik. "Apa ini?" Zelinda bertanya dengan jantung berdegup kencang, diamerasa binggung sejaligus bahagia melihat apa yang saka usahakan untuknya malam ini. Saka menarik kursi makan dan mempersilahkan Zelinda duduk, merapikan gaun wanita itu dan barulah dia d
Bab 1 Pernikahan yang tak di inginkan. Zelin masuk ke sebuah ruangan yang indah, baju pengantin masih melekat pada tubuhnya dengan anggun, wajahnya bersemu merah kala menatap ranjang pengantin berhiaskan mawar dengan bentuk hati di tengah nya. "Ini cantik sekali." Ucapnya lirih sembari mendekat melihat bunga mawar di hadapannya, wanginya bahkan semerbak memenuhi ruangan. Lampu temaram nan cantik membut suasana kamar pengantin itu menjadi lebih hagat. Zelin memperhatikan lebih seksama kamar lelaki yang kini jadi suaminya itu, merasa kagum dengan kamar yang begitu bersih dan rapi, kamar yang di tata dengan sangat baik, sehingga Zelin merasa betah juga berada di sana. Brak! Suara pintu kamar terbuka dengan kencang membuat Zelin tersentak dan menatap ke arah pintu. Lelaki yang tak asing baginya itu sudah berdiri di dekat pintu kamar, memakai jas putih yang senada dengan gaun pengatinnya. Zelin terdiam di sudut rajang, mematap dengan perasaan tak menentu saat lelaki yang bar
Zelin kini duduk di depan cermin kamar pengantinnya. Ranjang berhiaskan bunga itu bahkan masih utuh tak tersentuh. Ia menangis semalaman di atas karpet, hingga tak tau kapan matanya terpejam dalam sesak yang tak dapat dia ceritakan. Matanya bengkak kemerahan, bahkan dia masih kesulitan bernapas sekarang. Waktu menunjukkan pukul enam pagi, dan lelaki yang baru semalam menjadikannya istri itu masih tak terlihat. Perlahan zelin melepaskan sanggul nya, melepaskan baju pegantin dan menghapus riasan yang sejak semalam tidak sempat dia bersihkan. Tubuh kecilnya kini terlihat jelas, dia bukan wanita yang buruk, wajahnya bahkan bisa di bilang sangat mempesona, tubuh indahnya terawat, kulit nya putih bak pualam, bahkan orang tak perlu mempertanyakan siapa Zelin, sebab hanya dengan melihatnya saja, mereka akan tau wanita itu memang berkelas. Tapi apalah semua yang dia miliki, jika pada akhirnya hanyalah pernikahan semu yang dia dapatkan. Jika saja dia punya nyali untuk mengatakan tidak, tentu
Suara bel pintu berbunyi, membuat Rani bergegas pergi ke depan dan melihat siapa yang datang. Gadis itu membuka pintu dan terkejut melihat saudara perempuan Saka sudah berdiri di depannya. "Hay Rani, Saka ada?" Belum sempat Rani menjawab, Zelinda sudah berjalan mendekati mereka. "Ada siapa Rani?" Zelin yang penasaran berjalan keluar rumah juga dan melihat seorang wanita nan cantik berdiri di ambang pintu. "Eh, ini nyonya, ada nyonya Stela" Ucap Rani canggung. Stela adalah kakak tertua Saka, wanita itu memang terkenal tempramen dan tak segan memaki siapapun yang menurut nya tak sesuai dengan kelasnya. "Hay Zelinda, wah sepertinya kamu sangat menikmati hidup barumu ya?" Stela menatap Zelin dengan sinis, memperhatikan paras ayu Zelinda sembari menilai caranya berpakaian. Zelinda sama canggung nya dengan Rani hingga tanpa sadar dia juga memperhatikan wajah Stela yang begitu mirip dengan Saka. Dua kali mereka pernah bertemu, dan Zelinda masih tak bisa bersikap baik dengan wan
Stela memarkirkan mobilnya di basemen apartemen besar di kota. Bergegas dia keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke dalam gedung. Stela bahkan tak perlu menemui scurity untuk bisa mendapatkan akses ke lantasi atas. dia masuk ke dalam lif, menekan tombol lantai tertinggi gedung it dan menunggu dengan tak sabar lif segera membawanya ke lantai yang ia tuju. Di lantai itu hanya ada dua ruang apartemen mewah, satu milik Erlando sepupunya dari pihak ibunya dan satu lagi di beli atas nama adiknya Saka Gunawan. Meski terlihat kesal dan malas, Stela akhirnya menekan juga bel yang ada di sisi pintu. Bayang wajah menyebalkan Saka membuat dirinya semakin tak sabar untuk segera memberi adiknya itu pelajaran Klek! Suara hendel pintu di buka, seorang wanita dengan baju tidur terbuka kini berdiri di depan Stela, rambutnya sebahu, sedikit acak-acakan dengan wajah sembab dia menetap Stela dengan terkejut. "Ada apa? Kau seperti melihat hantu!" Ucap Stela, dia sudah memperlihatkan rasa t
Menyadari saudaranya ini benar-benar marah sekarang, meski kesal, Saka memilih tak membahas Clara lebih dulu. "Apa maumu kak? Aku sedang tak ingin bertengkar dengan siapapun sekarang!" Saka berusaha menahan amarahnya sendiri, ia lantas berbalik dan berdiri di tengah ruangan. Stela menghela napas berat, menatap kesal pada lelaki yang hanya memikirkan dirinya sendiri itu. Jika saja bisa, saat ini juga ingin rasanya Stela menyeret Saka untuk berlutut dan meminta maaf pada Mama nya, karena entah sudah berapa kali Saka membuat masalah dalam keluarga mereka. "Harusnya aku memang menghajarmu Saka!" Ucap Stela kesal, ia serius dengan ucapannya kali ini, bukan sedang menggertak atau menakuti saudaranya. "Kenapa kamu akan menghajarku?" Saka melirik dengan kesal. "Untuk menjernihkan pikiranmu yang kotor dan bodoh!" Saka tersenyum sinis, ia berjalan ke arah sofa, melemparkan dengan kesal tubuhnya ke atas busa yang empuk dan menutupi kembali wajahnya dengan selimut. "Bangun! Aku masih
Saka keluar kamar mandi, mendapati Stela masih duduk di ruang tengah apartemen nya, Saka berjalan sembari mengusap rambutnya yang basah. "Kamu masih di sini? Pulang sana!" Saka meminta kakak perempuannya itu pergi, ia serasa di awasi sejak kakaknya itu datang. "Kenapa? Aku hanya duduk, urus saja dirimu sekarang, pakai baju yang betul, aku bukan Clara yang tergoda melihatmu bertelanjang dada. Menjijikkan!" Stela mencemooh dengan terang-terangan lantas kembali sibuk dengan _Ultrabook_ di tangannya. Saka ingin sekali membalas ucapan kakaknya, namun bunyi ponsel membuat dia urung untuk beradu argumen lagi. Segera Saka membuka tas kecilnya di sisi ranjang, melihat nama "Mama" di layar ponsel membuat lelaki itu terdiam sebentar. "Kamu menghubungi mama?" Tanya Saka dengan mata memicing, ia curiga pada Stela yang sudah tau masalah yang dirinya buat sekarang. "Tidak! Buat apa aku menghubungi mama." Ucap Stela acuh, matanya sibuk menatap layar laptopnya. "Lalu kenapa mama menelepon
Setelah kepulangan Stela dari rumah Saka, Zelinda masih duduk di teras rumahnya, ia tak lagi berselera untuk makan, bahkan ingatan nya terus berputar pada kejadian demi kejadian bersama Saka. Zelinda menghela napas panjang, ia masih bimbang bagaimana menjelaskan pada keluarga nya bila bertemu nanti, dia bahkan tak tau di mana Saka sekarang, sementara mungkin saja kakeknya atau mama Saka datang ke mari hari ini. Lama Zelinda duduk diam di teras, hingga akhirnya dia memutuskan masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tengah. "Nyonya tidak makan lagi?" Rani bertanya dengan pelan, gadis itu berdirii di sisi meja makan yang masih penuh. "Tidak Rani, bereskan saja mejanya, bawa pulang makanan yang kamu suka juga, masih banyak makanan di situ, sayang jika akhirnya tak termakan." "Mana boleh begitu nyonya, saya bisa di pecat nanti." Rani menjawab dengan santai, namun tangannya sudah sibuk membereskan meja makan. "Lalu, kemana makanan itu nanti akhirya?" "Ya di sini nyonya, kalau
Malam begitu cerah, bintang banyak bertaburan di langit dan angin pantai seolah menambah kesan romantis pada malam itu. "Pelan-pelan." Ucap Saka menggandeng tangan Zelinda yanv sengaja dia minta untuk menutup mata. "Kita mau kemana?" Tanya Zelinda dengan perasaan tak menentu. "sabar dulu, kita hampir sampai." Ucap Saka dan terus menuntun Zelinda ke arah tampat mereka akan makan malam bersama. Sampi di sebuah gazebo dekat pantas, Saka membuka penutup mata Zelinda. Dengan mata yang sedikut kabur, Zelin berusaha meluhat apa yang kini ada di depannya. Sebuah meja makan bulay dengan taplak putih bersih sudah ada di depannya. lilin merah menyala di tengah meja dengan makanan pembuka yang mencuri perhatian karena bentuknya yang cantik. "Apa ini?" Zelinda bertanya dengan jantung berdegup kencang, diamerasa binggung sejaligus bahagia melihat apa yang saka usahakan untuknya malam ini. Saka menarik kursi makan dan mempersilahkan Zelinda duduk, merapikan gaun wanita itu dan barulah dia d
Saka berjalan cepat ke arah hotelnya, melewati hamparan rumput yang cukup luas, dia masuk dari area kolam renang yang tak terlalu ramai. Sebelum sampai ke dalam hotel, dirinya sudah melihat Zelinda berdiri dengan tatapan binggung seolah sedang mencari seserang. "Apa yang kamu lakaukan di sini?" Ucap Saka megejutkan Zelin. lelaki itu tiba-tiba saja berdiri di belakang Zelinda. "kenapa kamu ada di sini?" Zelin bertanya lebih dulu, dia baru saja ingin mencari Saka di area pantai namun lelaki itu sudah berada di sini. "Aku, aku sudah bilang ingin jalan-jalan. kenapa?" "kamu di sini sejak tadi?" "ya, hanya di sekitar sini. Ada apa?" Tanya saka mulai merasa cemas jika Zelinda melihatnya bersama Clara. "kamu yakin?" Zelinda bertanya lagi, ia yakin betul melihat seseorang yng mirip dengan Saka berpelukan tadi. "Apa sih, aku sedang tak ingin bercanda. Ayo masuk!" Saka berjalan meninggalkan Zelinda dan masuk lebih dulu ke area dalam hotel. Dia berharap Zelinda percaya dan tak memba
Saka memutuskan keluar dari hotel tempat nya meginap dengan Zelinda, dia lantas berjalan ke arah pantai yang jaraknya hanya perlu menyeberang jalanan yang tak terlalu ramai. menikmati pemandangan pantai yang indah, membuat Saka tersenyum sendiri. Entah kapan terakhir dirinya menikmati suasana yang begitu menyenangkan seperti saat ini. "Hay!" Sebuah suara dari belakang membuat Saka terkejut. Tangan lentik dengan kuku panjang yang terawat sudah memeluknya begitu erat. Saka berbalik dengan cepat dan melihat Clara berdiri dengan bikini seksinya yang meyala terang di tengah panasnya pantai kuta sore itu. "Clara! kamu ngapain di sini?" Saka nampak tak suka melihat kedatangan pacarnya itu, entah kenapa dia merasa kali ini harusnya Clara tak berada di dekatnya. Wajah Clara nampak kesal sekarang, ia lantas melepaskan tangannya dari Saka dan melipat tangan di dada. "Aku ingin liburan ke sini, jadi aku menyusulmu. Ingat ya, aku nggak mau kamu dekat-dekat dengan si kampungan itu!" Uc
Zelin masih meyiapkan semua bajunya saat Saka datang dengan tergesa. wanita itu memilih diam, tak terlalu perduli dengan apa yang suaminya akan lakukan. Dia sudah menyiapkan baju Saka dalam koper, baju yang entah cocok atau tidak bagi suaminya. "Apa bajuku di sini?" Saka datang lebih siang dan tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. "ya, bajumu ada di dalam koper ini. Aku hanya siapkan yang menurutku terpakai, jadi kamu bisa tambahka sendiri baju mana yang ingin kaku bawa. "Nggak usah, itu saja susah cukup. Sudah aku mau bersiap." Ucap Saka lantas berjalan menuju ke kamar mandi di rumah itu. Saka bahkan tak mandi di rumah Clara karena merasa terburu-buru untuk pulang. zelinda mengangguk dengan ucapan Saka, dia lantas menarik kopernya sendiri keluar kamar dan membiarkan lelaki itu bersiap. zelinda menunggu di lantai bawah, meminum segelas jus sebelum berangkat dan meminta Rani memberinya salad sayur yang masih segar. "Ada surat untuk nyonya." Rani menaruh amplop coklat di ata
"Apa, ke Bali?" Clara berdecak kesal mendengar Saka akan pergi bulan madu dengan Zelinda, istrinya. "Hadiah dari mama, aku tak bisa menolak Clara." Wanita itu berbalik dengan kesal dan menatap Saka dengan tajam. "Ya kamu kasih alasan apa gitu. Aku nggak rela ya kamu pergi berdua dengan wanita itu!" Ucapnya dengan tatapan tak mau kalah. "Jangan begitu Clara, aku juga tidak bisa menolak apa yang mama berikan. Jika aku tak pergi bulan madu dengan Zelin, mama bisa curiga pada kami." Clara melipat tangannya di depan dada. Mereka bertemu secara diam-diam hari ini, bertemu di rumah Clara. Saka menyewakan rumah itu untuk Clara tinggali. Saka memeluk wanita itu dari belakang dan berusaha merayunya agar mengizinkan dia pergi dengan Zelinda. Dia merasa sedang di puncak libidonya setelah kontak fisiknya dengan Zelinda pagi tadi. "Jika mama sampai curiga dan kami ketahuan, aku bisa kehilangan semuanya Clara. Jika aku kehilangan semuanya, bagaimana bisa aku membelikan rumah baru untukm
Zelinda mengendarai mobil menuju ke tempat Erlando merawat kuda-kudanya. Wanita itu memarkirkan mobilnya di area luar dan berjalan masuk mencari sosok yang dia ingin temui. "Nyonya ada di sini rupanya." Seorang staf Erlando menyapa dengan hangat. Dia adalah Bella, sekertaris yang sering ikut saat Erlando memiliki urusan bisnis. Kedatangan Zelin ke tempat itu bukanlah hal baru. Zelinda cukup sering datang untuk berkuda, dia selalu senang berada di ruangan terbuka, menimati udara yang sejuk dan merasakan adrenalinya terpacu kala menguasai laju kudanya dan merasa dirinya bisa mengendalikan laju kuda adalah sesuatu yang menyenangkan baginya. Zelin menatao Bella dengan senyum, meski dia bisa melihat bahwa Bella memang tak terlalu suka padanya sejak awal mereka bertemu. "Hay Bella, apa Elando sedang ada urusan pentingnya?." Zelinda menanyai sekertaris Erlando. Wanita itu selalu ada jika Erlando sedang mengurusi bisninya. "Iya nyonya, tuan ada pertemuan. Apa nyonya akan berkuda ha
Setelah kepulangan Sintia hari itu, Saka dan Zelinda tak banyak bicara seharian. Pagi ini mereka duduk bersama di halama belakang. Mereka jarang menikmati waktu seperti ini, namun kali ini Saka meminta Zelinda menemaninya duduk di teras belakang dan menikmati suasana pagi yang damai dan tenang. "Kopimu." Zelinda meletakkan secangkir kopi di meja, wanita itu latas duduk bersebelahan dengan Saka, suaminya. "Apa kamu sangat sibuk?" Saka bertanya pada Zelinda lebih dulu, sebelum ia mengeluarkan tiket pesawat untuk bulan madu mereka pada Zelinda. "Lumayan, besok harusnya aku ada pertemuan dengan salah satu kolega Star hotel dan melihat desain villa baru Rayon grup di kantor. Tapi mau bagaimana lagi, mama tiba-tiba saja meminta kita pergi sore ini. "Apa lusa dan selama satu minggu kedepan kamu sibuk sekali?" Zelin meletakkan lagi cangkirnya di meja, menatap wajah Saka dengan heran, kedua alisnya bahkan bertaut. "Ada apa? Tidak biasanya kamu begini?" "Tentang bulan madu ini, a
Saka berjalan pelan ke arah mamanya, wajahnya berusaha setenang mungkin agar tak menimbulkan pikiran buruk padanya. "Apa kamu tak dengar saka, mama bertanya dari mana saja kamu?" "Ah, ada urusan mendadak ma, em... Sebaiknya kita masuk ke ruanganku saja." Ucap Saka setengah berbisik, ia tak mau Zelinda dan Erlando mendengarnya di marahi. "Kenapa harus di ruang kerjamu? Mama mau di sini saja." Sintia tak beranjak dari tempatnya duduk. "Ayolah ma, sebentar saja." Ucap Saka memohon dengan manja. Zelinda dan Erlando saling pandang dengan wajah datar, Zelin juga baru kali ini melihat Saka benar-benar maja pada mamaya. Sintia tak dapat menolak ajakan Saka, wanita itu berjalan masuk ke runag kerja putranya dan duduk di kursi utama ruangan itu. Wajahnya tajam menatap anak lelaki satu-satunya itu. "Kenapa mama harus ke ruangan ini untuk bicara padamu, kenapa? Ada yang kamu sembunyikan?" Saka mendekat perlahan dan duduk di depan ibunya. "Sebenarnya ini rahasia ma." Ucapnya mulai
Berbicara dengan Erlndo ternyata membuat Zelinda merasa nyaman. Mereka lantas mengobrol lama, bahkan dia membantu wanita itu menyelesaikan semua pekerjaan kantor dengan mudah, dia selalu mendengarkan apa yang Zelinda katakan, bertukar pikiran dengannya dalam banyak cerita, bahkan tertawa lepas. Hal yang tak pernah Zelinda lakukan dengan siapapun selama ini. Zelinda menggagumi sikap dan cara Erlando menghargai orang lain. Kopi buatannya juga sangat enak, Zelinda tak tau dia juga seorang barista yang handal. Dia membuat Zelinda merasa punya harga diri sekarang. "Aku tak tau kau pandai membuat kopi." Zelin memuji dengan santun saudara suaminya itu. Niatnya membuatkan kopi untuk Erlando terganti karena Erlando memutuskan membuat kopinya sendiri. "Aku pernah belajar kopi saat berkunjung ke Italia beberapa tahun lalu." Ucapnya memjelaskan, bahkan suaranya saja membuat Zelinda merasa damai dan aman. "Kau suka bepergian?" Zelin bertanya dengan sangat antusias. "Ya, ke beberapa negara