Sri POVOm Reksa mengatakan niatannya untuk menuntut Alex atas tuduhan pelecehan terhadapku. Abah setuju dengan usul beliau. Namun, menurutku itu tidak akan mudah. Alex bukan orang sembarangan. Citranya di luaran sana sangat bagus, berbanding terbalik dengan aslinya.Siapa sangka jika dibalik topeng yang selalu ia gunakan di depan media, Alex merupakan ketua pengedar obat-obatan terlarang. Aku sangat yakin, setelah mengetahui kepergianku dari tempatnya, dia tidak akan tinggal diam.“Tapi bagaimana cara kita menjatuhkannya, Om. Alex bukan orang sembarangan, kita tidak memiliki bukti kuat untuk membuatnya membayar apa yang dia lakukan terhadap saya,” lirihku.“Tunggu sebentar.” Om Reksa berjalan ke arah pintu lalu memanggil seseorang. Selang beberapa menit, Rendi mengikuti dari belakang.Om Reksa menyampaikan niatannya pada Rendi dan pemuda itu manggut sebagai tanda bahwa ia paham dengan apa yang disampaikan Om-ku. “Kita hanya perlu mencari bukti untuk memenjarakan pria brengsek itu,” g
“Kita tunggu sampai Nyimas membaik. Baru setelah itu katakan segalanya.”Suara percakapan Abah dengan seseorang di kamar mengurungkan niat untuk turun ke dapur. Sepertinya sesuatu telah terjadi, tapi apa? Kuharap bukan sesuatu yang besar.“Ranti terus mendesak saya agar menyampaikan permohonan maaf pada Sri.” Rupanya Abah tengah berbincang dengan Fakhri. Ada apa dengan Ranti, sampai dia mendesak suaminya untuk menyampaikan permohonan maaf padaku.Benar. Aku sampai lupa menanyakan kabar Ranti karena masalah yang tengah dihadapi. Beberapa waktu lalu, entah kenapa sering sekali memimpikan sepupuku itu. Namun anehnya, Ranti yang ada dalam mimpi terlihat begitu memprihatinkan.Dia berdiri di pintu depan rumah Abah seraya menatap ke arahku yang berada di dalam. Ketika diminta masuk, Ranti menggeleng menolak ajakan. Tubuhnya terlihat begitu kurus kering, seperti hanya tersisa tulang terbungkus kulit, sama persis dengan Mamah sebelum beliau meninggal.Hampir setiap hari mimpi itu terus hadir
“Alex berhasil lolos ketika polisi mendatangi kediamannya,” ujar Rendi ketika kami berkumpul di rumah.“Kemungkinan besar dia melarikan diri ketika polisi menemukan bukti baru keterlibatannya dengan obat-obatan terlarang itu.” Fakhri menimpali.“Tapi, tidak ada jejak yang polisi temukan. Kemana Alex pergi tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan, anak buahnya yang tertangkap pun tidak mengatakan di mana bos mereka berada meski pihak polisi telah membuat mereka babak belur,” ujar Rendi lagi.Jika Alex tidak ditemukan di manapun, dan tidak ada catatan meninggalkan negara ini, maka hanya ada satu jawaban. “Sepertinya dia pergi lewat jalur laut.” Aku dan Fakhri saling bertukar pandang ketika kami mengatakan hal yang sama.“Kebanyakan dari mereka yang melarikan diri secara illegal akan memilih jalur laut karena minimnya pemeriksaan di sana,” tutur Fakhri.“Lalu, bagaimana sekarang?” tanya Om Reksa.“Kita semua harus berhati-hati mulai sekarang. Tidak ada yang tahu keberadaan Alex dan tangan ka
“Sri, sebaiknya kamu pulang sekarang, tidak usah ikut ke kantor polisi. Ini biar aku yang urus dan nanti minta bantuan sama Fakhri,” tutur Rendi. Aku pun menurut, lalu keluar dari ruang kerja Rendi untuk kembali ke rumah.Selama beberapa hari ini, tanggung jawab perusahaan dipegang penuh oleh Om Reksa serta Anita. Om-ku itu berubah posesif setelah penculikan tempo hari, hingga melarangku keluyuran sebelum Alex tertangkap. Dan sebaiknya gegas kembali ke rumah, sebelum Abah mengadu pada Om Reksa kalau aku keluar tanpa ditemani siapa pun.“Sri.” Seseorang menepuk bahu setelah aku keluar dari elevator.Saat menoleh, Rasya berdiri dengan senyum merekah di wajah. Kenapa kami harus bertemu lagi di tempat yang sama?Dia akhirnya melepaskan tangan setelah mendapat tatapan tajam. “Kok udah mau pulang aja? Ngomongin apa sih sama Rendi, sampai berduaan di dalam. Ingat loh, kalian ini bukan muhrim,” ucap pria itu seraya menekankan kata terakhirnya hingga beberapa karyawan yang berlalu lalang melir
Aku terbangun dengan keringat dingin dan tubuh menggigil. Ketika diamati, ruanganku berada sekarang adalah kamar tidur. Siapa yang memindahkanku kemari? Bukannya tadi berada di ruang keluarga hendak salat berjamaah?Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok tante Rina yang membawa segelas air di tangan. “Minum dulu, Neng.” Beliau segera membantu mengangkat tengkuk dan meminumkan air tadi. Rasanya, semua dahaga menghilang seketika begitu air itu melewati kerongkongan.“Tunggu sebentar, ya. Om Reksa sudah memanggil dokter kemari,” ujar tante Rina. Aku hanya mengangguk. Entah kenapa suara sulit keluar.Beberapa saat kemudian, seorang wanita dengan jas putih datang bersama Om Reksa. Kemudian dia meletakkan alat yang tersambung ke telinganya di atas dada. Beberapa kali aku menarik nafas pelan sesuai arahan dokter.“Sepertinya hanya kelelahan biasa. Sebaiknya banyak istirahat dan minum air putih yang banyak, saya akan resepkan vitamin,” ungkap dokter, segera membubuhkan tinta di atas kertas ke
“Syuut..” Siti menyuruhku agar terdiam.Lama-kelamaan rasa dingin itu berubah menjadi rasa panas yang membakar. Tak tahan rasanya hingga aku pun meringis dan hampir menangis karenanya. “Apa yang kau lakukan pada lukanya?” tanyaku.“Menyembuhkanya, tentu saja,” jawab Siti.Menyembuhkan, katanya? Menyembuhkan apa kalau rasanya malah semakin membuatku tersiksa. “Tahan sebentar, obatnya tengah bekerja sekarang. Nanti setelah ini kau tidak akan merasakan sakit lagi, dan luka itu tidak akan membekas,” tuturnya.Aku hanya bisa mencengkeram kuat seprai untuk melampiaskan rasa sakit yang semakin menjalar hingga dengan tiba-tiba perut pun ikut mual dan keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit.“Rubah yang kau lihat di dalam mimpi itu bukanlah makhluk sembarangan. Dia memiliki sihir yang sanggup membunuh seseorang dengan cakarnya. Obat yang kutuang barusan merupakan pemberian leluhurmu, dia menyuruhku menuangkannya pada luka itu,” paparnya.Rasa mual semakin menjadi, hingga aku pun tak
Om Reksa mempersilahkan duduk di kursi yang ditariknya. Lalu aku pun duduk di sana bergabung dengan mereka. “Alhamdulillah. Atas kehendak Allah melalui perantara Om dan Abah, Neng sudah merasa lebih baik dari sebelumnya,” jawabku. Keduanya serempak mengucap syukur.Pembicaraan pun beralih pada topik penemuan buhul sihir semalam oleh Abah serta Om Reksa. “Sebisa mungkin, hindari Rasya mulai dari sekarang. Kalau perlu, segera pergi ketika melihatnya meski dari kejauhan,” pesan Om-ku ini.Tak ada yang disembunyikan dari keduanya. Selama satu minggu itu, Rasya terus datang ke mimpi hingga aku pun memberitahu Abah dan Om Reksa. Keduanya yakin jika Rasya lah orang yang mengirim guna-guna.“Baik, Om.” Aku memilih menurut. Toh ini semua demi kebaikan semua orang. Lagi pula aku dan Rasya tak lagi memiliki kerja sama setelah apa yang dia lakukan dulu. Tidak mungkin kami akan bertemu sesering dulu.Tapi tunggu! Bagaimana bisa Rasya mengirim guna-guna padaku. Bukankah untuk melakukan itu dia haru
Pintu kamar Abah sudah tiga kali diketuk. Namun, beliau tak kunjung membukanya. Rasa khawatir menyelimuti diri, takut beliau kenapa-napa karena saat salat subuh berjamaah, sosoknya tak nampak di manapun. Saat ditanyakan pada Fakhri, katanya beliau mengeluh tak enak badan.“Abah baik-baik saja?” tanyaku untuk ke sekian kali ketika terdengar suara batuk dari dalam.“Mungkin Abah sedang salat, Teh.” Fakhri muncul dari arah dapur dengan gelas kopi yang masih mengepulkan asap. Segera dibawanya gelas itu menuju Pak Ahmad yang tengah duduk di teras seusai salat.Aku pun meninggalkan pintu lalu melangkah menuju dapur. Berniat menyiapkan sarapan untuk semua orang. Saat membuka kulkas, rupanya sudah ada satu ekor ayam kampung yang sepertinya belum lama dibersihkan. Sangat tidak mungkin jika Abah yang menyiapkannya, karena beliau tak enak badan, apa Fakhri yang menyiapkannya? Entahlah, siapa pun itu, aku akan memasaknya menjadi menu kesukaan Abah, opor ayam kampung.Sekitar satu jam berkutat di