“Syuut..” Siti menyuruhku agar terdiam.Lama-kelamaan rasa dingin itu berubah menjadi rasa panas yang membakar. Tak tahan rasanya hingga aku pun meringis dan hampir menangis karenanya. “Apa yang kau lakukan pada lukanya?” tanyaku.“Menyembuhkanya, tentu saja,” jawab Siti.Menyembuhkan, katanya? Menyembuhkan apa kalau rasanya malah semakin membuatku tersiksa. “Tahan sebentar, obatnya tengah bekerja sekarang. Nanti setelah ini kau tidak akan merasakan sakit lagi, dan luka itu tidak akan membekas,” tuturnya.Aku hanya bisa mencengkeram kuat seprai untuk melampiaskan rasa sakit yang semakin menjalar hingga dengan tiba-tiba perut pun ikut mual dan keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit.“Rubah yang kau lihat di dalam mimpi itu bukanlah makhluk sembarangan. Dia memiliki sihir yang sanggup membunuh seseorang dengan cakarnya. Obat yang kutuang barusan merupakan pemberian leluhurmu, dia menyuruhku menuangkannya pada luka itu,” paparnya.Rasa mual semakin menjadi, hingga aku pun tak
Om Reksa mempersilahkan duduk di kursi yang ditariknya. Lalu aku pun duduk di sana bergabung dengan mereka. “Alhamdulillah. Atas kehendak Allah melalui perantara Om dan Abah, Neng sudah merasa lebih baik dari sebelumnya,” jawabku. Keduanya serempak mengucap syukur.Pembicaraan pun beralih pada topik penemuan buhul sihir semalam oleh Abah serta Om Reksa. “Sebisa mungkin, hindari Rasya mulai dari sekarang. Kalau perlu, segera pergi ketika melihatnya meski dari kejauhan,” pesan Om-ku ini.Tak ada yang disembunyikan dari keduanya. Selama satu minggu itu, Rasya terus datang ke mimpi hingga aku pun memberitahu Abah dan Om Reksa. Keduanya yakin jika Rasya lah orang yang mengirim guna-guna.“Baik, Om.” Aku memilih menurut. Toh ini semua demi kebaikan semua orang. Lagi pula aku dan Rasya tak lagi memiliki kerja sama setelah apa yang dia lakukan dulu. Tidak mungkin kami akan bertemu sesering dulu.Tapi tunggu! Bagaimana bisa Rasya mengirim guna-guna padaku. Bukankah untuk melakukan itu dia haru
Pintu kamar Abah sudah tiga kali diketuk. Namun, beliau tak kunjung membukanya. Rasa khawatir menyelimuti diri, takut beliau kenapa-napa karena saat salat subuh berjamaah, sosoknya tak nampak di manapun. Saat ditanyakan pada Fakhri, katanya beliau mengeluh tak enak badan.“Abah baik-baik saja?” tanyaku untuk ke sekian kali ketika terdengar suara batuk dari dalam.“Mungkin Abah sedang salat, Teh.” Fakhri muncul dari arah dapur dengan gelas kopi yang masih mengepulkan asap. Segera dibawanya gelas itu menuju Pak Ahmad yang tengah duduk di teras seusai salat.Aku pun meninggalkan pintu lalu melangkah menuju dapur. Berniat menyiapkan sarapan untuk semua orang. Saat membuka kulkas, rupanya sudah ada satu ekor ayam kampung yang sepertinya belum lama dibersihkan. Sangat tidak mungkin jika Abah yang menyiapkannya, karena beliau tak enak badan, apa Fakhri yang menyiapkannya? Entahlah, siapa pun itu, aku akan memasaknya menjadi menu kesukaan Abah, opor ayam kampung.Sekitar satu jam berkutat di
Author POVSemakin hari, kondisi Bah Ilham semakin memburuk. Untuk bernafas pun beliau harus dibantu alat-alat medis yang terpasang di tubuh. Keinginan terakhirnya telah sampai ke telinga keluarga Ranti. Semua orang menyambut baik keinginan Bah Ilham dan merestui pernikahan kedua memantu mereka dengan keponakan mereka sendiri.Om serta tante Sri yang berada di Jakarta pun telah menyusul ke Garut setelah mendengar kondisi Bah Ilham. Pernikahan hanya tinggal menunggu hari. Sengaja dimajukan karena kondisi Bah Ilham yang semakin memprihatinkan.Dengan telaten, Sri mengurusi sang kakek yang kini hanya bisa terbaring lemah di atas belangkar. Sri tidak pernah mengeluh ketika menyediakan segala kebutuhan sang kakek atau bahkan membantunya membersihkan kotoran sekalipun. Terkadang dia akan bergantian dengan Fakhri, sang calon suami.“Pulanglah, dan istirahat. Sudah dua hari ini Teteh tidak tidur dengan teratur, biar saya yang jaga Abah sekarang,” ujar Fakhri.Sri menggeleng seraya terus menat
Fakhri menaburkan bunga di atas gundukan makam di hadapan. Ada rasa rindu yang terpancar dari mata pria itu ketika tatapannya lekat pada batu nisan bertuliskan nama sang istri yang menemaninya selama hampir dua bulan pernikahan mereka.Kemudian, pandanganya beralih pada gundukan kecil di samping makam Ranti. Di sana, calon buah hatinya dimakamkan. “Akang sudah penuhi keinginan terakhirmu. Tenanglah di alam sana, dan titip salam pada anak kita. Akang sangat menyayangi kalian berdua.”Fakhri mengelus pusara sang istri lalu mengecupnya beberapa detik sebelum beranjak pergi. Tak bisa dipungkiri jika perasaan Fakhri pada Ranti mulai tumbuh seiring berjalannya rumah tangga mereka. Namun ketika rasa itu hadir, Allah lebih menyayangi sang istri dan mengambilnya.Ranti merupakan sosok istri yang patuh dan tidak pernah banyak menuntut. Bahkan ketika perasaannya belum terbalaskan pun Ranti selalu melayani dengan penuh keikhlasan. Perasaan sayang itu muncul perlahan hingga sedikit demi sedikit pe
Fakhri dan Idrus menjadi orang terakhir yang meninggalkan makam, malam itu. Jam di tangan Idrus telah menunjuk angka sembilan. “Tunggu, Ri.” Idrus menahan tangan sang sahabat yang hendak melangkah.Pemuda itu mengangkat tangan sebagai isyarat agar Fakhri tidak buka suara lalu menunjuk ke arah lain, di mana terlihat cahaya senter menyoroti jalan setapak menuju hutan. “Orang yang mau berburu tokek mungkin, Kang,” ujar Fakhri.“Emang sejak kapan Aldi jadi pemburu tokek?” tanya Idrus. Segera menarik lengan Fakhri agar mengikutinya membuntuti orang tadi.Keduanya berjalan dengan mengendap-endap seraya mengambil jarak dari sosok pria di depan. “Bangunan tua? Untuk apa Aldi ke sana?” Idrus kembali bergumam.“’Kan udah saya bilang tadi, mungkin dia mau berburu tokek. Udah, ayo kita pulang,” ajak Fakhri. Namun, Idrus kembali mencekal tangannya.“Kang, istri saya pasti menunggu di rumah,” ucap Fakhri seraya berbisik.“Mentang-mentang pengantin baru,” cibir Idrus, mengcebikkan bibir.Keduanya b
Sri segera mendorong dada bidang sang suami ketika bibir mereka hampir bertemu. “Kenapa?” Fakhri sedikit kecewa dengan penolakan sang istri.“Lupa bilang kalau Om Reksa tadi menyuruh Mas menemuinya di ruang depan.” Fakhri mendesah kecewa mendengar jawaban sang istri. Dengan langkah gontai, pria itu pun keluar dari kamar untuk menemui Reksa yang sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu bersama Idrus.“Kamu itu mandi atau semedi sih, Ri. Om udah nungguin dari tiga puluh menit yang lalu. Tuh, lihat, kopi Om aja udah habis segelas,” omel Om Reksa.Fakhri meringis, segera mengambil tempat di samping Idrus. “Memangnya ada apa Om manggil Fakhri?” tanya pria muda itu.“Jadi, begini Ri…” Om Reksa mulai menceritakan apa yang ia dan Idrus ketahui ketika di kantor polisi mengenai Aldi."Pemuda itu sudah terjun ke dalam dunia hitam sejak lama. Bahkan sebelum Mang Burhan terjun. Pemuda itu pun mengaku terlibat dalam pesugihan di mana sang adik menjadi korban pemuas nafsu para pengikut Ki Amar.Aldi
Sri menatap sendu, pada sosok yang saat ini tengah meronta-ronta di atas belangkar dengan sekujur badan yang tertutup perban. “Apa yang terjadi pada Rasya, Ren?” tanya wanita itu.“Semuanya berawal ketika anak buah Alex mengejar-ngejar Kak Rasya,” jawab Rendi, menghela nafas perlahan.Sri membulatkan mata. Bagaimana bisa pria itu masih saja bertindak jahat meski di dalam kurungan penjara saat ini.“Apa sebabnya mereka mengejar Rasya? Apa Alex dan Rasya saling mengenal?” Rendi mengangguk.“Aku baru mengetahuinya setelah Kak Rasya mengalami kecelakaan ketika mobilnya tertabrak kereta karena menghindari kejaran anak buah Alex. Dari tangan kanan yang biasa menemaninya kemana pun, aku menemukan fakta jika mereka menjalin kerja sama di belakangku.Aku juga mengetahui jika Alex mengejar Kak Rasya sebab dialah orang yang membocorkan informasi transaksinya kepada polisi. Dia yang telah memfitnahmu hingga Alex mengincarmu waktu itu,” papar Rendi.“Tolong maafkan semua kesalahan yang pernah dia
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S
“Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y
“Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t