Sri menatap sendu, pada sosok yang saat ini tengah meronta-ronta di atas belangkar dengan sekujur badan yang tertutup perban. “Apa yang terjadi pada Rasya, Ren?” tanya wanita itu.“Semuanya berawal ketika anak buah Alex mengejar-ngejar Kak Rasya,” jawab Rendi, menghela nafas perlahan.Sri membulatkan mata. Bagaimana bisa pria itu masih saja bertindak jahat meski di dalam kurungan penjara saat ini.“Apa sebabnya mereka mengejar Rasya? Apa Alex dan Rasya saling mengenal?” Rendi mengangguk.“Aku baru mengetahuinya setelah Kak Rasya mengalami kecelakaan ketika mobilnya tertabrak kereta karena menghindari kejaran anak buah Alex. Dari tangan kanan yang biasa menemaninya kemana pun, aku menemukan fakta jika mereka menjalin kerja sama di belakangku.Aku juga mengetahui jika Alex mengejar Kak Rasya sebab dialah orang yang membocorkan informasi transaksinya kepada polisi. Dia yang telah memfitnahmu hingga Alex mengincarmu waktu itu,” papar Rendi.“Tolong maafkan semua kesalahan yang pernah dia
Pesta resepsi pernikahan Fakhri dan Srikandi dilaksanakan di salah satu hotel peninggalan orang tuanya. Mereka berdua terlihat begitu serasi dengan gaun serta jas berwarna off white. Semua teman kuliah serta karyawan perusahaan datang menghadiri acara tersebut. Pun dengan para santri yang diboyong oleh mereka.Terkecuali Aina, yang telah tiada beberapa bulan lalu setelah penyakitnya kembali kambuh. Sri tidak tahu apakah penyakit itu masih ada hubungannya dengan Bu Marni, atau murni penyakit yang memang sudah diderita Aina sejak lama.Semua teman-temannya datang dengan pasangan mereka masing-masing, kecuali Rama. Diketahui jika pemuda itu masih menaruh hati pada Srikandi hinga kini. dia bahkan terang-terangan mengungkapkan perasaan di depan Fakhri saat bersalaman tadi.Sedang Amira yang dulu mengagumi sosok Rama kini telah membina keluarga dengan pemuda pilihan keluarganya. Semua teman-temannya memiliki akhir kisah yang bahagia, terkecuali Rendi. Kini, perusahaan besar miliknya telah g
Sebuah gubuk tua di tengah hutan. Asap mengepul dari kemenyan yang dibakar di atas arang merah di depan seorang wanita tua. Mulut yang bergerak melantunkan mantra serta tangan yang sibuk menabur kemenyan.Di depan, bersila seorang wanita yang usianya diperkirakan setengah abad memperhatikan wanita tua di hadapan. “Saya ingin ustaz muda itu kehilangan istri serta anaknya, Ni,” desis wanita itu dengan sorot penuh kebencian.Wanita yang dipanggil Ni itu tertawa mengikik. “Sabar, Cu. ‘Ku Nini keur diusahakeun,” sahutnya.(Sabar, sedang Nini usahakan.)Wanita itu tersenyum puas. Dia melakukan hal syirik seperti ini karena sakit hati putrinya ditolak oleh seorang ustaz muda hanya karena dia sudah memiliki istri. Bukahkan Islam memperbolehkan laki-laki memiliki istri lebih dari satu? Tak bisakah ustaz itu menerima cinta putrinya?Wanita itu tidak akan menuntut banyak. Dia hanya ingin putrinya bahagia meski harus menjadi istri muda ustaz yang beberapa waktu lalu mengisi ceramah di kampungnya.
Tante Rina segera menekan tombol di samping tempat tidur beberapa kali. Selang lima menit, seorang dokter wanita beserta dua perawat datang tergesa. Dokter itu kemudian mengecek pembukaan Sri.“Ini aneh,” gumamnya.“Apa yang terjadi pada Putri kami, dokter?” tanya Ibu Ranti. Dokter wanita itu tak langsung menjawab, lalu berkata. “Tolong pindahkan pasien ke ruang bersalin lalu persiapkan segalanya,” titah dokter itu yang langsung diangguki kedua perawat.Sri segera dibawa oleh kedua suster itu. Tante Rina segera menghubungi Fakhri, lalu setelah itu menyusul ibu Ranti yang lebih dulu pergi menemani Sri menuju ruang bersalin di lantai atas ruang rawat tadi.“Dokter tolong katakan apa yang terjadi pada putri saya?” tanya ibu Ranti, semakin panik melihat Sri yang kembali meringis kesakitan.“Pembukaannya sudah mencapai tahap sembilan, Bu.”Semua orang yang ada di sana tentu saja terkejut. Sejak kemarin, dokter terus mengatakan pembukaan satu, bahkan Sri masih ingat jika sekitar empat pulu
Suasana pondok begitu sibuk. Seluruh santri bergotong royong membantu menyiapkan acara aqiqah Gus kecil mereka. Om Reksa dan Pak Harits memerintahkan menyembelih tujuh ekor kambing serta sapi. Nantinya, makanan itu akan dibagikan pada seluruh warga kampung hingga kampung-kampung sebelah.“Ri, ada tamu,” ujar tante Rina pada Fakhri yang tengah menunggui anaknya tertidur di ranjang bayi.“Iya, sebentar tante, Fakhri nunggu dulu ibunya Khalif kembali dari kamar mandi.” Tente Rina mengangguk, lalu meninggalkan ayah dan anak itu untuk membantu pekerjaan di dapur.Beberapa saat kemudian, Sri keluar dari kamar mandi yang sengaja Fakhri bengun beberapa minggu lalu di dalam kamar mereka. “Mas keluar dulu, ada tamu katanya,” pamit Fakhri segera berdiri.“Siapa?” tanya Sri.“Bapak yang ngelamar Mas buat putrinya?” tebaknya.“Gak tahu. Tadi, tante Rina tidak memberitahu siapa-siapanya,” jawab Fakhri. Sri menyahuti dengan ber’o’ ria.Fakhri menangkap kecemburuan tersirat diraut wajah wanita yang t
“Mang, nasi gorengnya tiga bungkus ya, seperti biasa,” ucap Sri, pada penjual nasi goreng keliling di depan.Dia dan Khalid memang sangat hobby membeli nasi goreng di jam-jam setelah isya seperti sekarang ini. Apa lagi nasi goreng buatan Mang Herman ini memang terkenal sangat lezat di kampung.Sri mengerutkan dahi. Tak biasanya Mang Herman banyak diam seperti sekarang. Biasanya juga dia akan mengajak Khalid ngobrol banyak hal, atau sekedar menggoda putra kedua Sri. Namun, Sri masih tetap berprasangka baik. Mungkin Mang Herman tengah sakit gigi.Tiga bungkus nasi goreng pun disodorkan Mang Herman setelah dibungkus lebih dulu dengan styrofoam dan kresek hitam. Sri segera memberikan uang pada Mang Herman. “Kembaliannya seperti biasa ambil saja, Mang.” Sri meraih lengan Khalid lalu menuntunnya segera menuju halaman pondok.“Loh, Ummi sama Khalid dari mana?” tegur Khalif yang sepertinya baru kembali setelah selesai mengaji.“Kami habis membeli nasi goreng, Bang. Ayo pulang, kita makan sama
Di kamar anak-anak, Khalid yang telah terlelap menggeliat karena sesuatu mengganggu pendengaran. Begitu terjaga, dia melihat ke arah ranjang bawah, di mana abangnya tengah mengigau disertai keringat yang mengucur deras. “Bang Alif kenapa?” gumam si bungsu.Dia segera menyibak selimut, lalu menuruni pijakan tangga di samping ranjang dengan hati-hati. Sampai didekat ranjang Khalif, dia segera menempelkan punggung tangan untuk mengecek suhu tubuh. “Abang demam,” gumamnya. Gegas keluar dari kamar menuju kamar kedua orang tuanya.“Ummi, Abi, buka pintunya, tolong Bang Khalif, Mi, Bi,” teriak Khalid dengan suara panik.Di dalam, kedua orang tua mereka yang baru selesai mereguh nikmatnya syurga dunia tengah saling memeluk di balik selimut tebal dengan begitu mesra. Sri yang baru saja terlelap langsung terjaga, setelah mendengar teriakan serta gedoran di pintu.“Astagfirullah, Mas, ada apa?” paniknya.Pelukan mereka terlepas. Fakhri meminta Sri menunggu, lalu dia segera memakai kaus serta sar
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t