Home / Horor / Tilasmat / 74. Penculikan

Share

74. Penculikan

Author: Anonymous Girl
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sri POV

Entah kenapa dua hari ini aku merasa seseorang terus membuntuti kemana pun pergi. Apa hanya perasaan saja? Karena ketika dicari, tak ada seorang pun yang mencurigakan. Ini sangat aneh.

Tak ingin berlama-lama terpaku dalam pikiran negatif, tungkai kembali melangkah ke arah mobil, hendak mengambil baju ganti karena malam ini seperti biasa aku akan menghabiskan waktu memeriksa dokumen.

Tak biasanya juga Pak Cecep tertidur di pos satpam. Ingin menegur, tetapi kasihan. Mungkin dia kelelahan karena harus masuk shift malam setelah bekerja sebagai sopir bis. Biarlah, toh masih ada beberapa karyawan yang juga tengah lembur.

“Kami pulang duluan, Bu.” Baru saja merasa senang karena ada teman lembur, sudah dipatahkan lagi sebab mereka telah menyelesaikan pekerjaan dan bersiap untuk pulang.

“Ya, hati-hati kalian,” kataku.

Begitu sampai di ruangan, tiba-tiba segelas kopi telah tersaji dengan masih menguarkan asap putih yang seketika membuatku tergugah dengan wanginya. Siapa yang bikin kira-
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Tilasmat   75. Double POV (Titik Temu)

    Dengan sedikit kesadaran yang masih tersisa, terlihat Alex berjalan mendekat. Ternyata mereka membawaku kembali ke kamar sebelumnya.“Jangan,” lirihku ketika tangan besar itu menarik paksa jilbab yang menutupi kepala. Bahkan, tangan itu kini telah merambat ke arah tubuh bagian atas.“Ayah, Ibu!” Kugenggam erat pecahan beling yang diambil saat terjatuh di samping guci tadi."Argh!"Alex meraung kesakitan ketika bahunya ditusuk dengan pecahan itu. “Wanita sialan!” Dia kembali mendaratkan tamparan di pipi.Dengan langkah terseok, aku kembali mencoba melarikan diri. “Lepaskan aku!” Mencoba berontak ketika Alex memeluk dari belakang.“Sudah kukatakan jika bukan aku yang melaporkan transaksi itu pada polisi.” Sekali lagi mencoba meluruskan kesalahpahaman di antara kami. Namun, Alex tak juga menggubris. Bahkan, bibirnya beberapa kali mencoba menjangkau area leher.“Aku sudah tidak peduli lagi dengan siapa orang yang melaporkan transaksi itu pada polisi. Yang terpenting sekarang, aku mengingi

  • Tilasmat   76. Demam

    Meraba dinding, mencari saklar lampu agar mudah melihat sekitar. Begitu lampu menyala, tatapan langsung tertuju pada gadis yang tengah meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut yang membungkus tubuh hingga batas leher.“Sri?” Beberapa kali kupanggil nama. Namun, dia tak kunjung membuka mata. Apa Sri pingsan?Entah panggilan keberapa, gadis itu pun perlahan membuka matanya yang terlihat begitu sembab. “Sri?” panggilku, pelan.Sri menoleh dan langsung merapatkan selimut ke tubuhnya. “Rendi? Tolong aku, Ren. Tolong ambilkan sesuatu untuk menutupi tubuhku,” lirihnya, kemudian menunduk.Memilih untuk tidak menanyakan apa yang terjadi dan berjalan ke arah lemari di seberang tempat tidur. Beberapa saat mengobrak-abrik isinya, aku pun mengambil sebuah mantel panjang, celana panjang, serta kaus laki-laki yang entah siapa pemiliknya.“Tolong berbalik, aku akan pergi ke kamar mandi terlebih dahulu untuk mengganti pakaian sebelum menjelaskan semuanya.” Sri bersuara serak, seperti menahan tang

  • Tilasmat   77. Kedatangan Abah

    Sri yang kejang karena demam, akhirnya dimasukkan ke ruang ICU. Seorang dokter wanita lalu masuk untuk memeriksa keadaanya.“Sampai lupa mengabari Om Reksa.” Gegas meroboh saku, kemudian mengetik pesan singkat untuk Om Reksa. Memberitahu keberadaan Sri serta keadaannya sekarang.Tak butuh waktu lama bagi Om Reksa membalas pesan. Dia akan sampai di rumah sakit sekitar beberapa menit lagi.Beberapa kali pandangan mengarah ke pintu ruang ICU. Dokter yang menangani Srikandi belum juga keluar. Apa yang harus kulakukan jika kondisi Srikandi lebih parah dari dugaan? Aku pun mengacak rambut karena frustasi.Di tengah lamunan, suara derit pintu mengalihkan pandangan. Aku pun menghampiri dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Srikandi. “Bagaimana keadaan teman saya, dokter?” tanyaku.Raut wajah sang dokter terlihat tegang, lalu dia pun berkata, “Mari ikut saya ke ruangan, kita akan bahas kondisi pasien di sana,” ajaknya.Aku pun patuh lalu mengikuti langkah dokter bernama Nayla. Setela

  • Tilasmat   78. Menuntut Alex

    Sri POVOm Reksa mengatakan niatannya untuk menuntut Alex atas tuduhan pelecehan terhadapku. Abah setuju dengan usul beliau. Namun, menurutku itu tidak akan mudah. Alex bukan orang sembarangan. Citranya di luaran sana sangat bagus, berbanding terbalik dengan aslinya.Siapa sangka jika dibalik topeng yang selalu ia gunakan di depan media, Alex merupakan ketua pengedar obat-obatan terlarang. Aku sangat yakin, setelah mengetahui kepergianku dari tempatnya, dia tidak akan tinggal diam.“Tapi bagaimana cara kita menjatuhkannya, Om. Alex bukan orang sembarangan, kita tidak memiliki bukti kuat untuk membuatnya membayar apa yang dia lakukan terhadap saya,” lirihku.“Tunggu sebentar.” Om Reksa berjalan ke arah pintu lalu memanggil seseorang. Selang beberapa menit, Rendi mengikuti dari belakang.Om Reksa menyampaikan niatannya pada Rendi dan pemuda itu manggut sebagai tanda bahwa ia paham dengan apa yang disampaikan Om-ku. “Kita hanya perlu mencari bukti untuk memenjarakan pria brengsek itu,” g

  • Tilasmat   79. Kematian Ranti (Korban Balas Dendam)

    “Kita tunggu sampai Nyimas membaik. Baru setelah itu katakan segalanya.”Suara percakapan Abah dengan seseorang di kamar mengurungkan niat untuk turun ke dapur. Sepertinya sesuatu telah terjadi, tapi apa? Kuharap bukan sesuatu yang besar.“Ranti terus mendesak saya agar menyampaikan permohonan maaf pada Sri.” Rupanya Abah tengah berbincang dengan Fakhri. Ada apa dengan Ranti, sampai dia mendesak suaminya untuk menyampaikan permohonan maaf padaku.Benar. Aku sampai lupa menanyakan kabar Ranti karena masalah yang tengah dihadapi. Beberapa waktu lalu, entah kenapa sering sekali memimpikan sepupuku itu. Namun anehnya, Ranti yang ada dalam mimpi terlihat begitu memprihatinkan.Dia berdiri di pintu depan rumah Abah seraya menatap ke arahku yang berada di dalam. Ketika diminta masuk, Ranti menggeleng menolak ajakan. Tubuhnya terlihat begitu kurus kering, seperti hanya tersisa tulang terbungkus kulit, sama persis dengan Mamah sebelum beliau meninggal.Hampir setiap hari mimpi itu terus hadir

  • Tilasmat   80. Alex Kabur

    “Alex berhasil lolos ketika polisi mendatangi kediamannya,” ujar Rendi ketika kami berkumpul di rumah.“Kemungkinan besar dia melarikan diri ketika polisi menemukan bukti baru keterlibatannya dengan obat-obatan terlarang itu.” Fakhri menimpali.“Tapi, tidak ada jejak yang polisi temukan. Kemana Alex pergi tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan, anak buahnya yang tertangkap pun tidak mengatakan di mana bos mereka berada meski pihak polisi telah membuat mereka babak belur,” ujar Rendi lagi.Jika Alex tidak ditemukan di manapun, dan tidak ada catatan meninggalkan negara ini, maka hanya ada satu jawaban. “Sepertinya dia pergi lewat jalur laut.” Aku dan Fakhri saling bertukar pandang ketika kami mengatakan hal yang sama.“Kebanyakan dari mereka yang melarikan diri secara illegal akan memilih jalur laut karena minimnya pemeriksaan di sana,” tutur Fakhri.“Lalu, bagaimana sekarang?” tanya Om Reksa.“Kita semua harus berhati-hati mulai sekarang. Tidak ada yang tahu keberadaan Alex dan tangan ka

  • Tilasmat   81. Akhir Dari Alex Serta Sakit Dadakan

    “Sri, sebaiknya kamu pulang sekarang, tidak usah ikut ke kantor polisi. Ini biar aku yang urus dan nanti minta bantuan sama Fakhri,” tutur Rendi. Aku pun menurut, lalu keluar dari ruang kerja Rendi untuk kembali ke rumah.Selama beberapa hari ini, tanggung jawab perusahaan dipegang penuh oleh Om Reksa serta Anita. Om-ku itu berubah posesif setelah penculikan tempo hari, hingga melarangku keluyuran sebelum Alex tertangkap. Dan sebaiknya gegas kembali ke rumah, sebelum Abah mengadu pada Om Reksa kalau aku keluar tanpa ditemani siapa pun.“Sri.” Seseorang menepuk bahu setelah aku keluar dari elevator.Saat menoleh, Rasya berdiri dengan senyum merekah di wajah. Kenapa kami harus bertemu lagi di tempat yang sama?Dia akhirnya melepaskan tangan setelah mendapat tatapan tajam. “Kok udah mau pulang aja? Ngomongin apa sih sama Rendi, sampai berduaan di dalam. Ingat loh, kalian ini bukan muhrim,” ucap pria itu seraya menekankan kata terakhirnya hingga beberapa karyawan yang berlalu lalang melir

  • Tilasmat   82. Terkena Guna-guna

    Aku terbangun dengan keringat dingin dan tubuh menggigil. Ketika diamati, ruanganku berada sekarang adalah kamar tidur. Siapa yang memindahkanku kemari? Bukannya tadi berada di ruang keluarga hendak salat berjamaah?Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok tante Rina yang membawa segelas air di tangan. “Minum dulu, Neng.” Beliau segera membantu mengangkat tengkuk dan meminumkan air tadi. Rasanya, semua dahaga menghilang seketika begitu air itu melewati kerongkongan.“Tunggu sebentar, ya. Om Reksa sudah memanggil dokter kemari,” ujar tante Rina. Aku hanya mengangguk. Entah kenapa suara sulit keluar.Beberapa saat kemudian, seorang wanita dengan jas putih datang bersama Om Reksa. Kemudian dia meletakkan alat yang tersambung ke telinganya di atas dada. Beberapa kali aku menarik nafas pelan sesuai arahan dokter.“Sepertinya hanya kelelahan biasa. Sebaiknya banyak istirahat dan minum air putih yang banyak, saya akan resepkan vitamin,” ungkap dokter, segera membubuhkan tinta di atas kertas ke

Latest chapter

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

  • Tilasmat   99. Masalahmu juga Masalahku

    “Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y

  • Tilasmat   98. Menjual Gerobak Hantu

    “Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil

  • Tilasmat   97. Terror yang Meresahkan

    “Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t

DMCA.com Protection Status