Sri berlatih ilmu dasar silat dengan sangat gigih dalam pengawasan Nyi Ajar Saketi. Mulai dari tangan kosong, hingga menggunakan senjata berupa belati. Meski lelah, tetapi gadis itu tetap memaksakan diri untuk terus menggerakan jurus-jurus yang telah diajarkan sang guru.
"Saya akan pergi ke belakang sebentar, Nyimas," pamit Nyi Ajar Saketi.
"Baik, guru." Setelah berhenti sebentar, Sri kembali bergerak mempraktekan jurus-jurus tadi.
Sepeninggalnya Nyi Ajar Saketi, Sri berhenti menggerakan tubuhnya. "Keluarlah, aku tahu kau memperhatikanku sejak tadi!" serunya tegas.
Tak berselang lama, sekelebat bayangan terbang di atas kepala Sri dan mulai menyerangnya secara membabi buta. Sri yang seorang pemula jelas kewalahan menghadapi sosok bercaping itu.
Satu sampai dua serangan dia masih bisa menghindar meski kecepatan menangkisnya belumlah cukup cepat. Dia mencoba memukul lawannya, tetapi pukulan Sri tidak cukup kuat bahkan sekedar membuat lawannya terhuyun
Di kampung saat ini, warga masih tidak bisa tenang jika telah memasuki waktu senja. Karena pada waktu itulah makhluk-makhluk gaib berkeliaran dan tak segan mengganggu warga yang mereka temui.Seperti saat ini, Fakhri dan Abah Ilham di panggil untuk mengusir Jin yang merasuki tubuh salah satu warga Kampung untuk yang kesekian kalinya. Entah sudah berapa rumah yang mereka datangi dalam satu hari itu. Meski sebagian besar warga masih membicarakan hal buruk tentang sang cucu, tetapi Abah tetap tidak bisa membalikan badannya dan tetap menolong warga yang membutuhkan bantuan."Hatur nuhun, Bah. Dan saya juga ingin meminta maaf jika selama ini, istri dan keluarga saya yang lain termakan hasutan orang sekitar dan menjelekkan Neng Sri," ungkap seorang pria, pada Abah yang telah membantu istrinya yang kesurupan."Sama-sama. Lain kali, tolong jangan termakan hasutan seperti itu lagi, Ha." Abah Ilham menepuk pelan bahu Mang Toha dan berpamitan."Kalau begitu, kami akan kembali sekarang, Mang. Ass
POV SriSiang hari, tepatnya setelah melaksanakan salah duhur. Aku, Abah serta Fakhri bersiap untuk mencari tempat persembunyian Ki Amar dan anak buahnya."Aku ikut, ya?" rengek Rendi padaku yang saat ini tengah mempersiapkan apa saja yang diperlukan nanti ketika mencari Risma."Tidak usah, kamu di sini saja bersama Idrus menjaga pondok." Abah memberi isyarat agar aku cepat bersiap dan keluar.Terdengar helaan nafas dari Rendi yang mengiringi langkahku menuju pintu keluar. "Hati-hati, dan kembalilah dengan selamat." Rendi hendak memelukku, tetapi dengan cepat Fakhri menarikku dan berdiri di depan hingga dialah yang kini dipeluk teman masa kecilku itu."Kau!" seru Rendi, geram dengan tindakan Fakhri."Ingat! Bukan muhrim." Fakhri tersenyum ke arah Rendi yang tengah menahan kekesalannya karena bukan aku yang dipeluknya, melainkan Fakhri.Entah kenapa, Rendi dan Fakhri sulit sekali akur. Padahal mereka tidur dan tinggal di tempat yang sama belakangan ini. Sebenarnya aku tidak ingin kegee
Fakhri berlari menghampiriku yang duduk tak berdaya di atas tanah. Beberapa kali dia mengguncang bahu hinggga aku tersadar dari lamunan. Sebuah anak panah melesat tepat ke depan wajah hingga batang hidungku tergores. Karena terkejut, aku bahkan menjatuhkan diri ke tanah. "Kamu baik-baik saja, kan?" Wajah Fakhri berubah pucat. Apa dia begitu mengkhawatirkanku?."Hanya tergores saja, Kang." Aku menekan luka di batang hidung agar darah berhenti mengalir."Di mana Abah?" tanyaku saat tak kudapati sosoknya di sekitar kami."Saya tidak tahu." Fakhri segera melihat ke bawah tebing. Barang kali Abah turun ke sana mencari orang yang menembakkan anak panah itu tadi."Tunggu di sini, saya akan mencari Abah ke bawah," pamit Fakhir, dan aku pun mengangguk.Sepeninggalnya Fakri, aku membuka ransel kecil dan mengambil obat merah serta plester yang kusimpan dalam sebuah wadah kecil. Untung saja aku tidak lupa membawa alat-alat pertolongan pertama itu.Sekitar dua puluh menitan, Abah dan Fakhri kemba
Aku dan Abah mengamati sekitar sebelum melanjutkan perjalanan mencari tempat persembunyian Ki Amar. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan hutan itu. Pintu masuk yang diapit dua tebing yang cukup curam, bukankah itu terlalu mencurigakan jika tidak ada siapapun yang menjaganya. Atau mungkin...Benar saja, aku menemukan keanehan itu sekarang. Segera kucari sebuah batu seukuran tangan lalu melemparnya ke tanah yang tertutupi dedaunan kering. Ratusan anak panah keluar dari sela-sela tebing. Beruntung karena tadi, Abah menahan Fakhri yang hendak menginjak tanah itu."Seperti di dalam film kolosal yang pernah saya lihat saat kecil," kataku seraya mengambil salah satu anak panah yang mendarat tepat di dekat kaki. Tiba-tiba, anak panah itu berubah menjadi seekor ular berbisa dan hendak mematuk tanganku. Beruntung Fakhri segera menepuk tanganku hingga ular itu terjatuh ke tanah.Tak hanya satu, ratusan anak panah tadi berubah menjadi ular yang siap menyerang kami. Abah menyuruhku berdiri di
POV SriKami bertiga melanjutkan perjalanan setelah melaksanakan salat magrib berjamaah. Alhamdulillah, keadaan Fakhri pun sudah membaik setelah tadi mengalami demam."Ada apa, Teh?" tanya Fakhri ketika kami jalan bersisian."Entahlah, tapi saya merasakan ada seseorag yang memanggil-manggil saya sejak tadi," jawabku."Jangan lengah! Tutup telingamu dan jangan berhenti membaca ayat kursi." Abah memberikan nasihat."Baik, Bah." Aku pun menuruti ucapan beliau.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan sebuah tebing yang di atasnya terdapat sebuah gubuk tempat persembunyian Ki Amar."Bagaimana cara kita bisa sampai ke sana, Bah?" tanya Fakhri."Tentu saja dengan memanjatnya," jawab Abah singkat."Caranya ba..."Sebelum Fakhri menyelesaikan kalimatnya, Abah lebih dulu menarik tangan pemuda itu lalu memanjat tebing dengan secepat kilat. Aku pun mengikuti yang Abah lakukan, dan ternyata berhasil.Sedikit kuceritakan. Beberapa waktu lalu, Abah sempat bertanya padaku mengenai apa saj
"Om tahu, kamu dan Rendi sudah bersama sejak kalian masih kanak-kanak. Rencananya, Om akan melamar kamu untuk Rendi setelah pulang dari sini. Jadi, Om mohon agar kamu segera lari sebelum Ki Amar menangkapmu dan menjadikanmu seperti Risma.""Apa yang Om katakan? Aku dan Rendi hanya teman, tidak lebih Om," bantahku."Bukankah teman bisa menjadi kekasih bahkan suami istri? Om dengan Mama-nya Rendi saja begitu, dulu.""Tapi saya tidak mencintai Rendi, Om. Lagi pula saat ini bukan saatnya membicarakan itu. Baik saya atau Rendi, ingin fokus terlebih dahulu pada pendidikan kami," tegasku. Wajah Om Andre berubah gelap setelah mendengar jawaban terahirku."Kamu hanya beralasan saja, kan? Pemuda itu, pemuda yang datang kemari bersamamu itulah penyebab kamu menolak Rendi, iya kan?" Om Andre berubah murka."Baiklah! Jadilah seperti Risma dan tetap di sini." Dia berbalik hendak mengurung kami berdua di tempat itu.Akan tetapi, Fakhri segera datang menghalanginya dan terjadilah perkelahian diantara
"Ris, bangun Ris. Jangan membuatku khawatir." Aku mencoba mengguncang tubuhnya yang mulai tak sadarkan diri. Pendarahan yang dialaminya semakin parah."Ya Allah, tolong kirimkan seseorang untuk membantuku sekarang." Aku bergumam dalam hati seraya masih mencoba menyadarkan Risma yang tak sadarkan diri. Jika tetap dibiarkan, Risma akan kehabisan banyak darah dan akan membahayakan keselamatannya.Akhirnya, aku memutuskan untuk membawa Risma keluar dari hutan larangan sendirian. Beruntung tubuh Risma sangat ringan begitu dipapah. Beberapa puluh menit berjalan, kami akhirnya sampai di perbatasan antara hutan larangan dan hutan sancang.Aku segera menyeberangi gerbang gaib itu bersama Risma. "Nyimas!" panggil sebuah suara dari atas kepalaku.Lantas aku menoleh dan sesosok wanita berdaster putih melayang ke bawah hingga mendarat di depanku. "Anak itu kenapa?" tanya wanita itu."Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia mengalami pendarahan. Apa kau tahu tanaman
Bu Burhan meraung histeris saat dokter mengatakan keadaan Risma sangat kritis, dan dia harus segera dipindahkan ke rumah sakit besar di kota. Risma kehilangan banyak darah akibat keguguran yang dia alami.Aku pun tak kalah syoknya saat mendengar itu. Betapa kejamnya mereka memperlakukan Risma hingga dia mengandung, dan bahkan sekarang mengalami keguguran diusianya yang masih sangat muda."Pergi kamu! Benar kata orang Kampung, kalau kedatangan kamu kemari hanya membawa malapetaka untuk kami!" Wanita yang beberapa waktu lalu memujiku itu kini membenciku setelah apa yang aku katakan padanya mengenai Risma.Dia tidak mempercayai ucapanku. Dan lebih parahnya lagi, dia malah menyalahkanku. Dia berpikir jika akulah yang harusnya berada diposisi Risma kini.Mamah dan Ranti segera menarikku keluar agar Bu Burhan berhenti melakukan keributan di sana."Sabar, mungkin Aminah masih terpukul dengan apa yang terjadi pada Risma sekarang." Mamah mencoba menenangkanku."Kita pulang dulu, Teh. Teteh pas
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S
“Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y
“Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t