POV SriSiang hari, tepatnya setelah melaksanakan salah duhur. Aku, Abah serta Fakhri bersiap untuk mencari tempat persembunyian Ki Amar dan anak buahnya."Aku ikut, ya?" rengek Rendi padaku yang saat ini tengah mempersiapkan apa saja yang diperlukan nanti ketika mencari Risma."Tidak usah, kamu di sini saja bersama Idrus menjaga pondok." Abah memberi isyarat agar aku cepat bersiap dan keluar.Terdengar helaan nafas dari Rendi yang mengiringi langkahku menuju pintu keluar. "Hati-hati, dan kembalilah dengan selamat." Rendi hendak memelukku, tetapi dengan cepat Fakhri menarikku dan berdiri di depan hingga dialah yang kini dipeluk teman masa kecilku itu."Kau!" seru Rendi, geram dengan tindakan Fakhri."Ingat! Bukan muhrim." Fakhri tersenyum ke arah Rendi yang tengah menahan kekesalannya karena bukan aku yang dipeluknya, melainkan Fakhri.Entah kenapa, Rendi dan Fakhri sulit sekali akur. Padahal mereka tidur dan tinggal di tempat yang sama belakangan ini. Sebenarnya aku tidak ingin kegee
Fakhri berlari menghampiriku yang duduk tak berdaya di atas tanah. Beberapa kali dia mengguncang bahu hinggga aku tersadar dari lamunan. Sebuah anak panah melesat tepat ke depan wajah hingga batang hidungku tergores. Karena terkejut, aku bahkan menjatuhkan diri ke tanah. "Kamu baik-baik saja, kan?" Wajah Fakhri berubah pucat. Apa dia begitu mengkhawatirkanku?."Hanya tergores saja, Kang." Aku menekan luka di batang hidung agar darah berhenti mengalir."Di mana Abah?" tanyaku saat tak kudapati sosoknya di sekitar kami."Saya tidak tahu." Fakhri segera melihat ke bawah tebing. Barang kali Abah turun ke sana mencari orang yang menembakkan anak panah itu tadi."Tunggu di sini, saya akan mencari Abah ke bawah," pamit Fakhir, dan aku pun mengangguk.Sepeninggalnya Fakri, aku membuka ransel kecil dan mengambil obat merah serta plester yang kusimpan dalam sebuah wadah kecil. Untung saja aku tidak lupa membawa alat-alat pertolongan pertama itu.Sekitar dua puluh menitan, Abah dan Fakhri kemba
Aku dan Abah mengamati sekitar sebelum melanjutkan perjalanan mencari tempat persembunyian Ki Amar. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan hutan itu. Pintu masuk yang diapit dua tebing yang cukup curam, bukankah itu terlalu mencurigakan jika tidak ada siapapun yang menjaganya. Atau mungkin...Benar saja, aku menemukan keanehan itu sekarang. Segera kucari sebuah batu seukuran tangan lalu melemparnya ke tanah yang tertutupi dedaunan kering. Ratusan anak panah keluar dari sela-sela tebing. Beruntung karena tadi, Abah menahan Fakhri yang hendak menginjak tanah itu."Seperti di dalam film kolosal yang pernah saya lihat saat kecil," kataku seraya mengambil salah satu anak panah yang mendarat tepat di dekat kaki. Tiba-tiba, anak panah itu berubah menjadi seekor ular berbisa dan hendak mematuk tanganku. Beruntung Fakhri segera menepuk tanganku hingga ular itu terjatuh ke tanah.Tak hanya satu, ratusan anak panah tadi berubah menjadi ular yang siap menyerang kami. Abah menyuruhku berdiri di
POV SriKami bertiga melanjutkan perjalanan setelah melaksanakan salat magrib berjamaah. Alhamdulillah, keadaan Fakhri pun sudah membaik setelah tadi mengalami demam."Ada apa, Teh?" tanya Fakhri ketika kami jalan bersisian."Entahlah, tapi saya merasakan ada seseorag yang memanggil-manggil saya sejak tadi," jawabku."Jangan lengah! Tutup telingamu dan jangan berhenti membaca ayat kursi." Abah memberikan nasihat."Baik, Bah." Aku pun menuruti ucapan beliau.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan sebuah tebing yang di atasnya terdapat sebuah gubuk tempat persembunyian Ki Amar."Bagaimana cara kita bisa sampai ke sana, Bah?" tanya Fakhri."Tentu saja dengan memanjatnya," jawab Abah singkat."Caranya ba..."Sebelum Fakhri menyelesaikan kalimatnya, Abah lebih dulu menarik tangan pemuda itu lalu memanjat tebing dengan secepat kilat. Aku pun mengikuti yang Abah lakukan, dan ternyata berhasil.Sedikit kuceritakan. Beberapa waktu lalu, Abah sempat bertanya padaku mengenai apa saj
"Om tahu, kamu dan Rendi sudah bersama sejak kalian masih kanak-kanak. Rencananya, Om akan melamar kamu untuk Rendi setelah pulang dari sini. Jadi, Om mohon agar kamu segera lari sebelum Ki Amar menangkapmu dan menjadikanmu seperti Risma.""Apa yang Om katakan? Aku dan Rendi hanya teman, tidak lebih Om," bantahku."Bukankah teman bisa menjadi kekasih bahkan suami istri? Om dengan Mama-nya Rendi saja begitu, dulu.""Tapi saya tidak mencintai Rendi, Om. Lagi pula saat ini bukan saatnya membicarakan itu. Baik saya atau Rendi, ingin fokus terlebih dahulu pada pendidikan kami," tegasku. Wajah Om Andre berubah gelap setelah mendengar jawaban terahirku."Kamu hanya beralasan saja, kan? Pemuda itu, pemuda yang datang kemari bersamamu itulah penyebab kamu menolak Rendi, iya kan?" Om Andre berubah murka."Baiklah! Jadilah seperti Risma dan tetap di sini." Dia berbalik hendak mengurung kami berdua di tempat itu.Akan tetapi, Fakhri segera datang menghalanginya dan terjadilah perkelahian diantara
"Ris, bangun Ris. Jangan membuatku khawatir." Aku mencoba mengguncang tubuhnya yang mulai tak sadarkan diri. Pendarahan yang dialaminya semakin parah."Ya Allah, tolong kirimkan seseorang untuk membantuku sekarang." Aku bergumam dalam hati seraya masih mencoba menyadarkan Risma yang tak sadarkan diri. Jika tetap dibiarkan, Risma akan kehabisan banyak darah dan akan membahayakan keselamatannya.Akhirnya, aku memutuskan untuk membawa Risma keluar dari hutan larangan sendirian. Beruntung tubuh Risma sangat ringan begitu dipapah. Beberapa puluh menit berjalan, kami akhirnya sampai di perbatasan antara hutan larangan dan hutan sancang.Aku segera menyeberangi gerbang gaib itu bersama Risma. "Nyimas!" panggil sebuah suara dari atas kepalaku.Lantas aku menoleh dan sesosok wanita berdaster putih melayang ke bawah hingga mendarat di depanku. "Anak itu kenapa?" tanya wanita itu."Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia mengalami pendarahan. Apa kau tahu tanaman
Bu Burhan meraung histeris saat dokter mengatakan keadaan Risma sangat kritis, dan dia harus segera dipindahkan ke rumah sakit besar di kota. Risma kehilangan banyak darah akibat keguguran yang dia alami.Aku pun tak kalah syoknya saat mendengar itu. Betapa kejamnya mereka memperlakukan Risma hingga dia mengandung, dan bahkan sekarang mengalami keguguran diusianya yang masih sangat muda."Pergi kamu! Benar kata orang Kampung, kalau kedatangan kamu kemari hanya membawa malapetaka untuk kami!" Wanita yang beberapa waktu lalu memujiku itu kini membenciku setelah apa yang aku katakan padanya mengenai Risma.Dia tidak mempercayai ucapanku. Dan lebih parahnya lagi, dia malah menyalahkanku. Dia berpikir jika akulah yang harusnya berada diposisi Risma kini.Mamah dan Ranti segera menarikku keluar agar Bu Burhan berhenti melakukan keributan di sana."Sabar, mungkin Aminah masih terpukul dengan apa yang terjadi pada Risma sekarang." Mamah mencoba menenangkanku."Kita pulang dulu, Teh. Teteh pas
Aku, Abah, beserta Fakhri kini duduk di tengah aula desa. Kami bertiga tengah diadili oleh dewan desa atas tuduhan praktik ilmu hitam seperti yang tersebar dikalangan para warga Kampung."Apa benar, ustaz telah melakukan kejahatan dengan melakukan praktik ilmu hitam dan menjadikan para santri yang mondok di pesantren yang ustaz pimpin sebagai tumbal?" tanya Pak Kades."Kenapa Bapak menanyakan itu padanya? Tentu mana ada maling yang akan mengaku jika dia seorang maling!" sela salah seorang warga yang datang."Mohon maaf, Pak Kades," sanggahku."Ya, silahkan Neng Sri. Apa ada yang ingin dikatakan?""Bukankah sebuah tuduhan tanpa bukti adalah tindakan kejahatan, Pak?" tanyaku. Pak Kades mengangguk di tempat duduknya."Maksud kamu apa?" sewot warga."Saya hanya ingin meminta bukti tentang tuduhan yang Bapak serta Ibu tuduhkan pada keluarga saya," pungkasku.Mereka semua diam. Sudah kuduga jika mereka hanya termakan hasutan seseorang. Namun, siapa orang itu, tidak ada yang tahu."Saya suda