Home / Horor / Tilasmat / 29. Rencana licik si Dukun tua

Share

29. Rencana licik si Dukun tua

Author: Anonymous Girl
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku dan Abah mengamati sekitar sebelum melanjutkan perjalanan mencari tempat persembunyian Ki Amar. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan hutan itu. Pintu masuk yang diapit dua tebing yang cukup curam, bukankah itu terlalu mencurigakan jika tidak ada siapapun yang menjaganya. Atau mungkin...

Benar saja, aku menemukan keanehan itu sekarang. Segera kucari sebuah batu seukuran tangan lalu melemparnya ke tanah yang tertutupi dedaunan kering. Ratusan anak panah keluar dari sela-sela tebing. Beruntung karena tadi, Abah menahan Fakhri yang hendak menginjak tanah itu.

"Seperti di dalam film kolosal yang pernah saya lihat saat kecil," kataku seraya mengambil salah satu anak panah yang mendarat tepat di dekat kaki. Tiba-tiba, anak panah itu berubah menjadi seekor ular berbisa dan hendak mematuk tanganku. Beruntung Fakhri segera menepuk tanganku hingga ular itu terjatuh ke tanah.

Tak hanya satu, ratusan anak panah tadi berubah menjadi ular yang siap menyerang kami. Abah menyuruhku berdiri di
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Tilasmat   30. Membawa Risma Kembali

    POV SriKami bertiga melanjutkan perjalanan setelah melaksanakan salat magrib berjamaah. Alhamdulillah, keadaan Fakhri pun sudah membaik setelah tadi mengalami demam."Ada apa, Teh?" tanya Fakhri ketika kami jalan bersisian."Entahlah, tapi saya merasakan ada seseorag yang memanggil-manggil saya sejak tadi," jawabku."Jangan lengah! Tutup telingamu dan jangan berhenti membaca ayat kursi." Abah memberikan nasihat."Baik, Bah." Aku pun menuruti ucapan beliau.Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan sebuah tebing yang di atasnya terdapat sebuah gubuk tempat persembunyian Ki Amar."Bagaimana cara kita bisa sampai ke sana, Bah?" tanya Fakhri."Tentu saja dengan memanjatnya," jawab Abah singkat."Caranya ba..."Sebelum Fakhri menyelesaikan kalimatnya, Abah lebih dulu menarik tangan pemuda itu lalu memanjat tebing dengan secepat kilat. Aku pun mengikuti yang Abah lakukan, dan ternyata berhasil.Sedikit kuceritakan. Beberapa waktu lalu, Abah sempat bertanya padaku mengenai apa saj

  • Tilasmat   31. Bala Bantuan

    "Om tahu, kamu dan Rendi sudah bersama sejak kalian masih kanak-kanak. Rencananya, Om akan melamar kamu untuk Rendi setelah pulang dari sini. Jadi, Om mohon agar kamu segera lari sebelum Ki Amar menangkapmu dan menjadikanmu seperti Risma.""Apa yang Om katakan? Aku dan Rendi hanya teman, tidak lebih Om," bantahku."Bukankah teman bisa menjadi kekasih bahkan suami istri? Om dengan Mama-nya Rendi saja begitu, dulu.""Tapi saya tidak mencintai Rendi, Om. Lagi pula saat ini bukan saatnya membicarakan itu. Baik saya atau Rendi, ingin fokus terlebih dahulu pada pendidikan kami," tegasku. Wajah Om Andre berubah gelap setelah mendengar jawaban terahirku."Kamu hanya beralasan saja, kan? Pemuda itu, pemuda yang datang kemari bersamamu itulah penyebab kamu menolak Rendi, iya kan?" Om Andre berubah murka."Baiklah! Jadilah seperti Risma dan tetap di sini." Dia berbalik hendak mengurung kami berdua di tempat itu.Akan tetapi, Fakhri segera datang menghalanginya dan terjadilah perkelahian diantara

  • Tilasmat   32. Risma Tak Sadarkan Diri

    "Ris, bangun Ris. Jangan membuatku khawatir." Aku mencoba mengguncang tubuhnya yang mulai tak sadarkan diri. Pendarahan yang dialaminya semakin parah."Ya Allah, tolong kirimkan seseorang untuk membantuku sekarang." Aku bergumam dalam hati seraya masih mencoba menyadarkan Risma yang tak sadarkan diri. Jika tetap dibiarkan, Risma akan kehabisan banyak darah dan akan membahayakan keselamatannya.Akhirnya, aku memutuskan untuk membawa Risma keluar dari hutan larangan sendirian. Beruntung tubuh Risma sangat ringan begitu dipapah. Beberapa puluh menit berjalan, kami akhirnya sampai di perbatasan antara hutan larangan dan hutan sancang.Aku segera menyeberangi gerbang gaib itu bersama Risma. "Nyimas!" panggil sebuah suara dari atas kepalaku.Lantas aku menoleh dan sesosok wanita berdaster putih melayang ke bawah hingga mendarat di depanku. "Anak itu kenapa?" tanya wanita itu."Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia mengalami pendarahan. Apa kau tahu tanaman

  • Tilasmat   33. Fitnah keji

    Bu Burhan meraung histeris saat dokter mengatakan keadaan Risma sangat kritis, dan dia harus segera dipindahkan ke rumah sakit besar di kota. Risma kehilangan banyak darah akibat keguguran yang dia alami.Aku pun tak kalah syoknya saat mendengar itu. Betapa kejamnya mereka memperlakukan Risma hingga dia mengandung, dan bahkan sekarang mengalami keguguran diusianya yang masih sangat muda."Pergi kamu! Benar kata orang Kampung, kalau kedatangan kamu kemari hanya membawa malapetaka untuk kami!" Wanita yang beberapa waktu lalu memujiku itu kini membenciku setelah apa yang aku katakan padanya mengenai Risma.Dia tidak mempercayai ucapanku. Dan lebih parahnya lagi, dia malah menyalahkanku. Dia berpikir jika akulah yang harusnya berada diposisi Risma kini.Mamah dan Ranti segera menarikku keluar agar Bu Burhan berhenti melakukan keributan di sana."Sabar, mungkin Aminah masih terpukul dengan apa yang terjadi pada Risma sekarang." Mamah mencoba menenangkanku."Kita pulang dulu, Teh. Teteh pas

  • Tilasmat   34. Mematahkan tuduhan

    Aku, Abah, beserta Fakhri kini duduk di tengah aula desa. Kami bertiga tengah diadili oleh dewan desa atas tuduhan praktik ilmu hitam seperti yang tersebar dikalangan para warga Kampung."Apa benar, ustaz telah melakukan kejahatan dengan melakukan praktik ilmu hitam dan menjadikan para santri yang mondok di pesantren yang ustaz pimpin sebagai tumbal?" tanya Pak Kades."Kenapa Bapak menanyakan itu padanya? Tentu mana ada maling yang akan mengaku jika dia seorang maling!" sela salah seorang warga yang datang."Mohon maaf, Pak Kades," sanggahku."Ya, silahkan Neng Sri. Apa ada yang ingin dikatakan?""Bukankah sebuah tuduhan tanpa bukti adalah tindakan kejahatan, Pak?" tanyaku. Pak Kades mengangguk di tempat duduknya."Maksud kamu apa?" sewot warga."Saya hanya ingin meminta bukti tentang tuduhan yang Bapak serta Ibu tuduhkan pada keluarga saya," pungkasku.Mereka semua diam. Sudah kuduga jika mereka hanya termakan hasutan seseorang. Namun, siapa orang itu, tidak ada yang tahu."Saya suda

  • Tilasmat   35. Mendatangi rumah Mang Jaja

    Pada akhirnya, aku harus menunda kepulanganku ke Jakarta karena beberapa alasan. Dan salah satunya untuk mengunjungi Mang Jaja dan keluarganya terlebih dahulu.Dengan ditemani Abah, aku menyambangi rumah kediaman mereka yang hanya berbeda desa dengan kami. Rumah itu terlihat sepi. Kami pun beberapa kali mengetuk pintu seraya mengucap salam.Tak berselang lama, seorang tetangga menghampiri kami. "Punten, bade ka saha?" tanyanya ramah.(Mau bertemu siapa?)."Mang Jaja sama keluarganya sedang tidak ada di rumah ya, Bu?" Aku menjawab pertanyaan si Ibu itu dengan bertanya kembali."Oh, Jaja sudah tidak tinggal lagi di sini, Neng," jawab Ibu itu."Apa Ibu tahu di mana rumahnya sekarang?" Aku kembali bertanya.Ibu itu menyebutkan sebuah alamat yang terletak di Kecamatan sebelah. Katanya, Mang Jaja pindah sekitar dua bulan yang lalu karena mengalami kebangkrutan dalam usaha pertaniannya. Aku dan Abah pun pamit undur diri pada Ibu itu."Apa kita datangi dia ke sana sekarang, Bah?" tanyaku."Iy

  • Tilasmat   36. Biaya operasi anak Mang Jaja

    Bibirku terkatup rapat setelah mendengar perkataan Bu Ira. Memang sudah sewajarnya orang tua melakukan apapun demi kesembuhan anak mereka. Namun, bukan berarti mereka harus memfitnah orang hanya demi pinjaman uang untuk berobat."Saya akan bicara dengan kedua orang tua saya yang ada di Jakarta mengenai operasi anak kalian. Saya bisa janjikan, jika kami akan menanggung biaya operasi itu sampai Intan pulih nanti. Tapi dengan syarat, kalian harus mengakui kejahatan yang kalian perbuat pada kami di depan semua warga," tawarku.Bahu Mang Jaja bergetar. Dia tidak bisa menahan tangisnya ketika kusebutkan akan membantu biaya operasi anaknya. "Terima kasih, Neng. Kami akan melakukan apapun asalkan Intan bisa melihat seperti anak seusianya yang lain."Setelah perbincangan itu, kami pun kembali ke kampung. Mang Jaja dan istrinya juga ikut setelah sebelumnya meminjam motor tetangganya untuk ke rumah Abah. Rencananya, nanti setelah dzuhur mereka akan ke balai desa untuk mengatakan kebenaran tentan

  • Tilasmat   37. Kembali ke Jakarta

    Aku menatap sendu pada Risma yang terbaring dengan tangan serta kaki yang terborgol pada sisi belangkar. Kata Bu Burhan, Risma diborgol karena dia sering mengamuk dan berteriak histeris secara tiba-tiba."Ris?" panggilku.Risma langsung menoleh dan dia terisak saat melihatku. Aku pun mendekat dan duduk di samping tempat tidurnya. "Tolong bawa saya pergi jauh dari sini. Saya takut Ki Amar akan menemukan saya dan mengurung saya lagi di gunung itu. Saya bisa mendengar dia manggil nama saya terus dan menyuruh saya melayaninya." Dia terisak pilu."Tidak, Ris. Dia tidak akan pernah menemui kamu lagi, kamu aman sekarang," ucapku seraya menyentuh punggung tangannya yang terborgol.Risma menggeleng kuat dengan bulir beling yang terus menetes di kedua pipinya. Aku segera berdiri dan memeluknya. Sedikit demi sedikit dia mulai kembali tenang dan perlahan terlelap dalam dekapanku. Bahkan dalam tidurnya pun Risma masih mengigau tentang Ki Amar.Aku segera keluar dan menemui Bu Burhan yang tengah me

Latest chapter

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

  • Tilasmat   99. Masalahmu juga Masalahku

    “Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y

  • Tilasmat   98. Menjual Gerobak Hantu

    “Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil

  • Tilasmat   97. Terror yang Meresahkan

    “Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t

DMCA.com Protection Status