"Ris, bangun Ris. Jangan membuatku khawatir." Aku mencoba mengguncang tubuhnya yang mulai tak sadarkan diri. Pendarahan yang dialaminya semakin parah."Ya Allah, tolong kirimkan seseorang untuk membantuku sekarang." Aku bergumam dalam hati seraya masih mencoba menyadarkan Risma yang tak sadarkan diri. Jika tetap dibiarkan, Risma akan kehabisan banyak darah dan akan membahayakan keselamatannya.Akhirnya, aku memutuskan untuk membawa Risma keluar dari hutan larangan sendirian. Beruntung tubuh Risma sangat ringan begitu dipapah. Beberapa puluh menit berjalan, kami akhirnya sampai di perbatasan antara hutan larangan dan hutan sancang.Aku segera menyeberangi gerbang gaib itu bersama Risma. "Nyimas!" panggil sebuah suara dari atas kepalaku.Lantas aku menoleh dan sesosok wanita berdaster putih melayang ke bawah hingga mendarat di depanku. "Anak itu kenapa?" tanya wanita itu."Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia mengalami pendarahan. Apa kau tahu tanaman
Bu Burhan meraung histeris saat dokter mengatakan keadaan Risma sangat kritis, dan dia harus segera dipindahkan ke rumah sakit besar di kota. Risma kehilangan banyak darah akibat keguguran yang dia alami.Aku pun tak kalah syoknya saat mendengar itu. Betapa kejamnya mereka memperlakukan Risma hingga dia mengandung, dan bahkan sekarang mengalami keguguran diusianya yang masih sangat muda."Pergi kamu! Benar kata orang Kampung, kalau kedatangan kamu kemari hanya membawa malapetaka untuk kami!" Wanita yang beberapa waktu lalu memujiku itu kini membenciku setelah apa yang aku katakan padanya mengenai Risma.Dia tidak mempercayai ucapanku. Dan lebih parahnya lagi, dia malah menyalahkanku. Dia berpikir jika akulah yang harusnya berada diposisi Risma kini.Mamah dan Ranti segera menarikku keluar agar Bu Burhan berhenti melakukan keributan di sana."Sabar, mungkin Aminah masih terpukul dengan apa yang terjadi pada Risma sekarang." Mamah mencoba menenangkanku."Kita pulang dulu, Teh. Teteh pas
Aku, Abah, beserta Fakhri kini duduk di tengah aula desa. Kami bertiga tengah diadili oleh dewan desa atas tuduhan praktik ilmu hitam seperti yang tersebar dikalangan para warga Kampung."Apa benar, ustaz telah melakukan kejahatan dengan melakukan praktik ilmu hitam dan menjadikan para santri yang mondok di pesantren yang ustaz pimpin sebagai tumbal?" tanya Pak Kades."Kenapa Bapak menanyakan itu padanya? Tentu mana ada maling yang akan mengaku jika dia seorang maling!" sela salah seorang warga yang datang."Mohon maaf, Pak Kades," sanggahku."Ya, silahkan Neng Sri. Apa ada yang ingin dikatakan?""Bukankah sebuah tuduhan tanpa bukti adalah tindakan kejahatan, Pak?" tanyaku. Pak Kades mengangguk di tempat duduknya."Maksud kamu apa?" sewot warga."Saya hanya ingin meminta bukti tentang tuduhan yang Bapak serta Ibu tuduhkan pada keluarga saya," pungkasku.Mereka semua diam. Sudah kuduga jika mereka hanya termakan hasutan seseorang. Namun, siapa orang itu, tidak ada yang tahu."Saya suda
Pada akhirnya, aku harus menunda kepulanganku ke Jakarta karena beberapa alasan. Dan salah satunya untuk mengunjungi Mang Jaja dan keluarganya terlebih dahulu.Dengan ditemani Abah, aku menyambangi rumah kediaman mereka yang hanya berbeda desa dengan kami. Rumah itu terlihat sepi. Kami pun beberapa kali mengetuk pintu seraya mengucap salam.Tak berselang lama, seorang tetangga menghampiri kami. "Punten, bade ka saha?" tanyanya ramah.(Mau bertemu siapa?)."Mang Jaja sama keluarganya sedang tidak ada di rumah ya, Bu?" Aku menjawab pertanyaan si Ibu itu dengan bertanya kembali."Oh, Jaja sudah tidak tinggal lagi di sini, Neng," jawab Ibu itu."Apa Ibu tahu di mana rumahnya sekarang?" Aku kembali bertanya.Ibu itu menyebutkan sebuah alamat yang terletak di Kecamatan sebelah. Katanya, Mang Jaja pindah sekitar dua bulan yang lalu karena mengalami kebangkrutan dalam usaha pertaniannya. Aku dan Abah pun pamit undur diri pada Ibu itu."Apa kita datangi dia ke sana sekarang, Bah?" tanyaku."Iy
Bibirku terkatup rapat setelah mendengar perkataan Bu Ira. Memang sudah sewajarnya orang tua melakukan apapun demi kesembuhan anak mereka. Namun, bukan berarti mereka harus memfitnah orang hanya demi pinjaman uang untuk berobat."Saya akan bicara dengan kedua orang tua saya yang ada di Jakarta mengenai operasi anak kalian. Saya bisa janjikan, jika kami akan menanggung biaya operasi itu sampai Intan pulih nanti. Tapi dengan syarat, kalian harus mengakui kejahatan yang kalian perbuat pada kami di depan semua warga," tawarku.Bahu Mang Jaja bergetar. Dia tidak bisa menahan tangisnya ketika kusebutkan akan membantu biaya operasi anaknya. "Terima kasih, Neng. Kami akan melakukan apapun asalkan Intan bisa melihat seperti anak seusianya yang lain."Setelah perbincangan itu, kami pun kembali ke kampung. Mang Jaja dan istrinya juga ikut setelah sebelumnya meminjam motor tetangganya untuk ke rumah Abah. Rencananya, nanti setelah dzuhur mereka akan ke balai desa untuk mengatakan kebenaran tentan
Aku menatap sendu pada Risma yang terbaring dengan tangan serta kaki yang terborgol pada sisi belangkar. Kata Bu Burhan, Risma diborgol karena dia sering mengamuk dan berteriak histeris secara tiba-tiba."Ris?" panggilku.Risma langsung menoleh dan dia terisak saat melihatku. Aku pun mendekat dan duduk di samping tempat tidurnya. "Tolong bawa saya pergi jauh dari sini. Saya takut Ki Amar akan menemukan saya dan mengurung saya lagi di gunung itu. Saya bisa mendengar dia manggil nama saya terus dan menyuruh saya melayaninya." Dia terisak pilu."Tidak, Ris. Dia tidak akan pernah menemui kamu lagi, kamu aman sekarang," ucapku seraya menyentuh punggung tangannya yang terborgol.Risma menggeleng kuat dengan bulir beling yang terus menetes di kedua pipinya. Aku segera berdiri dan memeluknya. Sedikit demi sedikit dia mulai kembali tenang dan perlahan terlelap dalam dekapanku. Bahkan dalam tidurnya pun Risma masih mengigau tentang Ki Amar.Aku segera keluar dan menemui Bu Burhan yang tengah me
Kami sampai sekitar pukul delapan malam. Aku segera meminta Bi Asih untuk mengantar Bu Ira serta Intan ke kamar tamu sebelum besok mereka akan diantar oleh Pak Ahmad ke Rumah Sakit Permata Hati Ibu."Ibu senang, akhirnya kamu pulang juga, sayang," kata Ibu"Sri juga senang bisa berkumpul kembali dengan Ibu dan Ayah di sini," sahutku."Oh iya, Ibu sama Ayah sudah jenguk Om Andre?" tanyaku pada keduanya.Baik Ayah maupun Ibu tampak tidak senang mendengar aku menyebut nama Om Andre. "Yah, Bu. Bagaimanapun dia pernah menjadi orang terdekat kita. Dia juga sangat menyayangiku waktu kecil," cetusku."Dia bersikap demikian karena memang sejak awal dia memiliki maksud untuk mendekati kita," balas Ayah, acuh."Maksud Ayah, apa?" Tidak mungkin kami tertipu oleh Om Andre sejak awal."Dia hanya mengincar harta keluarga kita. Dia tahu kalau kamu pewaris Ayah satu-satunya, jadi dia berniat untuk menjodohkan kamu dengan Rendi supaya bisa mengambil alih perusahaan. Lebih parahnya lagi si Andre itu ing
Author POVEnam bulan berlalu, Sri tengah menikmati kesibukannya sebagai Mahasiswi di salah satu perguruan tinggi Jakarta. Bertemu teman-teman baru merupakan kesenangan tersendiri untuknya. Dia juga beberapa kali bertemu dengan Rendi. Namun, hubungan mereka tidak sedekat dulu lagi. Rendi memilih menjaga jarak dari gadis cantik itu karena perbuatan ayahnya di masa lalu."Eh, nanti katanya ada acara para pecinta alam gitu di kampus kita, ikut, yuk?" ajak Mesya, teman sekelas Sri."Boleh, di mana acaranya akan berlangsung?" tanya Sri."Katanya sih di Puncak. Gimana? Bisa sekalian healing kita," sela Amira begitu antusias."Setuju." Ketiga sekawan itu pun pergi untuk mendaftarkan diri mereka dalam acara yang digelar oleh salah satu organisasi Mahasiswa di sana.Setelah selesai mendaftar, ketiganya kembali melangkah menuju kelas. Masih ada satu pelajaran yang harus mereka ikuti sebelum pulang nanti. Di tengah perjalanan, Sri tak sengaja melihat sosok yang tak asing di matanya. Dia pun seg