Aku, Abah, beserta Fakhri kini duduk di tengah aula desa. Kami bertiga tengah diadili oleh dewan desa atas tuduhan praktik ilmu hitam seperti yang tersebar dikalangan para warga Kampung."Apa benar, ustaz telah melakukan kejahatan dengan melakukan praktik ilmu hitam dan menjadikan para santri yang mondok di pesantren yang ustaz pimpin sebagai tumbal?" tanya Pak Kades."Kenapa Bapak menanyakan itu padanya? Tentu mana ada maling yang akan mengaku jika dia seorang maling!" sela salah seorang warga yang datang."Mohon maaf, Pak Kades," sanggahku."Ya, silahkan Neng Sri. Apa ada yang ingin dikatakan?""Bukankah sebuah tuduhan tanpa bukti adalah tindakan kejahatan, Pak?" tanyaku. Pak Kades mengangguk di tempat duduknya."Maksud kamu apa?" sewot warga."Saya hanya ingin meminta bukti tentang tuduhan yang Bapak serta Ibu tuduhkan pada keluarga saya," pungkasku.Mereka semua diam. Sudah kuduga jika mereka hanya termakan hasutan seseorang. Namun, siapa orang itu, tidak ada yang tahu."Saya suda
Pada akhirnya, aku harus menunda kepulanganku ke Jakarta karena beberapa alasan. Dan salah satunya untuk mengunjungi Mang Jaja dan keluarganya terlebih dahulu.Dengan ditemani Abah, aku menyambangi rumah kediaman mereka yang hanya berbeda desa dengan kami. Rumah itu terlihat sepi. Kami pun beberapa kali mengetuk pintu seraya mengucap salam.Tak berselang lama, seorang tetangga menghampiri kami. "Punten, bade ka saha?" tanyanya ramah.(Mau bertemu siapa?)."Mang Jaja sama keluarganya sedang tidak ada di rumah ya, Bu?" Aku menjawab pertanyaan si Ibu itu dengan bertanya kembali."Oh, Jaja sudah tidak tinggal lagi di sini, Neng," jawab Ibu itu."Apa Ibu tahu di mana rumahnya sekarang?" Aku kembali bertanya.Ibu itu menyebutkan sebuah alamat yang terletak di Kecamatan sebelah. Katanya, Mang Jaja pindah sekitar dua bulan yang lalu karena mengalami kebangkrutan dalam usaha pertaniannya. Aku dan Abah pun pamit undur diri pada Ibu itu."Apa kita datangi dia ke sana sekarang, Bah?" tanyaku."Iy
Bibirku terkatup rapat setelah mendengar perkataan Bu Ira. Memang sudah sewajarnya orang tua melakukan apapun demi kesembuhan anak mereka. Namun, bukan berarti mereka harus memfitnah orang hanya demi pinjaman uang untuk berobat."Saya akan bicara dengan kedua orang tua saya yang ada di Jakarta mengenai operasi anak kalian. Saya bisa janjikan, jika kami akan menanggung biaya operasi itu sampai Intan pulih nanti. Tapi dengan syarat, kalian harus mengakui kejahatan yang kalian perbuat pada kami di depan semua warga," tawarku.Bahu Mang Jaja bergetar. Dia tidak bisa menahan tangisnya ketika kusebutkan akan membantu biaya operasi anaknya. "Terima kasih, Neng. Kami akan melakukan apapun asalkan Intan bisa melihat seperti anak seusianya yang lain."Setelah perbincangan itu, kami pun kembali ke kampung. Mang Jaja dan istrinya juga ikut setelah sebelumnya meminjam motor tetangganya untuk ke rumah Abah. Rencananya, nanti setelah dzuhur mereka akan ke balai desa untuk mengatakan kebenaran tentan
Aku menatap sendu pada Risma yang terbaring dengan tangan serta kaki yang terborgol pada sisi belangkar. Kata Bu Burhan, Risma diborgol karena dia sering mengamuk dan berteriak histeris secara tiba-tiba."Ris?" panggilku.Risma langsung menoleh dan dia terisak saat melihatku. Aku pun mendekat dan duduk di samping tempat tidurnya. "Tolong bawa saya pergi jauh dari sini. Saya takut Ki Amar akan menemukan saya dan mengurung saya lagi di gunung itu. Saya bisa mendengar dia manggil nama saya terus dan menyuruh saya melayaninya." Dia terisak pilu."Tidak, Ris. Dia tidak akan pernah menemui kamu lagi, kamu aman sekarang," ucapku seraya menyentuh punggung tangannya yang terborgol.Risma menggeleng kuat dengan bulir beling yang terus menetes di kedua pipinya. Aku segera berdiri dan memeluknya. Sedikit demi sedikit dia mulai kembali tenang dan perlahan terlelap dalam dekapanku. Bahkan dalam tidurnya pun Risma masih mengigau tentang Ki Amar.Aku segera keluar dan menemui Bu Burhan yang tengah me
Kami sampai sekitar pukul delapan malam. Aku segera meminta Bi Asih untuk mengantar Bu Ira serta Intan ke kamar tamu sebelum besok mereka akan diantar oleh Pak Ahmad ke Rumah Sakit Permata Hati Ibu."Ibu senang, akhirnya kamu pulang juga, sayang," kata Ibu"Sri juga senang bisa berkumpul kembali dengan Ibu dan Ayah di sini," sahutku."Oh iya, Ibu sama Ayah sudah jenguk Om Andre?" tanyaku pada keduanya.Baik Ayah maupun Ibu tampak tidak senang mendengar aku menyebut nama Om Andre. "Yah, Bu. Bagaimanapun dia pernah menjadi orang terdekat kita. Dia juga sangat menyayangiku waktu kecil," cetusku."Dia bersikap demikian karena memang sejak awal dia memiliki maksud untuk mendekati kita," balas Ayah, acuh."Maksud Ayah, apa?" Tidak mungkin kami tertipu oleh Om Andre sejak awal."Dia hanya mengincar harta keluarga kita. Dia tahu kalau kamu pewaris Ayah satu-satunya, jadi dia berniat untuk menjodohkan kamu dengan Rendi supaya bisa mengambil alih perusahaan. Lebih parahnya lagi si Andre itu ing
Author POVEnam bulan berlalu, Sri tengah menikmati kesibukannya sebagai Mahasiswi di salah satu perguruan tinggi Jakarta. Bertemu teman-teman baru merupakan kesenangan tersendiri untuknya. Dia juga beberapa kali bertemu dengan Rendi. Namun, hubungan mereka tidak sedekat dulu lagi. Rendi memilih menjaga jarak dari gadis cantik itu karena perbuatan ayahnya di masa lalu."Eh, nanti katanya ada acara para pecinta alam gitu di kampus kita, ikut, yuk?" ajak Mesya, teman sekelas Sri."Boleh, di mana acaranya akan berlangsung?" tanya Sri."Katanya sih di Puncak. Gimana? Bisa sekalian healing kita," sela Amira begitu antusias."Setuju." Ketiga sekawan itu pun pergi untuk mendaftarkan diri mereka dalam acara yang digelar oleh salah satu organisasi Mahasiswa di sana.Setelah selesai mendaftar, ketiganya kembali melangkah menuju kelas. Masih ada satu pelajaran yang harus mereka ikuti sebelum pulang nanti. Di tengah perjalanan, Sri tak sengaja melihat sosok yang tak asing di matanya. Dia pun seg
"Pak Rizal di sini rupanya. Saya tadi cari-cari Bapak karena ada yang ingin saya tanyakan." Sebuah suara membuat Sri menengok ke arah pintu masuk. Di sana ada pria yang dia kira Fakhri tengah berdiri."Oh, Pak Rizwan. Mari Pak, ingin bertanya masalah apa?" Pak Rizal segera menghampiri Rizwan.'Apa dia Dosen baru?' Batin Sri bertanya.Sri menggunakan kesempatan itu untuk keluar dari ruang dosen. Dia segera menuju halaman belakang kampus untuk membuka bungkusan kain putih yang ditemukanya di laci meja Pak Teguh. Begitu terbuka Sri menemukan foto sang dosen yang membungkus sejumput tanah merah."Untuk apa ini?" tanya Sri pada dirinya sendiri."Apa mungkin Pak Teguh terkena ilmu hitam seperti yang dikatakan Axel tadi?" Sri segera menyimpan benda itu di tempat aman.Saat tengah berjalan kembali ke arah kelasnya, Sri tak sengaja berpapasan dengan pria tadi . "Terima kasih karena Bapak sudah membantu saya lolos dari Pak Rizal, tadi," ucap gadis itu tulus. Saat di ruang dosen tadi, Sri meliha
Sri tampak berpikir keras. Siapa kira-kira orang terdekat sang dosen yang mengirimkan ilmu hitam."Maksud kakek, istrinya?" tebak Sri. "Mantan, Nyimas. Pak Teguh sudah menjatuhkan talak pada wanita itu setelah perselingkuhannya terbongkar. Dia melakukan perbuatan keji karena hasutan orang terdekat untuk mengambil hak asuh anak yang sebetulnya Pak Teguhlah yang lebih berhak karena anak mereka perempuan. Sepertinya, istri Pak Teguh terkena sihir pemisah. Itu sebabnya dia yang terlihat lugu bisa mengkhianati suaminya," ungkap sang kakek.Mantan memang makhluk paling durjana ternyata. Sri sempat berpirik kalau Kakek Guru adalah seorang agen rahasia yang bisa mengetahui masalah Pak Teguh. "Selain istrinya, Pak Teguh juga menjadi incaran salah satu rekan kerjanya," kata Kakek Guru lagi."Maksud kakek, siapa?" tanya Sri penasaran."Dosen yang memergoki kita waktu itu," jawab sang kakek.Sri menutup mulut dengan tangan kanan. Rupanya kecurigaan dia memang benar. Pantas saja saat Sri perhati