Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 80: Batu Kuno dan Kain Misterius

Share

Bab 80: Batu Kuno dan Kain Misterius

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-04-12 15:07:34

Cakar tajam pemimpin serigala bayangan melesat menuju dada Murphy, kilau maut di ujungnya memantulkan cahaya bulan yang temaram. Kabut di sekitar mereka bergoyang hebat, seolah merasakan ancaman kematian yang mendekat. Murphy, terlambat mengangkat pedangnya, hanya bisa menatap dengan mata melebar, napasnya tersendat. Kelompok Kael menahan napas, ketegangan menyelimuti mereka—nasib Murphy tergantung pada detik itu.

Tiba-tiba, dentuman keras memecah udara. Tetesan air tajam Lyra dan gelombang sonik Laila, yang tak pernah berhenti menargetkan punggung monster itu, menghantam sasaran bersamaan. Luka dalam terbuka di kulit hitam legamnya, darah hitam muncrat, dan serigala bayangan menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung.

Cakarnya meleset, hanya menggores bahu Murphy, meninggalkan sayatan berdarah namun tak mematikan. Murphy tersentak, melompat mundur dengan cepat, wajahnya pucat tapi penuh syukur.

Perubahan terjadi secepat kilat. Racun melemahkan Kael, yang selama ini menyelimuti tubu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 81: Bayang Aneh di Kota Kecil

    'Udara di dalam gubuk kecil desa tersembunyi terasa berat, seolah aura samar dari kain yang dipegang Alice menekan dinding-dinding kayu yang lapuk. Cahaya senter sihir Lyra memantul di permukaan kain itu, memperlihatkan detail yang membuat Kael dan kelompoknya tersentak serentak. Kain terlihat buruk itu bukan sekadar potongan kain—ia adalah peta, ditulis dengan tinta kuno yang berkilau samar, garis-garisnya membentuk lorong-lorong dan simbol yang asing namun penuh makna. Yang paling menarik perhatian Kael adalah simbol penyihir kuno. “Jadi, sekarang jelas kenapa Ordo Cahaya menargetkan desa kecil ini,” kata Kael, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. Matanya biru menyipit, menelusuri simbol itu dengan hati-hati. “Desa ini menyembunyikan sesuatu milik penyihir kuno. Alice, bolehkah aku lihat lebih dekat?” Dia mengulurkan tangan, nada suaranya tegas namun tak memaksa. Alice mengangguk polos, menyerahkan kain itu tanpa ragu. Baginya, kain itu tak lebih dari warisan kepala desa, tak be

    Last Updated : 2025-04-12
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

    Last Updated : 2025-03-05

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 81: Bayang Aneh di Kota Kecil

    'Udara di dalam gubuk kecil desa tersembunyi terasa berat, seolah aura samar dari kain yang dipegang Alice menekan dinding-dinding kayu yang lapuk. Cahaya senter sihir Lyra memantul di permukaan kain itu, memperlihatkan detail yang membuat Kael dan kelompoknya tersentak serentak. Kain terlihat buruk itu bukan sekadar potongan kain—ia adalah peta, ditulis dengan tinta kuno yang berkilau samar, garis-garisnya membentuk lorong-lorong dan simbol yang asing namun penuh makna. Yang paling menarik perhatian Kael adalah simbol penyihir kuno. “Jadi, sekarang jelas kenapa Ordo Cahaya menargetkan desa kecil ini,” kata Kael, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. Matanya biru menyipit, menelusuri simbol itu dengan hati-hati. “Desa ini menyembunyikan sesuatu milik penyihir kuno. Alice, bolehkah aku lihat lebih dekat?” Dia mengulurkan tangan, nada suaranya tegas namun tak memaksa. Alice mengangguk polos, menyerahkan kain itu tanpa ragu. Baginya, kain itu tak lebih dari warisan kepala desa, tak be

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 80: Batu Kuno dan Kain Misterius

    Cakar tajam pemimpin serigala bayangan melesat menuju dada Murphy, kilau maut di ujungnya memantulkan cahaya bulan yang temaram. Kabut di sekitar mereka bergoyang hebat, seolah merasakan ancaman kematian yang mendekat. Murphy, terlambat mengangkat pedangnya, hanya bisa menatap dengan mata melebar, napasnya tersendat. Kelompok Kael menahan napas, ketegangan menyelimuti mereka—nasib Murphy tergantung pada detik itu. Tiba-tiba, dentuman keras memecah udara. Tetesan air tajam Lyra dan gelombang sonik Laila, yang tak pernah berhenti menargetkan punggung monster itu, menghantam sasaran bersamaan. Luka dalam terbuka di kulit hitam legamnya, darah hitam muncrat, dan serigala bayangan menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung. Cakarnya meleset, hanya menggores bahu Murphy, meninggalkan sayatan berdarah namun tak mematikan. Murphy tersentak, melompat mundur dengan cepat, wajahnya pucat tapi penuh syukur. Perubahan terjadi secepat kilat. Racun melemahkan Kael, yang selama ini menyelimuti tubu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 79: Cakar di Ambang Kematian

    Kabut yang menyelimuti di jalan perlahan menipis di sekitar pemimpin Tim Serigala Bayangan, seolah terdorong oleh hawa panas yang memancar dari tubuhnya yang berubah. Cahaya suci yang sebelumnya menyilaukan kini meredup, memperlihatkan sosok mengerikan yang membuat kelompok Kael terpaku kaget. Tubuhnya, yang kini menjulang lebih dari tiga meter, tak lagi menyerupai manusia suci Ordo Cahaya—bulu hitam legam menyelimuti kulitnya yang membesar, cakarnya panjang dan berkilau seperti mata pedang, dan matanya menyala merah darah, penuh dendam. Wajahnya, yang tersisa dari bentuk manusia, terdistorsi dengan taring mencuat, menyerupai monster serigala jadian dari legenda gelap Aethel. “Sial!” seru Murphy, suaranya penuh kejutan bercampur ketegangan. “Tak ada yang bilang pemimpin Tim Serigala Bayangan bisa jadi monster serigala jadian! Kau tak lagi suci seperti Ordo Cahaya—kalian lebih mirip kelompok monster jadian!” Pedangnya terangkat, energi emasnya berkilat, tapi ada getar kecil di tanga

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 78: Cahaya Silau di Dalam Kabut

    Malam menyelimuti tepi sungai dengan kegelapan yang tebal dan dingin, seolah langit sendiri menahan napas di atas perkemahan kecil kelompok Kael. Api unggun berkelip lemah, nyala oranye kecilnya berjuang melawan bayang-bayang yang merayap dari hutan di sekitar, menciptakan tarian gelap dan terang yang tak menentu. Kael dan Murphy saling bertatapan, mata mereka mencerminkan kewaspadaan tajam saat Paman Peter menyebut “Serigala Bayangan.” Nama itu bergema seperti lonceng maut di telinga mereka—tunggangan serigala adalah simbol Ordo Cahaya, ordo terkuat di Aethel, dan Tim Serigala Bayangan adalah kelompok pemburu elitnya, dikenal tak kenal ampun dalam memburu buronan atau siapa pun yang mereka anggap sesat. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, sementara Murphy menggenggam pedangnya lebih erat, jari-jarinya memutih di gagangnya. “Jadi, akhirnya kita terlibat langsung dengan Ordo Cahaya?” gumam Murphy, nada sinisnya bercampur pasrah yang pahit. “Kita tak pernah cari merek

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 77: Serigala Bayangan di Jejak Darah

    Kegelapan malam menyelimuti perkemahan kecil di tepi sungai, hanya diterangi oleh nyala api unggun yang berkelip lemah. Nyala api itu seolah takut menantang bayang-bayang yang merayap di sekitar. Angin malam membawa aroma rumput basah dan darah kering, bercampur dengan bau samar tanah yang baru digali.Kelompok Kael berdiri tegang, kekuatan sihir mereka siap untuk dilepaskan, mata mereka memindai kegelapan saat bunyi langkah kuda yang tak wajar mendekat. Laila memeluk Molly erat, getaran sonik di lengan Molly masih bergetar samar, sementara Vale bertengger di dahan pohon, sayapnya terlipat dengan waspada.Tiba-tiba, dari balik bayang pohon, sesuatu muncul—bukan ancaman mengerikan seperti yang mereka bayangkan, tetapi pemandangan yang membingungkan sekaligus mengejutkan. Seekor kuda ramping tersandung masuk ke lingkaran cahaya api, kakinya gemetar. Tubuhnya dipenuhi luka berdarah hingga bulu cokelatnya tampak hitam pekat.Di punggungnya, sosok berjubah gelap terkulai tak sadarkan diri,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 76: Langkah Kuda di Malam Gelap

    Gerbong kuda melaju menjauh dari hutan pertempuran, roda kayunya berderit pelan di jalan tanah yang kini lebih rata, meninggalkan aroma darah dan kematian yang membusuk di belakang. Beberapa kilometer berlalu, angin siang membawa bau daun kering dan tanah basah, perlahan mengusir ketegangan yang menempel di hati kelompok Kael. Di langit, Vale melayang tinggi, sayap abu-abunya memotong udara tanpa suara, matanya tajam memindai horizon yang membentang luas. Pekikan peringatannya tak terdengar, tanda bahaya belum mengintai lagi, dan napas lega akhirnya keluar dari dada mereka, meski bayang penyihir jiwa masih menggantung di pikiran. “Huh…” Murphy bersandar di dinding gerbong, tangannya menyeka keringat dingin di dahi. “Aku masih berdebar memikirkan jadi target penyihir jiwa yang tak kita kenal. Kau benar, Kael—kita tak bisa meremehkan musuh lemah lagi. Bisa jadi ada pendukung mengerikan di balik mereka.” Nada suaranya serius, matanya cokelat tua menatap kosong ke lantai kayu, bayangan

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 75: Potongan Jiwa dan Bayang Kematian

    Hutan di sekitar gerbong Kael membisu dalam keheningan yang mencekam, hanya bunyi roda kayu yang berderit dan derap kaki kuda yang memecah udara siang. Cahaya matahari tersaring melalui kanopi tebal, membentuk bercak-bercak emas yang bergoyang di tanah berlumut, namun suasana terasa dingin, seolah alam sendiri menahan napas. Di dalam gerbong, tangan Kael bergetar samar, siap melontarkan kabut hijau kehitaman dari Racun Melemahkan, sementara Murphy mencengkeram pedangnya, otot-ototnya tegang menanti saat melompat keluar. Mereka belum bertindak—Kael menahan mereka, matanya biru tertuju pada Laila, menunggu informasi pasti tentang musuh yang mengintai. Laila duduk tegang, matanya hitam terpejam rapat, getaran soniknya mengalir halus mencoba menangkap suara-suara di balik semak. Wajahnya pucat, kerutan kecil di dahinya menunjukkan konsentrasi penuh, sementara Molly, tupai naga kecil di pangkuannya, meringkuk diam seolah merasakan bahaya. Lyra, di sisi lain, mengetuk dinding gerbong pe

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 74: Bayang di Hutan dan Misteri Luminus

    Langit di atas hutan membentang luas, biru cerah dengan awan tipis yang berarak lamban, sementara Vale, elang abu-abu milik Sarah, melayang tinggi mengikuti gerbong kuda usang yang berderit di bawahnya. Sayapnya memotong angin dengan irama tenang, mata tajamnya memindai hamparan hijau yang bergoyang pelan tertiup angin siang.Gerbong kelompok Kael bergoyang di jalan tanah berbatu, roda kayunya yang miring mengeluarkan bunyi berdecit keras, sengaja dibuat mencolok untuk menyamarkan kemewahan di dalamnya. Aroma tanah kering dan daun basah menyelinap melalui celah-celah dinding luar yang bobrok, bercampur dengan wangi samar kayu cendana dari interior gerbong yang empuk.Di dalam, Lyra duduk bersila di kursi berlapis kain merah, tangannya memegang secuil roti kering sisa sarapan. Kael meliriknya, matanya biru penuh perhitungan. “Jelaskan situasi di kota pohon Luminus,” pintanya, suaranya tegas namun tenang. “Kami perlu tahu apa yang harus diperhatikan di sana.”Lyra menarik napas pelan, m

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 73: Topeng Lendir dan Jalan Tersembunyi

    Pagi menyelimuti Teluk Senja dengan cahaya lembut, matahari baru terbit membentuk garis emas tipis di ufuk laut yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma garam dan kayu basah dari dermaga, bercampur dengan bau samar ikan segar yang diangkut pedagang pagi. Kelompok Kael melangkah ke dek kapal Lyra, kayu di bawah kaki mereka berderit pelan, masih hangat dari sisa malam. Lyra telah menunggu di sana, berdiri di sisi meja kayu sederhana yang kini dipenuhi sarapan—roti gandum, keju lunak, dan buah beri merah yang berkilau di bawah sinar matahari. Berbeda dari malam sebelumnya, Lyra tampak lebih sederhana, mengenakan tunik cokelat tua dan mantel tipis tanpa hiasan emas, rambutnya diikat longgar seolah siap untuk perjalanan jauh. Kael memandangnya dengan alis sedikit terangkat, matanya biru menangkap perubahan itu. “Apakah kau sudah menyangka kami akan setuju kau bergabung?” tanyanya, nadanya penuh perhitungan namun tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu. Lyra tersenyum tipis, matan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status