Beranda / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

Share

Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

Penulis: Pok Jang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-05 12:25:20

Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.

Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.

Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan kehadiran kakaknya. Keduanya tahu bahwa momen ini sangat krusial dan kesalahan sekecil apapun bisa berujung pada bencana.

“Kael,” bisik Murphy, matanya terpaku pada bola kaca yang terletak di tengah lingkaran. “Mereka semakin dekat pada penyelesaian ritualnya. Kau bisa merasakannya, bukan?” Suara Murphy, meski pelan, dipenuhi kepastian dan kekhawatiran.

Kael mengangguk, wajahnya tetap serius, tatapannya tak pernah lepas dari para penyihir berjubah hitam yang mengelilingi lingkaran. “Ya. Energi sihirnya semakin tidak stabil. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, sesuatu yang jauh lebih buruk akan muncul dari portal itu, dan dunia ini mungkin tidak akan siap untuk menghadapi apa yang akan keluar.”

"Jadi, apa rencananya?" tanya Murphy, suaranya tegas dan penuh tekad.

“Kita harus menghancurkan bola kaca itu,” tegas Kael, matanya menyipit penuh perhitungan. “Itu adalah pusat kekuatan mereka. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Begitu kita menyerang, mereka akan membalas dengan semua kekuatan yang mereka miliki.”

Murphy menyeringai tipis, mencengkeram pedangnya yang berselimut energi emas. "Aku sudah siap untuk itu. Mari kita tunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya mengendalikan situasi ini."

Kael menarik napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak untuk memusatkan pikirannya. Dia merasakan energi sihir mengalir dalam dirinya, dan ketika membuka matanya kembali, ia sudah mengaktifkan Racun Melemahkan—sebuah bola energi hijau kehitaman dengan ungu samar yang berdenyut di telapak tangannya.

Dengan gerakan cepat dan terampil, dia melontarkan racun itu ke arah salah satu penyihir yang berada di tepi lingkaran. Racun itu terbang seperti panah, tepat mengenai sasaran dan segera kabut beracun menyelimuti penyihir itu, menciptakan suara batuk keras saat tubuhnya terhuyung sebelum akhirnya tumbang ke tanah.

Ketika racun mulai menghancurkan fokus penyihir itu, Murphy melompat keluar dari persembunyiannya dengan penuh keberanian, bilah pedangnya membara dengan energi emas yang menyilaukan. Ia menyerang dua penyihir sekaligus, memaksa mereka mundur dari posisi mereka di lingkaran.

“Apakah itu mengganggu kalian? Mengecewakan,” ejek Murphy, meskipun gerakan tubuhnya memancarkan ketegangan yang sulit disembunyikan.

Kael, melihat kesempatan itu, meluncur ke tengah lingkaran. Angin seakan bersamanya, membawa kecepatan layaknya bayangan, membuatnya sulit ditangkap. Dengan cepat, ia meraih bola kaca itu, tetapi saat berada lebih dekat, sebuah ledakan energi gelap menghantam tanah di depannya, memaksanya untuk mundur. Salah satu penyihir terkuat kini berdiri di pusat lingkaran dengan tongkat sihir, melindungi bola kaca dengan mantra pelindung yang menjulang dan berkilau.

"Beraninya kau mengganggu ritual kami!" pekik penyihir itu, suaranya menggelegar penuh kemarahan, membuat udara bergetar di sekeliling mereka.

Ritual yang terganggu membuat para penyihir Ordo Umbra semakin agresif. Dua dari mereka melontarkan gelombang energi gelap yang menghancurkan dari tongkat sihir mereka, menghantam tanah dan mengguncang batu-batu besar di sekitar area pertempuran. Kael bergerak lincah, menghindari serangan itu menggunakan Windstep. Namun, setiap gerakan semakin berat dan menguras tenaga. Dia tahu waktu mereka semakin mendesak; dia harus bertindak segera.

Di atas bukit, Sarah menatap ke area pertempuran dengan Mata Sihirnya, berusaha melihat lebih jauh ke dalam lingkaran sihir. “Kael dalam bahaya,” katanya pelan, nada suaranya tegang dan penuh kekhawatiran.

Laila mengalihkan pandangannya padanya, jari-jarinya bergerak cepat dalam isyarat yang menggambarkan keragu-raguan atau tawaran. "Aku bisa membantu. Suaraku bisa mengganggu mereka, menghentikan konsentrasi mereka."

Pandangan Sarah menyoroti adiknya, penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah merenung sejenak, dia mengangguk. “Tapi jangan memaksakan diri. Kita harus tetap aman, Laila.”

Laila berdiri tegap di atas bukit, menarik napas dalam-dalam sambil mengumpulkan kekuatan mentalnya seolah-olah itu akan menguatkannya. Ketika dia membuka mulutnya, energi sihir ungu samar mulai terlihat di sekitarnya. Meskipun suara tidak terdengar jelas, kekuatan sonik yang dihasilkan menghantam udara seperti gelombang tak terlihat, menerjang ke bawah dan mencapai para penyihir.

Getaran suaranya menghantam mereka, menciptakan kekacauan dalam konsentrasi yang dibutuhkan. Salah satu penyihir terhuyung, wajahnya terkejut saat mantra yang harusnya dia lafalkan buyar menghilang ke udara.

“Bagus, Laila,” gumam Kael ketika melihat momen tersebut. Dengan cepat, dia meluncurkan Racun Halusinasi, menciptakan kabut ungu yang mengelilingi area sekitar lingkaran, menghasilkan ilusi yang membingungkan, sehingga sulit bagi para penyihir untuk membedakan mana musuh dan mana teman.

Murphy masih berjuang melawan salah satu penyihir terkuat; pertarungan mereka berlangsung sengit. Denting pedang yang beradu dengan tongkat sihir bergema, sementara ledakan kecil dari energi sihir membuat tanah di sekitar mereka bergetar hebat.

“Kael! Cepat selesaikan ini!” serunya, terhindar nyaris dari semburan energi gelap yang melesat di dekatnya.

Kael memahami betapa mendesaknya situasi ini. Dengan sekuat tenaga, dia melompat kembali ke lingkaran, memusatkan semua energi yang tersisa untuk satu serangan terakhir. Bola kaca itu kini berada dalam jangkauannya; wujudnya yang memancarkan cahaya biru semakin mendekat.

Dengan pelindung sihir yang masih kukuh mengelilingi bola kaca, Kael mengangkat tangannya, membentuk Racun Melemahkan yang lebih besar dan lebih pekat dari sebelumnya, dengan warna hijau hitam bercampur ungu. Dengan semua kekuatan yang dimilikinya, ia menghantamkan racun itu ke pelindung sihir yang menggembung dengan energi.

Retakan mulai muncul pada pelindung itu, lalu pecah dalam ledakan yang membahana, suara pecahan yang memekakkan telinga menggema di udara. Kael tak menyia-nyiakan kesempatan itu; dia memanfaatkan momen yang tepat untuk menghancurkan bola kaca dengan pukulan terakhir yang bertenaga penuh.

Cahaya biru dari lingkaran sihir meredup seiring ritual itu terhenti seketika. Penyihir terakhir yang tersisa terlempar ke belakang oleh ledakan energi, sementara lingkaran sihir itu berubah menjadi tanda hitam hangus di permukaan tanah, menyisakan jejak kejadian yang mengerikan.

Saat debu perlahan mengendap, Murphy berusaha tertatih-tatih menuju Kael, menepuk bahunya dengan penuh penghargaan. “Itu tadi gila,” katanya, suaranya lega meski tubuhnya sudah lelah dan penuh luka.

Kael tersenyum tipis, meskipun napasnya masih tersengal. “Kita menghentikan mereka. Itu yang paling penting. Tapi aku tahu kita harus lebih berhati-hati ke depannya.”

Sarah dan Laila segera bergabung dengan mereka. Laila mendekat, melompat dan langsung memeluk Kael, sementara Sarah menempatkan tangannya di bahunya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Sarah, tatapannya tajam dipenuhi rasa khawatir yang nyata. Ia mencerminkan betapa pentingnya bagi mereka untuk menjaga satu sama lain dalam situasi berbahaya ini.

Kael mengangguk, dan dengan tulus, dia mengapresiasi kedua saudarinya. “Aku baik-baik saja, terima kasih untuk kalian berdua. Laila… kau luar biasa dengan tindakanmu.”

Laila hanya tersenyum kecil, jari-jarinya bergerak dalam isyarat sederhana, menandakan rasa syukur. "Aku senang bisa membantu. Kita satu tim."

Namun, meski mereka merayakan kemenangan kecil ini, Sarah mengangkat nada bicaranya dengan lebih serius. “Ritual ini mungkin gagal, tetapi mereka pasti akan mencoba lagi. Kita harus segera tahu apa yang mereka coba panggil, dan siapkan langkah selanjutnya.”

Kael menatap lingkaran yang hancur, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. “Kita harus terus bergerak. Ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan.”

Dengan langkah cepat namun penuh rasa waspada, mereka meninggalkan tempat itu. Kemenangan ini memang terasa manis, tetapi di dalam hati mereka, terbersit kesadaran bahwa ancaman besar masih menanti di depan, dan mereka harus selalu bersiap untuk menghadapi apa yang akan datang.

Bab terkait

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30

Bab terbaru

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status