Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

Share

Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-05 12:25:20

Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.

Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.

Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan kehadiran kakaknya. Keduanya tahu bahwa momen ini sangat krusial dan kesalahan sekecil apapun bisa berujung pada bencana.

“Kael,” bisik Murphy, matanya terpaku pada bola kaca yang terletak di tengah lingkaran. “Mereka semakin dekat pada penyelesaian ritualnya. Kau bisa merasakannya, bukan?” Suara Murphy, meski pelan, dipenuhi kepastian dan kekhawatiran.

Kael mengangguk, wajahnya tetap serius, tatapannya tak pernah lepas dari para penyihir berjubah hitam yang mengelilingi lingkaran. “Ya. Energi sihirnya semakin tidak stabil. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, sesuatu yang jauh lebih buruk akan muncul dari portal itu, dan dunia ini mungkin tidak akan siap untuk menghadapi apa yang akan keluar.”

"Jadi, apa rencananya?" tanya Murphy, suaranya tegas dan penuh tekad.

“Kita harus menghancurkan bola kaca itu,” tegas Kael, matanya menyipit penuh perhitungan. “Itu adalah pusat kekuatan mereka. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Begitu kita menyerang, mereka akan membalas dengan semua kekuatan yang mereka miliki.”

Murphy menyeringai tipis, mencengkeram pedangnya yang berselimut energi emas. "Aku sudah siap untuk itu. Mari kita tunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya mengendalikan situasi ini."

Kael menarik napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak untuk memusatkan pikirannya. Dia merasakan energi sihir mengalir dalam dirinya, dan ketika membuka matanya kembali, ia sudah mengaktifkan Racun Melemahkan—sebuah bola energi hijau kehitaman dengan ungu samar yang berdenyut di telapak tangannya.

Dengan gerakan cepat dan terampil, dia melontarkan racun itu ke arah salah satu penyihir yang berada di tepi lingkaran. Racun itu terbang seperti panah, tepat mengenai sasaran dan segera kabut beracun menyelimuti penyihir itu, menciptakan suara batuk keras saat tubuhnya terhuyung sebelum akhirnya tumbang ke tanah.

Ketika racun mulai menghancurkan fokus penyihir itu, Murphy melompat keluar dari persembunyiannya dengan penuh keberanian, bilah pedangnya membara dengan energi emas yang menyilaukan. Ia menyerang dua penyihir sekaligus, memaksa mereka mundur dari posisi mereka di lingkaran.

“Apakah itu mengganggu kalian? Mengecewakan,” ejek Murphy, meskipun gerakan tubuhnya memancarkan ketegangan yang sulit disembunyikan.

Kael, melihat kesempatan itu, meluncur ke tengah lingkaran. Angin seakan bersamanya, membawa kecepatan layaknya bayangan, membuatnya sulit ditangkap. Dengan cepat, ia meraih bola kaca itu, tetapi saat berada lebih dekat, sebuah ledakan energi gelap menghantam tanah di depannya, memaksanya untuk mundur. Salah satu penyihir terkuat kini berdiri di pusat lingkaran dengan tongkat sihir, melindungi bola kaca dengan mantra pelindung yang menjulang dan berkilau.

"Beraninya kau mengganggu ritual kami!" pekik penyihir itu, suaranya menggelegar penuh kemarahan, membuat udara bergetar di sekeliling mereka.

Ritual yang terganggu membuat para penyihir Ordo Umbra semakin agresif. Dua dari mereka melontarkan gelombang energi gelap yang menghancurkan dari tongkat sihir mereka, menghantam tanah dan mengguncang batu-batu besar di sekitar area pertempuran. Kael bergerak lincah, menghindari serangan itu menggunakan Windstep. Namun, setiap gerakan semakin berat dan menguras tenaga. Dia tahu waktu mereka semakin mendesak; dia harus bertindak segera.

Di atas bukit, Sarah menatap ke area pertempuran dengan Mata Sihirnya, berusaha melihat lebih jauh ke dalam lingkaran sihir. “Kael dalam bahaya,” katanya pelan, nada suaranya tegang dan penuh kekhawatiran.

Laila mengalihkan pandangannya padanya, jari-jarinya bergerak cepat dalam isyarat yang menggambarkan keragu-raguan atau tawaran. "Aku bisa membantu. Suaraku bisa mengganggu mereka, menghentikan konsentrasi mereka."

Pandangan Sarah menyoroti adiknya, penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah merenung sejenak, dia mengangguk. “Tapi jangan memaksakan diri. Kita harus tetap aman, Laila.”

Laila berdiri tegap di atas bukit, menarik napas dalam-dalam sambil mengumpulkan kekuatan mentalnya seolah-olah itu akan menguatkannya. Ketika dia membuka mulutnya, energi sihir ungu samar mulai terlihat di sekitarnya. Meskipun suara tidak terdengar jelas, kekuatan sonik yang dihasilkan menghantam udara seperti gelombang tak terlihat, menerjang ke bawah dan mencapai para penyihir.

Getaran suaranya menghantam mereka, menciptakan kekacauan dalam konsentrasi yang dibutuhkan. Salah satu penyihir terhuyung, wajahnya terkejut saat mantra yang harusnya dia lafalkan buyar menghilang ke udara.

“Bagus, Laila,” gumam Kael ketika melihat momen tersebut. Dengan cepat, dia meluncurkan Racun Halusinasi, menciptakan kabut ungu yang mengelilingi area sekitar lingkaran, menghasilkan ilusi yang membingungkan, sehingga sulit bagi para penyihir untuk membedakan mana musuh dan mana teman.

Murphy masih berjuang melawan salah satu penyihir terkuat; pertarungan mereka berlangsung sengit. Denting pedang yang beradu dengan tongkat sihir bergema, sementara ledakan kecil dari energi sihir membuat tanah di sekitar mereka bergetar hebat.

“Kael! Cepat selesaikan ini!” serunya, terhindar nyaris dari semburan energi gelap yang melesat di dekatnya.

Kael memahami betapa mendesaknya situasi ini. Dengan sekuat tenaga, dia melompat kembali ke lingkaran, memusatkan semua energi yang tersisa untuk satu serangan terakhir. Bola kaca itu kini berada dalam jangkauannya; wujudnya yang memancarkan cahaya biru semakin mendekat.

Dengan pelindung sihir yang masih kukuh mengelilingi bola kaca, Kael mengangkat tangannya, membentuk Racun Melemahkan yang lebih besar dan lebih pekat dari sebelumnya, dengan warna hijau hitam bercampur ungu. Dengan semua kekuatan yang dimilikinya, ia menghantamkan racun itu ke pelindung sihir yang menggembung dengan energi.

Retakan mulai muncul pada pelindung itu, lalu pecah dalam ledakan yang membahana, suara pecahan yang memekakkan telinga menggema di udara. Kael tak menyia-nyiakan kesempatan itu; dia memanfaatkan momen yang tepat untuk menghancurkan bola kaca dengan pukulan terakhir yang bertenaga penuh.

Cahaya biru dari lingkaran sihir meredup seiring ritual itu terhenti seketika. Penyihir terakhir yang tersisa terlempar ke belakang oleh ledakan energi, sementara lingkaran sihir itu berubah menjadi tanda hitam hangus di permukaan tanah, menyisakan jejak kejadian yang mengerikan.

Saat debu perlahan mengendap, Murphy berusaha tertatih-tatih menuju Kael, menepuk bahunya dengan penuh penghargaan. “Itu tadi gila,” katanya, suaranya lega meski tubuhnya sudah lelah dan penuh luka.

Kael tersenyum tipis, meskipun napasnya masih tersengal. “Kita menghentikan mereka. Itu yang paling penting. Tapi aku tahu kita harus lebih berhati-hati ke depannya.”

Sarah dan Laila segera bergabung dengan mereka. Laila mendekat, melompat dan langsung memeluk Kael, sementara Sarah menempatkan tangannya di bahunya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Sarah, tatapannya tajam dipenuhi rasa khawatir yang nyata. Ia mencerminkan betapa pentingnya bagi mereka untuk menjaga satu sama lain dalam situasi berbahaya ini.

Kael mengangguk, dan dengan tulus, dia mengapresiasi kedua saudarinya. “Aku baik-baik saja, terima kasih untuk kalian berdua. Laila… kau luar biasa dengan tindakanmu.”

Laila hanya tersenyum kecil, jari-jarinya bergerak dalam isyarat sederhana, menandakan rasa syukur. "Aku senang bisa membantu. Kita satu tim."

Namun, meski mereka merayakan kemenangan kecil ini, Sarah mengangkat nada bicaranya dengan lebih serius. “Ritual ini mungkin gagal, tetapi mereka pasti akan mencoba lagi. Kita harus segera tahu apa yang mereka coba panggil, dan siapkan langkah selanjutnya.”

Kael menatap lingkaran yang hancur, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. “Kita harus terus bergerak. Ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan.”

Dengan langkah cepat namun penuh rasa waspada, mereka meninggalkan tempat itu. Kemenangan ini memang terasa manis, tetapi di dalam hati mereka, terbersit kesadaran bahwa ancaman besar masih menanti di depan, dan mereka harus selalu bersiap untuk menghadapi apa yang akan datang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 10: Pertarungan di Desa Kecil

    Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 11: Perlawanan di Dalam Sumur

    Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 12: Bayang-Bayang di Pagi Hari

    Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d

    Last Updated : 2025-03-08
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 13: Bayang-Bayang di Jalan Raya

    Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men

    Last Updated : 2025-03-08
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 14: Pertarungan di Tepi Sungai

    Api unggun berkobar redup, nyalanya bergoyang liar saat raungan wyvern mengguncang udara malam. Makhluk itu berdiri di tepi sungai, sayapnya yang compang-camping bergetar penuh amarah, dan taringnya berkilau dalam cahaya bulan yang samar. Cakarnya mengoyak tanah berlumpur, meninggalkan bekas dalam yang berbau asam menyengat, sementara mata kuningnya menyala dengan nafsu membunuh yang liar. Pedagang berteriak panik, Toman mendorong keluarganya ke belakang gerbong, sementara Kael berdiri teguh di depan kelompoknya, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** menyala di tangannya, berpendar dengan semburat ungu yang mengerikan. "Sarah, Laila, mundur!" bisik Kael tajam, matanya melirik ke arah lima sosok pemburu yang berdiri tenang di sisi unggun, mantel cokelat tua mereka bergoyang pelan di angin malam. "Awasi mereka—jangan ikut bertarung dengan wyvern. Aku dan Murphy akan menangani ini." Sarah mengangguk cepat, tangannya menggenggam erat lengan Laila. Matanya berpendar ungu samar sa

    Last Updated : 2025-03-09

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 92: Abu Monster dan Ledakan Hutan

    'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 91: Luncur Lendir dan Bebola Racun

    Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 90: Badai Monster dan Kepungan Wyvern

    Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 89: Lorong Batu dan Denyut Emas

    Kael berdiri di tepi dek, tangannya mencengkeram pagar kayu yang dingin, matanya biru menyipit menatap cahaya emas itu. “Terlalu mencurigakan untuk dilewatkan,” gumamnya, nadanya penuh kewaspadaan bercampur rasa ingin tahu. Tiba-tiba, Vale, elang Sarah, berkicau nyaring, sayapnya mengembang gelisah, cakarnya mencakar dek. Molly, tupai naga Laila, ikut bergerak, meloncat dari pundak Laila ke lantai, kicauannya cepat dan penuh semangat, seolah memanggil mereka ke gunung. Sarah berlutut di depan Molly, matanya ungu menyala samar saat sihirnya menangkap emosi hewan kecil itu. “Molly bilang… ada sesuatu di gunung yang bisa bantu pertumbuhan mereka,” katanya, alisnya terangkat kagum. “Vale juga merasa itu—sesuatu yang sangat berharga, langka.” Ia mengelus bulu Vale, yang menatap gunung dengan mata hijau penuh hasrat. Lyra menatap ke kejauhan, jari-jarinya memutar botol airnya yang memancarkan kilau samar. “Jika Molly dan Vale begitu bersemangat, itu bukan benda sembarangan,” katanya,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 88: Ledakan di Tapak dan Cahaya Wyvern

    Udara di tapak kapal terbang Vaelor membeku, raungan serigala raksasa mengguncang tanah. Bayang Tim Serigala Bayangan, berjubah putih dengan mata kuning menyala, mendekati dengan langkah predator. Kapal-kapal terbang lain di tapak—lambung kayu berukir rune, layar sihir berkilau—bergegas aktifkan mesin, suara dengung rune bercampur teriakan pedagang yang panik. Kelompok Kael, di dek kapal mereka, menahan napas, tangan mereka mencengkeram senjata atau jubah, mata terpaku pada sosok bertopeng menunggang serigala terdepan. Kael menarik napas, matanya biru menyipit menilai situasi. “Jangan panik,” katanya rendah, suaranya tegas meski jantungannya berdetak kencang. “Kita dalam penyamaran. Mereka tak mungkin tahu kita di sini begitu cepat.” Ia melirik kapten, yang masih gemetar di kemudi, dan teman-temannya, yang wajahnya pucat tapi berusaha tenang. Sarah mengangguk, matanya ungu berkilat penuh tekad. “Kael benar. Kita terlalu khawatir karena mereka musuh kita. Ayo bertindak normal, ik

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 87: Bayang Serigala di Tapak Terbang

    'Langit Luminus berkilau dengan semburat emas fajar, tapi di toko pedagang Wisp, udara terasa berat oleh rahasia. Kael menarik napas dalam saat sinar perak bebola sihir memudar dari pikirannya, meninggalkan lokasi peta kedua—rahasia kuno yang dilindungi kekuatan tak terlihat. Wisp, makhluk bunglon dengan kulit masih hijau pucat, menatap mereka dengan mata permata penuh rasa ingin tahu, tangannya gemetar menahan bola kaca yang kini retak halus. “Informasi itu… luar biasa,” gumamnya, suaranya serak, tapi ia tak bertanya lebih lanjut—aturan pedagang informasi mengikatnya. Kael mengangguk kaku, menyerahkan kantong koin sihir Lyra sebagai bayaran. “Terima kasih,” katanya singkat, matanya biru menyipit waspada. Ia menarik Sarah, yang matanya ungu masih menangkap sisa kaget Wisp, untuk segera pergi. “Ayo, kita tak boleh lama,” bisiknya, nadanya rendah. Keingintahuan Wisp terasa seperti bara yang bisa menyulut bahaya—jika makhluk itu tergoda menjual rahasia mereka, Ordo Cahaya atau Pemburu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 86: Retakan Bebola Sihir

    Fajar menyapa kota pohon Luminus dengan semburat emas yang menari di kanopi zamrud, menerangi jalan-jalan kayu yang meliuk di dahan raksasa. Di restoran penginapan kanopi, aroma roti panggang dan teh daun perak memenuhi udara, bercampur dengan denting piring dan obrolan pelan tamu—elf dengan jubah sutra, kurcaci dengan palu di pinggang, dan manusia yang kagum pada keajaiban kota. Kelompok Kael duduk di meja sudut, menikmati telur bakar dengan rempah dan buah kristal yang manis, ketika pintu kayu berukir berderit terbuka. Alice melangkah masuk, gaun biru mudanya bergoyang pelan, wajahnya berseri namun ada sedikit kecemasan di mata cokelatnya. “Kalian masih di sini!” serunya, berjalan cepat ke meja mereka. “Aku menunggu di toko alkimia keluargaku sejak kemarin, tapi kalian tidak muncul. Jadi aku datang sendiri.” Nada suaranya penuh semangat, bercampur keluhan kecil yang membuat Murphy terkekeh sambil mengunyah roti. Lyra menurunkan cangkir tehnya, tersenyum hangat. “Maaf, Alice, k

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 85: Bayang Kenabian dan Segel Darah

    Restoran penginapan kanopi dipenuhi aroma sup jamur dan roti herbal, tapi udara di meja kelompok Kael terasa berat setelah bisik berita tentang penyihir kenabian. Cahaya lampu sihir yang mengambang di atas mereka berkedip pelan, mencerminkan ketegangan di wajah-wajah mereka. Penyihir kenabian—makhluk langka dengan mata yang bisa menembus kabut waktu, melihat masa lalu dan sekilas masa depan—adalah senjata mengerikan bagi kekuatan besar seperti Ordo Cahaya. Jika mereka menyelidiki lokasi pertempuran melawan Tim Serigala Bayangan, jejak kelompok Kael bisa terbongkar, meski samar. Kael menurunkan sendoknya, matanya biru menyipit penuh perhitungan. “Untungnya, kita memakai penyamaran saat itu,” katanya perlahan, suaranya rendah agar tak didengar meja lain. “Kejadian itu sudah lewat beberapa waktu—penyihir kenabian mungkin hanya melihat potongan buram. Itu memberi kita waktu sebelum mereka tahu siapa pelakunya.” Lyra mengangguk, jari-jarinya mencengkeram botol airnya erat, meski wajahny

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 84: Bisik Berita di Kota Pohon

    Pemandangan kota pohon Luminus menyapa kelompok Kael seperti lukisan hidup, penuh warna dan sihir yang tak pernah mereka bayangkan. Pohon raksasa di pusat kota menjulang bagai pilar langit, batangnya lebar seperti bukit, dahan-dahannya membentang luas bagai jaringan kanopi hijau zamrud. Bangunan-bangunan di atas dahan itu terlihat seperti anak pohon kecil, diukir dari kayu hidup dengan sihir alam, permukaannya berkilau lembut di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah daun. Jalan-jalan kayu meliuk di antara cabang, dihiasi tali-tali merambat berbunga yang memancarkan aroma manis. Di bawah, manusia, elf, dan kurcaci berjalan berdampingan—sosok elf dengan rambut sutra dan mata permata, kurcaci dengan janggut tebal dan palu di pinggang, serta manusia dengan ekspresi kagum seperti kelompok Kael sendiri. Kael bersandar di dinding gerbong, matanya biru melebar menatap pemandangan itu. “Ini… luar biasa,” gumamnya, suaranya penuh kekaguman bercampur kewaspadaan. Mereka tahu elf d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status