Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 13: Bayang-Bayang di Jalan Raya

Share

Bab 13: Bayang-Bayang di Jalan Raya

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-08 00:17:41

Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.

Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.

Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 14: Pertarungan di Tepi Sungai

    Api unggun berkobar redup, nyalanya bergoyang liar saat raungan wyvern mengguncang udara malam. Makhluk itu berdiri di tepi sungai, sayapnya yang compang-camping bergetar penuh amarah, dan taringnya berkilau dalam cahaya bulan yang samar. Cakarnya mengoyak tanah berlumpur, meninggalkan bekas dalam yang berbau asam menyengat, sementara mata kuningnya menyala dengan nafsu membunuh yang liar. Pedagang berteriak panik, Toman mendorong keluarganya ke belakang gerbong, sementara Kael berdiri teguh di depan kelompoknya, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** menyala di tangannya, berpendar dengan semburat ungu yang mengerikan. "Sarah, Laila, mundur!" bisik Kael tajam, matanya melirik ke arah lima sosok pemburu yang berdiri tenang di sisi unggun, mantel cokelat tua mereka bergoyang pelan di angin malam. "Awasi mereka—jangan ikut bertarung dengan wyvern. Aku dan Murphy akan menangani ini." Sarah mengangguk cepat, tangannya menggenggam erat lengan Laila. Matanya berpendar ungu samar sa

    Last Updated : 2025-03-09
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 15: Rahasia di Balik Bayangan

    Pagi menyingsing dengan langit kelabu yang berat, awan tebal menggantung rendah di atas jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Udara terasa dingin dan lembap, membawa aroma samar rumput basah dan kayu bakar yang masih mengepul dari unggun semalam. Gerbong pedagang bergoyang pelan, roda kayunya berderit di atas batu kecil, sementara kuda-kuda mendengus lelet, seolah merasakan ketegangan yang menyelimuti kelompok itu. Pertarungan malam sebelumnya masih membekas—bau darah wyvern dan energi emas yang hangus terngiang di ingatan mereka, membuat setiap suara kecil dari semak di pinggir jalan terasa seperti ancaman. Kael duduk di tepi gerbong, tangannya memegang salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang ia ambil dari Pemburu Crimson yang tewas. Cahaya biru samar dari kristal itu berkedip pelan di tangannya, hangat namun asing. Matanya yang tajam menatap benda itu dengan konsentrasi penuh, keningnya berkerut saat ia mencoba menyalurkan energi sihirnya ke

    Last Updated : 2025-03-09
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 16: Persiapan di Kota Kecil

    Penginapan kecil itu berdiri sederhana di tepi jalan berbatu, dinding kayunya sudah lapuk dan berderit ditiup angin pagi. Aroma roti panggang dan kayu bakar menguar dari dapur kecil di dalam, bercampur dengan bau debu dan keringat yang masih melekat pada pakaian Kael dan kelompoknya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela yang retak, menerangi ruangan sempit tempat mereka duduk di meja kayu usang, penuh goresan dari tamu-tamu sebelumnya. Setelah malam penuh pertempuran dan ketegangan, penginapan ini terasa seperti tempat berlindung sementara, meski bayangan Pemburu Crimson masih mengintai di pikiran mereka. Kael duduk di sudut meja, tangannya memainkan salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang tak bisa ia gunakan, matanya tajam menatap kelompoknya. Sarah dan Laila, yang masih mengenakan penyamaran dari kristal—rambut cokelat tua dan merah kecokelatan—duduk berdekatan, wajah mereka pucat tapi penuh tekad. Murphy, dengan janggut kecil dan rambut pirang dar

    Last Updated : 2025-03-10
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 17: Ketegangan di Jalan Berbatu

    Gerbong sederhana itu bergoyang pelan di jalan berbatu, roda kayunya berderit keras di bawah tekanan, sementara kuda-kuda mendengus dengan napas berat. Udara siang terasa panas dan kering, debu beterbangan di sekitar mereka, menempel di kulit dan pakaian yang sudah lusuh. Kael memegang tali kekang erat, jantungnya berdegup kencang saat suara derap kaki mendekat dari belakang. Ia melirik ke samping, matanya tajam menangkap kilatan jubah putih Ordo Cahaya yang kini mengelilingi gerbong mereka seperti bayang-bayang cahaya yang mencekam. Serigala kabut raksasa itu berhenti tepat di samping gerbong, bulu abu-abunya yang bergetar seperti asap berkibar di angin, dan matanya biru pucat menyala penuh kewaspadaan. Hidungnya mengendus udara dengan liar, mengeluarkan suara mendengus yang dalam dan menggetarkan, mendekati Kael yang duduk paling depan. Energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** di tubuhnya bergetar halus tanpa ia sadari, aura terlarang itu tampaknya menarik perhatian makhluk itu

    Last Updated : 2025-03-10
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 18: Bisikan di Pinggir Sungai

    Gerbong sederhana itu bergoyang pelan di jalan berbatu, roda kayunya berderit seiring langkah kuda-kuda tua yang mulai lelet. Matahari perlahan naik di langit, sinarnya hangat tapi pucat, menyelinap di antara awan tipis yang bergoyang di angin sepoi-sepoi. Udara terasa lebih segar sekarang, membawa aroma rumput kering dan bunga liar dari padang terbuka yang menggantikan hutan purba yang gelap. Kael duduk di depan, tangannya memegang tali kekang dengan santai tapi mata birunya tetap tajam, memindai setiap semak dan bukit kecil di kejauhan. Sarah dan Laila duduk di belakang, penyamaran kristal mereka masih aktif, sementara Murphy bersandar di sisi gerbong, pedangnya tersedia di pangkuannya, bersiul pelan untuk menjaga semangat. Perjalanan mereka berlangsung tenang selama beberapa hari, hanya berhenti untuk makan roti kering dan daging asin dari bekal, serta memberi istirahat pada kuda-kuda yang kelelahan. Mereka melewati desa-desa kecil di sepanjang jala

    Last Updated : 2025-03-11
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 19: Jebakan di Bawah Senja

    Sungai mengalir pelan di bawah langit senja yang memudar, kilauan jingga di permukaannya perlahan digantikan oleh bayang-bayang malam yang merayap. Pepohonan di pinggir sungai berdiri diam, daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin, menciptakan gemerisik halus yang bercampur dengan deru napas Kael dan kelompoknya. Mereka bersembunyi di balik semak dan akar pohon yang menjalar, tubuh mereka merunduk rendah, napas mereka tertahan dalam kewaspadaan. Ilusi Sarah berdiri di tepi api unggun yang belum dinyalakan—bayangan Kael, Murphy, Sarah, dan Laila duduk santai, sempurna namun rapuh, hanya bertahan lima menit sebelum menghilang. Kael menggenggam energi **Racun Tiga Mayat**, jari-jarinya bergetar dengan kabut hijau kehitaman yang siap meluncur, matanya tajam menatap ke arah hutan. Laila menutup matanya, telinganya yang peka mendengarkan setiap suara—derap kuda dan langkah kaki Pemburu Crimson yang mendekat dari kejauhan, semakin jelas di pendengaran supernya yan

    Last Updated : 2025-03-11
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 20: Bayang-Bayang yang Tak Pernah Menjauh

    Sungai mengalir perlahan di bawah langit malam yang gelap pekat. Permukaannya memantulkan bintang-bintang samar, meski tertutup awan tipis yang melintas. Udara di sekitar terasa berat, masih menyimpan aroma darah dan energi emas yang hangus, bercampur dengan bau tanah basah serta lumut di tepi sungai. Di tanah berlumpur, tiga mayat Pemburu Crimson tergeletak tak bernyawa. Mantel merah tua mereka robek, basah oleh darah yang mulai mengering, menciptakan pemandangan yang suram.Kael berdiri di atas salah satu mayat itu. Napasnya tersengal, dan tangannya masih bergetar, sisa energi hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari kulitnya. Cahaya bulan redup menyentuh wajahnya, menonjolkan garis-garis tegang di rahangnya, sementara matanya menyiratkan campuran kekhawatiran dan tekad yang membara."Kita tak boleh biarkan jejak ini membawa lebih banyak dari mereka," gumam Kael dengan suara rendah namun penuh ketegasan. Ia berlutut di samping may

    Last Updated : 2025-03-12
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 21: Gerbang Nexus yang Megah

    Gerbong sederhana itu bergoyang pelan sebelum akhirnya berhenti di tepi jalan berbatu yang lebar. Roda kayunya diam setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Di depan mereka, gerbang besar kota Nexus menjulang megah, dikelilingi dinding batu hitam mengilap yang diperkuat dengan sihir. Dinding itu begitu tinggi hingga menutup sebagian langit malam. Menara ramping berdiri di kedua sisi gerbang, masing-masing dihiasi kristal energi sihir biru besar yang bersinar lembut, memancarkan dengungan halus yang terasa hingga ke tulang.Udara di sekitar penuh dengan aroma logam bercampur energi sihir, diselingi bau asap dari tungku pandai besi dan wangi roti panggang dari pasar malam di dalam kota. Di atas, kapal terbang bertenaga sihir melayang perlahan, baling-balingnya berdengung lembut. Di jalanan, monster tunggangan unik seperti naga kecil berbulu logam dan kuda bersisik kristal berjalan di antara kerumunan penyihir yang sibuk.Kael melompat turun dari gerbong,

    Last Updated : 2025-03-12

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 81: Bayang Aneh di Kota Kecil

    'Udara di dalam gubuk kecil desa tersembunyi terasa berat, seolah aura samar dari kain yang dipegang Alice menekan dinding-dinding kayu yang lapuk. Cahaya senter sihir Lyra memantul di permukaan kain itu, memperlihatkan detail yang membuat Kael dan kelompoknya tersentak serentak. Kain terlihat buruk itu bukan sekadar potongan kain—ia adalah peta, ditulis dengan tinta kuno yang berkilau samar, garis-garisnya membentuk lorong-lorong dan simbol yang asing namun penuh makna. Yang paling menarik perhatian Kael adalah simbol penyihir kuno. “Jadi, sekarang jelas kenapa Ordo Cahaya menargetkan desa kecil ini,” kata Kael, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. Matanya biru menyipit, menelusuri simbol itu dengan hati-hati. “Desa ini menyembunyikan sesuatu milik penyihir kuno. Alice, bolehkah aku lihat lebih dekat?” Dia mengulurkan tangan, nada suaranya tegas namun tak memaksa. Alice mengangguk polos, menyerahkan kain itu tanpa ragu. Baginya, kain itu tak lebih dari warisan kepala desa, tak be

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 80: Batu Kuno dan Kain Misterius

    Cakar tajam pemimpin serigala bayangan melesat menuju dada Murphy, kilau maut di ujungnya memantulkan cahaya bulan yang temaram. Kabut di sekitar mereka bergoyang hebat, seolah merasakan ancaman kematian yang mendekat. Murphy, terlambat mengangkat pedangnya, hanya bisa menatap dengan mata melebar, napasnya tersendat. Kelompok Kael menahan napas, ketegangan menyelimuti mereka—nasib Murphy tergantung pada detik itu. Tiba-tiba, dentuman keras memecah udara. Tetesan air tajam Lyra dan gelombang sonik Laila, yang tak pernah berhenti menargetkan punggung monster itu, menghantam sasaran bersamaan. Luka dalam terbuka di kulit hitam legamnya, darah hitam muncrat, dan serigala bayangan menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung. Cakarnya meleset, hanya menggores bahu Murphy, meninggalkan sayatan berdarah namun tak mematikan. Murphy tersentak, melompat mundur dengan cepat, wajahnya pucat tapi penuh syukur. Perubahan terjadi secepat kilat. Racun melemahkan Kael, yang selama ini menyelimuti tubu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 79: Cakar di Ambang Kematian

    Kabut yang menyelimuti di jalan perlahan menipis di sekitar pemimpin Tim Serigala Bayangan, seolah terdorong oleh hawa panas yang memancar dari tubuhnya yang berubah. Cahaya suci yang sebelumnya menyilaukan kini meredup, memperlihatkan sosok mengerikan yang membuat kelompok Kael terpaku kaget. Tubuhnya, yang kini menjulang lebih dari tiga meter, tak lagi menyerupai manusia suci Ordo Cahaya—bulu hitam legam menyelimuti kulitnya yang membesar, cakarnya panjang dan berkilau seperti mata pedang, dan matanya menyala merah darah, penuh dendam. Wajahnya, yang tersisa dari bentuk manusia, terdistorsi dengan taring mencuat, menyerupai monster serigala jadian dari legenda gelap Aethel. “Sial!” seru Murphy, suaranya penuh kejutan bercampur ketegangan. “Tak ada yang bilang pemimpin Tim Serigala Bayangan bisa jadi monster serigala jadian! Kau tak lagi suci seperti Ordo Cahaya—kalian lebih mirip kelompok monster jadian!” Pedangnya terangkat, energi emasnya berkilat, tapi ada getar kecil di tanga

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 78: Cahaya Silau di Dalam Kabut

    Malam menyelimuti tepi sungai dengan kegelapan yang tebal dan dingin, seolah langit sendiri menahan napas di atas perkemahan kecil kelompok Kael. Api unggun berkelip lemah, nyala oranye kecilnya berjuang melawan bayang-bayang yang merayap dari hutan di sekitar, menciptakan tarian gelap dan terang yang tak menentu. Kael dan Murphy saling bertatapan, mata mereka mencerminkan kewaspadaan tajam saat Paman Peter menyebut “Serigala Bayangan.” Nama itu bergema seperti lonceng maut di telinga mereka—tunggangan serigala adalah simbol Ordo Cahaya, ordo terkuat di Aethel, dan Tim Serigala Bayangan adalah kelompok pemburu elitnya, dikenal tak kenal ampun dalam memburu buronan atau siapa pun yang mereka anggap sesat. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, sementara Murphy menggenggam pedangnya lebih erat, jari-jarinya memutih di gagangnya. “Jadi, akhirnya kita terlibat langsung dengan Ordo Cahaya?” gumam Murphy, nada sinisnya bercampur pasrah yang pahit. “Kita tak pernah cari merek

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 77: Serigala Bayangan di Jejak Darah

    Kegelapan malam menyelimuti perkemahan kecil di tepi sungai, hanya diterangi oleh nyala api unggun yang berkelip lemah. Nyala api itu seolah takut menantang bayang-bayang yang merayap di sekitar. Angin malam membawa aroma rumput basah dan darah kering, bercampur dengan bau samar tanah yang baru digali.Kelompok Kael berdiri tegang, kekuatan sihir mereka siap untuk dilepaskan, mata mereka memindai kegelapan saat bunyi langkah kuda yang tak wajar mendekat. Laila memeluk Molly erat, getaran sonik di lengan Molly masih bergetar samar, sementara Vale bertengger di dahan pohon, sayapnya terlipat dengan waspada.Tiba-tiba, dari balik bayang pohon, sesuatu muncul—bukan ancaman mengerikan seperti yang mereka bayangkan, tetapi pemandangan yang membingungkan sekaligus mengejutkan. Seekor kuda ramping tersandung masuk ke lingkaran cahaya api, kakinya gemetar. Tubuhnya dipenuhi luka berdarah hingga bulu cokelatnya tampak hitam pekat.Di punggungnya, sosok berjubah gelap terkulai tak sadarkan diri,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 76: Langkah Kuda di Malam Gelap

    Gerbong kuda melaju menjauh dari hutan pertempuran, roda kayunya berderit pelan di jalan tanah yang kini lebih rata, meninggalkan aroma darah dan kematian yang membusuk di belakang. Beberapa kilometer berlalu, angin siang membawa bau daun kering dan tanah basah, perlahan mengusir ketegangan yang menempel di hati kelompok Kael. Di langit, Vale melayang tinggi, sayap abu-abunya memotong udara tanpa suara, matanya tajam memindai horizon yang membentang luas. Pekikan peringatannya tak terdengar, tanda bahaya belum mengintai lagi, dan napas lega akhirnya keluar dari dada mereka, meski bayang penyihir jiwa masih menggantung di pikiran. “Huh…” Murphy bersandar di dinding gerbong, tangannya menyeka keringat dingin di dahi. “Aku masih berdebar memikirkan jadi target penyihir jiwa yang tak kita kenal. Kau benar, Kael—kita tak bisa meremehkan musuh lemah lagi. Bisa jadi ada pendukung mengerikan di balik mereka.” Nada suaranya serius, matanya cokelat tua menatap kosong ke lantai kayu, bayangan

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 75: Potongan Jiwa dan Bayang Kematian

    Hutan di sekitar gerbong Kael membisu dalam keheningan yang mencekam, hanya bunyi roda kayu yang berderit dan derap kaki kuda yang memecah udara siang. Cahaya matahari tersaring melalui kanopi tebal, membentuk bercak-bercak emas yang bergoyang di tanah berlumut, namun suasana terasa dingin, seolah alam sendiri menahan napas. Di dalam gerbong, tangan Kael bergetar samar, siap melontarkan kabut hijau kehitaman dari Racun Melemahkan, sementara Murphy mencengkeram pedangnya, otot-ototnya tegang menanti saat melompat keluar. Mereka belum bertindak—Kael menahan mereka, matanya biru tertuju pada Laila, menunggu informasi pasti tentang musuh yang mengintai. Laila duduk tegang, matanya hitam terpejam rapat, getaran soniknya mengalir halus mencoba menangkap suara-suara di balik semak. Wajahnya pucat, kerutan kecil di dahinya menunjukkan konsentrasi penuh, sementara Molly, tupai naga kecil di pangkuannya, meringkuk diam seolah merasakan bahaya. Lyra, di sisi lain, mengetuk dinding gerbong pe

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 74: Bayang di Hutan dan Misteri Luminus

    Langit di atas hutan membentang luas, biru cerah dengan awan tipis yang berarak lamban, sementara Vale, elang abu-abu milik Sarah, melayang tinggi mengikuti gerbong kuda usang yang berderit di bawahnya. Sayapnya memotong angin dengan irama tenang, mata tajamnya memindai hamparan hijau yang bergoyang pelan tertiup angin siang.Gerbong kelompok Kael bergoyang di jalan tanah berbatu, roda kayunya yang miring mengeluarkan bunyi berdecit keras, sengaja dibuat mencolok untuk menyamarkan kemewahan di dalamnya. Aroma tanah kering dan daun basah menyelinap melalui celah-celah dinding luar yang bobrok, bercampur dengan wangi samar kayu cendana dari interior gerbong yang empuk.Di dalam, Lyra duduk bersila di kursi berlapis kain merah, tangannya memegang secuil roti kering sisa sarapan. Kael meliriknya, matanya biru penuh perhitungan. “Jelaskan situasi di kota pohon Luminus,” pintanya, suaranya tegas namun tenang. “Kami perlu tahu apa yang harus diperhatikan di sana.”Lyra menarik napas pelan, m

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 73: Topeng Lendir dan Jalan Tersembunyi

    Pagi menyelimuti Teluk Senja dengan cahaya lembut, matahari baru terbit membentuk garis emas tipis di ufuk laut yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma garam dan kayu basah dari dermaga, bercampur dengan bau samar ikan segar yang diangkut pedagang pagi. Kelompok Kael melangkah ke dek kapal Lyra, kayu di bawah kaki mereka berderit pelan, masih hangat dari sisa malam. Lyra telah menunggu di sana, berdiri di sisi meja kayu sederhana yang kini dipenuhi sarapan—roti gandum, keju lunak, dan buah beri merah yang berkilau di bawah sinar matahari. Berbeda dari malam sebelumnya, Lyra tampak lebih sederhana, mengenakan tunik cokelat tua dan mantel tipis tanpa hiasan emas, rambutnya diikat longgar seolah siap untuk perjalanan jauh. Kael memandangnya dengan alis sedikit terangkat, matanya biru menangkap perubahan itu. “Apakah kau sudah menyangka kami akan setuju kau bergabung?” tanyanya, nadanya penuh perhitungan namun tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu. Lyra tersenyum tipis, matan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status