Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 5: Jejak yang Hilang

Share

Bab 5: Jejak yang Hilang

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2024-12-30 16:31:18

Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.

Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.

“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”

Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka memaksakan kita masuk lebih dalam ke wilayah yang tidak dikenal.”

Sarah, yang berjalan di belakangnya dengan tangan tetap menggenggam Laila, menutup matanya sejenak untuk menggunakan Mata Sihirnya. Dalam ketenangan gelap yang mengelilinginya, ia bisa melihat sisa energi sihir yang mengambang di udara, seperti jejak kabur yang ditinggalkan para pengejar mereka, seolah setiap hembusan angin membawa pesan-pesan yang tak terucapkan.

“Kael,” panggil Sarah pelan, membuka mata sihirnya kembali. “Mereka belum menyerah. Aku bisa melihat jejak energi mereka… tapi arahnya tidak jelas. Entah mereka benar-benar mengejar kita, atau ini jebakan.” Suara Sarah bergetar sedikit, mencerminkan kecemasan yang mengintai di balik perkataannya.

Kael mengepalkan tangannya, merasakan ketegangan yang mencekam dalam hati. Jika mereka terus melanjutkan perjalanan tanpa arah yang pasti, mereka hanya akan menjadi sasaran empuk bagi musuh. Tetapi, berhenti juga bukan pilihan yang bijaksana.

Laila menarik ujung jubah Sarah, menunjuk ke tanah dengan ekspresi penuh konsentrasi. Dengan bahasa isyarat yang cepat, dia menyampaikan, “Ada jejak kaki di sana.”

Sarah langsung menerjemahkan dengan hati-hati. “Laila melihat sesuatu. Jejak kaki.”

Kael mendekat, memperhatikan jejak samar di atas tanah lembap. “Ini bukan jejak kita,” katanya setelah mengamati. “Terlalu besar. Mereka menggunakan monster pelacak.” Suaranya penuh dengan kepastian, tetapi juga sebuah ancaman yang menggelayuti pikiran mereka.

Murphy menghela napas berat, menggenggam pedangnya lebih erat, seolah-olah logam dingin itu dapat memberinya keberanian. “Tentu saja mereka tidak akan mempermudah kita.”

Mereka berkumpul di sekitar jejak itu, mencoba memutuskan langkah selanjutnya, hati mereka berdebar kencang dengan setiap detik yang berlalu.

“Kita tidak bisa kembali ke jalur utama,” kata Kael tegas, memandang ke arah hutan yang lebih gelap. “Tapi jika kita mengikuti jejak ini, itu bisa membawa kita lebih dekat pada musuh.”

“Atau mungkin malah menjauhkan kita dari mereka,” timpal Murphy skeptis. “Jika kita beruntung, jejak ini mengarah ke tempat mereka bermarkas sementara. Kita bisa mencari tahu rencana mereka sebelum mereka menemukan kita.”

Sarah mengerutkan kening, ragu dengan usulan itu. “Kael, kita membawa Laila. Apakah kita bisa mengambil risiko sebesar itu?” Suara Sarah dipenuhi oleh rasa khawatir yang mendalam, memikirkan ancaman yang bisa menanti mereka.

Kael menatap kedua adiknya, wajahnya terbagi antara rasa perlindungan dan kewajiban. Dia tahu Sarah benar. Laila mungkin menunjukkan keberaniannya sebelumnya, tetapi dia tetap seorang anak kecil yang harus dijaga agar aman.

Namun, sebelum Kael bisa menjawab, Laila yang penuh semangat menarik tangan Sarah dan membuat isyarat dengan kedua tangannya. “Aku tidak takut. Kita harus tahu apa yang mereka rencanakan. Kalau tidak, mereka akan terus mengejar.”

Sarah menghela napas panjang setelah menerjemahkan, dan jantungnya bergetar mendengar keteguhan Laila. “Dia mengatakan hal yang benar.”

Kael mengangguk perlahan, mengakui coretan keberanian dalam diri adik-adiknya. “Baiklah. Tapi jika kita menemukan sesuatu yang berbahaya, kita akan mundur. Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan kalian,” ujarnya dengan suara tegas, menegaskan komitmennya untuk menjaga mereka.

Jejak itu membawa mereka ke daerah yang lebih terbuka di tengah hutan. Pepohonan yang sebelumnya rapat mulai berkurang, digantikan oleh hamparan batu besar dan semak-semak liar, menciptakan petak-petak yang seolah bertentangan dengan ketertiban alam. Udara terasa lebih kering, dengan aroma samar belerang yang menusuk hidung, memicu rasa waspada yang lebih dalam.

Murphy berhenti mendadak, mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti. “Tunggu. Kalian dengar itu?”

Semua diam, mencoba menangkap setiap suara yang menderu, setiap bisikan hutan. Dari kejauhan, terdengar suara samar seperti dengungan rendah yang terus menerus, bukan suara binatang, melainkan sesuatu yang terasa tidak wajar, menandakan adanya kekuatan sesaat yang sedang berkumpul.

Kael menyipitkan matanya, berusaha merasakan energi sihir di sekitarnya. “Itu… portal kecil,” katanya akhirnya, merasakan ketegangan yang bergetar di udara. “Mereka mencoba membuka jalur komunikasi.”

Sarah menatap Kael, keinginan untuk bertindak menggila di dalam dirinya. “Kita harus menghentikan mereka.”

“Tunggu. Kita harus melihat apa yang mereka lakukan dulu,” kata Kael tegas, dengan ketenangan yang dipelajari. “Jika kita menyerang tanpa rencana, kita hanya akan mengekspos diri kita.”

Dengan langkah pelan, mereka bergerak lebih dekat ke arah suara itu. Kael memimpin dengan hati-hati, menggunakan teknik Windstep untuk memastikan langkahnya tidak menghasilkan suara, menciptakan kesenyapan yang telah lama tidak mereka rasakan. Sarah dan Laila bergerak di belakangnya, sementara Murphy menjaga sisi belakang kelompok, mengawasi setiap gerakan di sekeliling mereka.

Ketika mereka sampai di puncak bukit kecil, Kael memberi isyarat agar semua berhenti. Dia berlutut dan mengintip dari balik semak-semak. Di bawah mereka, sebuah area terbuka terlihat jelas, diterangi oleh cahaya biru pucat yang berdenyut dari lingkaran sihir besar yang diukir di tanah. Gambaran itu menancapkan rasa kekhawatiran yang mendalam di hati mereka.

Sekelompok penyihir berjubah hitam berdiri di sekitar lingkaran itu, melafalkan mantra dengan suara rendah, seperti nyanyian gelap yang memanggil kegelapan. Di tengah lingkaran, ada sebuah objek berbentuk bola kaca kecil yang memancarkan cahaya aneh, menggeliat dengan energi yang meresahkan.

“ Itu bola komunikasi,” bisik Kael keras dan jelas, merasakan bahaya yang mengintai. “Mereka menggunakan itu untuk melaporkan ke markas utama mereka.”

Murphy menatap objek itu dengan rahang terkatup, niat untuk menghancurkan semakin kuat dalam benaknya. “Kita harus menghancurkannya sebelum mereka selesai.”

“Tunggu,” kata Sarah tiba-tiba, matanya yang buta memancarkan warna ungu intens menatap lingkaran itu, seolah-olah memandang ke dimensi yang berbeda. “Mereka tidak hanya melaporkan sesuatu. Mereka juga memanggil sesuatu.”

Kael menahan napas, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”

Sarah menggigit bibirnya, ragu sejenak, seolah menarik kembali kata-katanya. “Aku bisa melihat… makhluk besar. Mereka mencoba membawa sesuatu ke sini. Tapi… aku tidak tahu apa itu.”

Kael mengepalkan tangannya, merasakan waktu melawan mereka. Jika Ordo Umbra berhasil membuka portal itu sepenuhnya, apa pun yang mereka panggil bisa menjadi ancaman besar, sebuah malapetaka yang sampai saat ini hanya bisa mereka bayangkan.

Kael berdiri perlahan, matanya memancarkan tekad yang membara. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menyelesaikan ritual itu. Murphy, kau bersiap untuk menyerang mereka dari kanan. Sarah, Laila, tetap di sini. Jangan bergerak sampai aku memberi isyarat.”

“Tidak,” kata Sarah, suaranya penuh kepastian yang menggetarkan. “Aku bisa membantu dengan Mata Sihir. Jika mereka mencoba menyerang dari tempat lain, aku akan memperingatkanmu.”

Kael merasa perdebatan membara dalam dirinya, ingin membantah, tetapi dia tahu Sarah benar. Dia mengangguk dengan ragu. “Baik. Tapi jangan terlalu jauh dari Laila.”

Murphy mengangkat pedangnya, cahaya sihir emas menyelimuti bilahnya, menciptakan aura keberanian yang tak terlukiskan. “Kalau begitu, ayo kita tunjukkan pada mereka bahwa mereka memilih target yang salah.”

Kael mempersiapkan Racun Melemahkan di tangannya, momen ini menjadi jembatan antara ketakutan dan keberanian. Dengan satu gerakan, mereka meluncur ke bawah bukit, menuju pertempuran pertama mereka yang terencana melawan Ordo Umbra, dengan tekad dan harapan bersatu untuk mengatasi kegelapan yang membayangi.

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

    Last Updated : 2024-12-30

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status