Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.
Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian. “Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.” Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka memaksakan kita masuk lebih dalam ke wilayah yang tidak dikenal.” Sarah, yang berjalan di belakangnya dengan tangan tetap menggenggam Laila, menutup matanya sejenak untuk menggunakan Mata Sihirnya. Dalam ketenangan gelap yang mengelilinginya, ia bisa melihat sisa energi sihir yang mengambang di udara, seperti jejak kabur yang ditinggalkan para pengejar mereka, seolah setiap hembusan angin membawa pesan-pesan yang tak terucapkan. “Kael,” panggil Sarah pelan, membuka mata sihirnya kembali. “Mereka belum menyerah. Aku bisa melihat jejak energi mereka… tapi arahnya tidak jelas. Entah mereka benar-benar mengejar kita, atau ini jebakan.” Suara Sarah bergetar sedikit, mencerminkan kecemasan yang mengintai di balik perkataannya. Kael mengepalkan tangannya, merasakan ketegangan yang mencekam dalam hati. Jika mereka terus melanjutkan perjalanan tanpa arah yang pasti, mereka hanya akan menjadi sasaran empuk bagi musuh. Tetapi, berhenti juga bukan pilihan yang bijaksana. Laila menarik ujung jubah Sarah, menunjuk ke tanah dengan ekspresi penuh konsentrasi. Dengan bahasa isyarat yang cepat, dia menyampaikan, “Ada jejak kaki di sana.” Sarah langsung menerjemahkan dengan hati-hati. “Laila melihat sesuatu. Jejak kaki.” Kael mendekat, memperhatikan jejak samar di atas tanah lembap. “Ini bukan jejak kita,” katanya setelah mengamati. “Terlalu besar. Mereka menggunakan monster pelacak.” Suaranya penuh dengan kepastian, tetapi juga sebuah ancaman yang menggelayuti pikiran mereka. Murphy menghela napas berat, menggenggam pedangnya lebih erat, seolah-olah logam dingin itu dapat memberinya keberanian. “Tentu saja mereka tidak akan mempermudah kita.” Mereka berkumpul di sekitar jejak itu, mencoba memutuskan langkah selanjutnya, hati mereka berdebar kencang dengan setiap detik yang berlalu. “Kita tidak bisa kembali ke jalur utama,” kata Kael tegas, memandang ke arah hutan yang lebih gelap. “Tapi jika kita mengikuti jejak ini, itu bisa membawa kita lebih dekat pada musuh.” “Atau mungkin malah menjauhkan kita dari mereka,” timpal Murphy skeptis. “Jika kita beruntung, jejak ini mengarah ke tempat mereka bermarkas sementara. Kita bisa mencari tahu rencana mereka sebelum mereka menemukan kita.” Sarah mengerutkan kening, ragu dengan usulan itu. “Kael, kita membawa Laila. Apakah kita bisa mengambil risiko sebesar itu?” Suara Sarah dipenuhi oleh rasa khawatir yang mendalam, memikirkan ancaman yang bisa menanti mereka. Kael menatap kedua adiknya, wajahnya terbagi antara rasa perlindungan dan kewajiban. Dia tahu Sarah benar. Laila mungkin menunjukkan keberaniannya sebelumnya, tetapi dia tetap seorang anak kecil yang harus dijaga agar aman. Namun, sebelum Kael bisa menjawab, Laila yang penuh semangat menarik tangan Sarah dan membuat isyarat dengan kedua tangannya. “Aku tidak takut. Kita harus tahu apa yang mereka rencanakan. Kalau tidak, mereka akan terus mengejar.” Sarah menghela napas panjang setelah menerjemahkan, dan jantungnya bergetar mendengar keteguhan Laila. “Dia mengatakan hal yang benar.” Kael mengangguk perlahan, mengakui coretan keberanian dalam diri adik-adiknya. “Baiklah. Tapi jika kita menemukan sesuatu yang berbahaya, kita akan mundur. Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan kalian,” ujarnya dengan suara tegas, menegaskan komitmennya untuk menjaga mereka. Jejak itu membawa mereka ke daerah yang lebih terbuka di tengah hutan. Pepohonan yang sebelumnya rapat mulai berkurang, digantikan oleh hamparan batu besar dan semak-semak liar, menciptakan petak-petak yang seolah bertentangan dengan ketertiban alam. Udara terasa lebih kering, dengan aroma samar belerang yang menusuk hidung, memicu rasa waspada yang lebih dalam. Murphy berhenti mendadak, mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti. “Tunggu. Kalian dengar itu?” Semua diam, mencoba menangkap setiap suara yang menderu, setiap bisikan hutan. Dari kejauhan, terdengar suara samar seperti dengungan rendah yang terus menerus, bukan suara binatang, melainkan sesuatu yang terasa tidak wajar, menandakan adanya kekuatan sesaat yang sedang berkumpul. Kael menyipitkan matanya, berusaha merasakan energi sihir di sekitarnya. “Itu… portal kecil,” katanya akhirnya, merasakan ketegangan yang bergetar di udara. “Mereka mencoba membuka jalur komunikasi.” Sarah menatap Kael, keinginan untuk bertindak menggila di dalam dirinya. “Kita harus menghentikan mereka.” “Tunggu. Kita harus melihat apa yang mereka lakukan dulu,” kata Kael tegas, dengan ketenangan yang dipelajari. “Jika kita menyerang tanpa rencana, kita hanya akan mengekspos diri kita.” Dengan langkah pelan, mereka bergerak lebih dekat ke arah suara itu. Kael memimpin dengan hati-hati, menggunakan teknik Windstep untuk memastikan langkahnya tidak menghasilkan suara, menciptakan kesenyapan yang telah lama tidak mereka rasakan. Sarah dan Laila bergerak di belakangnya, sementara Murphy menjaga sisi belakang kelompok, mengawasi setiap gerakan di sekeliling mereka. Ketika mereka sampai di puncak bukit kecil, Kael memberi isyarat agar semua berhenti. Dia berlutut dan mengintip dari balik semak-semak. Di bawah mereka, sebuah area terbuka terlihat jelas, diterangi oleh cahaya biru pucat yang berdenyut dari lingkaran sihir besar yang diukir di tanah. Gambaran itu menancapkan rasa kekhawatiran yang mendalam di hati mereka. Sekelompok penyihir berjubah hitam berdiri di sekitar lingkaran itu, melafalkan mantra dengan suara rendah, seperti nyanyian gelap yang memanggil kegelapan. Di tengah lingkaran, ada sebuah objek berbentuk bola kaca kecil yang memancarkan cahaya aneh, menggeliat dengan energi yang meresahkan. “ Itu bola komunikasi,” bisik Kael keras dan jelas, merasakan bahaya yang mengintai. “Mereka menggunakan itu untuk melaporkan ke markas utama mereka.” Murphy menatap objek itu dengan rahang terkatup, niat untuk menghancurkan semakin kuat dalam benaknya. “Kita harus menghancurkannya sebelum mereka selesai.” “Tunggu,” kata Sarah tiba-tiba, matanya yang buta memancarkan warna ungu intens menatap lingkaran itu, seolah-olah memandang ke dimensi yang berbeda. “Mereka tidak hanya melaporkan sesuatu. Mereka juga memanggil sesuatu.” Kael menahan napas, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?” Sarah menggigit bibirnya, ragu sejenak, seolah menarik kembali kata-katanya. “Aku bisa melihat… makhluk besar. Mereka mencoba membawa sesuatu ke sini. Tapi… aku tidak tahu apa itu.” Kael mengepalkan tangannya, merasakan waktu melawan mereka. Jika Ordo Umbra berhasil membuka portal itu sepenuhnya, apa pun yang mereka panggil bisa menjadi ancaman besar, sebuah malapetaka yang sampai saat ini hanya bisa mereka bayangkan. Kael berdiri perlahan, matanya memancarkan tekad yang membara. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menyelesaikan ritual itu. Murphy, kau bersiap untuk menyerang mereka dari kanan. Sarah, Laila, tetap di sini. Jangan bergerak sampai aku memberi isyarat.” “Tidak,” kata Sarah, suaranya penuh kepastian yang menggetarkan. “Aku bisa membantu dengan Mata Sihir. Jika mereka mencoba menyerang dari tempat lain, aku akan memperingatkanmu.” Kael merasa perdebatan membara dalam dirinya, ingin membantah, tetapi dia tahu Sarah benar. Dia mengangguk dengan ragu. “Baik. Tapi jangan terlalu jauh dari Laila.” Murphy mengangkat pedangnya, cahaya sihir emas menyelimuti bilahnya, menciptakan aura keberanian yang tak terlukiskan. “Kalau begitu, ayo kita tunjukkan pada mereka bahwa mereka memilih target yang salah.” Kael mempersiapkan Racun Melemahkan di tangannya, momen ini menjadi jembatan antara ketakutan dan keberanian. Dengan satu gerakan, mereka meluncur ke bawah bukit, menuju pertempuran pertama mereka yang terencana melawan Ordo Umbra, dengan tekad dan harapan bersatu untuk mengatasi kegelapan yang membayangi.Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh
Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget
Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti
Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo
Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu
Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d
Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men
Kegelapan malam menyelimuti perkemahan kecil di tepi sungai, hanya diterangi oleh nyala api unggun yang berkelip lemah. Nyala api itu seolah takut menantang bayang-bayang yang merayap di sekitar. Angin malam membawa aroma rumput basah dan darah kering, bercampur dengan bau samar tanah yang baru digali.Kelompok Kael berdiri tegang, kekuatan sihir mereka siap untuk dilepaskan, mata mereka memindai kegelapan saat bunyi langkah kuda yang tak wajar mendekat. Laila memeluk Molly erat, getaran sonik di lengan Molly masih bergetar samar, sementara Vale bertengger di dahan pohon, sayapnya terlipat dengan waspada.Tiba-tiba, dari balik bayang pohon, sesuatu muncul—bukan ancaman mengerikan seperti yang mereka bayangkan, tetapi pemandangan yang membingungkan sekaligus mengejutkan. Seekor kuda ramping tersandung masuk ke lingkaran cahaya api, kakinya gemetar. Tubuhnya dipenuhi luka berdarah hingga bulu cokelatnya tampak hitam pekat.Di punggungnya, sosok berjubah gelap terkulai tak sadarkan diri,
Gerbong kuda melaju menjauh dari hutan pertempuran, roda kayunya berderit pelan di jalan tanah yang kini lebih rata, meninggalkan aroma darah dan kematian yang membusuk di belakang. Beberapa kilometer berlalu, angin siang membawa bau daun kering dan tanah basah, perlahan mengusir ketegangan yang menempel di hati kelompok Kael. Di langit, Vale melayang tinggi, sayap abu-abunya memotong udara tanpa suara, matanya tajam memindai horizon yang membentang luas. Pekikan peringatannya tak terdengar, tanda bahaya belum mengintai lagi, dan napas lega akhirnya keluar dari dada mereka, meski bayang penyihir jiwa masih menggantung di pikiran. “Huh…” Murphy bersandar di dinding gerbong, tangannya menyeka keringat dingin di dahi. “Aku masih berdebar memikirkan jadi target penyihir jiwa yang tak kita kenal. Kau benar, Kael—kita tak bisa meremehkan musuh lemah lagi. Bisa jadi ada pendukung mengerikan di balik mereka.” Nada suaranya serius, matanya cokelat tua menatap kosong ke lantai kayu, bayangan
Hutan di sekitar gerbong Kael membisu dalam keheningan yang mencekam, hanya bunyi roda kayu yang berderit dan derap kaki kuda yang memecah udara siang. Cahaya matahari tersaring melalui kanopi tebal, membentuk bercak-bercak emas yang bergoyang di tanah berlumut, namun suasana terasa dingin, seolah alam sendiri menahan napas. Di dalam gerbong, tangan Kael bergetar samar, siap melontarkan kabut hijau kehitaman dari Racun Melemahkan, sementara Murphy mencengkeram pedangnya, otot-ototnya tegang menanti saat melompat keluar. Mereka belum bertindak—Kael menahan mereka, matanya biru tertuju pada Laila, menunggu informasi pasti tentang musuh yang mengintai. Laila duduk tegang, matanya hitam terpejam rapat, getaran soniknya mengalir halus mencoba menangkap suara-suara di balik semak. Wajahnya pucat, kerutan kecil di dahinya menunjukkan konsentrasi penuh, sementara Molly, tupai naga kecil di pangkuannya, meringkuk diam seolah merasakan bahaya. Lyra, di sisi lain, mengetuk dinding gerbong pe
Langit di atas hutan membentang luas, biru cerah dengan awan tipis yang berarak lamban, sementara Vale, elang abu-abu milik Sarah, melayang tinggi mengikuti gerbong kuda usang yang berderit di bawahnya. Sayapnya memotong angin dengan irama tenang, mata tajamnya memindai hamparan hijau yang bergoyang pelan tertiup angin siang.Gerbong kelompok Kael bergoyang di jalan tanah berbatu, roda kayunya yang miring mengeluarkan bunyi berdecit keras, sengaja dibuat mencolok untuk menyamarkan kemewahan di dalamnya. Aroma tanah kering dan daun basah menyelinap melalui celah-celah dinding luar yang bobrok, bercampur dengan wangi samar kayu cendana dari interior gerbong yang empuk.Di dalam, Lyra duduk bersila di kursi berlapis kain merah, tangannya memegang secuil roti kering sisa sarapan. Kael meliriknya, matanya biru penuh perhitungan. “Jelaskan situasi di kota pohon Luminus,” pintanya, suaranya tegas namun tenang. “Kami perlu tahu apa yang harus diperhatikan di sana.”Lyra menarik napas pelan, m
Pagi menyelimuti Teluk Senja dengan cahaya lembut, matahari baru terbit membentuk garis emas tipis di ufuk laut yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma garam dan kayu basah dari dermaga, bercampur dengan bau samar ikan segar yang diangkut pedagang pagi. Kelompok Kael melangkah ke dek kapal Lyra, kayu di bawah kaki mereka berderit pelan, masih hangat dari sisa malam. Lyra telah menunggu di sana, berdiri di sisi meja kayu sederhana yang kini dipenuhi sarapan—roti gandum, keju lunak, dan buah beri merah yang berkilau di bawah sinar matahari. Berbeda dari malam sebelumnya, Lyra tampak lebih sederhana, mengenakan tunik cokelat tua dan mantel tipis tanpa hiasan emas, rambutnya diikat longgar seolah siap untuk perjalanan jauh. Kael memandangnya dengan alis sedikit terangkat, matanya biru menangkap perubahan itu. “Apakah kau sudah menyangka kami akan setuju kau bergabung?” tanyanya, nadanya penuh perhitungan namun tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu. Lyra tersenyum tipis, matan
Malam membungkus Teluk Senja dalam selimut kegelapan yang dalam, hanya diselingi sinar bulan pucat yang menyelinap melalui awan tipis, memantulkan kilauan perak di atap-atap desa petualang yang berderit pelan tertiup angin. Di dalam rumah sederhana berdinding batu yang disediakan Lyra, nyala api kecil di perapian memancarkan cahaya keemasan lembut, membentuk bayangan panjang yang bergoyang di dinding retak seperti penari bisu. Aroma kayu bakar yang hangat bercampur dengan bau samar garam laut dan lumut kering, menciptakan suasana tenang namun penuh ketegangan. Kelompok Kael berkumpul mengelilingi meja kayu tua; kursi-kursi usang mengeluarkan bunyi gesekan halus saat mereka duduk. Sophia terlelap di sudut, tubuhnya yang berkilau samar terbaring di atas tikar jerami, napasnya pelan dan teratur sementara energi makhluk laut yang dilahapnya di teluk menyatu dalam wujudnya yang lentur, meninggalkan kilauan tipis seperti kristal di permukaannya. “Apakah kita benar-benar membiarkanny
Angin malam berdesir lembut di Teluk Senja, melepaskan aroma garam laut yang berpadu dengan asap ikan bakar dari perapian desa petualang yang terlihat jauh di kejauhan. Cahaya bulan yang lembut memantulkan sinarnya di permukaan air, menciptakan kilauan perak yang bergetar pelan seiring ombak kecil yang menyapu tepi dermaga. Lyra melangkah anggun di dek kapal mewahnya; rambut hitamnya terurai dari ikatan, melambai tertiup angin. Dengan gerakan tangan yang anggun, ia mengundang kelompok Kael menuju meja panjang yang megah di tengah dek. Sup ikan mengepul dalam mangkuk kristal; uapnya menyebarkan aroma rempah laut yang menggoda. Roti panggang keemasan tersusun rapi dalam keranjang anyaman, sementara buah-buahan segar—anggur ungu dan jeruk berkilau—tercermin di bawah cahaya lampu minyak yang bergoyang pelan, menggantung pada tiang-tiang kayu yang dipoles mengilap. Pelayan-pelayan berpakaian seragam hitam bergerak senyap, menyajikan piring dan sendok perak dengan ketepatan terampil. Dent
Kael berdiri di sudut restoran kecil di Nexus, tangannya menggenggam surat dari Lyra. Matanya yang biru menatap kelompoknya yang berkumpul di sekitar meja kayu usang. Kabut ketidakpastian tentang Aldos menyelimuti pikiran mereka—Profesor itu hilang, diselamatkan oleh sosok misterius dari Ordo Cahaya, namun jejaknya lenyap. “Aku rasa kita harus menemui Lyra,” kata Kael pelan, suaranya teguh. “Kami tak punya petunjuk tentang Aldos, dan dia mungkin tahu sesuatu.” Sarah mengangguk, jari-jarinya menyentuh mangkuk sup dingin. “Dia pernah membantu kita—aku setuju.” Murphy melirik kereta kristal maglev di kejauhan. “Lebih baik daripada kita berkeliaran tanpa arah.” Laila, sambil memeluk karung tempat Molly bersembunyi, mengangguk kecil. Getaran soniknya membentuk suara halus: “Ly… ra… bantu?” Keputusan diambil dengan cepat. Teluk Senja, dua puluh kilometer dari Nexus, bukan perjalanan singkat. Transportasi umum seperti kapal terbang sihir atau kereta kristal terlalu berisiko dengan mata-
Lorong rahasia di bawah Akademi Baseus membentang dalam kegelapan pekat, udara dingin bercampur aroma tanah basah dan batu tua menusuk hidung mereka seiring langkah hati-hati yang diambil. Cahaya samar dari lumut yang menempel di dinding kasar hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, meninggalkan cabang-cabang lorong dalam bayang-bayang yang tampak bergerak, seolah menyimpan rahasia yang enggan terucap. Kael berjalan di depan, mantel panjangnya bergoyang pelan tertiup angin bawah tanah. Tangannya tetap siaga di saku tempat Racun Tiga Mayat tersimpan, bersiap menghadapi ancaman yang bisa muncul kapan saja. Teknik Windstep yang dikuasainya membuat langkahnya nyaris tak bersuara, debu di lantai batu pun tak terusik. Di belakangnya, Sarah, Murphy, dan Laila mengikuti dengan langkah lebih berat. Derit pelan dari sepatu mereka bergema di lorong sempit itu. "Kita harus tetap waspada," bisik Kael, suaranya rendah namun tegas. "Ada kemungkinan kelompok lain bersembunyi di sini, menungg