Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 5: Jejak yang Hilang

Share

Bab 5: Jejak yang Hilang

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2024-12-30 16:31:18

Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.

Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.

“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”

Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka memaksakan kita masuk lebih dalam ke wilayah yang tidak dikenal.”

Sarah, yang berjalan di belakangnya dengan tangan tetap menggenggam Laila, menutup matanya sejenak untuk menggunakan Mata Sihirnya. Dalam ketenangan gelap yang mengelilinginya, ia bisa melihat sisa energi sihir yang mengambang di udara, seperti jejak kabur yang ditinggalkan para pengejar mereka, seolah setiap hembusan angin membawa pesan-pesan yang tak terucapkan.

“Kael,” panggil Sarah pelan, membuka mata sihirnya kembali. “Mereka belum menyerah. Aku bisa melihat jejak energi mereka… tapi arahnya tidak jelas. Entah mereka benar-benar mengejar kita, atau ini jebakan.” Suara Sarah bergetar sedikit, mencerminkan kecemasan yang mengintai di balik perkataannya.

Kael mengepalkan tangannya, merasakan ketegangan yang mencekam dalam hati. Jika mereka terus melanjutkan perjalanan tanpa arah yang pasti, mereka hanya akan menjadi sasaran empuk bagi musuh. Tetapi, berhenti juga bukan pilihan yang bijaksana.

Laila menarik ujung jubah Sarah, menunjuk ke tanah dengan ekspresi penuh konsentrasi. Dengan bahasa isyarat yang cepat, dia menyampaikan, “Ada jejak kaki di sana.”

Sarah langsung menerjemahkan dengan hati-hati. “Laila melihat sesuatu. Jejak kaki.”

Kael mendekat, memperhatikan jejak samar di atas tanah lembap. “Ini bukan jejak kita,” katanya setelah mengamati. “Terlalu besar. Mereka menggunakan monster pelacak.” Suaranya penuh dengan kepastian, tetapi juga sebuah ancaman yang menggelayuti pikiran mereka.

Murphy menghela napas berat, menggenggam pedangnya lebih erat, seolah-olah logam dingin itu dapat memberinya keberanian. “Tentu saja mereka tidak akan mempermudah kita.”

Mereka berkumpul di sekitar jejak itu, mencoba memutuskan langkah selanjutnya, hati mereka berdebar kencang dengan setiap detik yang berlalu.

“Kita tidak bisa kembali ke jalur utama,” kata Kael tegas, memandang ke arah hutan yang lebih gelap. “Tapi jika kita mengikuti jejak ini, itu bisa membawa kita lebih dekat pada musuh.”

“Atau mungkin malah menjauhkan kita dari mereka,” timpal Murphy skeptis. “Jika kita beruntung, jejak ini mengarah ke tempat mereka bermarkas sementara. Kita bisa mencari tahu rencana mereka sebelum mereka menemukan kita.”

Sarah mengerutkan kening, ragu dengan usulan itu. “Kael, kita membawa Laila. Apakah kita bisa mengambil risiko sebesar itu?” Suara Sarah dipenuhi oleh rasa khawatir yang mendalam, memikirkan ancaman yang bisa menanti mereka.

Kael menatap kedua adiknya, wajahnya terbagi antara rasa perlindungan dan kewajiban. Dia tahu Sarah benar. Laila mungkin menunjukkan keberaniannya sebelumnya, tetapi dia tetap seorang anak kecil yang harus dijaga agar aman.

Namun, sebelum Kael bisa menjawab, Laila yang penuh semangat menarik tangan Sarah dan membuat isyarat dengan kedua tangannya. “Aku tidak takut. Kita harus tahu apa yang mereka rencanakan. Kalau tidak, mereka akan terus mengejar.”

Sarah menghela napas panjang setelah menerjemahkan, dan jantungnya bergetar mendengar keteguhan Laila. “Dia mengatakan hal yang benar.”

Kael mengangguk perlahan, mengakui coretan keberanian dalam diri adik-adiknya. “Baiklah. Tapi jika kita menemukan sesuatu yang berbahaya, kita akan mundur. Aku tidak akan mempertaruhkan keselamatan kalian,” ujarnya dengan suara tegas, menegaskan komitmennya untuk menjaga mereka.

Jejak itu membawa mereka ke daerah yang lebih terbuka di tengah hutan. Pepohonan yang sebelumnya rapat mulai berkurang, digantikan oleh hamparan batu besar dan semak-semak liar, menciptakan petak-petak yang seolah bertentangan dengan ketertiban alam. Udara terasa lebih kering, dengan aroma samar belerang yang menusuk hidung, memicu rasa waspada yang lebih dalam.

Murphy berhenti mendadak, mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti. “Tunggu. Kalian dengar itu?”

Semua diam, mencoba menangkap setiap suara yang menderu, setiap bisikan hutan. Dari kejauhan, terdengar suara samar seperti dengungan rendah yang terus menerus, bukan suara binatang, melainkan sesuatu yang terasa tidak wajar, menandakan adanya kekuatan sesaat yang sedang berkumpul.

Kael menyipitkan matanya, berusaha merasakan energi sihir di sekitarnya. “Itu… portal kecil,” katanya akhirnya, merasakan ketegangan yang bergetar di udara. “Mereka mencoba membuka jalur komunikasi.”

Sarah menatap Kael, keinginan untuk bertindak menggila di dalam dirinya. “Kita harus menghentikan mereka.”

“Tunggu. Kita harus melihat apa yang mereka lakukan dulu,” kata Kael tegas, dengan ketenangan yang dipelajari. “Jika kita menyerang tanpa rencana, kita hanya akan mengekspos diri kita.”

Dengan langkah pelan, mereka bergerak lebih dekat ke arah suara itu. Kael memimpin dengan hati-hati, menggunakan teknik Windstep untuk memastikan langkahnya tidak menghasilkan suara, menciptakan kesenyapan yang telah lama tidak mereka rasakan. Sarah dan Laila bergerak di belakangnya, sementara Murphy menjaga sisi belakang kelompok, mengawasi setiap gerakan di sekeliling mereka.

Ketika mereka sampai di puncak bukit kecil, Kael memberi isyarat agar semua berhenti. Dia berlutut dan mengintip dari balik semak-semak. Di bawah mereka, sebuah area terbuka terlihat jelas, diterangi oleh cahaya biru pucat yang berdenyut dari lingkaran sihir besar yang diukir di tanah. Gambaran itu menancapkan rasa kekhawatiran yang mendalam di hati mereka.

Sekelompok penyihir berjubah hitam berdiri di sekitar lingkaran itu, melafalkan mantra dengan suara rendah, seperti nyanyian gelap yang memanggil kegelapan. Di tengah lingkaran, ada sebuah objek berbentuk bola kaca kecil yang memancarkan cahaya aneh, menggeliat dengan energi yang meresahkan.

“ Itu bola komunikasi,” bisik Kael keras dan jelas, merasakan bahaya yang mengintai. “Mereka menggunakan itu untuk melaporkan ke markas utama mereka.”

Murphy menatap objek itu dengan rahang terkatup, niat untuk menghancurkan semakin kuat dalam benaknya. “Kita harus menghancurkannya sebelum mereka selesai.”

“Tunggu,” kata Sarah tiba-tiba, matanya yang buta memancarkan warna ungu intens menatap lingkaran itu, seolah-olah memandang ke dimensi yang berbeda. “Mereka tidak hanya melaporkan sesuatu. Mereka juga memanggil sesuatu.”

Kael menahan napas, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”

Sarah menggigit bibirnya, ragu sejenak, seolah menarik kembali kata-katanya. “Aku bisa melihat… makhluk besar. Mereka mencoba membawa sesuatu ke sini. Tapi… aku tidak tahu apa itu.”

Kael mengepalkan tangannya, merasakan waktu melawan mereka. Jika Ordo Umbra berhasil membuka portal itu sepenuhnya, apa pun yang mereka panggil bisa menjadi ancaman besar, sebuah malapetaka yang sampai saat ini hanya bisa mereka bayangkan.

Kael berdiri perlahan, matanya memancarkan tekad yang membara. “Kita tidak bisa membiarkan mereka menyelesaikan ritual itu. Murphy, kau bersiap untuk menyerang mereka dari kanan. Sarah, Laila, tetap di sini. Jangan bergerak sampai aku memberi isyarat.”

“Tidak,” kata Sarah, suaranya penuh kepastian yang menggetarkan. “Aku bisa membantu dengan Mata Sihir. Jika mereka mencoba menyerang dari tempat lain, aku akan memperingatkanmu.”

Kael merasa perdebatan membara dalam dirinya, ingin membantah, tetapi dia tahu Sarah benar. Dia mengangguk dengan ragu. “Baik. Tapi jangan terlalu jauh dari Laila.”

Murphy mengangkat pedangnya, cahaya sihir emas menyelimuti bilahnya, menciptakan aura keberanian yang tak terlukiskan. “Kalau begitu, ayo kita tunjukkan pada mereka bahwa mereka memilih target yang salah.”

Kael mempersiapkan Racun Melemahkan di tangannya, momen ini menjadi jembatan antara ketakutan dan keberanian. Dengan satu gerakan, mereka meluncur ke bawah bukit, menuju pertempuran pertama mereka yang terencana melawan Ordo Umbra, dengan tekad dan harapan bersatu untuk mengatasi kegelapan yang membayangi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 10: Pertarungan di Desa Kecil

    Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 11: Perlawanan di Dalam Sumur

    Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 12: Bayang-Bayang di Pagi Hari

    Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d

    Last Updated : 2025-03-08
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 13: Bayang-Bayang di Jalan Raya

    Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men

    Last Updated : 2025-03-08

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

    Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 102 - Kabut, Racun, dan Jalan Baru

    "Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 101 — Hutan Labirin Racun

    Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 100 — Awan Gelap di Atas Vitrum

    Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 99 — Bayangan di Kota

    Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 98 – Harta Tersembunyi dan Bahaya di Balik Lorong

    Begitu pintu tersembunyi itu terbuka, pandangan mereka langsung disambut oleh pemandangan yang membuat napas tercekat. Di balik dinding batu yang tampak polos itu tersembunyi sebuah ruangan rahasia—penuh dengan bekalan yang ditumpuk tinggi, seolah-olah gudang ini sengaja dipersiapkan untuk menghadapi bencana besar. Murphy melangkah lebih dulu, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan harta karun. "Apa... semua ini... bekalan?" gumamnya penuh kekaguman, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Rak demi rak dipenuhi makanan kering, roti keras, daging asap, buah-buahan awet. Lebih dalam ke ruangan itu, barisan peti kayu besar tersusun rapi, masing-masing terisi potion beraneka warna, senjata dari logam berkualitas, serta perlengkapan perang—baju zirah, busur, anak panah, bahkan beberapa gulungan mantra. "Apakah ini milik Ordo Umbra?" bisik Murphy, suaranya bergetar antara takjub dan girang. "Kenapa mereka menyembunyikannya di tempat seperti ini?" Suaranya menggantung

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 97: Serangan Senyap dan Rahasia Tersembunyi

    Lorong rahasia itu menggigil dalam kegelapan. Dinding-dinding batu kasar, dingin dan basah, memantulkan gema langkah cepat Kael, Paman Peter, dan Lyra. Bau tanah lembap bercampur amis darah baru—sisa penjaga luar yang mereka tumbangkan—menguar, bercampur dengan kabut ungu ilusi yang membelai ujung lorong seperti hantu lapar. Di kejauhan, kapten Ordo Umbra berdiri terhuyung. Sosoknya tinggi, berjubah hitam seperti perwujudan malam, pedangnya berkilau redup dalam cahaya sihir. Matanya liar, terperangkap dalam labirin halusinasi yang menggerogoti nalar. Tiga anak buahnya, kehilangan kendali, saling menyerang membabi buta, dentang pedang mereka memekik di ruang sempit itu. Kael mengatupkan rahangnya, menarik napas pelan, lalu mengompresi sihir Racun Melemahkan di telapak tangannya. Mata birunya menyipit, fokus memburu detik yang tepat. “Paman, cek ujung lorong. Pastikan tak ada yang lain!” bisiknya. Suaranya tegas, tapi ada getar kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan. Paman Peter men

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 96: Serangan Senyap di Lorong Rahasia

    Hutan Eldoria terbungkus kegelapan malam, hanya suara raungan monster samar dan gemerisik dedaunan yang mengisi udara. Kabut tipis menyelimuti tanah, menyembunyikan langkah Kael, Paman Peter, dan Sophia saat luncur lendir Sophia meluncur diam, membawa mereka menuju bukit utara. Luncur itu, licin namun kokoh seperti ular hidup, bergerak tanpa suara, menghindari ranting dan batu dengan presisi. Kael berjongkok di depan, tangannya meremas kantong ruang, matanya biru memindai bayang-bayang, sihir racunnya berdengung pelan di nadinya. Paman Peter, jubahnya menyala samar oleh rune kamuflase, menatap ke depan, alisnya berkerut mengingat luka pedang bayang kemarin. Sophia, matanya merah berkilat di bawah tudung, mengendalikan luncur, bibirnya melengkung tipis, seolah menikmati ketegangan. Mereka berhenti di tepi bukit, bersembunyi di balik pohon raksasa yang akarnya menjalar seperti jaring. Di depan, mulut lorong rahasia—lubang batu tersembunyi di sisi bukit, ditutupi lumut dan rune samar—d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status