Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

Share

Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2024-12-30 16:28:06

Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.

Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga.

"Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di peta."

Kael meliriknya dari atas bahunya, mata birunya berkilau dalam kegelapan, dengan semburat hijau hitam dari sihirnya yang unik. "Karena jalur ini hanya digunakan dalam keadaan darurat. Ayahku pernah menunjukkan jalan ini dulu—jalur yang tidak akan pernah dicatat di buku mana pun. Tapi jangan berharap ada tanda yang mudah dikenali."

Murphy mengangguk kecil, meski masih gelisah. “Berarti kita juga tidak bisa memastikan apa yang menunggu di depan,” tambahnya, menunjukkan kekhawatiran mendalam.

Sarah berhenti sejenak di belakang mereka, menggenggam tangan Laila erat, lebih sebagai penghiburan daripada sekadar ikatan persaudaraan. Dia memejamkan mata, energi ungu memancar dari matanya saat dia memfokuskan kekuatan Mata Sihir untuk mencari ancaman di sekitar. Namun, yang dia lihat bukan bahaya langsung, melainkan kilasan masa lalu menghampirinya.

Dia melihat sosok wanita yang sangat ia cintai, ibunya, Eliana, berjalan tergesa-gesa di jalur yang sama, mata ibunya dipenuhi kecemasan dan tekad. Di sekelilingnya, hutan tampak lebih cerah, seolah alam menyambutnya. Eliana tampak tidak merasa terancam, berbeda dengan mereka saat ini. Namun, kilasan itu bergeser, sosok Eliana tertutup kabut, hingga hanya bayangannya yang tersisa, menggambarkan perjalanan pahit yang harus dihadapi.

Sarah membuka matanya dengan napas tertahan. “Kael,” panggilnya pelan namun tegas, berusaha tidak menambah ketegangan.

Kael menghentikan langkahnya, berbalik menantang tatapan Sarah. “Apa yang kau lihat?”

Sarah ragu sejenak, menimbang kata-katanya hati-hati. “Ibu pernah melewati jalur ini. Tapi… ada sesuatu yang salah. Kabut itu…” Dia menggigit bibirnya, tidak yakin bagaimana menyampaikan perasaan mendalam yang memenuhi jiwanya.

Kael mengangguk, matanya penuh konsentrasi. “Jika Ibu pernah melewati jalur ini, berarti ada sesuatu yang menunggu di depan. Kita harus bersiap.”

Murphy meraih pegangan pedangnya, energi sihir emas mulai memancar lebih jelas, pedangnya seolah menjadi perisai yang menyelimuti mereka. “Aku tidak suka kata ‘kabut’. Itu biasanya bukan pertanda baik.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, namun suasana hutan berubah. Udara semakin dingin, dan kabut menyelimuti lantai hutan, naik perlahan hingga mencapai lutut. Kabut terlihat aneh, seolah memiliki kehidupan sendiri, menyebar dengan cara yang tidak wajar dan angkuh.

“Ini aneh,” gumam Kael, wajahnya serius. Energi hijau kehitaman di sekelilingnya bercampur dengan cahaya ungu samar. “Kabut tidak seharusnya setebal ini di area ini. Seharusnya kita bisa melihat jalan… tanpa kabut ini.”

Sarah menatap kosong ke depan, tetapi kekuatan Mata Sihir-nya menangkap pergerakan tak wajar. Bayangan samar melintas di antara pepohonan, jauh lebih cepat daripada yang bisa ditangkap oleh mata normal, cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

“Kita tidak sendiri,” bisik Sarah, suaranya serak, seperti angin gemetar pada malam dingin, membuat semua berhenti sejenak, menghadapi ketidakpastian yang melingkupi mereka.

Kael memperhatikan sekeliling dengan seksama, tangannya siap membentuk Racun Melemahkan. Mereka harus bertindak cepat. “Sarah, kau lihat berapa banyak?” tanyanya.

Sarah menggeleng perlahan, kecemasan merayap di wajahnya. “Aku tidak yakin. Tapi mereka ada di mana-mana. Rasanya seolah kita dikelilingi,” jawabnya, suaranya mendesah penuh resah.

Murphy maju ke samping Kael, memegang pedangnya dengan kedua tangan, merasakan ketegangan menyelubungi mereka. “Ini bukan kabut biasa. Ini terasa seperti… sihir. Sihir jahat.”

Kael mengangguk setuju. “Ordo Umbra. Mereka sudah sampai di sini. Ini bukan kebetulan. Mereka ingin kita terjebak.”

Laila, yang selama ini menarik lengan Sarah, kini menunjukkan ketegasan tak biasa. Jari-jarinya bergerak cepat, menandakan betapa seriusnya situasi ini di pikirannya. "Kita harus pergi sekarang. Ini jebakan. Kita tidak bisa terus melawan berita buruk selamanya," katanya bergetar, mencurahkan pikiran yang terbawa oleh instingnya, sembari energi ungu samar mulai bergetar di sekelilingnya.

Sarah menerjemahkan dengan nada cemas, dan Kael segera memberikan anggukan tegas. “Ikuti aku. Jangan berpisah apapun yang terjadi, tidak peduli apa yang menghalangi kita,” instruksinya, menyadari ini bukan saatnya untuk ragu.

Ketika mereka bergerak maju dengan hati-hati, suara langkah lain terdengar samar di sekitar mereka. Bunyi langkah itu bukan langkah kaki mereka sendiri; suara berat dan teratur bergema di antara pepohonan.

“Kanan,” bisik Murphy tiba-tiba, matanya menangkap gerakan di sudut pandangnya. Mengayunkan pedangnya ke arah suara itu, siap menghadapi apapun yang mendekat. Namun, dia hanya mengenai udara kosong.

Kael merasakan tekanan energi sihir mendekat, mengisi kegelapan dengan kehadiran yang tidak menyenangkan. Dia memutar tubuhnya, melancarkan Racun Halusinasi ke udara, menciptakan kabut ungu bercampur kabut alami. Bayangan-bayangan di sekitar mereka menjadi kabur, seolah batas antara kenyataan dan ilusi mulai blur.

Namun serangan datang cepat. Sebuah panah sihir gelap melesat dari kabut, hampir mengenai Kael jika dia tidak segera melompat menggunakan Windstep, mendengar suara panah itu melesak ke belakangnya.

“Di depan!” seru Sarah, menunjuk ke arah kanan dengan keseriusan tak terduga, matanya bersinar dengan cahaya ungu, tanda kekuatan sihirnya.

Kael menangkap penglihatan dua sosok berjubah hitam muncul dari kabut, wajah mereka tersembunyi di balik topeng logam. “Ordo Umbra,” gumamnya, mengangkat tangan melancarkan Racun Melemahkan, sihir menghancurkan mengalir dari dalam dirinya.

Murphy menerjang salah satu dari mereka, pedangnya menyala dengan energi sihir emas yang membara. Pertarungan terjadi cepat, suara dentingan logam dan ledakan sihir menggema di antara kabut yang bergulung. Suara benturan logam, campuran erangan dan teriakan, memecah keheningan malam yang mencekam.

Namun, salah satu penyihir mendekati Sarah dan Laila. Dengan satu gerakan angkuh, dia mengayunkan gelombang energi gelap ke arah mereka.

Laila, yang sebelumnya bersembunyi di belakang Sarah, mendadak maju dengan keberanian yang tiba-tiba bersinar. Energi ungu samar bergetar di sekelilingnya saat dia membuka mulut, dan meskipun bisu, kekuatan soniknya muncul sebagai gelombang energi yang mengguncang udara. Serangan sihir penyihir meledak di udara, tubuhnya terlontar mundur oleh kekuatan Laila, membuat Sarah terperanjat.

Sarah memeluk Laila erat-erat, matanya melebar karena kagum dan terkejut sekaligus. “Kau hebat,” bisiknya, meskipun suaranya dipenuhi kecemasan, berusaha menembus rasa ketakutan dalam hati mereka.

Setelah pertempuran singkat, Kael dan Murphy berhasil mengalahkan para penyihir. Namun, kabut masih menyelimuti mereka, menandakan ancaman belum sepenuhnya hilang. Hawa dingin semakin menyengat, dan mereka tahu ini bukan akhir dari perjalanan.

“Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Murphy, menghela napas berat, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Mereka tahu kita ada di sini. Ini adalah permainan kucing dan tikus yang belum ada ujungnya.”

Kael mengangguk, matanya tetap tajam menatap jalan di depan. “Tidak ada waktu untuk berhenti. Sarah, Laila, tetap di belakangku. Murphy, kau jaga belakang. Kita tidak bisa mencari tahu betapa berbahayanya jalan ini lebih dalam lagi.”

Sarah mengangguk, sementara Laila menatap Kael dengan ekspresi penuh keyakinan, jari-jarinya bergerak perlahan menandakan kebersamaan mereka. "Kita akan baik-baik saja. Kami sudah melewati yang terburuk," ia berusaha menghibur mereka.

Kael membalas dengan senyuman kecil, meskipun dia tahu di dalam hatinya perjalanan ini akan semakin berbahaya seiring dengan kedalaman hutan.

Dengan langkah hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan melalui kabut, meninggalkan bayangan pertempuran di belakang. Di kejauhan, suara-suara aneh bergema, seperti bisikan menyeru lebih dalam ke jantung hutan misterius ini.

Dan Kael tahu, ini baru permulaan dari apa yang akan mereka hadapi. Kabut hanyalah bagian kecil dari ancaman besar yang menunggu di ujung jalan. Kegelapan mengintai, dan mereka harus bersatu untuk menghadapi apapun yang akan datang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 10: Pertarungan di Desa Kecil

    Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 11: Perlawanan di Dalam Sumur

    Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 12: Bayang-Bayang di Pagi Hari

    Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d

    Last Updated : 2025-03-08

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 92: Abu Monster dan Ledakan Hutan

    'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 91: Luncur Lendir dan Bebola Racun

    Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 90: Badai Monster dan Kepungan Wyvern

    Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 89: Lorong Batu dan Denyut Emas

    Kael berdiri di tepi dek, tangannya mencengkeram pagar kayu yang dingin, matanya biru menyipit menatap cahaya emas itu. “Terlalu mencurigakan untuk dilewatkan,” gumamnya, nadanya penuh kewaspadaan bercampur rasa ingin tahu. Tiba-tiba, Vale, elang Sarah, berkicau nyaring, sayapnya mengembang gelisah, cakarnya mencakar dek. Molly, tupai naga Laila, ikut bergerak, meloncat dari pundak Laila ke lantai, kicauannya cepat dan penuh semangat, seolah memanggil mereka ke gunung. Sarah berlutut di depan Molly, matanya ungu menyala samar saat sihirnya menangkap emosi hewan kecil itu. “Molly bilang… ada sesuatu di gunung yang bisa bantu pertumbuhan mereka,” katanya, alisnya terangkat kagum. “Vale juga merasa itu—sesuatu yang sangat berharga, langka.” Ia mengelus bulu Vale, yang menatap gunung dengan mata hijau penuh hasrat. Lyra menatap ke kejauhan, jari-jarinya memutar botol airnya yang memancarkan kilau samar. “Jika Molly dan Vale begitu bersemangat, itu bukan benda sembarangan,” katanya,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 88: Ledakan di Tapak dan Cahaya Wyvern

    Udara di tapak kapal terbang Vaelor membeku, raungan serigala raksasa mengguncang tanah. Bayang Tim Serigala Bayangan, berjubah putih dengan mata kuning menyala, mendekati dengan langkah predator. Kapal-kapal terbang lain di tapak—lambung kayu berukir rune, layar sihir berkilau—bergegas aktifkan mesin, suara dengung rune bercampur teriakan pedagang yang panik. Kelompok Kael, di dek kapal mereka, menahan napas, tangan mereka mencengkeram senjata atau jubah, mata terpaku pada sosok bertopeng menunggang serigala terdepan. Kael menarik napas, matanya biru menyipit menilai situasi. “Jangan panik,” katanya rendah, suaranya tegas meski jantungannya berdetak kencang. “Kita dalam penyamaran. Mereka tak mungkin tahu kita di sini begitu cepat.” Ia melirik kapten, yang masih gemetar di kemudi, dan teman-temannya, yang wajahnya pucat tapi berusaha tenang. Sarah mengangguk, matanya ungu berkilat penuh tekad. “Kael benar. Kita terlalu khawatir karena mereka musuh kita. Ayo bertindak normal, ik

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 87: Bayang Serigala di Tapak Terbang

    'Langit Luminus berkilau dengan semburat emas fajar, tapi di toko pedagang Wisp, udara terasa berat oleh rahasia. Kael menarik napas dalam saat sinar perak bebola sihir memudar dari pikirannya, meninggalkan lokasi peta kedua—rahasia kuno yang dilindungi kekuatan tak terlihat. Wisp, makhluk bunglon dengan kulit masih hijau pucat, menatap mereka dengan mata permata penuh rasa ingin tahu, tangannya gemetar menahan bola kaca yang kini retak halus. “Informasi itu… luar biasa,” gumamnya, suaranya serak, tapi ia tak bertanya lebih lanjut—aturan pedagang informasi mengikatnya. Kael mengangguk kaku, menyerahkan kantong koin sihir Lyra sebagai bayaran. “Terima kasih,” katanya singkat, matanya biru menyipit waspada. Ia menarik Sarah, yang matanya ungu masih menangkap sisa kaget Wisp, untuk segera pergi. “Ayo, kita tak boleh lama,” bisiknya, nadanya rendah. Keingintahuan Wisp terasa seperti bara yang bisa menyulut bahaya—jika makhluk itu tergoda menjual rahasia mereka, Ordo Cahaya atau Pemburu

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 86: Retakan Bebola Sihir

    Fajar menyapa kota pohon Luminus dengan semburat emas yang menari di kanopi zamrud, menerangi jalan-jalan kayu yang meliuk di dahan raksasa. Di restoran penginapan kanopi, aroma roti panggang dan teh daun perak memenuhi udara, bercampur dengan denting piring dan obrolan pelan tamu—elf dengan jubah sutra, kurcaci dengan palu di pinggang, dan manusia yang kagum pada keajaiban kota. Kelompok Kael duduk di meja sudut, menikmati telur bakar dengan rempah dan buah kristal yang manis, ketika pintu kayu berukir berderit terbuka. Alice melangkah masuk, gaun biru mudanya bergoyang pelan, wajahnya berseri namun ada sedikit kecemasan di mata cokelatnya. “Kalian masih di sini!” serunya, berjalan cepat ke meja mereka. “Aku menunggu di toko alkimia keluargaku sejak kemarin, tapi kalian tidak muncul. Jadi aku datang sendiri.” Nada suaranya penuh semangat, bercampur keluhan kecil yang membuat Murphy terkekeh sambil mengunyah roti. Lyra menurunkan cangkir tehnya, tersenyum hangat. “Maaf, Alice, k

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 85: Bayang Kenabian dan Segel Darah

    Restoran penginapan kanopi dipenuhi aroma sup jamur dan roti herbal, tapi udara di meja kelompok Kael terasa berat setelah bisik berita tentang penyihir kenabian. Cahaya lampu sihir yang mengambang di atas mereka berkedip pelan, mencerminkan ketegangan di wajah-wajah mereka. Penyihir kenabian—makhluk langka dengan mata yang bisa menembus kabut waktu, melihat masa lalu dan sekilas masa depan—adalah senjata mengerikan bagi kekuatan besar seperti Ordo Cahaya. Jika mereka menyelidiki lokasi pertempuran melawan Tim Serigala Bayangan, jejak kelompok Kael bisa terbongkar, meski samar. Kael menurunkan sendoknya, matanya biru menyipit penuh perhitungan. “Untungnya, kita memakai penyamaran saat itu,” katanya perlahan, suaranya rendah agar tak didengar meja lain. “Kejadian itu sudah lewat beberapa waktu—penyihir kenabian mungkin hanya melihat potongan buram. Itu memberi kita waktu sebelum mereka tahu siapa pelakunya.” Lyra mengangguk, jari-jarinya mencengkeram botol airnya erat, meski wajahny

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 84: Bisik Berita di Kota Pohon

    Pemandangan kota pohon Luminus menyapa kelompok Kael seperti lukisan hidup, penuh warna dan sihir yang tak pernah mereka bayangkan. Pohon raksasa di pusat kota menjulang bagai pilar langit, batangnya lebar seperti bukit, dahan-dahannya membentang luas bagai jaringan kanopi hijau zamrud. Bangunan-bangunan di atas dahan itu terlihat seperti anak pohon kecil, diukir dari kayu hidup dengan sihir alam, permukaannya berkilau lembut di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah daun. Jalan-jalan kayu meliuk di antara cabang, dihiasi tali-tali merambat berbunga yang memancarkan aroma manis. Di bawah, manusia, elf, dan kurcaci berjalan berdampingan—sosok elf dengan rambut sutra dan mata permata, kurcaci dengan janggut tebal dan palu di pinggang, serta manusia dengan ekspresi kagum seperti kelompok Kael sendiri. Kael bersandar di dinding gerbong, matanya biru melebar menatap pemandangan itu. “Ini… luar biasa,” gumamnya, suaranya penuh kekaguman bercampur kewaspadaan. Mereka tahu elf d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status