Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

Share

Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2024-12-30 16:28:06

Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.

Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga.

"Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di peta."

Kael meliriknya dari atas bahunya, mata birunya berkilau dalam kegelapan, dengan semburat hijau hitam dari sihirnya yang unik. "Karena jalur ini hanya digunakan dalam keadaan darurat. Ayahku pernah menunjukkan jalan ini dulu—jalur yang tidak akan pernah dicatat di buku mana pun. Tapi jangan berharap ada tanda yang mudah dikenali."

Murphy mengangguk kecil, meski masih gelisah. “Berarti kita juga tidak bisa memastikan apa yang menunggu di depan,” tambahnya, menunjukkan kekhawatiran mendalam.

Sarah berhenti sejenak di belakang mereka, menggenggam tangan Laila erat, lebih sebagai penghiburan daripada sekadar ikatan persaudaraan. Dia memejamkan mata, energi ungu memancar dari matanya saat dia memfokuskan kekuatan Mata Sihir untuk mencari ancaman di sekitar. Namun, yang dia lihat bukan bahaya langsung, melainkan kilasan masa lalu menghampirinya.

Dia melihat sosok wanita yang sangat ia cintai, ibunya, Eliana, berjalan tergesa-gesa di jalur yang sama, mata ibunya dipenuhi kecemasan dan tekad. Di sekelilingnya, hutan tampak lebih cerah, seolah alam menyambutnya. Eliana tampak tidak merasa terancam, berbeda dengan mereka saat ini. Namun, kilasan itu bergeser, sosok Eliana tertutup kabut, hingga hanya bayangannya yang tersisa, menggambarkan perjalanan pahit yang harus dihadapi.

Sarah membuka matanya dengan napas tertahan. “Kael,” panggilnya pelan namun tegas, berusaha tidak menambah ketegangan.

Kael menghentikan langkahnya, berbalik menantang tatapan Sarah. “Apa yang kau lihat?”

Sarah ragu sejenak, menimbang kata-katanya hati-hati. “Ibu pernah melewati jalur ini. Tapi… ada sesuatu yang salah. Kabut itu…” Dia menggigit bibirnya, tidak yakin bagaimana menyampaikan perasaan mendalam yang memenuhi jiwanya.

Kael mengangguk, matanya penuh konsentrasi. “Jika Ibu pernah melewati jalur ini, berarti ada sesuatu yang menunggu di depan. Kita harus bersiap.”

Murphy meraih pegangan pedangnya, energi sihir emas mulai memancar lebih jelas, pedangnya seolah menjadi perisai yang menyelimuti mereka. “Aku tidak suka kata ‘kabut’. Itu biasanya bukan pertanda baik.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, namun suasana hutan berubah. Udara semakin dingin, dan kabut menyelimuti lantai hutan, naik perlahan hingga mencapai lutut. Kabut terlihat aneh, seolah memiliki kehidupan sendiri, menyebar dengan cara yang tidak wajar dan angkuh.

“Ini aneh,” gumam Kael, wajahnya serius. Energi hijau kehitaman di sekelilingnya bercampur dengan cahaya ungu samar. “Kabut tidak seharusnya setebal ini di area ini. Seharusnya kita bisa melihat jalan… tanpa kabut ini.”

Sarah menatap kosong ke depan, tetapi kekuatan Mata Sihir-nya menangkap pergerakan tak wajar. Bayangan samar melintas di antara pepohonan, jauh lebih cepat daripada yang bisa ditangkap oleh mata normal, cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

“Kita tidak sendiri,” bisik Sarah, suaranya serak, seperti angin gemetar pada malam dingin, membuat semua berhenti sejenak, menghadapi ketidakpastian yang melingkupi mereka.

Kael memperhatikan sekeliling dengan seksama, tangannya siap membentuk Racun Melemahkan. Mereka harus bertindak cepat. “Sarah, kau lihat berapa banyak?” tanyanya.

Sarah menggeleng perlahan, kecemasan merayap di wajahnya. “Aku tidak yakin. Tapi mereka ada di mana-mana. Rasanya seolah kita dikelilingi,” jawabnya, suaranya mendesah penuh resah.

Murphy maju ke samping Kael, memegang pedangnya dengan kedua tangan, merasakan ketegangan menyelubungi mereka. “Ini bukan kabut biasa. Ini terasa seperti… sihir. Sihir jahat.”

Kael mengangguk setuju. “Ordo Umbra. Mereka sudah sampai di sini. Ini bukan kebetulan. Mereka ingin kita terjebak.”

Laila, yang selama ini menarik lengan Sarah, kini menunjukkan ketegasan tak biasa. Jari-jarinya bergerak cepat, menandakan betapa seriusnya situasi ini di pikirannya. "Kita harus pergi sekarang. Ini jebakan. Kita tidak bisa terus melawan berita buruk selamanya," katanya bergetar, mencurahkan pikiran yang terbawa oleh instingnya, sembari energi ungu samar mulai bergetar di sekelilingnya.

Sarah menerjemahkan dengan nada cemas, dan Kael segera memberikan anggukan tegas. “Ikuti aku. Jangan berpisah apapun yang terjadi, tidak peduli apa yang menghalangi kita,” instruksinya, menyadari ini bukan saatnya untuk ragu.

Ketika mereka bergerak maju dengan hati-hati, suara langkah lain terdengar samar di sekitar mereka. Bunyi langkah itu bukan langkah kaki mereka sendiri; suara berat dan teratur bergema di antara pepohonan.

“Kanan,” bisik Murphy tiba-tiba, matanya menangkap gerakan di sudut pandangnya. Mengayunkan pedangnya ke arah suara itu, siap menghadapi apapun yang mendekat. Namun, dia hanya mengenai udara kosong.

Kael merasakan tekanan energi sihir mendekat, mengisi kegelapan dengan kehadiran yang tidak menyenangkan. Dia memutar tubuhnya, melancarkan Racun Halusinasi ke udara, menciptakan kabut ungu bercampur kabut alami. Bayangan-bayangan di sekitar mereka menjadi kabur, seolah batas antara kenyataan dan ilusi mulai blur.

Namun serangan datang cepat. Sebuah panah sihir gelap melesat dari kabut, hampir mengenai Kael jika dia tidak segera melompat menggunakan Windstep, mendengar suara panah itu melesak ke belakangnya.

“Di depan!” seru Sarah, menunjuk ke arah kanan dengan keseriusan tak terduga, matanya bersinar dengan cahaya ungu, tanda kekuatan sihirnya.

Kael menangkap penglihatan dua sosok berjubah hitam muncul dari kabut, wajah mereka tersembunyi di balik topeng logam. “Ordo Umbra,” gumamnya, mengangkat tangan melancarkan Racun Melemahkan, sihir menghancurkan mengalir dari dalam dirinya.

Murphy menerjang salah satu dari mereka, pedangnya menyala dengan energi sihir emas yang membara. Pertarungan terjadi cepat, suara dentingan logam dan ledakan sihir menggema di antara kabut yang bergulung. Suara benturan logam, campuran erangan dan teriakan, memecah keheningan malam yang mencekam.

Namun, salah satu penyihir mendekati Sarah dan Laila. Dengan satu gerakan angkuh, dia mengayunkan gelombang energi gelap ke arah mereka.

Laila, yang sebelumnya bersembunyi di belakang Sarah, mendadak maju dengan keberanian yang tiba-tiba bersinar. Energi ungu samar bergetar di sekelilingnya saat dia membuka mulut, dan meskipun bisu, kekuatan soniknya muncul sebagai gelombang energi yang mengguncang udara. Serangan sihir penyihir meledak di udara, tubuhnya terlontar mundur oleh kekuatan Laila, membuat Sarah terperanjat.

Sarah memeluk Laila erat-erat, matanya melebar karena kagum dan terkejut sekaligus. “Kau hebat,” bisiknya, meskipun suaranya dipenuhi kecemasan, berusaha menembus rasa ketakutan dalam hati mereka.

Setelah pertempuran singkat, Kael dan Murphy berhasil mengalahkan para penyihir. Namun, kabut masih menyelimuti mereka, menandakan ancaman belum sepenuhnya hilang. Hawa dingin semakin menyengat, dan mereka tahu ini bukan akhir dari perjalanan.

“Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Murphy, menghela napas berat, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Mereka tahu kita ada di sini. Ini adalah permainan kucing dan tikus yang belum ada ujungnya.”

Kael mengangguk, matanya tetap tajam menatap jalan di depan. “Tidak ada waktu untuk berhenti. Sarah, Laila, tetap di belakangku. Murphy, kau jaga belakang. Kita tidak bisa mencari tahu betapa berbahayanya jalan ini lebih dalam lagi.”

Sarah mengangguk, sementara Laila menatap Kael dengan ekspresi penuh keyakinan, jari-jarinya bergerak perlahan menandakan kebersamaan mereka. "Kita akan baik-baik saja. Kami sudah melewati yang terburuk," ia berusaha menghibur mereka.

Kael membalas dengan senyuman kecil, meskipun dia tahu di dalam hatinya perjalanan ini akan semakin berbahaya seiring dengan kedalaman hutan.

Dengan langkah hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan melalui kabut, meninggalkan bayangan pertempuran di belakang. Di kejauhan, suara-suara aneh bergema, seperti bisikan menyeru lebih dalam ke jantung hutan misterius ini.

Dan Kael tahu, ini baru permulaan dari apa yang akan mereka hadapi. Kabut hanyalah bagian kecil dari ancaman besar yang menunggu di ujung jalan. Kegelapan mengintai, dan mereka harus bersatu untuk menghadapi apapun yang akan datang.

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

    Last Updated : 2025-03-05
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

    Last Updated : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

    Last Updated : 2024-12-30

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status