Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.
Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos. Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian yang dipenuhi ancaman. Desisan angin seolah berbisik tentang bahaya yang mengintai, sementara jeritan binatang liar yang terdengar dari kejauhan menambah nuansa mencekam di sekitar mereka. "Kita harus terus bergerak," ujar Kael pelan, suaranya nyaris seperti bisikan namun penuh ketegasan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang bergejolak di dalam hati. "Ordo Umbra mungkin masih melacak kita." Sarah mengangguk tanpa kata, matanya tajam menyapu ke sekeliling. Iris ungunya menangkap kilasan energi gelap yang menjalar di udara, menandakan bahwa para pengejar belum menyerah. Sekilas kepanikan meluap dalam dirinya, tetapi dia berusaha menyembunyikannya, menampilkan ketenangan demi adiknya. "Mereka semakin dekat?" Laila bertanya dalam bahasa isyarat, wajahnya tegang, menunjukkan ketidakpastian yang menyelimuti hati mereka. Sarah menjawab dengan isyarat tangan yang tenang. "Tidak terlalu dekat, tetapi kita tidak bisa berhenti." Kael memperhatikan interaksi mereka sejenak sebelum kembali fokus pada jalan yang berkelok di depan. Ia tahu Laila terlalu muda untuk menghadapi semua ini, dan hatinya terasa berat melihat beban yang harus dipikul oleh gadis kecil itu. Namun, tidak ada pilihan lain. Mereka hanya memiliki satu tujuan: mencapai Akademi Baseus, tempat di mana Profesor Aldos mungkin bisa memberikan jawaban tentang Batu Sihir yang mereka cari. Malam semakin larut, dan hutan menjadi semakin gelap, seolah menelan cahaya yang tersisa. Kael merasa perlu untuk beristirahat sejenak. Dia menghentikan langkahnya dan memilih sebuah pohon besar dengan dahan-dahan tebal yang melindungi mereka. "Kita istirahat sebentar di sini," katanya berusaha terdengar meyakinkan, menjadi pelindung bagi dua perempuan di sampingnya. Sarah menghela napas panjang, lelah setelah berlari tanpa henti. Dia duduk bersandar pada batang pohon, merasakan getaran dingin mulai merayap masuk ke dalam tulangnya. Laila ikut duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar karena kedinginan yang menyelimutinya. Kael, merasakan kebutuhan untuk melindungi, melepas jubahnya dan dengan lembut membungkus tubuh Laila, berlutut di hadapannya, mencoba menyalurkan kehangatan. "Kau harus tetap hangat," katanya pelan, suara lembutnya mencairkan ketegangan yang ada. Laila mengangguk kecil, yang tampak berarti baginya, memberikan senyuman tipis meski terlihat lemah. Dia mengetukkan jarinya di tanah, membentuk kata dalam bahasa isyarat. "Kau lelah juga." Kael hanya bisa tersenyum samar, mengacak rambut Laila dengan lembut sebelum berdiri lagi. "Aku tidak apa-apa," ujarnya singkat, meskipun tubuhnya sendiri merasa berat dan lelah. Sarah menatap Kael dengan mata ungunya yang berkilau. "Kael, kau tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Mereka tidak akan berhenti mengejar." "Aku tahu," jawab Kael sambil menatap kegelapan hutan yang menyelubungi mereka. "Tapi kita harus bertahan. Kita tidak punya pilihan lain." Suara ranting patah terdengar dari kejauhan, membawa ketegangan baru ke dalam suasana. Kael langsung berdiri, tubuhnya tegang. Ia mengangkat tangannya, memfokuskan energi untuk merasakan kehadiran di sekitar mereka, merasakan setiap denyut jantung yang berdetak dalam bayang-bayang malam. "Ada yang datang," katanya pelan, suaranya terdengar penuh kewaspadaan. Sarah menutup matanya, kekuatan Mata Sihirnya menjangkau lebih jauh, mencoba menangkap keberadaan yang mendekat. "Mereka bukan dari Ordo Umbra," katanya ragu dengan nada rendah, "tetapi aku tidak yakin siapa mereka." Kael mempersiapkan diri, tangannya mulai membentuk lingkaran hijau kehitaman, bersiap untuk melindungi mereka. "Apa pun itu, kita tidak akan mengambil risiko." Dari balik kegelapan, sesosok bayangan besar muncul. Kael mengarahkan sihirnya, siap menyerang pada saat yang tidak terduga, tetapi suara yang dikenalnya menghentikannya. "Kael! Tunggu!" "Murphy?" Kael terkejut, mengenali suara itu. Murphy, dengan tubuh kekarnya yang lelah, berdiri di sana, napasnya terengah-engah. Pakaian murid Akademi Baseus yang dikenakannya tampak kotor dan sobek, menandakan perjuangan yang dilaluinya. "Syukurlah aku menemukan kalian," kata Murphy dengan lega, memberikan harapan baru dalam situasi yang kritis. "Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa menemukanku?" tanya Kael, sorot matanya penuh curiga, tanda keanehan yang menggelayut di benaknya. Murphy mendekat, wajahnya kotor tetapi penuh tekad. "Ordo Umbra sedang mengejar kalian, bukan? Aku menduga kalian dalam bahaya, jadi aku berusaha mencarimu." "Bagaimana kau tahu mereka mengejarku?" tanya Kael lebih lanjut, penasaran bagaimana informasi itu bisa tersebar. Murphy menghela napas panjang, menyentuh kepalanya yang lelah. "Aku punya masalah sendiri dengan Ordo Umbra. Setelah penyelidikanku, aku menemukan sesuatu... sesuatu yang besar. Dan mereka tidak menyukainya." "Apa yang kau temukan?" Kael menuntut, rasa ingin tahunya semakin mendalam. Murphy duduk di tanah, mengusap wajahnya dengan tangan yang lelah. "Ordo Umbra sedang mencari sebuah artefak kuno. Mereka menyebutnya Batu Sihir. Dari yang kudengar, benda itu punya kekuatan untuk menghancurkan keseimbangan sihir di Aethel." Batu Sihir. Kata-kata itu terdengar tidak asing sekaligus mengerikan bagi Kael. Semuanya kini menjadi lebih berbahaya dari yang mereka duga, jaring-jaring kengerian mengeluarkan sinyal bahaya. "Mereka tahu di mana itu?" tanya Kael dengan nada tegas. Murphy menggelengkan kepala, wajahnya suram saat menjawab. "Belum. Tetapi mereka tahu seseorang yang mungkin punya petunjuk—Profesor Aldos." Sarah berbicara dengan tenang, iris ungunya berkilat dalam kegelapan, menangkap esensi pengetahuan yang dimiliki. "Kalau begitu, kita harus pergi ke Akademi Baseus." Kael mengangguk, seolah hal itu sudah ditentukan. "Itu tujuan kita sejak awal. Tetapi dengan apa yang Murphy katakan, kita harus lebih berhati-hati." Murphy berdiri, menepuk debu dari pakaiannya dan menunjukkan senyum yang penuh keberanian. "Aku akan ikut dengan kalian. Kita lebih kuat bersama." "Kalau begitu, kita harus bergerak sekarang," kata Kael, menyadari waktu yang terus berjalan. Dengan Murphy di sisi mereka, kelompok kecil itu kembali bergerak, menyusuri lorong-lorong hutan yang semakin menyeramkan. Di kejauhan, bayangan-bayangan masih mengejar, tetapi kini mereka memiliki secercah harapan dan kekuatan baru. Dalam hati mereka dipenuhi dengan tekad untuk bertahan, berjuang melawan segala ancaman yang mengintai. Dalam perjalanan ini, mereka berharap tidak hanya menemukan jawaban tentang Batu Sihir, tetapi juga menemukan kekuatan dalam diri mereka masing-masing, yang tersembunyi di balik ketakutan dan ketidakpastian.Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di
Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka
Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh
Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget
Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti
Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo
Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu
'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc
Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila
Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu
Kael berdiri di tepi dek, tangannya mencengkeram pagar kayu yang dingin, matanya biru menyipit menatap cahaya emas itu. “Terlalu mencurigakan untuk dilewatkan,” gumamnya, nadanya penuh kewaspadaan bercampur rasa ingin tahu. Tiba-tiba, Vale, elang Sarah, berkicau nyaring, sayapnya mengembang gelisah, cakarnya mencakar dek. Molly, tupai naga Laila, ikut bergerak, meloncat dari pundak Laila ke lantai, kicauannya cepat dan penuh semangat, seolah memanggil mereka ke gunung. Sarah berlutut di depan Molly, matanya ungu menyala samar saat sihirnya menangkap emosi hewan kecil itu. “Molly bilang… ada sesuatu di gunung yang bisa bantu pertumbuhan mereka,” katanya, alisnya terangkat kagum. “Vale juga merasa itu—sesuatu yang sangat berharga, langka.” Ia mengelus bulu Vale, yang menatap gunung dengan mata hijau penuh hasrat. Lyra menatap ke kejauhan, jari-jarinya memutar botol airnya yang memancarkan kilau samar. “Jika Molly dan Vale begitu bersemangat, itu bukan benda sembarangan,” katanya,
Udara di tapak kapal terbang Vaelor membeku, raungan serigala raksasa mengguncang tanah. Bayang Tim Serigala Bayangan, berjubah putih dengan mata kuning menyala, mendekati dengan langkah predator. Kapal-kapal terbang lain di tapak—lambung kayu berukir rune, layar sihir berkilau—bergegas aktifkan mesin, suara dengung rune bercampur teriakan pedagang yang panik. Kelompok Kael, di dek kapal mereka, menahan napas, tangan mereka mencengkeram senjata atau jubah, mata terpaku pada sosok bertopeng menunggang serigala terdepan. Kael menarik napas, matanya biru menyipit menilai situasi. “Jangan panik,” katanya rendah, suaranya tegas meski jantungannya berdetak kencang. “Kita dalam penyamaran. Mereka tak mungkin tahu kita di sini begitu cepat.” Ia melirik kapten, yang masih gemetar di kemudi, dan teman-temannya, yang wajahnya pucat tapi berusaha tenang. Sarah mengangguk, matanya ungu berkilat penuh tekad. “Kael benar. Kita terlalu khawatir karena mereka musuh kita. Ayo bertindak normal, ik
'Langit Luminus berkilau dengan semburat emas fajar, tapi di toko pedagang Wisp, udara terasa berat oleh rahasia. Kael menarik napas dalam saat sinar perak bebola sihir memudar dari pikirannya, meninggalkan lokasi peta kedua—rahasia kuno yang dilindungi kekuatan tak terlihat. Wisp, makhluk bunglon dengan kulit masih hijau pucat, menatap mereka dengan mata permata penuh rasa ingin tahu, tangannya gemetar menahan bola kaca yang kini retak halus. “Informasi itu… luar biasa,” gumamnya, suaranya serak, tapi ia tak bertanya lebih lanjut—aturan pedagang informasi mengikatnya. Kael mengangguk kaku, menyerahkan kantong koin sihir Lyra sebagai bayaran. “Terima kasih,” katanya singkat, matanya biru menyipit waspada. Ia menarik Sarah, yang matanya ungu masih menangkap sisa kaget Wisp, untuk segera pergi. “Ayo, kita tak boleh lama,” bisiknya, nadanya rendah. Keingintahuan Wisp terasa seperti bara yang bisa menyulut bahaya—jika makhluk itu tergoda menjual rahasia mereka, Ordo Cahaya atau Pemburu
Fajar menyapa kota pohon Luminus dengan semburat emas yang menari di kanopi zamrud, menerangi jalan-jalan kayu yang meliuk di dahan raksasa. Di restoran penginapan kanopi, aroma roti panggang dan teh daun perak memenuhi udara, bercampur dengan denting piring dan obrolan pelan tamu—elf dengan jubah sutra, kurcaci dengan palu di pinggang, dan manusia yang kagum pada keajaiban kota. Kelompok Kael duduk di meja sudut, menikmati telur bakar dengan rempah dan buah kristal yang manis, ketika pintu kayu berukir berderit terbuka. Alice melangkah masuk, gaun biru mudanya bergoyang pelan, wajahnya berseri namun ada sedikit kecemasan di mata cokelatnya. “Kalian masih di sini!” serunya, berjalan cepat ke meja mereka. “Aku menunggu di toko alkimia keluargaku sejak kemarin, tapi kalian tidak muncul. Jadi aku datang sendiri.” Nada suaranya penuh semangat, bercampur keluhan kecil yang membuat Murphy terkekeh sambil mengunyah roti. Lyra menurunkan cangkir tehnya, tersenyum hangat. “Maaf, Alice, k
Restoran penginapan kanopi dipenuhi aroma sup jamur dan roti herbal, tapi udara di meja kelompok Kael terasa berat setelah bisik berita tentang penyihir kenabian. Cahaya lampu sihir yang mengambang di atas mereka berkedip pelan, mencerminkan ketegangan di wajah-wajah mereka. Penyihir kenabian—makhluk langka dengan mata yang bisa menembus kabut waktu, melihat masa lalu dan sekilas masa depan—adalah senjata mengerikan bagi kekuatan besar seperti Ordo Cahaya. Jika mereka menyelidiki lokasi pertempuran melawan Tim Serigala Bayangan, jejak kelompok Kael bisa terbongkar, meski samar. Kael menurunkan sendoknya, matanya biru menyipit penuh perhitungan. “Untungnya, kita memakai penyamaran saat itu,” katanya perlahan, suaranya rendah agar tak didengar meja lain. “Kejadian itu sudah lewat beberapa waktu—penyihir kenabian mungkin hanya melihat potongan buram. Itu memberi kita waktu sebelum mereka tahu siapa pelakunya.” Lyra mengangguk, jari-jarinya mencengkeram botol airnya erat, meski wajahny
Pemandangan kota pohon Luminus menyapa kelompok Kael seperti lukisan hidup, penuh warna dan sihir yang tak pernah mereka bayangkan. Pohon raksasa di pusat kota menjulang bagai pilar langit, batangnya lebar seperti bukit, dahan-dahannya membentang luas bagai jaringan kanopi hijau zamrud. Bangunan-bangunan di atas dahan itu terlihat seperti anak pohon kecil, diukir dari kayu hidup dengan sihir alam, permukaannya berkilau lembut di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah daun. Jalan-jalan kayu meliuk di antara cabang, dihiasi tali-tali merambat berbunga yang memancarkan aroma manis. Di bawah, manusia, elf, dan kurcaci berjalan berdampingan—sosok elf dengan rambut sutra dan mata permata, kurcaci dengan janggut tebal dan palu di pinggang, serta manusia dengan ekspresi kagum seperti kelompok Kael sendiri. Kael bersandar di dinding gerbong, matanya biru melebar menatap pemandangan itu. “Ini… luar biasa,” gumamnya, suaranya penuh kekaguman bercampur kewaspadaan. Mereka tahu elf d