Beranda / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 7: Jejak Masa Lalu

Share

Bab 7: Jejak Masa Lalu

Penulis: Pok Jang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-05 12:28:12

Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami.

Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra?

“Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya bergetar penuh kesakitan.

Kael melirik ke belakang, merasakan beban di hatinya untuk semua orang. Ia mengangguk. “Baik. Tapi tidak lama. Mereka mungkin masih ada di sekitar.” Dalam hati, Kael merasa harus melindungi semua orang di dekatnya, menjaga mereka dari ancaman yang mungkin tetap memburu mereka.

Sarah bergegas membantu Murphy, membantunya duduk di atas akar pohon besar yang membentuk kursi alami, dikelilingi lapisan lumut dan dedaunan lembab. Sementara itu, Laila dengan sigap membuka tas kecil yang selalu dia bawa, merogoh ke dalamnya untuk mencari ramuan sederhana yang bisa membantu menyembuhkan luka Murphy. Gerakannya cepat dan terampil, mencampurkan ramuan untuk menghentikan pendarahan, meski tidak banyak bicara—ia lebih memilih beraksi daripada berbicara.

Murphy tersenyum lemah ke arah Laila, meski rasa sakit masih tampak di wajahnya. “Kalau aku punya adik sepertimu, mungkin aku bisa selamat lebih sering.”

Laila hanya tersenyum kecil, tangannya tetap sibuk mengolah ramuan. Dia menoleh ke Sarah, mengisyaratkan sesuatu dengan tangan yang gesit. Sarah, yang lebih terbiasa dengan bahasa tubuh Laila, menerjemahkan dengan suara lembut, “Laila bilang kau harus lebih hati-hati. Kami tidak selalu bisa menyelamatkanmu.”

Murphy tertawa kecil, meski kesakitan masih membayangi wajahnya. “Pesan diterima. Aku akan berusaha lebih berhati-hati,” ucapnya bertekad, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri.

Kael menjauh sedikit, berusaha mencari tempat untuk mengawasi sekeliling mereka. Ia mendongak, memandangi pohon-pohon besar yang menjulang seperti raksasa diam yang menjaga hutan. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke hari-hari sebelum semuanya menjadi rumit dan berbahaya.

Ia ingat ayahnya, Jarvis Aethel, seorang pemburu mahir yang selalu memimpin mereka melewati jalur tersembunyi di hutan ini. Jarvis selalu tenang, suaranya berat dan dapat memberikan rasa aman kepada anak-anaknya. Dia mengajarkan Kael cara membaca jejak, mengenali tanda bahaya, dan menggunakan hutan sebagai perlindungan dari ancaman.

“Kau tidak hanya bersembunyi, Kael,” suara Jarvis terngiang dalam ingatannya, tegas penuh percaya diri. “Kau belajar menjadi bayangan yang tidak bisa disentuh musuh, pelajari cara mengalahkan mereka dengan kecerdikan.”

Namun, kenangan itu tiba-tiba berubah gelap. Ia ingat malam ketika ayahnya pergi, meninggalkan mereka dengan janji bahwa ia akan kembali dengan solusi untuk penyakit ibunya. Kenyataan berbicara lain; Jarvis tidak pernah kembali. Desingan angin dan suara ranting patah seolah mengingatkan akan kehilangan itu, bergetar dalam hatinya.

Kael mengepalkan tangannya, merasakan kemarahan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia tidak tahu apakah ayahnya masih hidup, tetapi satu hal pasti: jawabannya ada di Batu Sihir, artefak misterius yang menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran dan rahasia terpendam.

Sarah mendekat, membuyarkan lamunan Kael dengan lembut. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya ramah namun menyiratkan kekhawatiran.

Kael mengangguk singkat, meski dalam hatinya merasa hampa. “Aku hanya memikirkan... ayah,” jawabnya, suaranya dipenuhi kesedihan.

Sarah mengangguk, meski wajahnya tetap tenang. “Aku juga sering memikirkannya. Tetapi sekarang kita harus fokus. Ritual itu—aku melihat sesuatu melalui Mata Sihir.” Ia menatap Kael, berusaha mencari cara untuk membangkitkan kewaspadaan mereka.

Kael menoleh, alisnya terangkat penuh rasa ingin tahu. “Apa yang kau lihat?” tanyanya, suaranya penuh ketegangan.

Sarah menutup matanya sejenak, mencoba mengingat dengan jelas. “Makhluk yang mereka coba panggil. Itu besar, seperti monster dari dimensi lain. Tapi ada yang aneh. Aku merasa seperti... ada sesuatu yang familiar tentang energinya,” jawabnya pelan, seakan masih menggali ingatan tersebut.

“Familiar?” Kael mengerutkan kening, ketakutan bercampur rasa curiga. “Maksudmu apa?”

“Aku tidak tahu,” jawab Sarah, membuka matanya kembali. “Tapi rasanya seperti energi itu... memiliki koneksi dengan Ordo Umbra. Aku tidak yakin bagaimana, tetapi aku merasa kita semakin dekat dengan sesuatu yang penting.” Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, seakan intuisi ini bukan sekadar ilusi.

Setelah beberapa saat, Murphy berdiri dengan susah payah, meski masih terlihat lemah. “Aku siap melanjutkan. Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujarnya dengan napas terengah-engah. Semangat juangnya tak pernah pudar, meski luka-lukanya masih membayangi wajahnya.

Kael mengangguk, lalu memandang Sarah dan Laila. “Kita harus menemukan jalur menuju Akademi Baseus. Professor Aldos mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Ia merasa terdesak untuk mendapatkan jawaban, meski setiap langkah membawa risiko yang tak terduga.

“Kalau begitu kita harus bergegas,” kata Sarah. “Jika Ordo Umbra tahu kita menuju ke sana, mereka tidak akan tinggal diam.” Waktu semakin mendesak, dan keputusan harus diambil dengan cepat dan bijaksana.

Dengan semangat baru yang mengalir, mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti jalur sempit di antara pepohonan yang rapat. Namun, dalam hati Kael, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka diawasi. Bayangan kegelapan menyelimuti mereka, menciptakan rasa tidak aman yang semakin mendalam.

“Kael,” panggil Murphy pelan, suaranya membuat Kael terhenti.

Kael berhenti, menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyanya, merasakan adanya sesuatu yang mengganggu.

Murphy menunjuk ke tanah dengan teliti. Jejak kaki besar terlihat di atas tanah lembap, jejak itu terlalu besar untuk manusia biasa, dan ukurannya menunjukkan bahwa makhluk yang membuatnya bukanlah makhluk jinak. Itu seakan memberikan gambaran gelap tentang apa yang telah mereka hadapi.

“Mereka sudah memanggil sesuatu,” kata Murphy, suaranya suram. Kael merasakan ketegangan di dalam dadanya meningkat, seolah terperangkap dalam lingkaran ancaman yang semakin kuat.

Kael menatap jejak itu, rahangnya mengeras. “Kita harus terus bergerak. Dan kali ini, kita harus lebih hati-hati.” Itu bukan sekadar perintah, tetapi janji untuk melindungi teman-temannya.

Langit mulai mendung, menciptakan suasana yang semakin kelam. Hutan menjadi lebih sunyi, seolah semua makhluk hidup memilih bersembunyi dari ancaman yang tidak terlihat. Sarah yang berjalan di belakang mendadak berhenti sejenak, matanya yang buta menatap lurus ke depan, berusaha menangkap apa yang tidak bisa dilihat oleh yang lain.

“Sarah?” panggil Kael, memperhatikan perubahan sikapnya.

Sarah menggeleng pelan, mengikuti intuisi yang lebih tajam daripada yang lain. “Aku... merasakan sesuatu. Energi gelap. Itu bukan dari Ordo Umbra,” ujarnya, suaranya tenang namun tegang.

Laila mendekat ke Sarah, gerakannya lincah. "Apa itu?" tanyanya dengan bahasa isyarat, penuh rasa ingin tahu.

Sarah menggenggam tangan Laila dengan lembut, suaranya rendang saat dia berkata, “Aku tidak tahu. Tapi itu besar, dan itu mendekat.” Matanya terpaku ke arah hutan, seolah tertarik pada sesuatu yang lebih gelap.

Kael melangkah mundur, mendekati mereka dengan kekhawatiran. “Semuanya tetap bersama. Kita tidak boleh ceroboh.”

Murphy, tak mau ketinggalan, menghunus pedangnya, matanya memindai sekitar. “Apa pun itu, kita harus siap. Kalau mereka memanggil monster, itu pasti bukan sesuatu yang bisa kita abaikan.” Keberanian yang terpancar tetap menyala meskipun rasa takut menghampiri mereka.

Dengan napas tertahan dan semua indera waspada, mereka melanjutkan perjalanan, menyadari ancaman yang mungkin hanya beberapa langkah di depan. Hutan purba ini, dengan segala misterinya, menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa mereka bayangkan. Dan mereka harus siap menghadapi apapun yang datang berikutnya.

Bab terkait

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05

Bab terbaru

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 9: Aura Kegelapan yang Mendekati Desa

    Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 8: Desa Yang Diselimuti Kegelapan

    Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 7: Jejak Masa Lalu

    Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 6: Pertempuran di Lingkaran Sihir

    Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 5: Jejak yang Hilang

    Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 4: Jalan Tanpa Kembali

    Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 3: Pelarian ke Hutan

    Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 2: Pengejaran Ordo Umbra

    Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 1: Kegelapan yang Menyelubungi

    Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status