Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami.
Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya bergetar penuh kesakitan. Kael melirik ke belakang, merasakan beban di hatinya untuk semua orang. Ia mengangguk. “Baik. Tapi tidak lama. Mereka mungkin masih ada di sekitar.” Dalam hati, Kael merasa harus melindungi semua orang di dekatnya, menjaga mereka dari ancaman yang mungkin tetap memburu mereka. Sarah bergegas membantu Murphy, membantunya duduk di atas akar pohon besar yang membentuk kursi alami, dikelilingi lapisan lumut dan dedaunan lembab. Sementara itu, Laila dengan sigap membuka tas kecil yang selalu dia bawa, merogoh ke dalamnya untuk mencari ramuan sederhana yang bisa membantu menyembuhkan luka Murphy. Gerakannya cepat dan terampil, mencampurkan ramuan untuk menghentikan pendarahan, meski tidak banyak bicara—ia lebih memilih beraksi daripada berbicara. Murphy tersenyum lemah ke arah Laila, meski rasa sakit masih tampak di wajahnya. “Kalau aku punya adik sepertimu, mungkin aku bisa selamat lebih sering.” Laila hanya tersenyum kecil, tangannya tetap sibuk mengolah ramuan. Dia menoleh ke Sarah, mengisyaratkan sesuatu dengan tangan yang gesit. Sarah, yang lebih terbiasa dengan bahasa tubuh Laila, menerjemahkan dengan suara lembut, “Laila bilang kau harus lebih hati-hati. Kami tidak selalu bisa menyelamatkanmu.” Murphy tertawa kecil, meski kesakitan masih membayangi wajahnya. “Pesan diterima. Aku akan berusaha lebih berhati-hati,” ucapnya bertekad, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri. Kael menjauh sedikit, berusaha mencari tempat untuk mengawasi sekeliling mereka. Ia mendongak, memandangi pohon-pohon besar yang menjulang seperti raksasa diam yang menjaga hutan. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke hari-hari sebelum semuanya menjadi rumit dan berbahaya. Ia ingat ayahnya, Jarvis Aethel, seorang pemburu mahir yang selalu memimpin mereka melewati jalur tersembunyi di hutan ini. Jarvis selalu tenang, suaranya berat dan dapat memberikan rasa aman kepada anak-anaknya. Dia mengajarkan Kael cara membaca jejak, mengenali tanda bahaya, dan menggunakan hutan sebagai perlindungan dari ancaman. “Kau tidak hanya bersembunyi, Kael,” suara Jarvis terngiang dalam ingatannya, tegas penuh percaya diri. “Kau belajar menjadi bayangan yang tidak bisa disentuh musuh, pelajari cara mengalahkan mereka dengan kecerdikan.” Namun, kenangan itu tiba-tiba berubah gelap. Ia ingat malam ketika ayahnya pergi, meninggalkan mereka dengan janji bahwa ia akan kembali dengan solusi untuk penyakit ibunya. Kenyataan berbicara lain; Jarvis tidak pernah kembali. Desingan angin dan suara ranting patah seolah mengingatkan akan kehilangan itu, bergetar dalam hatinya. Kael mengepalkan tangannya, merasakan kemarahan dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia tidak tahu apakah ayahnya masih hidup, tetapi satu hal pasti: jawabannya ada di Batu Sihir, artefak misterius yang menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran dan rahasia terpendam. Sarah mendekat, membuyarkan lamunan Kael dengan lembut. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya ramah namun menyiratkan kekhawatiran. Kael mengangguk singkat, meski dalam hatinya merasa hampa. “Aku hanya memikirkan... ayah,” jawabnya, suaranya dipenuhi kesedihan. Sarah mengangguk, meski wajahnya tetap tenang. “Aku juga sering memikirkannya. Tetapi sekarang kita harus fokus. Ritual itu—aku melihat sesuatu melalui Mata Sihir.” Ia menatap Kael, berusaha mencari cara untuk membangkitkan kewaspadaan mereka. Kael menoleh, alisnya terangkat penuh rasa ingin tahu. “Apa yang kau lihat?” tanyanya, suaranya penuh ketegangan. Sarah menutup matanya sejenak, mencoba mengingat dengan jelas. “Makhluk yang mereka coba panggil. Itu besar, seperti monster dari dimensi lain. Tapi ada yang aneh. Aku merasa seperti... ada sesuatu yang familiar tentang energinya,” jawabnya pelan, seakan masih menggali ingatan tersebut. “Familiar?” Kael mengerutkan kening, ketakutan bercampur rasa curiga. “Maksudmu apa?” “Aku tidak tahu,” jawab Sarah, membuka matanya kembali. “Tapi rasanya seperti energi itu... memiliki koneksi dengan Ordo Umbra. Aku tidak yakin bagaimana, tetapi aku merasa kita semakin dekat dengan sesuatu yang penting.” Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, seakan intuisi ini bukan sekadar ilusi. Setelah beberapa saat, Murphy berdiri dengan susah payah, meski masih terlihat lemah. “Aku siap melanjutkan. Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujarnya dengan napas terengah-engah. Semangat juangnya tak pernah pudar, meski luka-lukanya masih membayangi wajahnya. Kael mengangguk, lalu memandang Sarah dan Laila. “Kita harus menemukan jalur menuju Akademi Baseus. Professor Aldos mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Ia merasa terdesak untuk mendapatkan jawaban, meski setiap langkah membawa risiko yang tak terduga. “Kalau begitu kita harus bergegas,” kata Sarah. “Jika Ordo Umbra tahu kita menuju ke sana, mereka tidak akan tinggal diam.” Waktu semakin mendesak, dan keputusan harus diambil dengan cepat dan bijaksana. Dengan semangat baru yang mengalir, mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti jalur sempit di antara pepohonan yang rapat. Namun, dalam hati Kael, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka diawasi. Bayangan kegelapan menyelimuti mereka, menciptakan rasa tidak aman yang semakin mendalam. “Kael,” panggil Murphy pelan, suaranya membuat Kael terhenti. Kael berhenti, menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyanya, merasakan adanya sesuatu yang mengganggu. Murphy menunjuk ke tanah dengan teliti. Jejak kaki besar terlihat di atas tanah lembap, jejak itu terlalu besar untuk manusia biasa, dan ukurannya menunjukkan bahwa makhluk yang membuatnya bukanlah makhluk jinak. Itu seakan memberikan gambaran gelap tentang apa yang telah mereka hadapi. “Mereka sudah memanggil sesuatu,” kata Murphy, suaranya suram. Kael merasakan ketegangan di dalam dadanya meningkat, seolah terperangkap dalam lingkaran ancaman yang semakin kuat. Kael menatap jejak itu, rahangnya mengeras. “Kita harus terus bergerak. Dan kali ini, kita harus lebih hati-hati.” Itu bukan sekadar perintah, tetapi janji untuk melindungi teman-temannya. Langit mulai mendung, menciptakan suasana yang semakin kelam. Hutan menjadi lebih sunyi, seolah semua makhluk hidup memilih bersembunyi dari ancaman yang tidak terlihat. Sarah yang berjalan di belakang mendadak berhenti sejenak, matanya yang buta menatap lurus ke depan, berusaha menangkap apa yang tidak bisa dilihat oleh yang lain. “Sarah?” panggil Kael, memperhatikan perubahan sikapnya. Sarah menggeleng pelan, mengikuti intuisi yang lebih tajam daripada yang lain. “Aku... merasakan sesuatu. Energi gelap. Itu bukan dari Ordo Umbra,” ujarnya, suaranya tenang namun tegang. Laila mendekat ke Sarah, gerakannya lincah. "Apa itu?" tanyanya dengan bahasa isyarat, penuh rasa ingin tahu. Sarah menggenggam tangan Laila dengan lembut, suaranya rendang saat dia berkata, “Aku tidak tahu. Tapi itu besar, dan itu mendekat.” Matanya terpaku ke arah hutan, seolah tertarik pada sesuatu yang lebih gelap. Kael melangkah mundur, mendekati mereka dengan kekhawatiran. “Semuanya tetap bersama. Kita tidak boleh ceroboh.” Murphy, tak mau ketinggalan, menghunus pedangnya, matanya memindai sekitar. “Apa pun itu, kita harus siap. Kalau mereka memanggil monster, itu pasti bukan sesuatu yang bisa kita abaikan.” Keberanian yang terpancar tetap menyala meskipun rasa takut menghampiri mereka. Dengan napas tertahan dan semua indera waspada, mereka melanjutkan perjalanan, menyadari ancaman yang mungkin hanya beberapa langkah di depan. Hutan purba ini, dengan segala misterinya, menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa mereka bayangkan. Dan mereka harus siap menghadapi apapun yang datang berikutnya.Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti
Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo
Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu
Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d
Matahari pagi terbit perlahan di atas cakrawala, menerangi jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput kering serta tanah lembap dari hutan purba yang kini semakin menjauh di belakang mereka.Langkah mereka terasa berat; kaki mereka masih lemas setelah malam penuh pertempuran di desa kecil. Namun, tekad untuk mencapai Akademi Baseus mendorong mereka terus maju. Nexus, kota besar tempat akademi itu berdiri megah, masih jauh—beberapa kota kecil harus mereka lewati terlebih dahulu, dan perjalanan itu terasa seperti ujian ketahanan yang tiada akhir.Kael berjalan di depan, tangannya menggenggam erat permata hitam kecil yang ditemukan oleh Sarah, matanya tajam memindai sekeliling. Di belakangnya, Sarah dan Laila berbagi selimut tipis yang diberikan oleh warga desa; wajah mereka pucat, namun penuh semangat. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, napasnya sedikit tersengal, tetapi ia tetap bersiul pelan untuk men
Api unggun berkobar redup, nyalanya bergoyang liar saat raungan wyvern mengguncang udara malam. Makhluk itu berdiri di tepi sungai, sayapnya yang compang-camping bergetar penuh amarah, dan taringnya berkilau dalam cahaya bulan yang samar. Cakarnya mengoyak tanah berlumpur, meninggalkan bekas dalam yang berbau asam menyengat, sementara mata kuningnya menyala dengan nafsu membunuh yang liar. Pedagang berteriak panik, Toman mendorong keluarganya ke belakang gerbong, sementara Kael berdiri teguh di depan kelompoknya, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** menyala di tangannya, berpendar dengan semburat ungu yang mengerikan. "Sarah, Laila, mundur!" bisik Kael tajam, matanya melirik ke arah lima sosok pemburu yang berdiri tenang di sisi unggun, mantel cokelat tua mereka bergoyang pelan di angin malam. "Awasi mereka—jangan ikut bertarung dengan wyvern. Aku dan Murphy akan menangani ini." Sarah mengangguk cepat, tangannya menggenggam erat lengan Laila. Matanya berpendar ungu samar sa
Pagi menyingsing dengan langit kelabu yang berat, awan tebal menggantung rendah di atas jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Udara terasa dingin dan lembap, membawa aroma samar rumput basah dan kayu bakar yang masih mengepul dari unggun semalam. Gerbong pedagang bergoyang pelan, roda kayunya berderit di atas batu kecil, sementara kuda-kuda mendengus lelet, seolah merasakan ketegangan yang menyelimuti kelompok itu. Pertarungan malam sebelumnya masih membekas—bau darah wyvern dan energi emas yang hangus terngiang di ingatan mereka, membuat setiap suara kecil dari semak di pinggir jalan terasa seperti ancaman. Kael duduk di tepi gerbong, tangannya memegang salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang ia ambil dari Pemburu Crimson yang tewas. Cahaya biru samar dari kristal itu berkedip pelan di tangannya, hangat namun asing. Matanya yang tajam menatap benda itu dengan konsentrasi penuh, keningnya berkerut saat ia mencoba menyalurkan energi sihirnya ke
'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc
Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila
Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu
Kael berdiri di tepi dek, tangannya mencengkeram pagar kayu yang dingin, matanya biru menyipit menatap cahaya emas itu. “Terlalu mencurigakan untuk dilewatkan,” gumamnya, nadanya penuh kewaspadaan bercampur rasa ingin tahu. Tiba-tiba, Vale, elang Sarah, berkicau nyaring, sayapnya mengembang gelisah, cakarnya mencakar dek. Molly, tupai naga Laila, ikut bergerak, meloncat dari pundak Laila ke lantai, kicauannya cepat dan penuh semangat, seolah memanggil mereka ke gunung. Sarah berlutut di depan Molly, matanya ungu menyala samar saat sihirnya menangkap emosi hewan kecil itu. “Molly bilang… ada sesuatu di gunung yang bisa bantu pertumbuhan mereka,” katanya, alisnya terangkat kagum. “Vale juga merasa itu—sesuatu yang sangat berharga, langka.” Ia mengelus bulu Vale, yang menatap gunung dengan mata hijau penuh hasrat. Lyra menatap ke kejauhan, jari-jarinya memutar botol airnya yang memancarkan kilau samar. “Jika Molly dan Vale begitu bersemangat, itu bukan benda sembarangan,” katanya,
Udara di tapak kapal terbang Vaelor membeku, raungan serigala raksasa mengguncang tanah. Bayang Tim Serigala Bayangan, berjubah putih dengan mata kuning menyala, mendekati dengan langkah predator. Kapal-kapal terbang lain di tapak—lambung kayu berukir rune, layar sihir berkilau—bergegas aktifkan mesin, suara dengung rune bercampur teriakan pedagang yang panik. Kelompok Kael, di dek kapal mereka, menahan napas, tangan mereka mencengkeram senjata atau jubah, mata terpaku pada sosok bertopeng menunggang serigala terdepan. Kael menarik napas, matanya biru menyipit menilai situasi. “Jangan panik,” katanya rendah, suaranya tegas meski jantungannya berdetak kencang. “Kita dalam penyamaran. Mereka tak mungkin tahu kita di sini begitu cepat.” Ia melirik kapten, yang masih gemetar di kemudi, dan teman-temannya, yang wajahnya pucat tapi berusaha tenang. Sarah mengangguk, matanya ungu berkilat penuh tekad. “Kael benar. Kita terlalu khawatir karena mereka musuh kita. Ayo bertindak normal, ik
'Langit Luminus berkilau dengan semburat emas fajar, tapi di toko pedagang Wisp, udara terasa berat oleh rahasia. Kael menarik napas dalam saat sinar perak bebola sihir memudar dari pikirannya, meninggalkan lokasi peta kedua—rahasia kuno yang dilindungi kekuatan tak terlihat. Wisp, makhluk bunglon dengan kulit masih hijau pucat, menatap mereka dengan mata permata penuh rasa ingin tahu, tangannya gemetar menahan bola kaca yang kini retak halus. “Informasi itu… luar biasa,” gumamnya, suaranya serak, tapi ia tak bertanya lebih lanjut—aturan pedagang informasi mengikatnya. Kael mengangguk kaku, menyerahkan kantong koin sihir Lyra sebagai bayaran. “Terima kasih,” katanya singkat, matanya biru menyipit waspada. Ia menarik Sarah, yang matanya ungu masih menangkap sisa kaget Wisp, untuk segera pergi. “Ayo, kita tak boleh lama,” bisiknya, nadanya rendah. Keingintahuan Wisp terasa seperti bara yang bisa menyulut bahaya—jika makhluk itu tergoda menjual rahasia mereka, Ordo Cahaya atau Pemburu
Fajar menyapa kota pohon Luminus dengan semburat emas yang menari di kanopi zamrud, menerangi jalan-jalan kayu yang meliuk di dahan raksasa. Di restoran penginapan kanopi, aroma roti panggang dan teh daun perak memenuhi udara, bercampur dengan denting piring dan obrolan pelan tamu—elf dengan jubah sutra, kurcaci dengan palu di pinggang, dan manusia yang kagum pada keajaiban kota. Kelompok Kael duduk di meja sudut, menikmati telur bakar dengan rempah dan buah kristal yang manis, ketika pintu kayu berukir berderit terbuka. Alice melangkah masuk, gaun biru mudanya bergoyang pelan, wajahnya berseri namun ada sedikit kecemasan di mata cokelatnya. “Kalian masih di sini!” serunya, berjalan cepat ke meja mereka. “Aku menunggu di toko alkimia keluargaku sejak kemarin, tapi kalian tidak muncul. Jadi aku datang sendiri.” Nada suaranya penuh semangat, bercampur keluhan kecil yang membuat Murphy terkekeh sambil mengunyah roti. Lyra menurunkan cangkir tehnya, tersenyum hangat. “Maaf, Alice, k
Restoran penginapan kanopi dipenuhi aroma sup jamur dan roti herbal, tapi udara di meja kelompok Kael terasa berat setelah bisik berita tentang penyihir kenabian. Cahaya lampu sihir yang mengambang di atas mereka berkedip pelan, mencerminkan ketegangan di wajah-wajah mereka. Penyihir kenabian—makhluk langka dengan mata yang bisa menembus kabut waktu, melihat masa lalu dan sekilas masa depan—adalah senjata mengerikan bagi kekuatan besar seperti Ordo Cahaya. Jika mereka menyelidiki lokasi pertempuran melawan Tim Serigala Bayangan, jejak kelompok Kael bisa terbongkar, meski samar. Kael menurunkan sendoknya, matanya biru menyipit penuh perhitungan. “Untungnya, kita memakai penyamaran saat itu,” katanya perlahan, suaranya rendah agar tak didengar meja lain. “Kejadian itu sudah lewat beberapa waktu—penyihir kenabian mungkin hanya melihat potongan buram. Itu memberi kita waktu sebelum mereka tahu siapa pelakunya.” Lyra mengangguk, jari-jarinya mencengkeram botol airnya erat, meski wajahny
Pemandangan kota pohon Luminus menyapa kelompok Kael seperti lukisan hidup, penuh warna dan sihir yang tak pernah mereka bayangkan. Pohon raksasa di pusat kota menjulang bagai pilar langit, batangnya lebar seperti bukit, dahan-dahannya membentang luas bagai jaringan kanopi hijau zamrud. Bangunan-bangunan di atas dahan itu terlihat seperti anak pohon kecil, diukir dari kayu hidup dengan sihir alam, permukaannya berkilau lembut di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah daun. Jalan-jalan kayu meliuk di antara cabang, dihiasi tali-tali merambat berbunga yang memancarkan aroma manis. Di bawah, manusia, elf, dan kurcaci berjalan berdampingan—sosok elf dengan rambut sutra dan mata permata, kurcaci dengan janggut tebal dan palu di pinggang, serta manusia dengan ekspresi kagum seperti kelompok Kael sendiri. Kael bersandar di dinding gerbong, matanya biru melebar menatap pemandangan itu. “Ini… luar biasa,” gumamnya, suaranya penuh kekaguman bercampur kewaspadaan. Mereka tahu elf d