Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.
Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk. "Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami." Kael mengepalkan tangan, merasakan energi sihirnya berdenyut penuh semangat. "Jika kalian menginginkan teknik ini," jawabnya dengan senyum sinis yang menipu, "mengapa tidak coba ambil sendiri?" Salah satu penyihir melangkah maju, tongkat hitam panjang di tangannya berkilau dengan aura gelap yang mengintimidasi. Aliran energi hitam melesat bagaikan ular ganas, membidik Kael dengan niat menghancurkan. Namun, Kael tidak kalah gesit. Tubuhnya melesat ke samping, meninggalkan bayangan samar di tempatnya berdiri sebelumnya. Gelombang serangan itu menghantam pintu rumahnya, merobeknya menjadi serpihan kayu yang beterbangan seperti debu di udara. Kael muncul di atas akar pohon raksasa yang menjulang tinggi, angin berbisik di antara dedaunan lembab. Energi hijau kehitaman berdenyut di atmosfer saat ia mengangkat tangannya, membentuk kabut beracun yang segera mengepung salah satu penyihir. Musuhnya terbatuk-batuk, tubuhnya melemah dalam hitungan detik, terjepit dalam cengkeraman racun sihir yang diciptakan Kael. Di dalam ruang bawah tanah yang gelap dan pengap, Sarah duduk bersila, wajahnya tegang namun berusaha tenang. Matanya yang semula buta kini berpendar ungu, memancarkan cahaya seperti bintang yang menyala dalam kegelapan. Melalui Mata Sihir, ia bisa melihat energi-energi yang bergerak liar di atas sana, menyaksikan pertarungan intens yang membuat udara di sekitarnya bergetar. "Mereka semakin dekat," gumam Sarah, iris ungunya berkilat dalam kegelapan. "Kael tidak akan mampu bertahan lama. Energi sihirnya mulai melemah." Laila menggenggam tangan Sarah erat, jemarinya bergerak membentuk isyarat cepat, mengungkapkan ketakutan yang mendalam. "Apa yang bisa kita lakukan? Kael memerlukan kita, kita tidak bisa hanya duduk di sini." Sarah membalas isyarat dengan hati-hati, matanya tetap terfokus pada pertarungan di atas melalui pandangan sihirnya. "Kael bilang kita harus tetap di sini. Kita hanya akan menyulitkannya jika keluar dan menambah beban." Di luar, pertarungan semakin sengit. Kael menyadari dengan mendalam bahwa ia tidak dapat terus bertarung di dekat rumah. Dengan gerakan cepat, ia melompat mundur menuju hutan purba, tempat di mana kabut tebal menyelimuti tanah, berjuta bayangan menanti. Kedua penyihir yang tersisa mengejarnya, meninggalkan rekan mereka yang terbaring lemah, dan dalam sekejap, kegelapan menyambutnya. Hutan menyambut dengan kegelapan pekat yang menakutkan. Pepohonan menjulang tinggi bagaikan pilar bayangan, dengan akar-akarnya melintang bagaikan ular raksasa yang sedang tertidur. Kabut tipis menyelimuti dasar hutan, menciptakan suasana menyeramkan yang mencekam, seakan-akan makhluk-makhluk purba mengawasi dari jauh. "Kau tidak akan bisa melarikan diri, Kael!" teriak salah satu penyihir, suaranya menggema di antara pepohonan, menciptakan gema yang melingkupi seluruh hutan. Kael terus bergerak, memanfaatkan setiap celah dan bayangan untuk mengaburkan jejaknya. Mantra pelacak mereka membuat sisa energi sihirnya berkilau dalam kegelapan, mengungkapkan keberadaannya dan membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tidak adil dan membingungkan. Mencapai sebuah batu besar, Kael berhenti sejenak untuk memperhitungkan langkahnya. Ia mengangkat tangannya, menciptakan kabut ungu yang menyebar dengan cepat—Racun Halusinasi. Kabut itu segera mempengaruhi para pengejar, dan salah satu penyihir terhenti dengan tatapan kosong, terperangkap dalam ilusi yang dibuat oleh kekuatannya. Yang lainnya tampak bingung, mengikuti bayangan Kael yang tercipta dari halusinasi, tersesat dalam kegelapan. Memanfaatkan kesempatan ini, Kael melesat lebih dalam ke dalam hutan. Ia menemukan celah di bawah akar pohon tumbang dan bersembunyi di sana, menekan energi sihirnya dengan hati-hati untuk menghapus jejak, berharap agar permukaan tanah di atasnya tidak mengkhianati keberadaannya. Langkah-langkah berat terdengar di atas, mendekat dan menjauh. "Dia harus ada di sini!" teriak salah satu penyihir, suaranya frustasi dan penuh kemarahan, serta kebencian yang mendalam. Kael tetap diam, tidak bergerak sedikitpun, berusaha menahan napasnya agar tidak terdengar. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, langkah kaki itu menjauh, menghilang dalam kegelapan hutan yang menakutkan, meninggalkan keheningan yang kembali menyelimuti. Dalam keheningan yang kembali, wajah ibunya muncul dalam pikirannya, bersama kata-kata terakhir dari suratnya yang berisi harapan dan petunjuk: "Lindungi mereka, Kael. Kalian adalah kekuatan Ibu. Jangan pernah menyerah, meski kegelapan datang." Ia menggertakkan gigi, rasa bersalah dan tekad berkumpul menjadi satu dalam hatinya. Perjuangan ini baru permulaan, dan ia tahu tantangan yang lebih besar menantinya. Dengan napas berat dan semangat yang menyala, Kael keluar dari persembunyiannya, kembali ke dalam bayangan hutan. Ia siap menghadapi apa pun yang akan datang, demi melindungi keluarganya dan mematahkan kegelapan yang mengancam kehidupan mereka. Dalam pikiran dan hatinya, ia berjanji untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga melawan.Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya
Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di
Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka
Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh
Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget
Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti
Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo
'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc
Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila
Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu
Kael berdiri di tepi dek, tangannya mencengkeram pagar kayu yang dingin, matanya biru menyipit menatap cahaya emas itu. “Terlalu mencurigakan untuk dilewatkan,” gumamnya, nadanya penuh kewaspadaan bercampur rasa ingin tahu. Tiba-tiba, Vale, elang Sarah, berkicau nyaring, sayapnya mengembang gelisah, cakarnya mencakar dek. Molly, tupai naga Laila, ikut bergerak, meloncat dari pundak Laila ke lantai, kicauannya cepat dan penuh semangat, seolah memanggil mereka ke gunung. Sarah berlutut di depan Molly, matanya ungu menyala samar saat sihirnya menangkap emosi hewan kecil itu. “Molly bilang… ada sesuatu di gunung yang bisa bantu pertumbuhan mereka,” katanya, alisnya terangkat kagum. “Vale juga merasa itu—sesuatu yang sangat berharga, langka.” Ia mengelus bulu Vale, yang menatap gunung dengan mata hijau penuh hasrat. Lyra menatap ke kejauhan, jari-jarinya memutar botol airnya yang memancarkan kilau samar. “Jika Molly dan Vale begitu bersemangat, itu bukan benda sembarangan,” katanya,
Udara di tapak kapal terbang Vaelor membeku, raungan serigala raksasa mengguncang tanah. Bayang Tim Serigala Bayangan, berjubah putih dengan mata kuning menyala, mendekati dengan langkah predator. Kapal-kapal terbang lain di tapak—lambung kayu berukir rune, layar sihir berkilau—bergegas aktifkan mesin, suara dengung rune bercampur teriakan pedagang yang panik. Kelompok Kael, di dek kapal mereka, menahan napas, tangan mereka mencengkeram senjata atau jubah, mata terpaku pada sosok bertopeng menunggang serigala terdepan. Kael menarik napas, matanya biru menyipit menilai situasi. “Jangan panik,” katanya rendah, suaranya tegas meski jantungannya berdetak kencang. “Kita dalam penyamaran. Mereka tak mungkin tahu kita di sini begitu cepat.” Ia melirik kapten, yang masih gemetar di kemudi, dan teman-temannya, yang wajahnya pucat tapi berusaha tenang. Sarah mengangguk, matanya ungu berkilat penuh tekad. “Kael benar. Kita terlalu khawatir karena mereka musuh kita. Ayo bertindak normal, ik
'Langit Luminus berkilau dengan semburat emas fajar, tapi di toko pedagang Wisp, udara terasa berat oleh rahasia. Kael menarik napas dalam saat sinar perak bebola sihir memudar dari pikirannya, meninggalkan lokasi peta kedua—rahasia kuno yang dilindungi kekuatan tak terlihat. Wisp, makhluk bunglon dengan kulit masih hijau pucat, menatap mereka dengan mata permata penuh rasa ingin tahu, tangannya gemetar menahan bola kaca yang kini retak halus. “Informasi itu… luar biasa,” gumamnya, suaranya serak, tapi ia tak bertanya lebih lanjut—aturan pedagang informasi mengikatnya. Kael mengangguk kaku, menyerahkan kantong koin sihir Lyra sebagai bayaran. “Terima kasih,” katanya singkat, matanya biru menyipit waspada. Ia menarik Sarah, yang matanya ungu masih menangkap sisa kaget Wisp, untuk segera pergi. “Ayo, kita tak boleh lama,” bisiknya, nadanya rendah. Keingintahuan Wisp terasa seperti bara yang bisa menyulut bahaya—jika makhluk itu tergoda menjual rahasia mereka, Ordo Cahaya atau Pemburu
Fajar menyapa kota pohon Luminus dengan semburat emas yang menari di kanopi zamrud, menerangi jalan-jalan kayu yang meliuk di dahan raksasa. Di restoran penginapan kanopi, aroma roti panggang dan teh daun perak memenuhi udara, bercampur dengan denting piring dan obrolan pelan tamu—elf dengan jubah sutra, kurcaci dengan palu di pinggang, dan manusia yang kagum pada keajaiban kota. Kelompok Kael duduk di meja sudut, menikmati telur bakar dengan rempah dan buah kristal yang manis, ketika pintu kayu berukir berderit terbuka. Alice melangkah masuk, gaun biru mudanya bergoyang pelan, wajahnya berseri namun ada sedikit kecemasan di mata cokelatnya. “Kalian masih di sini!” serunya, berjalan cepat ke meja mereka. “Aku menunggu di toko alkimia keluargaku sejak kemarin, tapi kalian tidak muncul. Jadi aku datang sendiri.” Nada suaranya penuh semangat, bercampur keluhan kecil yang membuat Murphy terkekeh sambil mengunyah roti. Lyra menurunkan cangkir tehnya, tersenyum hangat. “Maaf, Alice, k
Restoran penginapan kanopi dipenuhi aroma sup jamur dan roti herbal, tapi udara di meja kelompok Kael terasa berat setelah bisik berita tentang penyihir kenabian. Cahaya lampu sihir yang mengambang di atas mereka berkedip pelan, mencerminkan ketegangan di wajah-wajah mereka. Penyihir kenabian—makhluk langka dengan mata yang bisa menembus kabut waktu, melihat masa lalu dan sekilas masa depan—adalah senjata mengerikan bagi kekuatan besar seperti Ordo Cahaya. Jika mereka menyelidiki lokasi pertempuran melawan Tim Serigala Bayangan, jejak kelompok Kael bisa terbongkar, meski samar. Kael menurunkan sendoknya, matanya biru menyipit penuh perhitungan. “Untungnya, kita memakai penyamaran saat itu,” katanya perlahan, suaranya rendah agar tak didengar meja lain. “Kejadian itu sudah lewat beberapa waktu—penyihir kenabian mungkin hanya melihat potongan buram. Itu memberi kita waktu sebelum mereka tahu siapa pelakunya.” Lyra mengangguk, jari-jarinya mencengkeram botol airnya erat, meski wajahny
Pemandangan kota pohon Luminus menyapa kelompok Kael seperti lukisan hidup, penuh warna dan sihir yang tak pernah mereka bayangkan. Pohon raksasa di pusat kota menjulang bagai pilar langit, batangnya lebar seperti bukit, dahan-dahannya membentang luas bagai jaringan kanopi hijau zamrud. Bangunan-bangunan di atas dahan itu terlihat seperti anak pohon kecil, diukir dari kayu hidup dengan sihir alam, permukaannya berkilau lembut di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah daun. Jalan-jalan kayu meliuk di antara cabang, dihiasi tali-tali merambat berbunga yang memancarkan aroma manis. Di bawah, manusia, elf, dan kurcaci berjalan berdampingan—sosok elf dengan rambut sutra dan mata permata, kurcaci dengan janggut tebal dan palu di pinggang, serta manusia dengan ekspresi kagum seperti kelompok Kael sendiri. Kael bersandar di dinding gerbong, matanya biru melebar menatap pemandangan itu. “Ini… luar biasa,” gumamnya, suaranya penuh kekaguman bercampur kewaspadaan. Mereka tahu elf d