Share

PART 2

Author: Amma Red
last update Last Updated: 2022-01-20 21:38:58

Salju turun tanpa henti. Jutaan butirannya membuat hampir seluruh benda menjadi berwarna putih. Pepohonan dan tanaman-tanaman kecil terlihat sedih dalam kebekuan. Angin yang bertiup kencang seolah membuat semuanya menjadi lebih berat, namun tak seberat tugas yang dibebankan pada kami.

Aku, Emma, Alden, Kingsleigh, dan Marlon harus menyusuri Windstone yang sangat sepi dan dingin. Bagaimana tidak, ini adalah daerah paling barat setelah York yang berbatasan langsung dengan hutan.

Kesunyian benar-benar menghinggapi di seluruh daerah ini. Pepohonan seolah terus mengamati pergerakan kami. Suara desiran angin seperti ingin mengisyaratkan bahwa Windstone bukanlah tempat yang aman apalagi untuk suasana seperti ini.

Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak selama beberapa saat. Aku selalu siaga dan menggenggam senapanku erat-erat untuk menghadapi serangan yang terkadang datang secara cepat dan membabi buta. Namun hal ini tidak perlu dilakukan. Tak ada apapun di tempat ini, tak ada suara maupun pergerakan misterius apalagi dua orang penyihir yang berkeliaran. 

“Kita sudah menyusuri tempat ini beberapa lama dan tak ada apapun disini!” ujar Alden.

“Aku tak yakin dengan apa yang diucapkan Francis. Sepertinya tempat ini cukup aman dan bebas dari tuduhannya bahwa ada penyihir yang berkeliaran.” tambahku.

“Ayolah, kita kembali saja. Sudah jelas bahwa kita tak menemukan apapun. Saljunya cukup tebal untuk dilewati, dan ini benar-benar sulit.” Marlon mengibaskan mantelnya dari butiran-butiran salju yang membuatnya basah.

Kami berjalan ke timur dan memutuskan untuk kembali. Kemudian kami harus melewati jalan yang menurun dan berkelok-kelok, medan paling sulit dan menakutkan di Windstone.Terutama di musim dingin seperti ini, jalanan dipenuhi dengan tumpukan salju hampir setinggi lutut.

Aku dan Emma turun terlebih dulu sambil berpegangan pada Alden dan Kingsleigh. Berusaha menapakkan kaki dengan kuat di tanah agar tidak tergelincir seraya berpegangan erat. Ketika kaki kananku menginjak tanah bersalju di dasar tanjakan, bagian yang kupijak mengalami longsor kecil hingga membuatku terjatuh.

Alden memegang tanganku erat-erat namun Ia juga terpeleset dan jatuh bersamaku. Kepalaku terasa pusing dan tubuhku menggigil setelah terjerembab di tumpukan salju yang begitu tebal. 

“Kau baik-baik saja Jenna?” Emma terlihat cemas.

“Um, hanya sedikit pusing.” Emma dan Kingsleigh membantuku berdiri.

“Sebaiknya kita kembali saja! Kita tak menemukan apa-apa sejak tadi, dan tempat ini cukup berbahaya dalam suasana seperti ini.” ujar Marlon yang sejak tadi merajuk seperti anak kecil.

“Baiklah. Lagipula tempat ini dingin sekali.” Kingsleigh menyetujui usul Marlon. Mantel hitamnya hampir menjadi putih oleh butiran salju.

Akhirnya kami kembali tanpa mendapatkan hasil. Setelah berhasil melewati turunan tajam, kami sampai di tempat yang lebih landai dan penuh dengan pepohonan. Tempat ini sudah cukup jauh dari hutan dan lebih dekat dengan bekas perkampungan penyihir di sebelah barat.

Suasana di tempat ini tak kalah sunyi, namun salju tak setebal di Windstone. Kami hanya perlu berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke York. Di tengah-tengah dataran yang luas, terkadang terdengar suara-suara desiran angin maupun binatang, bahkan aku bisa mendengar langkah kakiku sendiri.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang cukup jelas diantara pepohonan. Kami berhenti dan suara itu kembali terdengar samar-samar.

“Apa kalian mendengar suara itu?” tanyaku pada yang lain.

“Ya. Suaranya cukup keras dan aku yakin ada di dekat sini.” jawab Alden seraya berjalan kearah pepohonan.

“Semuanya berhenti!” Kingsleigh mengacungkan jarinya untuk memberi komando pada Emma dan Marlon yang masih berjalan.

“Kita pastikan itu bukan suara kita.”

Derap kaki itu kian terdengar sesekali diiringi sayup-sayup pepohonan. Hanya berselang beberapa detik saja suara itu kembali menghilang. Kami sudah memastikan itu bukan suara langkah kaki kami sendiri. Sepertinya ada makhluk lain, manusia atau entah penyihir yang berada di tempat ini selain kami berlima.

“Apa kita berpencar saja? Emma dan Jenna ke barat, Aku ke selatan, Alden ke timur, dan Marlon berjaga di tempat ini.” usul Kingsleigh.

“Baiklah, aku tak keberatan.” Jawab Emma dengan yakin.

Aku dan Emma  menuju ke selatan mendekati bekas perkampungan penyihir. Tempat yang dimaksud Francis, dimana Ia melihat dua orang yang dicurigai sebagai penyihir.

Sepanjang jalan salju makin tebal saja. Pepohonan hijau menjulang tinggi dan semuanya tampak sama. Jika tidak hati-hati dan memperhatikan arah, akan sangat mudah tersesat.

Diantara deru angin dan gesekan dedaunan, aku kembali mendengar suara-suara aneh. Kali ini lebih jelas dan terdengar seperti orang yang sedang berbicara. Aku memegang senjataku kuat-kuat dan bersiap menarik pelatuknya.

Secepat kilat seorang wanita dengan jubah hitam melayang dengan cepat dari atas pepohonan dan berusaha menyabetku dengan belatinya. Emma mendorongku dan belati penyihir itu menancap di tanah. Sementara kutembak penyihir itu dengan senpanku  dan berhasil mengenai lengannya. Tapi rupanya peluruku tak terlalu berpengaruh dan Ia kembali menyerangku. 

Tanpa kusadari, ternyata Emma sedang menghadapi dua penyihir lainnya. Penyihir ini menyerangku dengan sihirnya, namun aku selalu berhasil menghindar. Aku terus menembakkan senapanku dan akhirnya satu peluruku berhasil menembus jantung penyihir itu, seketika Ia terjerembab ke tanah.

Saat penyihir itu lengah aku segera membantu Emma. Dengan tenaga yang masih penuh, kami menghadapi penyihir tua itu. Setelah melukai kakinya dengan satu tembakan, Emma mencabut belati dari sepatu botnya dan memenggal lehernya dengan sekali sabetan.

“Kerja bagus kawan!”

Melihat teman-temannya kalah, penyihir yang paling tua dan berwajah menyeramkan berlutut dan menengadahkan tangan ke atas. Aku bersiap menembakkan senapanku ke angkasa, berpikir akan ada penyihir lain yang dia panggil.

Tak lama kemudian terdengar suara riuh dari langit. Ratusan burung gagak berputar-putar di angkasa dan terbang kearah kami. 

Aku dan Emma  berlari dan sesekali memukul burung-burung itu dan menembakkan peluru ke langit. Namun usaha kami tak berhasil.

“Jenna! Apa yang harus kita lakukan? Tak ada tempat untuk berlindung. Kita bisa mati dikeroyok ratusan burung itu.” Emma begitu cemas dan takut.

“Mereka bukan burung sungguhan."

Perlawanan kita tak akan ada artinya!” jawabku seraya menghalau mereka.

“Kita hanya perlu berlari Em! Beberapa meter di depan kita ada sebuah gua kecil dan kita bisa berlindung di sana.”

Kami berpegangan tangan dan berteriak meminta bantuan. Namun suara kami hanya menggema di antara pepohonan yang cukup rapat. Tak ada satupun yang mendengar kami. Melawan burung-burung itu hanya menghabiskan tenaga. Mereka hanyalah bagian dari mantra jahat penyihir gelap.

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah dengan mencari tepat persembunyian.

Beruntung, aku segera menemukan gua yang kumaksud dan kami segera masuk. 

“Itu guanya! Kita bisa bersembunyi disana.” Kami saling mengangguk dan menambah kecepatan untuk sampai ke mulut gua.

Gua itu kecil dan aman. Sebuah pintu batu diletakkan di depan gua dengan posisi agak merenggang sehingga Aku dan Emma dapat masuk dengan mudah. Dengan sekuat tenaga kami mendorong pintu batu itu hingga menutup dengan rapat. Suara ratusan gagak itu terdengar cukup keras di luar. Aku bergidik ngeri hingga bulu kudukku berdiri. 

“Huhh hampir saja! Aku tak bisa membayangkan tubuhku akan dipatuk oleh burung-burung itu. Aku benci burung gagak!” Emma mendengus kesal.

“Gagak betulan tidak seperti itu Em.” Kami tertawa setelah diterjang rasa panik.

Tak berapa lama, suara mereka lenyap. Kutempelkan telinga ke pintu batu untuk memastikan burung-burung itu telah pergi.

“Sepertinya mereka sudah lenyap.”

“Syukurlah, kurasa mereka tidak akan sabar menunggu kita keluar dari balik pintu.”

“Francis Blake memang benar. Awalnya aku tak percaya pada pengakuannya. Tetapi penyihir-penyihir itu mulai muncul kembali dan berkeliaran di hutan Greenleaves. Padahal mereka benar-benar menghilang bak ditelan bumi setelah desa mereka rata dengan tanah.”

Kusandarkan punggungku di pintu dan kuletakkan senapanku di tanah.

“Mereka bangkit kembali dengan cepat setelah peristiwa itu. Willleth memang telah ditinggalkan, dan mungkin saja mereka mendirikan desa baru di tempat lain yang jauh dari jangkauan kita.”

“Apa kita harus keluar sekarang?” tanyaku.

“Sepertinya keadaan sudah aman. Lagipula kita tak bisa lama-lama di tempat ini. Teman-teman pasti akan mencari.” Jawab Emma dengan yakin.

Aku memberanikan diri untuk menggeser pintu. Dugaanku benar. Burung-burung itu telah pergi dan keadaan diluar sudah benar-benar aman. Kami keluar dari gua dan berlari secepat mungkin untuk kembali ke tampat Marlon berjaga.

Kami menyusuri jalan setapak dan hanya beberapa ratus meter lagi dari titik awal.. Tanpa terduga suara riuh kembali terdengar.

Secepat kilat, ratusan burung gagak menukik kearah kami berdua. Aku tak siap dan memukul-mukul mereka dengan senapan. Ratusan burung itu mencoba mengeroyok kami dan tak ada cara selain berlari. 

Tanpa sempat memikirkan hal lain, aku spontan meninggalkan Emma begitu saja dan terus berlari ke utara. Salju semakin tebal dan jalanan cukup menurun. Medan yang kulalui semakin terjal dan berbahaya.

Aku tak peduli dan terus berlari, hingga akhirnya aku mengulangi hal yang sama. Terpeleset dan menggelinding di jalanan yang curam.

Dengan tenaga yang masih tersisa, kucoba berdiri dengan sekuat tenaga. Rupanya aku telah sangat jauh dari posisi semula, aku juga telah meninggalkan Emma.

Pikiranku benar-benar kacau. Rasa panik mulai mejalariku dan aku tak sanggup mengatasinya. Tanpa memperdulikan diriku sendiri, kupaksakan diriku untuk berlari. 

Karena keseimbanganku belum pulih, alhasil hanya mampu berlari dengan terseok-seok, Parahnya kakiku menyandung pangkal pohon yang telah ditebang.

Aku terjatuh dan lenganku berdarah karena tergores ujung-ujung kayu yang tajam. Lengan bajuku sobek dan kurasakan darah mulai mengucur hingga membuat salju disekitarku berwarna merah. Aku meringis kesakitan seraya memegang lenganku yang terluka.

Kepalaku terasa sakit dan berdenyut-denyut setelah membentur tanah dengan keras. Pandanganku mulai kabur. Pepohonan dan tanah disekitarku terasa berputar-putar.

Butiran salju yang menghujani tubuhku seakan membuatku mati rasa. Perlahan semuanya terasa gelap dan aku tak dapat merasakan apapun

Related chapters

  • Tiga Cawan Sakti   PART 3

    Aku terbangun setelah beberapa saat terbaring tak berdaya di tumpukan salju. Rupanya aku pingsan setelah terjatuh. Embusan angin dari barat yang begitu dingin membuatku menderita. Tubuhku menggigil kedinginan di tengah salju yang kembali turun. Rambut coklat gelapku perlahan memutih akibat tertutup salju. Di tengah kesunyian tempat yang tak ku kenal ini, seorang lelaki dengan mantel hitam tebal berjalan ke arahku dan berhenti. Tanpa mengetahui siapa lelaki itu, Ia berlutut dan mengulurkan tangannya padaku. “Siapa kau?” tanyaku setengah gemetar, bukan karena takut melainkan kedinginan. “Sepertinya kau terluka dan butuh bantuan. Dengan senang hati aku akan membantumu. Oh iya, namaku Elgar.” Suaranya terdengar lembut dan seyumnya terasa hangat. Pembawaannya begitu tenang dengan mata birunya yang bersinar dan rambut gelapnya yang meliuk liuk tertiup angin. “Aku…” bibir ini terasa berat untuk bicara. Aku tak tahu harus melakukan apa. Jelas tak boleh

    Last Updated : 2022-01-20
  • Tiga Cawan Sakti   PART 4

    Aku menghabiskan malam bersama Elgar dan Kathleen dengan bermain salju di luar. Salah satu hal yang sangat jarang kulakukan sebelumnya. Tapi ini sangat menyenangkan. Bulan bersinar cerah walaupun sedang musim dingin. Sinarnya memantul di permukaan kolam yang hampir membeku. Suasana begitu tenang, tapi aku tahu disaat bulan bersinar cerah seperti ini, adalah waktu yang sangat tepat bagi para penyihir untuk melakukan ritual. Kemudian aku merasa ada sesuatu yang aneh. Terdapat cahaya keunguan di antara awan-awan di langit. Tak salah lagi, itu adalah hasil dari aktivitas para penyihir. Cahaya itu juga terlihat dari permukaan kolam. Aku tak bisa membiarkan Elgar dan Kathleen terus berada di luar. Tapi aku tak yakin untuk mengajak mereka ke dalam tanpa suatu alasan yang masuk akal. Mungkin saja mereka tak akan mempercayai ucapanku. Tiba-tiba Kathleen melempar salju ke arahku. “Jenna! Kulihat kau terus memandangi kolam itu. Apa kau sudah bosan?”

    Last Updated : 2022-01-20
  • Tiga Cawan Sakti   PART 5

    Perjalanan pulangku tak berjalan mulus lantaran harus melewati beberapa tanjakan yang dipenuhi salju tebal. Aku memanjat dengan pelan dan menginjakkan kakiku kuat-kuat ke tanah. Tanganku berpegangan pada rerumputan rimbun yang cukup menyulitkan saat turun, namun sangat membantu saat naik. Setelah merasa cukup lelah karena medan yang sulit, kuputuskan untuk beristirahat sebentar. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari balik semak. Aku tak menghiraukannya dan kupikir itu hanya suara binatang-binatang liar, walaupun perasaanku berkata sebaliknya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Kudekati semak itu untuk memeriksanya, tetapi tak ada apapun. Aku bergegas pergi. Cornwall berada jauh di utara dan aku harus melewati Windstone untuk sampai ke York. Tapi aku tak ingin melewati tempat itu, jadi aku berencana mengambil rute ke selatan lalu berbelok ke timur. Melewati hutan yang menurutku lebih baik daripada dataran luas Windstone yang begitu dingin da

    Last Updated : 2022-01-20
  • Tiga Cawan Sakti   PART 6

    Aku pulang ke rumah dan mengunci pintu kamarku. Cawan perak pemberian Elgar masih tergantung di pinggang. Aku mengeluarkan cawan itu dari kantong dan mendekatkannya ke jendela. Seberkas sinar yang masuk membuat cawan itu berkilauan. Tubuh cawan itu dipenuhi ukiran seperti sulur tanaman yang meliuk-liuk, dengan ukiran utama berbentuk wanita. Elgar hanya memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan dan aku juga tak tahu harus menyimpannya dimana. Terdengar suara pintu diketuk. “Jenna, Ayahmu ingin bertemu denganmu, maksudku kita. Dia bilang inign menunjukkan sesuatu.” Rupanya dia Alden. Aku cepat-cepat mengembalikan cawan itu ke kantong dan meyembunyikannya di bawah tempat tidur. Alden telah menungguku di luar. “Baiklah! Kedengarannya seperti aku belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya.” Kami menuju ke rumah besar tepatnya di ruang kerja Ayah. Chaz dan Ayahku telah menunggu di sana. “Hai Ayah!” “Hai sayang. Mr. Everscott m

    Last Updated : 2022-01-31
  • Tiga Cawan Sakti   PART 7

    Aku masih terjaga karena memikirkan cawan pemberian Elgar saat terdengar suara berisik di tengah malam. Suara itu sepertinya tak jauh dari tepatku sekarang. Aku lantas mengambil senapan dan berlari ke kebun belakang rumah. Sayup-sayup teriakan seorang gadis muda yang semakin lama semakin jelas. Kurasa berasal dari belakang tembok Glaze. Kupanggil Emma yang mungkin saja sedang tertidur pulas. Setelah mengetuk pintunya beberapa kali, Ia keluar dengan belati di tangannya. “Apa yang terjadi?” tanyanya seraya merapikan rambutnya. “Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Aku mendengar jeritan gadis muda yang meminta tolong.” “Bagaimana jika kita mencarinya?” usul Emma. “Baiklah! Kita ambil tangga saja.” Kami lantas mengambil tangga kayu dan melompati tembok. Untung saja bagian atasnya tidak dipasang kawat berduri ataupun pecahan kaca sehingga kami bisa melompat dengan mudah. Di luar tembok sangat sepi. Hanya ada

    Last Updated : 2022-01-31
  • Tiga Cawan Sakti   PART 8

    Perasaan ragu tiba-tiba muncul, membuatku tak yakin untuk melangkah. Seketika teringat cawan perak pemberian Elgar yang merupakan salah satu cawan mistis penyihir hitam. Aku agak takut bertemu dengan mereka, tetapi aku juga ingin memastikan darimana mereka mendapat cawan itu. Kuputuskan untuk datang saja dan meminta penjelasan.Aku mengetuk pintu berkali-kali dengan agak keras. “ Elgar, Elgar, buka pintunya!”. Kemudian pintu kayu yang berat itu terbuka dan mengeluarkan suara mendecit.“Jenna! masuklah…”Mata birunya berbinar saat melihatku. Senyumnya merekah seperti bunga mawar di depan. Aku masuk dengan hati-hati.“Aku tak menyangka kau kembali ke sini.” Elgar terlihat senang dengan kedatanganku.“Tentu saja bukan tanpa alasan Elgar. Um.. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu." jawabku tegas seraya memandang matanya dengan tajam.“Menanyakan apa?"Kepalaku terasa pening. S

    Last Updated : 2022-01-31
  • Tiga Cawan Sakti   PART 9

    Willeth tampak sepi saat aku kembali. Sepertinya anggota reguku telah kembali ke markas kecuali Alden. Dari kejauhan aku melihatnya berdiri di dekat bekas rumah penyihir. Dia bergegas menghampiriku setelah aku memanggilnya. “Darimana saja kau? Apa kau tersesat lagi?” Ia begitu khawatir. “Begitulah. Aku tersesat setelah mendengar suara-suara aneh. Dan…” “Dan kau menemui kenalanmu itu lagi?” Alden memotong ucapanku. Aku menghela napas. Rupanya Ia tahu apa yang kupikirkan. “Aku tersesat jauh ke utara, dan jika berjalan lurus aku akan mencapai Cornwall. Itu yang kuingat saat kebingungan di tengah hutan. Alden, aku punya sesuatu yang sangat penting.” Aku berbisik padanya sambil menunjukkan gulungan kertas di dalam mantel. Sebelum Ia sempat bertanya, aku lantas menarik tangannya dan berlari menuju Glaze. Pencarian yang tak membuahkan hasil membuat senjataku masih utuh. Kami bergegas ke rumah besar untuk memberitahu semua yang kud

    Last Updated : 2022-02-04
  • Tiga Cawan Sakti   PART 10

    Aku mengetuk pintu rumah Kathleen seolah berkunjung seperti biasa, dan aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia baru saja pergi ke desa. Aku mengetuk pintu berkali-kali, tapi sama sekali tak ada jawaban. Tiba-tiba, pintu itu membuka sendiri tanpa ada siapapun yang membukanya. Aku melihat ke dalam dan masuk dengan hati-hati. Suasana rumah itu sangat sepi walaupun Kathleen baru saja masuk.“Elgar, Kathleen! Dimana kalian? Aku Jenna.”Aku terus memanggil nama mereka, namun tetap saja tak ada jawaban. Lalu terdengar suara-suara di lantai atas. Tanpa berpikir panjang aku menaiki tangga dan menemukan Elgar berdiri disana.“Elgar, aku memanggilmu sejak tadi. Tapi tak ada jawaban.” ujarku pelan dan agak ragu-ragu.“Kau kembali Jenna.” ucapannya pelan dan tak seperti biasanya. Mungkin dia tak senang dengan kedatanganku.“Um...Elgar, aku..aku ingin mengatakan sesuatu.” Sebelum sempat melanju

    Last Updated : 2022-02-04

Latest chapter

  • Tiga Cawan Sakti   PART 42

    15 tahun kemudian Menjelang gerhana bulan beberapa hari lagi, Glaze mengirim para Hunters untuk memperketat penjagaan di York dan Carvage. Tetapi setiap misi tak terasa seperti dulu. Aku tak lagi satu tim dengan Alden setelah kami menjadi kapten di tim masing-masing. Emma telah berhenti karena cidera yang didapatkannya dua tahun lalu dan sekarang beralih menjadi pelatih. Marlon telah pindah ke kota lain dan berhenti dari pekerjaannya, mencari kehidupan yang lebih tenang. Kingsleigh begitu sibuk dengan urusannya setelah menggantikan Komandan Egerton. Meskipun Millorick dan kaumnya telah hancur lima belas tahun lalu, bukan berarti para penyihir itu lenyap untuk selamanya. Mereka masih terus muncul dan berbuat keonaran walau tak sebrutal dulu dan tanpa ketiga cawan sakti mereka. Aku masih menjalankan tugas bersama keempat anggota tim ku. Menyusuri hutan Greenleaves yang sunyi dan bersalju. Suara-suara mencurigakan menggema di antara pepohonan, membuatku tertarik untuk menemukan sumbe

  • Tiga Cawan Sakti   PART 41

    Hari sudah mulai terang dan sesuai kesepakatan aku akan keluar lebih dulu. Elgar menawarkan dirinya untuk mengambil alih cawan keabadian. "Sebaiknya aku saja yang membawa cawan itu. Jika Millorick menemukanmu, dia pasti tidak akan ragu membunuhmu demi benda terkutuk itu." ujarnya. "Kau yakin? Dulu kau menyerahkannya padaku, apa kau benar-benar ingin mengambilnya lagi?" aku merasa tak yakin. "Ini demi keselamatanmu Jenna. Saat itu aku memberikannya padamu agar benda itu tersimpan dengan aman di Glaze. Tetapi keadaan sudah berubah. Lagipuls aku punya kemampuan melindungi diri." "Baiklah." Aku memberikan cawan itu padanya. "Jaga dirimu!" Aku bergegas meninggalkan belukar tempat kami bersembunyi lalu berjalan ke arah sungai tempat kami terjatuh. Tak ada siapapun di tempat ini. Tebing di seberang juga tampak sepi. Entah kemana perginya para penyihir dan Hunters yang lain. Seharusnya ritual gerhana bulan darah sudah pasti gagal mengingat Millorick belum berhasil mendapatkan cawan ke

  • Tiga Cawan Sakti   PART 40

    Elgar mengayunkan tangan kanannya. Telapak tangannya memancarkan cahaya kekuningan yang membuat penyihir itu terjerembab. Tak cukup dengan satu penyihir, tiga orang lainnya meluncur ke arah kami. Aku dan Elgar meninggalkan benteng dan berlari sejauh mungkin. Salah satu dari mereka mencoba menerkamku. Dengan refleks yang cepat, aku menembakkan pistol padanya dan sebuah peluru menembus dadanya. Sementara dua penyihir lainnya masih terus mengejar. Kami sampai di tepi tebing dengan sungai besar di bawah sana. Aku dan Elgar terpojok, sedangkan kedua penyihir itu terus mendekati kami. "Jika kau berikan cawan-cawan kami, aku akan memberi kesempatan kalian untuk hidup." ujar salah satu penyihir. "Aku lebih baik mati daripada memberikan cawan-cawan itu pada kalian!" Elgar terdengar ketus. "Kepercayaan dirimu sangat bagus penyihir putih. Apalagi sihirmu yang lucu itu." penyihir itu meremehkan kekuatan Elgar. "Berikan cawannya sekarang!" dia mulai marah. Elgar menggenggam tanganku. "Tidak

  • Tiga Cawan Sakti   PART 39

    Matahari mulai menghilang di balik perbukitan, meninggalkan seberkas sinar oranye kekuningan yang semakin menipis. Belum sepenuhnya tenggelam, dan langit belum sepenuhnya gelap. Kami mulai bersiap meninggalkan benteng dengan persenjataan lengkap. Senapan beserta belati di sepatu seperti biasa. Elgar dan Kathleen memegang panah masing-masing dan beberapa anak panah yang dilumuri racun."Kita keluar sekarang!" Kingsleigh memberi aba-aba dan memimpin kami keluar benteng. Berjalan mengendap endap seraya mengawasi sekitar. Penyihir-penyihir disana pasti mulai mengawasi kami setelah hari gelap. Aku yakin mereka tahu bahwa para Hunters akan berusaha menggagalkan ritual sakral mereka.Rute ke arah perbukitan tidaklah terlalu sulit. Tanah disini relatif landai dengan sedikit bebatuan. Tak butuh waktu lama untuk mencapai kaki bukit di ujung utara, sementara lokasi bukit Kanchea masih berjarak sekitar 2 bukit lagi dari tempat kami sekarang. Sepi, tak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Aku kha

  • Tiga Cawan Sakti   PART 38

    Aku masih terduduk di tanah saat Elgar menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya seperti yang pernah dilakukannya padaku, pertama kali saat kami bertemu. Tatapan matanya masih sama. Dalam dan sejuk. Aku menerima ulurannya dan berdiri. "Kau baik-baik saja kan?" tanyanya khawatir. "Tidak jika kalian tidak datang tepat waktu." ucapku dengan senyum lebar. Alden dan yang lain lantas menuju ke arah kami diikuti Kathleen. "Kau tidak terluka kan? Penyihir itu melemparmu dua kali." kali ini Alden yang menghawatirkanku sambil menggenggam tangan kananku. "Yah...kurasa tulangku sedikit remuk." aku memasang muka masam. Mereka justru tertawa mendengarku. Tentu saja aku hanya bercanda. Meskipun seluruh tubuhku benar-benar terasa sakit sekarang. "Ayo kita ke tempat yang lebih aman. Aku akan mengobati lukamu." ajak Kathleen. "Emm....sepertinya aku juga butuh pengobatan." ujar Marlon seraya mengangkat lengannya yang sedikit terbakar. "Baiklah. Serahkan semuanya padaku." Kathleen tampak hangat dan

  • Tiga Cawan Sakti   PART 37

    Kami menyalakan api untuk menghangatkan diri. Udara di tempat terbuka seperti ini luar biasa dingin. Lokasi kami yang berada di balik bebatuan besar dan dinaungi pohon lebat memang cukup menguntungkan. Setelah menyantap makan malam, Emma mulai membicarakan kejadian penting yang nyaris kulupakan."Aku tak percaya kita mampu mencapai detik ini. Membayangkan kau hampir saja mati karena keputusan ceroboh Chaz Egerton!" Emma memandangku dengan mata bekaca-kaca."Dia termakan hasutan ratu penyihir yang menyamar sebagai Francis Blake." ujarku kesal."Aku heran bagaimana dia bisa punya ide untuk menghancurkan kita dari dalam?" Kingsleigh menimpali."Malam itu aku pernah membahasnya dengan Chaz Egerton dan dia juga memikirkan hal yang sama. Dia mungkin tahu kita menyembunyikan cawan-cawan mereka di Glaze, tetapi dia bisa menyerang secara brutal saja dengan kekuatannya!" "Kalau begitu, mungkin dia yang menemukan cawan itu di rumahmu. Menyamar sebagai Francis Blake dan menghasut orang-orang." t

  • Tiga Cawan Sakti   PART 36

    Beberapa buah perahu kecil ditambatkan di tepi danau semenjak perairan itu mencair kembali di musim semi. Setiap perahu hanya muat untuk dua orang. Kingsleigh lantas menaiki satu perahu untuk dirinya sendiri. Ia memimpin rombongan menyeberang. Alden mendayung di belakang, sementara aku duduk di depan seraya mencelupkan telapak tangan ke air.Meski telah mencapai pertengahan musim semi, airnya masih begitu dingin dan menusuk kulit. Saat Elgar melempar belatiku ke dalamnya, aku lantas melompat ke air tanpa berpikir panjang. Padahal aku merasa takut berjalan di permukaannya saat masih membeku.Mendung-mendung tipis tampak menggantung di langit, namun sinar matahari masih bisa menemukan celahnya untuk sampai ke bumi. Udara semakin menghangat saat perahu-perahu kami hampir mencapai daratan. Kami mengambil rute lain ke arah barat, rute yang hampir sama saat penyerbuan ke Bukit Kanchea.Setelah menyeberangi danau, kami terus berjalan menembus belantara melalui jalan barat yang landai. Tetapi

  • Tiga Cawan Sakti   PART 35

    Ritual gerhana bulan darah tinggal menghitung hari. Meskipun kaum penyihir hanya memiliki cawan api dan kemudaan, sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencari orang-orang yang akan dikorbankan demi ritual gelap mereka. Terutama anak-anak dan remaja. Aku baru saja kembali dari rumah Everscott bersaudara setelah mengubur cawan saat Merliah Stood melapor pada Chaz Egerton. Ia terengah-engah dan menemui Chaz yang baru saja hendak memasuki rumah besar. Melihatnya, aku lantas mendekat. Dua orang remaja, laki-laki dan perempuan berusia enam belas dan tujuh belas tahun diculik oleh seorang penyihir bertanduk dalam perjalanan pulang mereka ke York. Merliah benar. Penyihir dengan wajahnya mengerikan itu, aku pertama kali melihatnya di bukit Kanchea saat misi penyelamatan. Meskipun diantar dengan kereta, penyihir itu mampu membawa dua orang sekaligus. Pengawal mereka pun tak berdaya setelah dilemparkan ke tumpukan kayu oleh si penyihir. Merliah bergegas ke tempatnya berjaga setelah meny

  • Tiga Cawan Sakti   PART 34

    Tim pembawa cawan akan pergi di pagi hari secara sembunyi-sembunyi. Kami tak boleh menarik perhatian siapapun terutama penyihir hitam sebelum seluruh Hunters bersiap. Malam sebelum keberangkatan, reguku mengadakan rapat kecil dengan Ayah dan Chaz Egerton.Kami mengitari papan strategi dan membahas apa saja yang harus dilakukan reguku. Ayah dan Chaz sudah menentukan reruntuhan Benteng Greystone sebagai tempat tujuan. Benteng peninggalan kerajaan di masa lalu yang sudah rusak dan lama tak digunakan.Tetapi strukturnya masih kuat dan terdapat beberapa bagian yang masih utuh untuk dijadikan tempat persembunyian bahkan menjadi tempat bertempur. Marlon sempat tidak setuju karena kami seolah mengumpankan diri ke kumpulan penyihir hitam."Jenderal, sepertinya ini hanya akan membahayakan nyawa kita sendiri. Benteng itu cukup dekat dengan Bukit Kanchea. Jika kita membawa cawan itu kesana, justru penyihir hitam akan merebutnya dengan mudah!""Tak ada pilihan l

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status