Aku masih terjaga karena memikirkan cawan pemberian Elgar saat terdengar suara berisik di tengah malam. Suara itu sepertinya tak jauh dari tepatku sekarang. Aku lantas mengambil senapan dan berlari ke kebun belakang rumah. Sayup-sayup teriakan seorang gadis muda yang semakin lama semakin jelas. Kurasa berasal dari belakang tembok Glaze.
Kupanggil Emma yang mungkin saja sedang tertidur pulas. Setelah mengetuk pintunya beberapa kali, Ia keluar dengan belati di tangannya.
“Apa yang terjadi?” tanyanya seraya merapikan rambutnya.
“Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Aku mendengar jeritan gadis muda yang meminta tolong.”
“Bagaimana jika kita mencarinya?” usul Emma.
“Baiklah! Kita ambil tangga saja.”
Kami lantas mengambil tangga kayu dan melompati tembok. Untung saja bagian atasnya tidak dipasang kawat berduri ataupun pecahan kaca sehingga kami bisa melompat dengan mudah.
Di luar tembok sangat sepi. Hanya ada beberapa obor sebagai penerang jalan. Pandanganku menyisir seluruh sudut perkebunan milik warga hingga terlihat sesosok hitam yang bergerak di ujung belokan. Aku dan Emma berjalan mendekatinya dengan menggenggam erat senjata masing-masing. Setelah lebih dekat, ternyata seekor kuda dengan keretanya.
“Kita periksa kereta itu.” ujarku pada Emma. Ia mengangguk dan kami bergegas memeriksa kereta itu.
Seorang pria yang mungkin saja kusir, tergeletak pingsan di rerumputan. Emma memeriksa pria itu, dan Ia tidak mendapatkan luka serius. Aku mengendap-endap dan membuka pintu kereta dengan hati-hati. Ternyata kereta itu kosong.
Emma mengguncang tubuh pria itu untuk membuatnya sadar. Seketika pria itu membuka matanya dan terlihat panik.
"Siapa kalian?" si pria bertanya dengan wajah ketakutan dan suara gemetar.
"Kami Hunters. Pemburu penyihir dari Glaze. Apa yang terjadi?" ujar Emma.
"Tolong! Tolong!" Ia mengepalkan kedua tangannya. "Seorang wanita menakutkan, sepertinya penyihir, I...Ia melayang ke arah kami dan menyerangku. Penyihir itu membawa Nona, putri majikanku!" jawabnya dengan terbata-bata.
"Apa kau tak salah lihat?" tanyaku.
"Tidak. Aku yakin dia penyihir. Dia membawa nona lalu melayang di antara pepohonan. Aku terkena sihirnya saat berusaha menyelamatkan nona."
"Baiklah! Jika kau bertemu dengan orang-orang seperti kami, laporkan pada mereka."
Aku dan Emma bergegas mencari gadis itu. Walaupun tak tahu persis kemana perginya, insting kami menuntun untuk berjalan ke selatan. Kemudian terdengar suara jeritan diantara pepohonan.
Terlihat sosok hitam berkelebat. Aku bersiap menarik pelatuk dan menyisir ke segala penjuru. Suara teriakan itu terdengar kembali. Seorang penyihir berusaha keras untuk melayang dengan membawa gadis muda itu. Rupanya gadis itu terus meronta hingga membuat si penyihir terseok seok.
Aku lantas menembaknya tepat di punggung, berhati-hati agar tak mengenai si gadis. Sepertinya peluruku berhasil menembus tubuhnya dan membuatnya terjerembab ke tanah.
Gadis muda yang bersamanya mencoba melarikan diri saat Emma hendak menolongnya. Namun di penyihir kembali menyambar si gadis dan berupaya kabur
Kami mengejarnya. Namun penyihir itu melemparku ke pohon dengan sihirnya dan membuat senapanku terjatuh cukup jauh dariku.
Dari kejauhan terdengar suara peluru yang memberondong ke arahnya. Kingsleigh datang dengan dua orang lainnya. Rupanya penyihir itu berhasil melarikan diri bersama gadis itu. Ia terbang dengan mengeluarkan suara melengking yang memekakkan telinga.
“Kingsleigh!” napasku tersengal-sengal.
"Peluruku hanya membuat luka tak berarti."
"Ini tak bisa dibiarkan Jenna, kita harus segera menyelamatkan anak itu.” jawab Kingsleigh.
“Tentu saja. Tapi tidak malam ini! Terlalu berbahaya Kingsleigh.” Aku berusaha mencegahnya.
“Baiklah. Kita harus memberitahukan hal ini pada Jenderal Goldwine dan Komandan Egerton. Anak itu harus secepatnya dibebaskan sebelum ada korban selanjutnya.”
Ayah dan Chaz telah menunggu di depan rumah besar saat kami kembali. Mereka cukup terkejut mendengar berita dari kami.
“Selama ini belum pernah ada penyihir yang berani memasuki wilayah kita. Apalagi hingga ke belakang tembok Glaze!"
“Kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi kami gagal. Gerakannya cepat sekali!” Kingsleigh menambahkan “Ini suatu pertanda buruk.”
“Secepatnya kita akan melakukan pencarian. Sekarang kalian kembali saja, beristirahatlah!” ujar Ayah.
Kami kembali ke rumah masing-masing. Aku tak benar-benar bisa tertidur kembali. Hanya duduk di lantai dan menyandarkan kepala ke tempat tidur, menatap ke langit melalui jendela. Tanganku menyenggol sebuah benda di bawah tempat tidur. Ternyata cawan perak pemberian Elgar.
Aku benar-benar seperti orang bodoh saat pertama kali menerima cawan ini darinya, tanpa berpikir sedikitpun bahwa benda ini sangat berbahaya. Penyihir yang menyerangku di hutan, mungkin saja Ia tahu tentang cawan perak yang kubawa sehingga berusaha menyerangku. Tetapi, entahlah...aku mulai takut memikirkannya.
***Setelah peristiwa penculikan tadi malam, kami segera bergerak cepat untuk melakukan pencarian. Pasukanku mendapat bagian untuk melakukan pencarian di Willeth, bekas desa penyihir yang hanya tinggal puing-puing. Desa ini hancur tanpa sisa, dan para penyihir yang selamat melarikan diri entah kemana.
Aku dan Marlon menyusuri bagian timur Willeth, sementara Emma dan Kingsleigh di bagian barat, dan Alden memeriksa wilayah tengah. Salju di tempat ini tidak lebih tebal dan udara tak lebih dingin ketimbang di Windstone. Namun menyusuri tempat seperti ini sekilas lebih berisiko daripada menyusuri wilayah kosong.
Setelah beberapa saat berkeliling, kami tak menemukan tanda-tanda apapun. Para penyihir itu sepertinya memamg tak pernah kembali lagi ke tempat ini.
Kami melihat sebuah bangunan yang tampak usang dan dipenuhi jaring laba-laba di teras dengan atap tertutup salju tebal. Kurasa itu sebuah rumah.
“Marlon apa kau tahu bangunan itu?”
“Entahlah. Sepertinya itu rumah yang tak lagi dihuni.”
“Apa kita perlu memeriksanya?” aku merasa ragu.
“Kurasa perlu. Ayo!”
Kami berjalan dengan hati-hati ke rumah kecil dan misterius itu. Aku sudah siap dengan semua senjataku, senapan, panah, dan belati kecil yang terselip di sepatu. Marlon mendekati pintu yang rantai dengan gembok. Ia memukul rantai berkarat itu dengan pedang hingga putus.
“Kau siap Jenna?”
“Selalu.”
Kami segera masuk ke rumah itu dan memeriksa setiap sisi ruangan. Saat aku mengamati sebuah patung besar, tiba-tiba beberapa ekor tikus besar muncul dan membuatku terkejut setengah mati. Aku yakin, ketika masih dihuni pun rumah ini sangat tidak nyaman dan dipenuhi dengan benda-benda aneh. Terdapat begitu banyak benda khas penyihir. Bahkan beberapa mirip dengan yang ada di ruang penyimpanan rahasia. Seperti sapu, patung-patung aneh, topi, jubah, dan segala tetek bengek tentang penyihir.
Setelah menyusuri seluruh bagian rumah, kami tak juga mendapatkan pertanda apapun. Selain itu keadaan rumah ini membuatku tak betah berlama-lama di dalamnya.
“Lebih baik kita pergi saja. Tak ada apapun. Lagipula ini hanya bekas bangunan yang sudah lama ditinggalkan.” ujarku pada Marlon.
“Kau benar. Kita pergi saja, tapi kurasa kita tidak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja. “
“Apa maksudmu?”
"Begini, rumah ini memang sudah lama ditinggalkan. Tapi Ia masih menyimpan banyak sekali benda-benda mistis. Jadi tak mustahil jika para penyihir itu akan kembali mengambil barang-barang mereka untuk ritual sihir.”
“Ide bagus Marlon! Kita bisa membakar benda-benda mistis itu."
Aku dan Marlon segera mengeluarkan benda-benda mistis dari rumah ini untuk membakarnya hingga tak ada lagi yang tersisa. Kecuali beberapa balok kayu dan tongkat besi.
Asap hitam membumbung tinggi ke langit dan menghasilkan bau menyengat. Kingsleigh, Alden, Emma menemui kami dan mengira hal buruk menimpa kami.
“Kenapa kalian membakarnya? Kukira telah terjadi sesuatu.” Emma terlihat khawatir.
“Tidak apa-apa, hanya mencegah benda-benda sihir itu digunakan lagi.” jawab Marlon.
“Baiklah. Apa kalian menemukan sesuatu yang mencurigakan?” tanya Kingsleigh.
“Tak satupun.” jawabku.
“Kami juga.” tambah Alden
“Sekarang kita masih harus menyelesaikan bagian selatan dan utara. Karena bagian utara lebih luas, jadi aku perlu dua teman.” ujar Kingsleigh.
“Kalau begitu aku dan Marlon ke selatan. Bagaimana Marlon?”
“Tentu, kita ke selatan.”
Setelah menyelesaikan bagian timur, aku dan Marlon menuju bagian utara Willeth. Wilayah ini adalah bagian terluar dari Willeth dan berbatasan langsung dengan hutan. Karena pepohonan di tempat ini lebih rimbun, tumpukan salju jadi tidak terlalu tebal dibandingkan wilayah utara yang lebih terbuka.
Seperti di wilayah timur, disini terdapat banyak puing-puing bangunan dan benda-benda berserakan. Namun tak ada satupun bangunan yang masih berdiri, semuanya telah rata dengan tanah. Rupanya pertempuran tiga tahun lalu memang menghancurkan Willeth secara total.
Lagi-lagi, kami tak menemukan jejak atau pertanda apapun tentang para penyihir. Dugaanku, anak kecil yang malang itu telah dibawa ke suatu tempat yang jauh. Mungkin di pegunungan ataupun tempat rahasia mereka yang baru. Yang jelas tempat ini tak menyimpan apapun selain puing-puing bangunan.
Bagian utara sebenarnya tak terlalu luas, namun batas antara desa dengan hutan tak terlalu jelas. Tak ada tembok pembatas atau semacamnya. Untuk mempersingkat waktu, aku dan Marlon memutuskan berpencar.
“Marlon, kurasa kita berpencar saja agar lebih cepat.”
“Baiklah. Jangan sampai keluar dari wilayah ini.”
“Tapi bagaimana aku bisa tahu batas wilayah desa ini?” aku melihat ke sekeliling.
“Entahlah. Batasnya memang tak jelas, tapi sebagai patokannya kita hitung dari pohon dibelakangmu hingga pohon ke lima belas setelahnya.”
“Baiklah. Aku tak akan pergi terlalu jauh.”
Kami saling berlawanan arah dan aku mulai menyusuri pohon cemara besar tepat di belakangku sebanyak pohon ke-lima belas setelahnya. Suasana di tempat ini begitu sunyi, tak ada suara burung maupun serangga dari atas pohon, hanya suara desiran angin. Suasana yang hampir sama seperti di Windstone.
Aku terus berjalan hingga pohon terakhir menurut kesepakatan kami, tapi kurasa wilayah Willeth masih lebih luas dari ini. Aku memandang ke sekeliling, kebanyakan hanyalah pepohonan dan beberapa puing bangunan yang berceceran namun sudah jauh berkurang.
Setelah kurasa cukup, aku berbalik arah untuk menuju ke tempat semula, berjalan pelan akibat tumpukan salju yang lumayan tebal. Tak ada siapapun disini selain diriku. Gesekan antara pepohonan bercampur desiran angin menimbulkan suara yang cukup keras. Namun justru membuat suasana di tempat ini semakin terasa sunyi.
Lama kelamaan suara angin terdengar semakin keras, bahkan aku seperti mendengar sebuah suara secara samar-samar. Aku tak bisa mendengar jelas suara-suara itu, tapi kurasa itu seperti seseorang yang sedang berbicara.
Suara itu berasal dari utara dan tanpa berpikir panjang aku kembali berbalik arah dan mencari sumber suara itu yang semakin menjauh dan bergerak ke utara. Tanpa menghiraukan apapun, aku terus mengikutinya hingga melewati pohon ke lima belas bahkan ke tiga puluh lebih. Tak hanya berjalan lurus, melainkan berbelok-belok mengikuti kemana pun suara itu pergi.
Tiba-tiba suara itu menghilang dan suasana hutan kembali tenang. Tak ada desiran angin yang aneh atau suara apapun. Aku sendirian dan kebingunan di tengah hutan belantara yang diselimuti salju.
Bagus! Sekarang aku tak tahu arah dan lupa jalan kembali. Kemudian aku berpikir untuk menyusuri jejak kakiku hingga ke posisi semula. Tapi anehnya aku tak menemukan satu jejak pun! Padahal sepatu bootku ini cukup untuk membuat jejak dalam yang bisa bertahan hingga berhari-hari. Aku benar-benar tak mengerti. Ini sangat aneh, dan aku berpikir saat ini ada seorang penyihir yang sedang memata-mataiku untuk membuatku tersesat.
“Keluar kau penyihir! Jangan hanya bersembunyi dan mengandalkan sihirmu! Aku tak takut denganmu!” aku berteriak-teriak agar penyihir itu keluar. Tapi tetap saja tak ada apapun yang terjadi.
Sekarang aku kebingungan, sendirian, tak tahu arah, dan tak menemukan petunjuk apapun. “Jennifer tersesat lagi” gerutuku dalam hati.
Akhirnya kuputuskan untuk terus berjalan entah kemana. Aku berharap mengambil arah yang benar, yaitu utara. Setelah berjalan cukup jauh, aku seperti teringat dengan sesuatu. Medan yang kulalui saat ini hampir sama seperti saat aku berlari karena dikejar ratusan burung gagak. Saat itu aku memang tak sempat menghafalkan rute, tetapi masih ada sedikit ingatan tentang tempat ini.
Aku berjalan beberapa langkah ke depan dan segera terlihat turunan tajam. Tak salah lagi, ini adalah turunan yang membuatku terjatuh hingga tak sadarkan diri. Aku merasakan semangat kembali membuncah dalam diriku. Tentu saja aku akan sampai di desa Cornwall jika turun dan berjalan terus.
Setelah menuruni banyak tanjakan dan turunan, akhirnya terlihat danau menghampar di depanku. Rupanya danau itu masih membeku dan tetap sama seperti saat aku melewatinya dengan Elgar. Aku bergegas sembari setengah berlari, takut untuk melihat dasar danau yang berwarna biru gelap. Jika lapisan es ini pecah, aku bisa mati karena kedinginan.
Akhirnya aku berhasil melewati danau itu tanpa memecahkan permukaaannya sedikit pun. Tak jauh dari danau itu terlihat sebuah pemukiman, tak salah lagi, “selamat datang di Cornwall”. Aku segera menuju rumah Elgar yang dipenuhi dengan bunga mawar di sekelilingnya. Asap mengepul dari cerobong, namun rumah ini kelihatan sepi.
Perasaan ragu tiba-tiba muncul, membuatku tak yakin untuk melangkah. Seketika teringat cawan perak pemberian Elgar yang merupakan salah satu cawan mistis penyihir hitam. Aku agak takut bertemu dengan mereka, tetapi aku juga ingin memastikan darimana mereka mendapat cawan itu. Kuputuskan untuk datang saja dan meminta penjelasan.Aku mengetuk pintu berkali-kali dengan agak keras. “ Elgar, Elgar, buka pintunya!”. Kemudian pintu kayu yang berat itu terbuka dan mengeluarkan suara mendecit.“Jenna! masuklah…”Mata birunya berbinar saat melihatku. Senyumnya merekah seperti bunga mawar di depan. Aku masuk dengan hati-hati.“Aku tak menyangka kau kembali ke sini.” Elgar terlihat senang dengan kedatanganku.“Tentu saja bukan tanpa alasan Elgar. Um.. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu." jawabku tegas seraya memandang matanya dengan tajam.“Menanyakan apa?"Kepalaku terasa pening. S
Willeth tampak sepi saat aku kembali. Sepertinya anggota reguku telah kembali ke markas kecuali Alden. Dari kejauhan aku melihatnya berdiri di dekat bekas rumah penyihir. Dia bergegas menghampiriku setelah aku memanggilnya. “Darimana saja kau? Apa kau tersesat lagi?” Ia begitu khawatir. “Begitulah. Aku tersesat setelah mendengar suara-suara aneh. Dan…” “Dan kau menemui kenalanmu itu lagi?” Alden memotong ucapanku. Aku menghela napas. Rupanya Ia tahu apa yang kupikirkan. “Aku tersesat jauh ke utara, dan jika berjalan lurus aku akan mencapai Cornwall. Itu yang kuingat saat kebingungan di tengah hutan. Alden, aku punya sesuatu yang sangat penting.” Aku berbisik padanya sambil menunjukkan gulungan kertas di dalam mantel. Sebelum Ia sempat bertanya, aku lantas menarik tangannya dan berlari menuju Glaze. Pencarian yang tak membuahkan hasil membuat senjataku masih utuh. Kami bergegas ke rumah besar untuk memberitahu semua yang kud
Aku mengetuk pintu rumah Kathleen seolah berkunjung seperti biasa, dan aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia baru saja pergi ke desa. Aku mengetuk pintu berkali-kali, tapi sama sekali tak ada jawaban. Tiba-tiba, pintu itu membuka sendiri tanpa ada siapapun yang membukanya. Aku melihat ke dalam dan masuk dengan hati-hati. Suasana rumah itu sangat sepi walaupun Kathleen baru saja masuk.“Elgar, Kathleen! Dimana kalian? Aku Jenna.”Aku terus memanggil nama mereka, namun tetap saja tak ada jawaban. Lalu terdengar suara-suara di lantai atas. Tanpa berpikir panjang aku menaiki tangga dan menemukan Elgar berdiri disana.“Elgar, aku memanggilmu sejak tadi. Tapi tak ada jawaban.” ujarku pelan dan agak ragu-ragu.“Kau kembali Jenna.” ucapannya pelan dan tak seperti biasanya. Mungkin dia tak senang dengan kedatanganku.“Um...Elgar, aku..aku ingin mengatakan sesuatu.” Sebelum sempat melanju
epalaku terasa pening serta pandanganku tampak kabur. Leherku terasa sakit setelah sebuah benda menghantamku dengan keras. Aku duduk bersandar pada sebuah kursi dengan tangan terikat dalam sebuah ruangan yang terlihat seperti gudang. Beberapa kotak kayu terlihat menumpuk di pojok ruangan dan penuh dengan sarang laba-laba. Debu memenuhi seluruh ruangan hingga membuat tenggorokanku terasa gatal.Ruangan ini begitu dingin tanpa perapian atau satupun lampu yang menggantung di dinding. Kemudian terdengar langkah kaki dari tangga pendek yang menuju ke pintu ruangan ini. Aku sudah bisa menebaknya, Elgar masuk dan membawa senapan serta pedangku lalu meletakkannya di depanku.“Kau sudah sadar?” Ia bertanya tanpa melihat wajahku.“Lepaskan aku! Kenapa kau menyekapku di ruangan sempit ini?” aku bicara dengan pelan tanpa meronta atau berusaha melakukan perlawanan sedikitpun.“Kami terpaksa melakukannya karena kau begitu brutal tadi. Aku tak bermaksud melukaimu dengan kayu itu.
Aku membawa dua senjata andalan, senapan dan belati. Kathleen membawa beberapa buah anak panah dengan busurnya. Kami menuju ke gerbang tempat Alden menunggu. Sayangnya Ia tak ada disana.“Alden...Alden..apa kau masih disini?” aku terus memanggil namanya dan berjalan menjauh dari Cornwall. Tumpukan salju masih saja tebal seperti biasanya, dan permukaan tanah masih tertutup sepenuhnya. Aku berjalan dengan pelan di permukaan tanah yang licin dan merasa ujung sepatu bootku menginjak sebuah benda tipis dan panjang.Aku mengambil benda itu yang merupakan potongan anak panah, pangkalnya hilang dan ujungnya gosong karena terbakar. Entah kenapa aku merasa bahwa Alden dalam bahaya. Aku melempar anak panah itu dan berlari mecari Alden sambil terus meneriakkan namanya. Tiba-tiba Kathleen menemukan sesuatu.“Jenna, lihat!” Ia menemukan sebuah mantel hitam dan tak salah lagi itu benar-benar milik Alden. Mantel itu terlihat lusuh dan ada bekas terbakar. Aku memeluk mantel itu dan me
Dua hari setelah diterjunkan, pasukan pencari dari Glaze tak kunjung kembali dan tak ada kabar apapun dari mereka. Ayahku sendiri juga tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Jadi tanpa komando dari siapapun, pasukan kecil kami yang hanya terdiri dari empat orang mulai menuju ke tempat persembunyian para penyihir secara diam-diam.Aku dan Alden membawa senapan lengkap dengan serenteng peluru, pedang serta puluhan anak panah yang telah dilumuri racun. Elgar dan Kathleen punya sihir untuk melindungi diri. Aku benar-benar percaya pada mereka berdua dan aku yakin mereka tak akan menghianatiku.“Apa kalian siap?” tanyaku pada yang lain.“Tentu saja.” Kami mengenakan mantel hitam dan berjalan meninggalkan Cornwalll. Sekilas desa kecil itu benar-benar tampak sunyi dengan rumah-rumah kecil yang agak berjauhan. Tetapi tempat cukup aman sebelum Alden diserang di dekat gerbang.Setelah berminggu-minggu, hutan Cornwall masih diselimuti salju teba
Kemudian seorang wanita cantik yang berdiri di belakangnya maju ke depan seraya mengacungkan sebuah belati ke langit. Sepertinya dia adalah ratu dari seluruh penyihir hitam.“Saudara-saudaraku, malam ini akan menjadi awal dari kejayaan kita! Kita tak perlu lagi bersembunyi dan akan jadi lebih kuat dengan darah mereka!” ujarnya dengan tertawa dan menunjuk anak-anak serta para pemburu Glaze yang menjadi tawanan. Ia mengacungkan jari teunjuknya dan mengeluarkan sebuah sihir yang sangat mematikan, the violets.“Malam ini adalah purnama terakhir dalam seratus tahun. Waktu yang paling tepat untuk memulai kehidupan baru. Aku Ratu Millorick dan kerajaan sihirku akan menjadi penguasa terkuat dan tak terkalahkan!” Dia berteriak dan diikuti suara riuh dari penyihir-penyihir lain yang mengerikan.Ia mengeluarkan sebuah benda yang sudah kuduga sebelumnya, yaitu cawan perak. Millorick memiliki cawan api, sementara dua cawan lainnya masih tersimpan dengan aman di Glaze.“Ta
Peyelamatan berhasil setelah Alden membebaskan beberapa Hunters yang dikurung. Serangan Elgar dan kathleen juga berhasil membuat pasukan penyihir kocar-kacir. Beberapa menemui ajal mereka dan sebagian melarikan diri termasuk si penyihir bertanduk dan penyihir dengan ekor kalajengking.Millorick menghilang setelah terkena panah Kathleen. Ia terluka, tentu saja, tetapi seolah tidak terlalu peduli dengan ritual semalam. Cawan keabadian yang Ia butuhkan tak ada disana, dan nasib para penyihir lainnya, sepertinya tak begitu penting baginya.Setelah penyelamatan kami kembali ke Cornwall. Semuanya jadi lebih rumit. Elgar dan Kathleen sendiri masih tak mengerti bagaimana aku bisa kebal terhadap serangan Millorick. Aku bukanlah seseorang yang memiliki darah penyihir, apalagi penyihir hitam. Semua orang tahu itu.Aku berdiri di depan jendela yang penuh dengan tanaman merambat di lantai dua. Ruangan ini masih terasa dingin walaupun jendela telah ditutup. Hamparan tanah lua
15 tahun kemudian Menjelang gerhana bulan beberapa hari lagi, Glaze mengirim para Hunters untuk memperketat penjagaan di York dan Carvage. Tetapi setiap misi tak terasa seperti dulu. Aku tak lagi satu tim dengan Alden setelah kami menjadi kapten di tim masing-masing. Emma telah berhenti karena cidera yang didapatkannya dua tahun lalu dan sekarang beralih menjadi pelatih. Marlon telah pindah ke kota lain dan berhenti dari pekerjaannya, mencari kehidupan yang lebih tenang. Kingsleigh begitu sibuk dengan urusannya setelah menggantikan Komandan Egerton. Meskipun Millorick dan kaumnya telah hancur lima belas tahun lalu, bukan berarti para penyihir itu lenyap untuk selamanya. Mereka masih terus muncul dan berbuat keonaran walau tak sebrutal dulu dan tanpa ketiga cawan sakti mereka. Aku masih menjalankan tugas bersama keempat anggota tim ku. Menyusuri hutan Greenleaves yang sunyi dan bersalju. Suara-suara mencurigakan menggema di antara pepohonan, membuatku tertarik untuk menemukan sumbe
Hari sudah mulai terang dan sesuai kesepakatan aku akan keluar lebih dulu. Elgar menawarkan dirinya untuk mengambil alih cawan keabadian. "Sebaiknya aku saja yang membawa cawan itu. Jika Millorick menemukanmu, dia pasti tidak akan ragu membunuhmu demi benda terkutuk itu." ujarnya. "Kau yakin? Dulu kau menyerahkannya padaku, apa kau benar-benar ingin mengambilnya lagi?" aku merasa tak yakin. "Ini demi keselamatanmu Jenna. Saat itu aku memberikannya padamu agar benda itu tersimpan dengan aman di Glaze. Tetapi keadaan sudah berubah. Lagipuls aku punya kemampuan melindungi diri." "Baiklah." Aku memberikan cawan itu padanya. "Jaga dirimu!" Aku bergegas meninggalkan belukar tempat kami bersembunyi lalu berjalan ke arah sungai tempat kami terjatuh. Tak ada siapapun di tempat ini. Tebing di seberang juga tampak sepi. Entah kemana perginya para penyihir dan Hunters yang lain. Seharusnya ritual gerhana bulan darah sudah pasti gagal mengingat Millorick belum berhasil mendapatkan cawan ke
Elgar mengayunkan tangan kanannya. Telapak tangannya memancarkan cahaya kekuningan yang membuat penyihir itu terjerembab. Tak cukup dengan satu penyihir, tiga orang lainnya meluncur ke arah kami. Aku dan Elgar meninggalkan benteng dan berlari sejauh mungkin. Salah satu dari mereka mencoba menerkamku. Dengan refleks yang cepat, aku menembakkan pistol padanya dan sebuah peluru menembus dadanya. Sementara dua penyihir lainnya masih terus mengejar. Kami sampai di tepi tebing dengan sungai besar di bawah sana. Aku dan Elgar terpojok, sedangkan kedua penyihir itu terus mendekati kami. "Jika kau berikan cawan-cawan kami, aku akan memberi kesempatan kalian untuk hidup." ujar salah satu penyihir. "Aku lebih baik mati daripada memberikan cawan-cawan itu pada kalian!" Elgar terdengar ketus. "Kepercayaan dirimu sangat bagus penyihir putih. Apalagi sihirmu yang lucu itu." penyihir itu meremehkan kekuatan Elgar. "Berikan cawannya sekarang!" dia mulai marah. Elgar menggenggam tanganku. "Tidak
Matahari mulai menghilang di balik perbukitan, meninggalkan seberkas sinar oranye kekuningan yang semakin menipis. Belum sepenuhnya tenggelam, dan langit belum sepenuhnya gelap. Kami mulai bersiap meninggalkan benteng dengan persenjataan lengkap. Senapan beserta belati di sepatu seperti biasa. Elgar dan Kathleen memegang panah masing-masing dan beberapa anak panah yang dilumuri racun."Kita keluar sekarang!" Kingsleigh memberi aba-aba dan memimpin kami keluar benteng. Berjalan mengendap endap seraya mengawasi sekitar. Penyihir-penyihir disana pasti mulai mengawasi kami setelah hari gelap. Aku yakin mereka tahu bahwa para Hunters akan berusaha menggagalkan ritual sakral mereka.Rute ke arah perbukitan tidaklah terlalu sulit. Tanah disini relatif landai dengan sedikit bebatuan. Tak butuh waktu lama untuk mencapai kaki bukit di ujung utara, sementara lokasi bukit Kanchea masih berjarak sekitar 2 bukit lagi dari tempat kami sekarang. Sepi, tak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Aku kha
Aku masih terduduk di tanah saat Elgar menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya seperti yang pernah dilakukannya padaku, pertama kali saat kami bertemu. Tatapan matanya masih sama. Dalam dan sejuk. Aku menerima ulurannya dan berdiri. "Kau baik-baik saja kan?" tanyanya khawatir. "Tidak jika kalian tidak datang tepat waktu." ucapku dengan senyum lebar. Alden dan yang lain lantas menuju ke arah kami diikuti Kathleen. "Kau tidak terluka kan? Penyihir itu melemparmu dua kali." kali ini Alden yang menghawatirkanku sambil menggenggam tangan kananku. "Yah...kurasa tulangku sedikit remuk." aku memasang muka masam. Mereka justru tertawa mendengarku. Tentu saja aku hanya bercanda. Meskipun seluruh tubuhku benar-benar terasa sakit sekarang. "Ayo kita ke tempat yang lebih aman. Aku akan mengobati lukamu." ajak Kathleen. "Emm....sepertinya aku juga butuh pengobatan." ujar Marlon seraya mengangkat lengannya yang sedikit terbakar. "Baiklah. Serahkan semuanya padaku." Kathleen tampak hangat dan
Kami menyalakan api untuk menghangatkan diri. Udara di tempat terbuka seperti ini luar biasa dingin. Lokasi kami yang berada di balik bebatuan besar dan dinaungi pohon lebat memang cukup menguntungkan. Setelah menyantap makan malam, Emma mulai membicarakan kejadian penting yang nyaris kulupakan."Aku tak percaya kita mampu mencapai detik ini. Membayangkan kau hampir saja mati karena keputusan ceroboh Chaz Egerton!" Emma memandangku dengan mata bekaca-kaca."Dia termakan hasutan ratu penyihir yang menyamar sebagai Francis Blake." ujarku kesal."Aku heran bagaimana dia bisa punya ide untuk menghancurkan kita dari dalam?" Kingsleigh menimpali."Malam itu aku pernah membahasnya dengan Chaz Egerton dan dia juga memikirkan hal yang sama. Dia mungkin tahu kita menyembunyikan cawan-cawan mereka di Glaze, tetapi dia bisa menyerang secara brutal saja dengan kekuatannya!" "Kalau begitu, mungkin dia yang menemukan cawan itu di rumahmu. Menyamar sebagai Francis Blake dan menghasut orang-orang." t
Beberapa buah perahu kecil ditambatkan di tepi danau semenjak perairan itu mencair kembali di musim semi. Setiap perahu hanya muat untuk dua orang. Kingsleigh lantas menaiki satu perahu untuk dirinya sendiri. Ia memimpin rombongan menyeberang. Alden mendayung di belakang, sementara aku duduk di depan seraya mencelupkan telapak tangan ke air.Meski telah mencapai pertengahan musim semi, airnya masih begitu dingin dan menusuk kulit. Saat Elgar melempar belatiku ke dalamnya, aku lantas melompat ke air tanpa berpikir panjang. Padahal aku merasa takut berjalan di permukaannya saat masih membeku.Mendung-mendung tipis tampak menggantung di langit, namun sinar matahari masih bisa menemukan celahnya untuk sampai ke bumi. Udara semakin menghangat saat perahu-perahu kami hampir mencapai daratan. Kami mengambil rute lain ke arah barat, rute yang hampir sama saat penyerbuan ke Bukit Kanchea.Setelah menyeberangi danau, kami terus berjalan menembus belantara melalui jalan barat yang landai. Tetapi
Ritual gerhana bulan darah tinggal menghitung hari. Meskipun kaum penyihir hanya memiliki cawan api dan kemudaan, sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencari orang-orang yang akan dikorbankan demi ritual gelap mereka. Terutama anak-anak dan remaja. Aku baru saja kembali dari rumah Everscott bersaudara setelah mengubur cawan saat Merliah Stood melapor pada Chaz Egerton. Ia terengah-engah dan menemui Chaz yang baru saja hendak memasuki rumah besar. Melihatnya, aku lantas mendekat. Dua orang remaja, laki-laki dan perempuan berusia enam belas dan tujuh belas tahun diculik oleh seorang penyihir bertanduk dalam perjalanan pulang mereka ke York. Merliah benar. Penyihir dengan wajahnya mengerikan itu, aku pertama kali melihatnya di bukit Kanchea saat misi penyelamatan. Meskipun diantar dengan kereta, penyihir itu mampu membawa dua orang sekaligus. Pengawal mereka pun tak berdaya setelah dilemparkan ke tumpukan kayu oleh si penyihir. Merliah bergegas ke tempatnya berjaga setelah meny
Tim pembawa cawan akan pergi di pagi hari secara sembunyi-sembunyi. Kami tak boleh menarik perhatian siapapun terutama penyihir hitam sebelum seluruh Hunters bersiap. Malam sebelum keberangkatan, reguku mengadakan rapat kecil dengan Ayah dan Chaz Egerton.Kami mengitari papan strategi dan membahas apa saja yang harus dilakukan reguku. Ayah dan Chaz sudah menentukan reruntuhan Benteng Greystone sebagai tempat tujuan. Benteng peninggalan kerajaan di masa lalu yang sudah rusak dan lama tak digunakan.Tetapi strukturnya masih kuat dan terdapat beberapa bagian yang masih utuh untuk dijadikan tempat persembunyian bahkan menjadi tempat bertempur. Marlon sempat tidak setuju karena kami seolah mengumpankan diri ke kumpulan penyihir hitam."Jenderal, sepertinya ini hanya akan membahayakan nyawa kita sendiri. Benteng itu cukup dekat dengan Bukit Kanchea. Jika kita membawa cawan itu kesana, justru penyihir hitam akan merebutnya dengan mudah!""Tak ada pilihan l