Aku terbangun setelah beberapa saat terbaring tak berdaya di tumpukan salju. Rupanya aku pingsan setelah terjatuh. Embusan angin dari barat yang begitu dingin membuatku menderita. Tubuhku menggigil kedinginan di tengah salju yang kembali turun. Rambut coklat gelapku perlahan memutih akibat tertutup salju.
Di tengah kesunyian tempat yang tak ku kenal ini, seorang lelaki dengan mantel hitam tebal berjalan ke arahku dan berhenti. Tanpa mengetahui siapa lelaki itu, Ia berlutut dan mengulurkan tangannya padaku.
“Siapa kau?” tanyaku setengah gemetar, bukan karena takut melainkan kedinginan.
“Sepertinya kau terluka dan butuh bantuan. Dengan senang hati aku akan membantumu. Oh iya, namaku Elgar.” Suaranya terdengar lembut dan seyumnya terasa hangat. Pembawaannya begitu tenang dengan mata birunya yang bersinar dan rambut gelapnya yang meliuk liuk tertiup angin.
“Aku…” bibir ini terasa berat untuk bicara. Aku tak tahu harus melakukan apa. Jelas tak boleh sembarangan enerima tawaran dari orang yang tidak dikenal di tengah hutan seperti ini. Bisa saja dia bukan orang baik, dan parahnya lagi bisa saja dia penyihir yang sedang menyamar.
Ah tidak mungkin! ujarku seraya menampar pipiku. Hanya para penyihir terkuat dengan sihir the violets yang mampu melakukannya. Mereka telah musnah dalam pertempuran berdarah tiga tahun lalu.
Lelaki itu mulai penasaran melihatku menampar pipiku sendir.
“Kau baik-baik saja? Pasti kau memikirkan sesuatu ya. Ayolah…aku bukan orang jahat. Ikutlah ke rumahku sehingga aku bisa membantumu mengobati luka.” Ia terus berusaha meyakinkanku.
Aku tak punya pilihan selain menerima tawarannya. Setelah kuamati, sepertinya dia memang orang baik. Semoga saja dia tak macam-macam padaku.
“Baiklah!”
Ia mengulurkan tangannya dan kusambut dengan pelan. Selain lengan dan kepala yang sakit, kaki ini juga tidak memungkinkan untuk berjalan kembali ke York.
“Terima kasih.” ujarku seraya membersihkan salju yang memenuhi permukaan mantelku.
“Siapa namamu?”
“Jenna. Baiklah, apa yang bisa kaubantu?” tanyaku.
“Aku bisa mengobati lukamu, dan kau bisa tinggal sementara di rumahku sampai suasana lebih baik.”
“Tidak, terimakasih. Aku harus segera kembali setelah kau mengobati lukaku. Ada banyak hal yang harus kulakukan.” Jawabku.
“Kumohon Jenna! kau harus beristirahat dulu. Aku memang tak tahu bagaimana kau bisa ada di tempat ini, tapi aku yakin kau perlu bantuan! Kau bisa mempercayaiku.”
Ia menatapku dengan mata birunya yang sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Senyumya terlihat tulus, dan setelah saat-saat yang menegangkan tadi perasaanku terasa jadi lebih tenang.
“Baiklah,” aku mengangguk dan berjalan mengikutinya. Ternyata medan yang kami lewati tidaklah mudah, salju cukup tebal dan jalan menurun. Rerumputan begitu rimbun dan tinggi. Kami saling berpegangan agar tidak terjatuh.
Beruntung, di depanku telah terhampar daratan luas yang landai dan medan yang sulit telah berlalu. Sepertinya tempat ini adalah danau yang membeku di musim dingin. Saat aku mulai menginjaknya, terdengar bunyi “krakk” yang pelan dari dalam danau. Setiap kami melangkahkan kaki, bunyi itu terus terdengar. Aku khawatir lapisan es ini akan pecah.
KRRAKK KRRAKK….
“Elgar, sepertinya lapisan esnya mulai pecah, kita bisa tercebur ke danau!”
“Tenang saja Jenna. Lapisan esnya cukup tebal dan kuat untuk menahan orang-orang yang berjalan di atasnya.”
Kami berjalan lebih cepat dan terus memandang ke depan. Kengerian mulai menjalariku. Aku tak mau melihat ke dasar danau yang tampak menakutkan dengan airnya yang berwarna biru tua. Tapi aku tahu Elgar terus memandangi senapanku sejak tadi.
“Apa kau, em… seorang pemburu?” tanya Elgar.
“Ya. Kau bisa mengetahuinya dari senjata yang kubawa.”
“Pemburu penyihir?” aku terkejut bak tersengat kalajengking di leher. Aku memandang matanya dengan tajam, seolah memperingatkannya untuk tak mengatakan hal itu lagi. Kemudian aku hanya terdiam. Ia juga tak mengatakan apapun. Aku tak bisa memberi tahu identitasku begitu saja dengan seseorang yang baru kukenal.
“Kau tak perlu menyembuyikannya dariku. Aku mengetahui semua tentang kalian para pemburu, dan aku menghormati kalian sebagai para pelindung.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan “Tentu saja aku berada di pihakmu.”
Ucapannya membuatku lebih tenang sekalipun Ia berbohong. Tetap saja aku belum bisa mempercayainya seratus persen.
“Baiklah, dugaanmu sangat tepat.”
“Tapi bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”
“Aku terjatuh dari turunan tajam.”
“Setelah menjalankan misi?”
“Tentu saja.” Jawabku singkat.
Setelah melewati hamparan danau yang membeku, terlihat sebuah perkampungan yang dipenuhi dengan tanaman. Karena musim dingin, tanaman-tanaman itu tertutup oleh salju tebal dan membuat mereka seolah hampir mati. Asap mengepul hampir dari seluruh rumah yang jaraknya cukup berjauhan.
Elgar mengajakku masuk ke salah satu rumah yang begitu indah. Sebenarnya rumah ini hanya terbuat dari batu-bata biasa tanpa ornamen lain yang menghiasinya, namun ratusan mawar yang ditanam di depannya membuat rumah kecil ini begitu nyaman.
“Masuklah Jenna. Ini rumahku.” Elgar membuka pintu dan mempersilakanku masuk.
Saat aku memasuki rumah, seketika tubuhku merasa hangat. Terdapat perapian di ruang tamu dan kursi-kursi kayu diletakkan di depannya membentuk setengah lingkaran dengan meja berlapis perunggu di bagian tengah.
Aku duduk dan meletakkan senjataku di bawah. Lalu seorang perempuan muda muncul dengan membawa sebuah kotak. Ia tinggi, ramping, dan rambut coklatnya diikat dengan kepangan-kepangan yang cukup rumit. Ia berhenti sejenak memandangiku dan kembali masuk lewat pintu yang lain.
Sepertinya Ia hanya berberapa tahun lebih tua dariku.
“Mungkin teh ini bisa membuatmu lebih hangat.” Elgar meletakkan nampan di meja dan menyodorkan secangkir teh padaku.
“Terimakasih Elgar.” Aku meminum tehnya dan rasanya benar-benar nikmat. Ada sedikit campuran daun mint yang membuat rasanya segar di tenggorokan.
“Sekarang perlihatkan lukamu Jenna.”
“Baiklah.” Aku membuka lengan bajuku yang sobek dan memperlihatkan lukanya pada Elgar. Tanganku terlihat begitu kaku dan hampir membiru.
“Lukamu sudah cukup parah dan harus segera diobati. Kakakku sangat ahli melakukannya.” Elgar beranjak dari kursi dan kembali ke dalam untuk memanggilnya. Tak berselang lama, Elgar muncul dengan gadis yang kulihat tadi.
“Jenna, ini kakakku Kathleen.” Elgar mengenalkannya padaku.
Gadis itu membawa kotak obat dan duduk di depanku. “Aku akan mengobati lukamu.” Suaranya terdengar lembut dan ramah.
Kathleen membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan membubuhkannya di lenganku kemudian membalutnya dengan perban.
“Selesai! Kau hanya perlu istirahat.”
“Kalau begitu, aku akan pulang. Teman-temanku pasti mencariku.”
“Teman-temanmu?” Kathleen melihat keluar jendela seakan mencari sesuatu.
“Aku belum menceritakannya padamu. Jenna adalah pemburu penyihir, Ia terjatuh dari turunan tajam saat aku menemukannya.”
“Pemburu? Hunters? Wow, itu keren!” Kathleen begitu tertarik dengan profesiku. “Selamat datang di Desa Cornwall.”
“Terima kasih. Kalian sangat baik, tapi aku tak bisa berlama-lama disini. Aku mempunya tugas yang harus segera kulakukan.” aku menolak tawarannya.
“Aku tahu. Tapi lihatlah! Cuaca di luar sangat buruk. Salju turun tanpa henti, apalagi kau harus melewati medan yang sulit. Tinggallah sebentar, setidaknya sampai cuaca sedikit lebih baik.” pinta Elgar.
Aku sempat berpikir selama beberapa saat. Elgar benar juga, udara di luar sangat dingin, tumpukan salju begitu tebal dan sulit dilalui. Apalagi resiko bertemu musuh di tengah perjalanan bukan hal yang tidak mungkin. Ya, lebih baik aku menuruti saja permintaannya.
Walaupun aku belum percaya sepenuhnya pada mereka, setidaknya aku lebih punya energi untuk menjaga diri.
“Baiklah, jika kalian menginginkan ini.” jawabku seraya mengambil cangkir tehku.
Kathleen mengajakku melihat-lihat isi rumah. Ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi suasananya begitu hangat dan nyaman. Di dinding ruang tamu terdapat ukiran-ukiran kayu serta lampu gantung berwarna keperakan yang terlihat antik.
Lalu kami menuju ke sayap kanan rumah. Di bagian ini terdapat ruang perapian dan dapur, jadi ada dua tungku perapian di rumah ini.
Kathleen mengajakku masuk ke perapian dan mataku segera tertuju pada benda-benda yang menghiasi dindingnya. Di atas tungku perapian terdapat tiga buah pedang yang disusun berjajar. Sementara di dinding sebelah kanan dan kiri terdapat busur serta anak panah yang digantung diantara lukisan-lukisan minyak.
“Kau mengoleksi benda-benda ini?” tanyaku sambil menunjuk ke salah satu pedang.
“Ya. Kami memang senang mengoleksi senjata. Lagipula, kita bisa mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Selain sebagai hiasan, aku juga bisa menggunakannya untuk melawan serangan musuh.” Kathleen menjawab dengan antusias.
“Hobimu cukup menantang. Um..Apa desa ini pernah diserang?
“Tidak, tentu saja tidak. Cornwall tempat yang aman, Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku dan Elgar hanya tinggal berdua disini, jadi kami begitu senang menerimamu!”
“Kalian hanya tinggal berdua?” tanyaku penasaran.
“Ya. Seperti yang kau lihat.”
Sebenarnya aku masih ingin menanyakan mengapa mereka hanya tinggal berdua di rumah ini, serta kemana orang tua mereka. tapi aku merasa tidak enak pada Kathleen.Aku menghabiskan malam bersama Elgar dan Kathleen dengan bermain salju di luar. Salah satu hal yang sangat jarang kulakukan sebelumnya. Tapi ini sangat menyenangkan. Bulan bersinar cerah walaupun sedang musim dingin. Sinarnya memantul di permukaan kolam yang hampir membeku. Suasana begitu tenang, tapi aku tahu disaat bulan bersinar cerah seperti ini, adalah waktu yang sangat tepat bagi para penyihir untuk melakukan ritual. Kemudian aku merasa ada sesuatu yang aneh. Terdapat cahaya keunguan di antara awan-awan di langit. Tak salah lagi, itu adalah hasil dari aktivitas para penyihir. Cahaya itu juga terlihat dari permukaan kolam. Aku tak bisa membiarkan Elgar dan Kathleen terus berada di luar. Tapi aku tak yakin untuk mengajak mereka ke dalam tanpa suatu alasan yang masuk akal. Mungkin saja mereka tak akan mempercayai ucapanku. Tiba-tiba Kathleen melempar salju ke arahku. “Jenna! Kulihat kau terus memandangi kolam itu. Apa kau sudah bosan?”
Perjalanan pulangku tak berjalan mulus lantaran harus melewati beberapa tanjakan yang dipenuhi salju tebal. Aku memanjat dengan pelan dan menginjakkan kakiku kuat-kuat ke tanah. Tanganku berpegangan pada rerumputan rimbun yang cukup menyulitkan saat turun, namun sangat membantu saat naik. Setelah merasa cukup lelah karena medan yang sulit, kuputuskan untuk beristirahat sebentar. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari balik semak. Aku tak menghiraukannya dan kupikir itu hanya suara binatang-binatang liar, walaupun perasaanku berkata sebaliknya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Kudekati semak itu untuk memeriksanya, tetapi tak ada apapun. Aku bergegas pergi. Cornwall berada jauh di utara dan aku harus melewati Windstone untuk sampai ke York. Tapi aku tak ingin melewati tempat itu, jadi aku berencana mengambil rute ke selatan lalu berbelok ke timur. Melewati hutan yang menurutku lebih baik daripada dataran luas Windstone yang begitu dingin da
Aku pulang ke rumah dan mengunci pintu kamarku. Cawan perak pemberian Elgar masih tergantung di pinggang. Aku mengeluarkan cawan itu dari kantong dan mendekatkannya ke jendela. Seberkas sinar yang masuk membuat cawan itu berkilauan. Tubuh cawan itu dipenuhi ukiran seperti sulur tanaman yang meliuk-liuk, dengan ukiran utama berbentuk wanita. Elgar hanya memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan dan aku juga tak tahu harus menyimpannya dimana. Terdengar suara pintu diketuk. “Jenna, Ayahmu ingin bertemu denganmu, maksudku kita. Dia bilang inign menunjukkan sesuatu.” Rupanya dia Alden. Aku cepat-cepat mengembalikan cawan itu ke kantong dan meyembunyikannya di bawah tempat tidur. Alden telah menungguku di luar. “Baiklah! Kedengarannya seperti aku belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya.” Kami menuju ke rumah besar tepatnya di ruang kerja Ayah. Chaz dan Ayahku telah menunggu di sana. “Hai Ayah!” “Hai sayang. Mr. Everscott m
Aku masih terjaga karena memikirkan cawan pemberian Elgar saat terdengar suara berisik di tengah malam. Suara itu sepertinya tak jauh dari tepatku sekarang. Aku lantas mengambil senapan dan berlari ke kebun belakang rumah. Sayup-sayup teriakan seorang gadis muda yang semakin lama semakin jelas. Kurasa berasal dari belakang tembok Glaze. Kupanggil Emma yang mungkin saja sedang tertidur pulas. Setelah mengetuk pintunya beberapa kali, Ia keluar dengan belati di tangannya. “Apa yang terjadi?” tanyanya seraya merapikan rambutnya. “Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Aku mendengar jeritan gadis muda yang meminta tolong.” “Bagaimana jika kita mencarinya?” usul Emma. “Baiklah! Kita ambil tangga saja.” Kami lantas mengambil tangga kayu dan melompati tembok. Untung saja bagian atasnya tidak dipasang kawat berduri ataupun pecahan kaca sehingga kami bisa melompat dengan mudah. Di luar tembok sangat sepi. Hanya ada
Perasaan ragu tiba-tiba muncul, membuatku tak yakin untuk melangkah. Seketika teringat cawan perak pemberian Elgar yang merupakan salah satu cawan mistis penyihir hitam. Aku agak takut bertemu dengan mereka, tetapi aku juga ingin memastikan darimana mereka mendapat cawan itu. Kuputuskan untuk datang saja dan meminta penjelasan.Aku mengetuk pintu berkali-kali dengan agak keras. “ Elgar, Elgar, buka pintunya!”. Kemudian pintu kayu yang berat itu terbuka dan mengeluarkan suara mendecit.“Jenna! masuklah…”Mata birunya berbinar saat melihatku. Senyumnya merekah seperti bunga mawar di depan. Aku masuk dengan hati-hati.“Aku tak menyangka kau kembali ke sini.” Elgar terlihat senang dengan kedatanganku.“Tentu saja bukan tanpa alasan Elgar. Um.. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu." jawabku tegas seraya memandang matanya dengan tajam.“Menanyakan apa?"Kepalaku terasa pening. S
Willeth tampak sepi saat aku kembali. Sepertinya anggota reguku telah kembali ke markas kecuali Alden. Dari kejauhan aku melihatnya berdiri di dekat bekas rumah penyihir. Dia bergegas menghampiriku setelah aku memanggilnya. “Darimana saja kau? Apa kau tersesat lagi?” Ia begitu khawatir. “Begitulah. Aku tersesat setelah mendengar suara-suara aneh. Dan…” “Dan kau menemui kenalanmu itu lagi?” Alden memotong ucapanku. Aku menghela napas. Rupanya Ia tahu apa yang kupikirkan. “Aku tersesat jauh ke utara, dan jika berjalan lurus aku akan mencapai Cornwall. Itu yang kuingat saat kebingungan di tengah hutan. Alden, aku punya sesuatu yang sangat penting.” Aku berbisik padanya sambil menunjukkan gulungan kertas di dalam mantel. Sebelum Ia sempat bertanya, aku lantas menarik tangannya dan berlari menuju Glaze. Pencarian yang tak membuahkan hasil membuat senjataku masih utuh. Kami bergegas ke rumah besar untuk memberitahu semua yang kud
Aku mengetuk pintu rumah Kathleen seolah berkunjung seperti biasa, dan aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia baru saja pergi ke desa. Aku mengetuk pintu berkali-kali, tapi sama sekali tak ada jawaban. Tiba-tiba, pintu itu membuka sendiri tanpa ada siapapun yang membukanya. Aku melihat ke dalam dan masuk dengan hati-hati. Suasana rumah itu sangat sepi walaupun Kathleen baru saja masuk.“Elgar, Kathleen! Dimana kalian? Aku Jenna.”Aku terus memanggil nama mereka, namun tetap saja tak ada jawaban. Lalu terdengar suara-suara di lantai atas. Tanpa berpikir panjang aku menaiki tangga dan menemukan Elgar berdiri disana.“Elgar, aku memanggilmu sejak tadi. Tapi tak ada jawaban.” ujarku pelan dan agak ragu-ragu.“Kau kembali Jenna.” ucapannya pelan dan tak seperti biasanya. Mungkin dia tak senang dengan kedatanganku.“Um...Elgar, aku..aku ingin mengatakan sesuatu.” Sebelum sempat melanju
epalaku terasa pening serta pandanganku tampak kabur. Leherku terasa sakit setelah sebuah benda menghantamku dengan keras. Aku duduk bersandar pada sebuah kursi dengan tangan terikat dalam sebuah ruangan yang terlihat seperti gudang. Beberapa kotak kayu terlihat menumpuk di pojok ruangan dan penuh dengan sarang laba-laba. Debu memenuhi seluruh ruangan hingga membuat tenggorokanku terasa gatal.Ruangan ini begitu dingin tanpa perapian atau satupun lampu yang menggantung di dinding. Kemudian terdengar langkah kaki dari tangga pendek yang menuju ke pintu ruangan ini. Aku sudah bisa menebaknya, Elgar masuk dan membawa senapan serta pedangku lalu meletakkannya di depanku.“Kau sudah sadar?” Ia bertanya tanpa melihat wajahku.“Lepaskan aku! Kenapa kau menyekapku di ruangan sempit ini?” aku bicara dengan pelan tanpa meronta atau berusaha melakukan perlawanan sedikitpun.“Kami terpaksa melakukannya karena kau begitu brutal tadi. Aku tak bermaksud melukaimu dengan kayu itu.
15 tahun kemudian Menjelang gerhana bulan beberapa hari lagi, Glaze mengirim para Hunters untuk memperketat penjagaan di York dan Carvage. Tetapi setiap misi tak terasa seperti dulu. Aku tak lagi satu tim dengan Alden setelah kami menjadi kapten di tim masing-masing. Emma telah berhenti karena cidera yang didapatkannya dua tahun lalu dan sekarang beralih menjadi pelatih. Marlon telah pindah ke kota lain dan berhenti dari pekerjaannya, mencari kehidupan yang lebih tenang. Kingsleigh begitu sibuk dengan urusannya setelah menggantikan Komandan Egerton. Meskipun Millorick dan kaumnya telah hancur lima belas tahun lalu, bukan berarti para penyihir itu lenyap untuk selamanya. Mereka masih terus muncul dan berbuat keonaran walau tak sebrutal dulu dan tanpa ketiga cawan sakti mereka. Aku masih menjalankan tugas bersama keempat anggota tim ku. Menyusuri hutan Greenleaves yang sunyi dan bersalju. Suara-suara mencurigakan menggema di antara pepohonan, membuatku tertarik untuk menemukan sumbe
Hari sudah mulai terang dan sesuai kesepakatan aku akan keluar lebih dulu. Elgar menawarkan dirinya untuk mengambil alih cawan keabadian. "Sebaiknya aku saja yang membawa cawan itu. Jika Millorick menemukanmu, dia pasti tidak akan ragu membunuhmu demi benda terkutuk itu." ujarnya. "Kau yakin? Dulu kau menyerahkannya padaku, apa kau benar-benar ingin mengambilnya lagi?" aku merasa tak yakin. "Ini demi keselamatanmu Jenna. Saat itu aku memberikannya padamu agar benda itu tersimpan dengan aman di Glaze. Tetapi keadaan sudah berubah. Lagipuls aku punya kemampuan melindungi diri." "Baiklah." Aku memberikan cawan itu padanya. "Jaga dirimu!" Aku bergegas meninggalkan belukar tempat kami bersembunyi lalu berjalan ke arah sungai tempat kami terjatuh. Tak ada siapapun di tempat ini. Tebing di seberang juga tampak sepi. Entah kemana perginya para penyihir dan Hunters yang lain. Seharusnya ritual gerhana bulan darah sudah pasti gagal mengingat Millorick belum berhasil mendapatkan cawan ke
Elgar mengayunkan tangan kanannya. Telapak tangannya memancarkan cahaya kekuningan yang membuat penyihir itu terjerembab. Tak cukup dengan satu penyihir, tiga orang lainnya meluncur ke arah kami. Aku dan Elgar meninggalkan benteng dan berlari sejauh mungkin. Salah satu dari mereka mencoba menerkamku. Dengan refleks yang cepat, aku menembakkan pistol padanya dan sebuah peluru menembus dadanya. Sementara dua penyihir lainnya masih terus mengejar. Kami sampai di tepi tebing dengan sungai besar di bawah sana. Aku dan Elgar terpojok, sedangkan kedua penyihir itu terus mendekati kami. "Jika kau berikan cawan-cawan kami, aku akan memberi kesempatan kalian untuk hidup." ujar salah satu penyihir. "Aku lebih baik mati daripada memberikan cawan-cawan itu pada kalian!" Elgar terdengar ketus. "Kepercayaan dirimu sangat bagus penyihir putih. Apalagi sihirmu yang lucu itu." penyihir itu meremehkan kekuatan Elgar. "Berikan cawannya sekarang!" dia mulai marah. Elgar menggenggam tanganku. "Tidak
Matahari mulai menghilang di balik perbukitan, meninggalkan seberkas sinar oranye kekuningan yang semakin menipis. Belum sepenuhnya tenggelam, dan langit belum sepenuhnya gelap. Kami mulai bersiap meninggalkan benteng dengan persenjataan lengkap. Senapan beserta belati di sepatu seperti biasa. Elgar dan Kathleen memegang panah masing-masing dan beberapa anak panah yang dilumuri racun."Kita keluar sekarang!" Kingsleigh memberi aba-aba dan memimpin kami keluar benteng. Berjalan mengendap endap seraya mengawasi sekitar. Penyihir-penyihir disana pasti mulai mengawasi kami setelah hari gelap. Aku yakin mereka tahu bahwa para Hunters akan berusaha menggagalkan ritual sakral mereka.Rute ke arah perbukitan tidaklah terlalu sulit. Tanah disini relatif landai dengan sedikit bebatuan. Tak butuh waktu lama untuk mencapai kaki bukit di ujung utara, sementara lokasi bukit Kanchea masih berjarak sekitar 2 bukit lagi dari tempat kami sekarang. Sepi, tak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Aku kha
Aku masih terduduk di tanah saat Elgar menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya seperti yang pernah dilakukannya padaku, pertama kali saat kami bertemu. Tatapan matanya masih sama. Dalam dan sejuk. Aku menerima ulurannya dan berdiri. "Kau baik-baik saja kan?" tanyanya khawatir. "Tidak jika kalian tidak datang tepat waktu." ucapku dengan senyum lebar. Alden dan yang lain lantas menuju ke arah kami diikuti Kathleen. "Kau tidak terluka kan? Penyihir itu melemparmu dua kali." kali ini Alden yang menghawatirkanku sambil menggenggam tangan kananku. "Yah...kurasa tulangku sedikit remuk." aku memasang muka masam. Mereka justru tertawa mendengarku. Tentu saja aku hanya bercanda. Meskipun seluruh tubuhku benar-benar terasa sakit sekarang. "Ayo kita ke tempat yang lebih aman. Aku akan mengobati lukamu." ajak Kathleen. "Emm....sepertinya aku juga butuh pengobatan." ujar Marlon seraya mengangkat lengannya yang sedikit terbakar. "Baiklah. Serahkan semuanya padaku." Kathleen tampak hangat dan
Kami menyalakan api untuk menghangatkan diri. Udara di tempat terbuka seperti ini luar biasa dingin. Lokasi kami yang berada di balik bebatuan besar dan dinaungi pohon lebat memang cukup menguntungkan. Setelah menyantap makan malam, Emma mulai membicarakan kejadian penting yang nyaris kulupakan."Aku tak percaya kita mampu mencapai detik ini. Membayangkan kau hampir saja mati karena keputusan ceroboh Chaz Egerton!" Emma memandangku dengan mata bekaca-kaca."Dia termakan hasutan ratu penyihir yang menyamar sebagai Francis Blake." ujarku kesal."Aku heran bagaimana dia bisa punya ide untuk menghancurkan kita dari dalam?" Kingsleigh menimpali."Malam itu aku pernah membahasnya dengan Chaz Egerton dan dia juga memikirkan hal yang sama. Dia mungkin tahu kita menyembunyikan cawan-cawan mereka di Glaze, tetapi dia bisa menyerang secara brutal saja dengan kekuatannya!" "Kalau begitu, mungkin dia yang menemukan cawan itu di rumahmu. Menyamar sebagai Francis Blake dan menghasut orang-orang." t
Beberapa buah perahu kecil ditambatkan di tepi danau semenjak perairan itu mencair kembali di musim semi. Setiap perahu hanya muat untuk dua orang. Kingsleigh lantas menaiki satu perahu untuk dirinya sendiri. Ia memimpin rombongan menyeberang. Alden mendayung di belakang, sementara aku duduk di depan seraya mencelupkan telapak tangan ke air.Meski telah mencapai pertengahan musim semi, airnya masih begitu dingin dan menusuk kulit. Saat Elgar melempar belatiku ke dalamnya, aku lantas melompat ke air tanpa berpikir panjang. Padahal aku merasa takut berjalan di permukaannya saat masih membeku.Mendung-mendung tipis tampak menggantung di langit, namun sinar matahari masih bisa menemukan celahnya untuk sampai ke bumi. Udara semakin menghangat saat perahu-perahu kami hampir mencapai daratan. Kami mengambil rute lain ke arah barat, rute yang hampir sama saat penyerbuan ke Bukit Kanchea.Setelah menyeberangi danau, kami terus berjalan menembus belantara melalui jalan barat yang landai. Tetapi
Ritual gerhana bulan darah tinggal menghitung hari. Meskipun kaum penyihir hanya memiliki cawan api dan kemudaan, sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencari orang-orang yang akan dikorbankan demi ritual gelap mereka. Terutama anak-anak dan remaja. Aku baru saja kembali dari rumah Everscott bersaudara setelah mengubur cawan saat Merliah Stood melapor pada Chaz Egerton. Ia terengah-engah dan menemui Chaz yang baru saja hendak memasuki rumah besar. Melihatnya, aku lantas mendekat. Dua orang remaja, laki-laki dan perempuan berusia enam belas dan tujuh belas tahun diculik oleh seorang penyihir bertanduk dalam perjalanan pulang mereka ke York. Merliah benar. Penyihir dengan wajahnya mengerikan itu, aku pertama kali melihatnya di bukit Kanchea saat misi penyelamatan. Meskipun diantar dengan kereta, penyihir itu mampu membawa dua orang sekaligus. Pengawal mereka pun tak berdaya setelah dilemparkan ke tumpukan kayu oleh si penyihir. Merliah bergegas ke tempatnya berjaga setelah meny
Tim pembawa cawan akan pergi di pagi hari secara sembunyi-sembunyi. Kami tak boleh menarik perhatian siapapun terutama penyihir hitam sebelum seluruh Hunters bersiap. Malam sebelum keberangkatan, reguku mengadakan rapat kecil dengan Ayah dan Chaz Egerton.Kami mengitari papan strategi dan membahas apa saja yang harus dilakukan reguku. Ayah dan Chaz sudah menentukan reruntuhan Benteng Greystone sebagai tempat tujuan. Benteng peninggalan kerajaan di masa lalu yang sudah rusak dan lama tak digunakan.Tetapi strukturnya masih kuat dan terdapat beberapa bagian yang masih utuh untuk dijadikan tempat persembunyian bahkan menjadi tempat bertempur. Marlon sempat tidak setuju karena kami seolah mengumpankan diri ke kumpulan penyihir hitam."Jenderal, sepertinya ini hanya akan membahayakan nyawa kita sendiri. Benteng itu cukup dekat dengan Bukit Kanchea. Jika kita membawa cawan itu kesana, justru penyihir hitam akan merebutnya dengan mudah!""Tak ada pilihan l