Perjalanan pulangku tak berjalan mulus lantaran harus melewati beberapa tanjakan yang dipenuhi salju tebal. Aku memanjat dengan pelan dan menginjakkan kakiku kuat-kuat ke tanah. Tanganku berpegangan pada rerumputan rimbun yang cukup menyulitkan saat turun, namun sangat membantu saat naik. Setelah merasa cukup lelah karena medan yang sulit, kuputuskan untuk beristirahat sebentar.
Tiba-tiba terdengar suara berisik dari balik semak. Aku tak menghiraukannya dan kupikir itu hanya suara binatang-binatang liar, walaupun perasaanku berkata sebaliknya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Kudekati semak itu untuk memeriksanya, tetapi tak ada apapun. Aku bergegas pergi.
Cornwall berada jauh di utara dan aku harus melewati Windstone untuk sampai ke York. Tapi aku tak ingin melewati tempat itu, jadi aku berencana mengambil rute ke selatan lalu berbelok ke timur. Melewati hutan yang menurutku lebih baik daripada dataran luas Windstone yang begitu dingin dan sepi.
Sejak aku mulai memasuki hutan, terdengar suara-suara berisik yang seolah mengikuti. Aku terus berjalan tanpa menghiraukannya. Sejenak suara itu menghilang, lalu kembali terdengar bahkan jauh lebih keras. Aku yakin itu bukan suara binatang atau hanya desiran angin.
Sepertinya aku punya firasat buruk dan menggenggam senapanku erat-erat. Tiba-tiba seorang penyihir wanita meluncur ke arahku dengan menaiki sapu terbang. Aku menghindar dan menembakkan pistolku, namun tembakanku selalu meleset.
Penyihir itu terus terbang dan dapat menghindar dengan begitu gesitnya, sambil terus membalas dengan sihirnya. Sementara aku berusaha keras menghindarinya hingga sihir-sihir itu mengenai pepohonan dan membuat ranting-rantingnya patah. Sialnya satu tembakan terakhir sihir itu berhasil mengenai tubuhku hingga aku terlempar dengan keras ke tanah.
Aku berusaha bangkit dan mencari cara lain dengan berlari ke timur. Disana terdapat banyak pepohonan berukuran pendek namun memiliki ranting-ranting yang panjang dan kuat. Penyihir itu mengejarku dengan sapunya. Aku mulai berlari diantara pepohonan pendek itu seraya mencari memikirkan teknik untuk menyerangnya.
Sebuah ranting yang cukup panjang melintang di depanku. Secepat kilat aku menunduk dan melempar tubuhku ke depan. Rupanya refleksku cukup bagus. Karena tak siap, penyihir itu tak punya waktu untuk menghindar hingga menabrak ranting dengan keras dan terhempas ke tanah, sementara sapunya terus terbang entah kemana.
Penyihir itu bangkit dan tertawa. Ia terlihat sangat tua, jelek dengan rambut kusut dan gaunnya yang penuh sobekan.
“Kau hanya berburu sendirian? Kenapa kau tak mengajak teman-temanmu?” Ia mengeluarkan tawa melengking khas penyihir.
"Harusnya kau bersyukur karena aku hanya sendirian! Ayo kita lihat sejauh mana kemampuan sihirmu itu!"
Aku menarik pelatuk dan menembakkan peluru ke arahnya. Ia cukup terkejut hanya saja sebutir peluru tak cukup untuk membuat luka yang berarti.
Penyihir itu kembali tertawa dan mengeluarkan sebilah belati yang sangat tajam. Tiba-tiba Ia melompat ke arahku dan mencoba menusukku dengan belatinya.
Dengan kemampuan refleksku yang cepat, aku berbaring di bawahnya dan terus menahannya dengan senapanku. Ketika belati itu hampir sampai di depan leherku, aku menendangnya sekuat tenaga hingga penyihir itu terjerembab ke tanah. Kupikir sepatu botku yang berat dan tebal cukup berjasa menciptakan tendangan yang mematikan.
Sepertinya Ia cukup kesakitan karena tendanganku tepat di bagian dadanya. Masih lebih baik daripada sebutir peluru yang mengenai lengannya.
Diantara pepohonan rimbun di sekitarku, terdapat beberapa akar meggantung dan sepertinya cukup kuat untuk berayun. Aku segera memanjat salah satu pohon dengan berpegangan pada tali akar.
Ketika penyihir itu mulai berdiri, aku meluncur menggunakan akar pohon dan menabrakkan penyihir tua itu ke pohon lain yang lebih besar.
Saat itu juga aku menarik belati dan menusuknya tepat di bagian jantung. Ia menjerit dan seketika tubuhnya berubah menjadi setumpuk abu.
***
Setelah menempuh medan yang berat hingga bertemu penyihir menyebalkan, aku tiba juga di Glaze. Suasana begitu ramai. Beberapa tabib dan pandai besi berkerumun, berlalu lalang seperti sedang membicarakan sesuatu.
Sepertinya suasana di sini sedang kacau tapi aku tak melihat ada pasukan yang berjaga-jaga. Kemudian seseorang memanggilku dari balik kerumunan.
“Jenna!” aku menoleh.Kingsleigh memanggilku dari pintu gerbang. Melambaikan tangannya ke arahku dan bergegas menghampiri. Ia memelukku erat.
"Dari mana saja kau? Kami menghawatirkanmu karena tak menemukanmu dimana pun!" tanya Kingsleigh penuh kekhawatiran.
"Ceritanya panjang. Ini karena aku dan Emma diserang ratusan burung gagak akibat ulah penyihir jelek itu!" gerutuku.
"Akan kujelaskan nanti. Pastinya aku baik-baik saja sekarang." jawabku dengan yakin.
"Ayahmu sempat berpikir untuk mencarimu dengan mengirim beberapa orang, tetapi kami mengurungkannya. Emma juga berpikir kau hanya tersesat. Lalu kami putuskan untuk mencarimu jika sampai hari ini kau belum kembali." Kingsleigh mengalungkan lengannya ke bahuku dan kami berjalan menuju rumah besar.
"Aku memang tersesat jauh. Sangat jauh!"
Dia adalah kakak Alden dan kapten reguku. Selama ini Kingsleigh telah mengaggapku seperti saudaranya begitu pun sebaliknya. Sebagai anak tunggal aku merasa senang memiliki teman seperti dia.
Kami sudah mendekati pintu rumah besar saat Kingsleigh menarikku ke tepi untuk bicara sebentar.
“Rupanya ucapan Francis Blake memang benar. Penyihir-penyihir itu berdatangan dan kami terlibat pertempuran dengan mereka. Jumlah mereka tak terlalu banyak, jadi kami berhasil menumpas mereka semua. Beberapa anggota mereka lah yang menyerang kalian. Bedanya tak ada burung-burung gagak."
"Huh...burung-burung sialan itu! Mereka lah yang membuatku jatuh dari lereng."
"Dan the violets itu..."
"Sebaiknya kita tak membahasnya sekarang."
Aku memotong ucapan Kingsleigh sebelum dia melanjutkannya. Penyihir dengan kemampuan itu memang telah bangkit. Entah salah satu yang tersisa dari pertempuran tiga tahun lalu atau penyihir lain yang baru muncul. Cahaya keunguan yang kulihat dari Cornwall, itu tanda bahwa mereka ada. Tetapi aku tak ingin mengatakannya sekarang.
“Dimana teman-teman yang lain?"
"Mereka baik-baik saja. Emma mendapat beberapa luka setelah diserang kawanan gagak. Beruntung Alden bergerak cepat dan berhasil membunuh si penyihir."
Kami bergegas ke ruang perawatan, sementara Kingsleigh menuju ke aula. Tidak seperti biasanya, ruang perawatan ini cukup penuh dengan banyaknya pemburu yang dirawat. Termasuk Marlon dan Emma.
“Marlon!”
“Jenna! dari mana saja kau?”
“Ceritanya panjang.” Aku duduk dan meletakkan semua senjataku. "Apa lukamu parah?"
“Banyak yang terluka di antara kami saat berburu kemarin. Rupanya para penyihir mengetahui rencana kita dan mereka balas menyerang. Bahkan lenganku juga terkena sabetan pedang penyihir,” Marlon menunjukkan luka di lengan kirinya.
Sementara, Emma duduk di ranjang dengan balutan perban di lengannya. Wajahnya terlihat kemerahan akibat lebam.
“Emma!” aku memeluknya.
“Jenna!" matanya berbinar melihat kedatanganku. Rasa senang dan khawatir tampak menyelimutinya.
"Aku sangat mencemaskanmu! Saat aku dikeroyok burung-burung itu, Alden berhasil membunuh si penyihir dan menyelamatkanku. Tapi kau menghilang dan kami tak bisa menemukanmu.”
“Saat itu aku berlari menjauh dan terjatuh ke jurang. Um, aku sedikit terluka, tapi aku baik-baik saja. “Dimana Alden?”.
“Entahlah, dia bahkan tak bisa makan dan tidur dengan baik karena memikirkanmu .” jawab Emma.
Aku bergegas mencari Alden dan menuju ke ruangan kami. Tapi tak ada siapapun disana dan ruangannya terlihat berantakan. Kemudian aku teringat tempat yang paling dia sukai, yaitu loteng. Dan benar saja, aku menemukannya sendirian disana.
“Alden!”
Ia menoleh, “Jenna!” Ia memelukku.
“Jenna, dari mana saja kau? Aku mencarimu tapi aku tak menemukanmu dimanapun.” Alden begitu mengkhawatirkanku.
“Aku baik-baik saja. Setelah aku dan Emma diserang oleh ratusan burung gagak, aku berlari dan terjatuh ke jurang. Seorang pria menyelamatkanku dan aku tinggal di rumahnya semalam.”
“Siapa dia?” tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.
“Namanya Elgar, dan kakak perempuannya Kathleen. Mereka tinggal di desa yang lumayan jauh di seberang hutan. Mereka mengobati lukaku, memberiku makan dan tempat tidur. Aku diperlakukan dengan sangat baik walaupun kami belum pernah bertemu sebelumnya.”
Alden menghembuskan napas panjang dan mengalihkan pandangan dariku.
“Sekarang kau memang baik-baik saja, tapi sangat beresiko pergi dengan orang yang belum kau kenal.”
“Aku tahu, tapi kumohon jangan beritahu siapapun. Lupakan saja!”
“Baiklah! Apapun yang terjadi, aku senang kau kembali.” Alden memeluk dan mengayunkan tubuhku lagi.
“Apa Ayahku tahu kalau aku pergi?”
“Dia hanya tahu bahwa kau menghilang. Jika sampai hari ini kau tak kembali, kami akan mencarimu.”
Aku merasa bersalah. Ayah pasti akan sangat khawatir karena aku tak pulang, Mencari orang hilang di malam hari sama saja dengan memburu penyihir.
“Baiklah Alden, aku ingin pergi ke kamarku.”
"Jenna, kenapa terburu-buru?” tanya Alden seolah tak merelakanku pergi.
“Aku lelah Alden, hanya ingin istirahat sebentar.” aku bergegas ke rumah.
Cawan perak pemberian Elgar masih tersimpan di balik mantelku. Aku tak memberitahu siapapun tentang benda ini dan berniat menyimpannya di kamar. Lagipula itu hanyalah cawan perak biasa.
Aku pulang ke rumah dan mengunci pintu kamarku. Cawan perak pemberian Elgar masih tergantung di pinggang. Aku mengeluarkan cawan itu dari kantong dan mendekatkannya ke jendela. Seberkas sinar yang masuk membuat cawan itu berkilauan. Tubuh cawan itu dipenuhi ukiran seperti sulur tanaman yang meliuk-liuk, dengan ukiran utama berbentuk wanita. Elgar hanya memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan dan aku juga tak tahu harus menyimpannya dimana. Terdengar suara pintu diketuk. “Jenna, Ayahmu ingin bertemu denganmu, maksudku kita. Dia bilang inign menunjukkan sesuatu.” Rupanya dia Alden. Aku cepat-cepat mengembalikan cawan itu ke kantong dan meyembunyikannya di bawah tempat tidur. Alden telah menungguku di luar. “Baiklah! Kedengarannya seperti aku belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya.” Kami menuju ke rumah besar tepatnya di ruang kerja Ayah. Chaz dan Ayahku telah menunggu di sana. “Hai Ayah!” “Hai sayang. Mr. Everscott m
Aku masih terjaga karena memikirkan cawan pemberian Elgar saat terdengar suara berisik di tengah malam. Suara itu sepertinya tak jauh dari tepatku sekarang. Aku lantas mengambil senapan dan berlari ke kebun belakang rumah. Sayup-sayup teriakan seorang gadis muda yang semakin lama semakin jelas. Kurasa berasal dari belakang tembok Glaze. Kupanggil Emma yang mungkin saja sedang tertidur pulas. Setelah mengetuk pintunya beberapa kali, Ia keluar dengan belati di tangannya. “Apa yang terjadi?” tanyanya seraya merapikan rambutnya. “Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Aku mendengar jeritan gadis muda yang meminta tolong.” “Bagaimana jika kita mencarinya?” usul Emma. “Baiklah! Kita ambil tangga saja.” Kami lantas mengambil tangga kayu dan melompati tembok. Untung saja bagian atasnya tidak dipasang kawat berduri ataupun pecahan kaca sehingga kami bisa melompat dengan mudah. Di luar tembok sangat sepi. Hanya ada
Perasaan ragu tiba-tiba muncul, membuatku tak yakin untuk melangkah. Seketika teringat cawan perak pemberian Elgar yang merupakan salah satu cawan mistis penyihir hitam. Aku agak takut bertemu dengan mereka, tetapi aku juga ingin memastikan darimana mereka mendapat cawan itu. Kuputuskan untuk datang saja dan meminta penjelasan.Aku mengetuk pintu berkali-kali dengan agak keras. “ Elgar, Elgar, buka pintunya!”. Kemudian pintu kayu yang berat itu terbuka dan mengeluarkan suara mendecit.“Jenna! masuklah…”Mata birunya berbinar saat melihatku. Senyumnya merekah seperti bunga mawar di depan. Aku masuk dengan hati-hati.“Aku tak menyangka kau kembali ke sini.” Elgar terlihat senang dengan kedatanganku.“Tentu saja bukan tanpa alasan Elgar. Um.. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu." jawabku tegas seraya memandang matanya dengan tajam.“Menanyakan apa?"Kepalaku terasa pening. S
Willeth tampak sepi saat aku kembali. Sepertinya anggota reguku telah kembali ke markas kecuali Alden. Dari kejauhan aku melihatnya berdiri di dekat bekas rumah penyihir. Dia bergegas menghampiriku setelah aku memanggilnya. “Darimana saja kau? Apa kau tersesat lagi?” Ia begitu khawatir. “Begitulah. Aku tersesat setelah mendengar suara-suara aneh. Dan…” “Dan kau menemui kenalanmu itu lagi?” Alden memotong ucapanku. Aku menghela napas. Rupanya Ia tahu apa yang kupikirkan. “Aku tersesat jauh ke utara, dan jika berjalan lurus aku akan mencapai Cornwall. Itu yang kuingat saat kebingungan di tengah hutan. Alden, aku punya sesuatu yang sangat penting.” Aku berbisik padanya sambil menunjukkan gulungan kertas di dalam mantel. Sebelum Ia sempat bertanya, aku lantas menarik tangannya dan berlari menuju Glaze. Pencarian yang tak membuahkan hasil membuat senjataku masih utuh. Kami bergegas ke rumah besar untuk memberitahu semua yang kud
Aku mengetuk pintu rumah Kathleen seolah berkunjung seperti biasa, dan aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia baru saja pergi ke desa. Aku mengetuk pintu berkali-kali, tapi sama sekali tak ada jawaban. Tiba-tiba, pintu itu membuka sendiri tanpa ada siapapun yang membukanya. Aku melihat ke dalam dan masuk dengan hati-hati. Suasana rumah itu sangat sepi walaupun Kathleen baru saja masuk.“Elgar, Kathleen! Dimana kalian? Aku Jenna.”Aku terus memanggil nama mereka, namun tetap saja tak ada jawaban. Lalu terdengar suara-suara di lantai atas. Tanpa berpikir panjang aku menaiki tangga dan menemukan Elgar berdiri disana.“Elgar, aku memanggilmu sejak tadi. Tapi tak ada jawaban.” ujarku pelan dan agak ragu-ragu.“Kau kembali Jenna.” ucapannya pelan dan tak seperti biasanya. Mungkin dia tak senang dengan kedatanganku.“Um...Elgar, aku..aku ingin mengatakan sesuatu.” Sebelum sempat melanju
epalaku terasa pening serta pandanganku tampak kabur. Leherku terasa sakit setelah sebuah benda menghantamku dengan keras. Aku duduk bersandar pada sebuah kursi dengan tangan terikat dalam sebuah ruangan yang terlihat seperti gudang. Beberapa kotak kayu terlihat menumpuk di pojok ruangan dan penuh dengan sarang laba-laba. Debu memenuhi seluruh ruangan hingga membuat tenggorokanku terasa gatal.Ruangan ini begitu dingin tanpa perapian atau satupun lampu yang menggantung di dinding. Kemudian terdengar langkah kaki dari tangga pendek yang menuju ke pintu ruangan ini. Aku sudah bisa menebaknya, Elgar masuk dan membawa senapan serta pedangku lalu meletakkannya di depanku.“Kau sudah sadar?” Ia bertanya tanpa melihat wajahku.“Lepaskan aku! Kenapa kau menyekapku di ruangan sempit ini?” aku bicara dengan pelan tanpa meronta atau berusaha melakukan perlawanan sedikitpun.“Kami terpaksa melakukannya karena kau begitu brutal tadi. Aku tak bermaksud melukaimu dengan kayu itu.
Aku membawa dua senjata andalan, senapan dan belati. Kathleen membawa beberapa buah anak panah dengan busurnya. Kami menuju ke gerbang tempat Alden menunggu. Sayangnya Ia tak ada disana.“Alden...Alden..apa kau masih disini?” aku terus memanggil namanya dan berjalan menjauh dari Cornwall. Tumpukan salju masih saja tebal seperti biasanya, dan permukaan tanah masih tertutup sepenuhnya. Aku berjalan dengan pelan di permukaan tanah yang licin dan merasa ujung sepatu bootku menginjak sebuah benda tipis dan panjang.Aku mengambil benda itu yang merupakan potongan anak panah, pangkalnya hilang dan ujungnya gosong karena terbakar. Entah kenapa aku merasa bahwa Alden dalam bahaya. Aku melempar anak panah itu dan berlari mecari Alden sambil terus meneriakkan namanya. Tiba-tiba Kathleen menemukan sesuatu.“Jenna, lihat!” Ia menemukan sebuah mantel hitam dan tak salah lagi itu benar-benar milik Alden. Mantel itu terlihat lusuh dan ada bekas terbakar. Aku memeluk mantel itu dan me
Dua hari setelah diterjunkan, pasukan pencari dari Glaze tak kunjung kembali dan tak ada kabar apapun dari mereka. Ayahku sendiri juga tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Jadi tanpa komando dari siapapun, pasukan kecil kami yang hanya terdiri dari empat orang mulai menuju ke tempat persembunyian para penyihir secara diam-diam.Aku dan Alden membawa senapan lengkap dengan serenteng peluru, pedang serta puluhan anak panah yang telah dilumuri racun. Elgar dan Kathleen punya sihir untuk melindungi diri. Aku benar-benar percaya pada mereka berdua dan aku yakin mereka tak akan menghianatiku.“Apa kalian siap?” tanyaku pada yang lain.“Tentu saja.” Kami mengenakan mantel hitam dan berjalan meninggalkan Cornwalll. Sekilas desa kecil itu benar-benar tampak sunyi dengan rumah-rumah kecil yang agak berjauhan. Tetapi tempat cukup aman sebelum Alden diserang di dekat gerbang.Setelah berminggu-minggu, hutan Cornwall masih diselimuti salju teba
15 tahun kemudian Menjelang gerhana bulan beberapa hari lagi, Glaze mengirim para Hunters untuk memperketat penjagaan di York dan Carvage. Tetapi setiap misi tak terasa seperti dulu. Aku tak lagi satu tim dengan Alden setelah kami menjadi kapten di tim masing-masing. Emma telah berhenti karena cidera yang didapatkannya dua tahun lalu dan sekarang beralih menjadi pelatih. Marlon telah pindah ke kota lain dan berhenti dari pekerjaannya, mencari kehidupan yang lebih tenang. Kingsleigh begitu sibuk dengan urusannya setelah menggantikan Komandan Egerton. Meskipun Millorick dan kaumnya telah hancur lima belas tahun lalu, bukan berarti para penyihir itu lenyap untuk selamanya. Mereka masih terus muncul dan berbuat keonaran walau tak sebrutal dulu dan tanpa ketiga cawan sakti mereka. Aku masih menjalankan tugas bersama keempat anggota tim ku. Menyusuri hutan Greenleaves yang sunyi dan bersalju. Suara-suara mencurigakan menggema di antara pepohonan, membuatku tertarik untuk menemukan sumbe
Hari sudah mulai terang dan sesuai kesepakatan aku akan keluar lebih dulu. Elgar menawarkan dirinya untuk mengambil alih cawan keabadian. "Sebaiknya aku saja yang membawa cawan itu. Jika Millorick menemukanmu, dia pasti tidak akan ragu membunuhmu demi benda terkutuk itu." ujarnya. "Kau yakin? Dulu kau menyerahkannya padaku, apa kau benar-benar ingin mengambilnya lagi?" aku merasa tak yakin. "Ini demi keselamatanmu Jenna. Saat itu aku memberikannya padamu agar benda itu tersimpan dengan aman di Glaze. Tetapi keadaan sudah berubah. Lagipuls aku punya kemampuan melindungi diri." "Baiklah." Aku memberikan cawan itu padanya. "Jaga dirimu!" Aku bergegas meninggalkan belukar tempat kami bersembunyi lalu berjalan ke arah sungai tempat kami terjatuh. Tak ada siapapun di tempat ini. Tebing di seberang juga tampak sepi. Entah kemana perginya para penyihir dan Hunters yang lain. Seharusnya ritual gerhana bulan darah sudah pasti gagal mengingat Millorick belum berhasil mendapatkan cawan ke
Elgar mengayunkan tangan kanannya. Telapak tangannya memancarkan cahaya kekuningan yang membuat penyihir itu terjerembab. Tak cukup dengan satu penyihir, tiga orang lainnya meluncur ke arah kami. Aku dan Elgar meninggalkan benteng dan berlari sejauh mungkin. Salah satu dari mereka mencoba menerkamku. Dengan refleks yang cepat, aku menembakkan pistol padanya dan sebuah peluru menembus dadanya. Sementara dua penyihir lainnya masih terus mengejar. Kami sampai di tepi tebing dengan sungai besar di bawah sana. Aku dan Elgar terpojok, sedangkan kedua penyihir itu terus mendekati kami. "Jika kau berikan cawan-cawan kami, aku akan memberi kesempatan kalian untuk hidup." ujar salah satu penyihir. "Aku lebih baik mati daripada memberikan cawan-cawan itu pada kalian!" Elgar terdengar ketus. "Kepercayaan dirimu sangat bagus penyihir putih. Apalagi sihirmu yang lucu itu." penyihir itu meremehkan kekuatan Elgar. "Berikan cawannya sekarang!" dia mulai marah. Elgar menggenggam tanganku. "Tidak
Matahari mulai menghilang di balik perbukitan, meninggalkan seberkas sinar oranye kekuningan yang semakin menipis. Belum sepenuhnya tenggelam, dan langit belum sepenuhnya gelap. Kami mulai bersiap meninggalkan benteng dengan persenjataan lengkap. Senapan beserta belati di sepatu seperti biasa. Elgar dan Kathleen memegang panah masing-masing dan beberapa anak panah yang dilumuri racun."Kita keluar sekarang!" Kingsleigh memberi aba-aba dan memimpin kami keluar benteng. Berjalan mengendap endap seraya mengawasi sekitar. Penyihir-penyihir disana pasti mulai mengawasi kami setelah hari gelap. Aku yakin mereka tahu bahwa para Hunters akan berusaha menggagalkan ritual sakral mereka.Rute ke arah perbukitan tidaklah terlalu sulit. Tanah disini relatif landai dengan sedikit bebatuan. Tak butuh waktu lama untuk mencapai kaki bukit di ujung utara, sementara lokasi bukit Kanchea masih berjarak sekitar 2 bukit lagi dari tempat kami sekarang. Sepi, tak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Aku kha
Aku masih terduduk di tanah saat Elgar menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya seperti yang pernah dilakukannya padaku, pertama kali saat kami bertemu. Tatapan matanya masih sama. Dalam dan sejuk. Aku menerima ulurannya dan berdiri. "Kau baik-baik saja kan?" tanyanya khawatir. "Tidak jika kalian tidak datang tepat waktu." ucapku dengan senyum lebar. Alden dan yang lain lantas menuju ke arah kami diikuti Kathleen. "Kau tidak terluka kan? Penyihir itu melemparmu dua kali." kali ini Alden yang menghawatirkanku sambil menggenggam tangan kananku. "Yah...kurasa tulangku sedikit remuk." aku memasang muka masam. Mereka justru tertawa mendengarku. Tentu saja aku hanya bercanda. Meskipun seluruh tubuhku benar-benar terasa sakit sekarang. "Ayo kita ke tempat yang lebih aman. Aku akan mengobati lukamu." ajak Kathleen. "Emm....sepertinya aku juga butuh pengobatan." ujar Marlon seraya mengangkat lengannya yang sedikit terbakar. "Baiklah. Serahkan semuanya padaku." Kathleen tampak hangat dan
Kami menyalakan api untuk menghangatkan diri. Udara di tempat terbuka seperti ini luar biasa dingin. Lokasi kami yang berada di balik bebatuan besar dan dinaungi pohon lebat memang cukup menguntungkan. Setelah menyantap makan malam, Emma mulai membicarakan kejadian penting yang nyaris kulupakan."Aku tak percaya kita mampu mencapai detik ini. Membayangkan kau hampir saja mati karena keputusan ceroboh Chaz Egerton!" Emma memandangku dengan mata bekaca-kaca."Dia termakan hasutan ratu penyihir yang menyamar sebagai Francis Blake." ujarku kesal."Aku heran bagaimana dia bisa punya ide untuk menghancurkan kita dari dalam?" Kingsleigh menimpali."Malam itu aku pernah membahasnya dengan Chaz Egerton dan dia juga memikirkan hal yang sama. Dia mungkin tahu kita menyembunyikan cawan-cawan mereka di Glaze, tetapi dia bisa menyerang secara brutal saja dengan kekuatannya!" "Kalau begitu, mungkin dia yang menemukan cawan itu di rumahmu. Menyamar sebagai Francis Blake dan menghasut orang-orang." t
Beberapa buah perahu kecil ditambatkan di tepi danau semenjak perairan itu mencair kembali di musim semi. Setiap perahu hanya muat untuk dua orang. Kingsleigh lantas menaiki satu perahu untuk dirinya sendiri. Ia memimpin rombongan menyeberang. Alden mendayung di belakang, sementara aku duduk di depan seraya mencelupkan telapak tangan ke air.Meski telah mencapai pertengahan musim semi, airnya masih begitu dingin dan menusuk kulit. Saat Elgar melempar belatiku ke dalamnya, aku lantas melompat ke air tanpa berpikir panjang. Padahal aku merasa takut berjalan di permukaannya saat masih membeku.Mendung-mendung tipis tampak menggantung di langit, namun sinar matahari masih bisa menemukan celahnya untuk sampai ke bumi. Udara semakin menghangat saat perahu-perahu kami hampir mencapai daratan. Kami mengambil rute lain ke arah barat, rute yang hampir sama saat penyerbuan ke Bukit Kanchea.Setelah menyeberangi danau, kami terus berjalan menembus belantara melalui jalan barat yang landai. Tetapi
Ritual gerhana bulan darah tinggal menghitung hari. Meskipun kaum penyihir hanya memiliki cawan api dan kemudaan, sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencari orang-orang yang akan dikorbankan demi ritual gelap mereka. Terutama anak-anak dan remaja. Aku baru saja kembali dari rumah Everscott bersaudara setelah mengubur cawan saat Merliah Stood melapor pada Chaz Egerton. Ia terengah-engah dan menemui Chaz yang baru saja hendak memasuki rumah besar. Melihatnya, aku lantas mendekat. Dua orang remaja, laki-laki dan perempuan berusia enam belas dan tujuh belas tahun diculik oleh seorang penyihir bertanduk dalam perjalanan pulang mereka ke York. Merliah benar. Penyihir dengan wajahnya mengerikan itu, aku pertama kali melihatnya di bukit Kanchea saat misi penyelamatan. Meskipun diantar dengan kereta, penyihir itu mampu membawa dua orang sekaligus. Pengawal mereka pun tak berdaya setelah dilemparkan ke tumpukan kayu oleh si penyihir. Merliah bergegas ke tempatnya berjaga setelah meny
Tim pembawa cawan akan pergi di pagi hari secara sembunyi-sembunyi. Kami tak boleh menarik perhatian siapapun terutama penyihir hitam sebelum seluruh Hunters bersiap. Malam sebelum keberangkatan, reguku mengadakan rapat kecil dengan Ayah dan Chaz Egerton.Kami mengitari papan strategi dan membahas apa saja yang harus dilakukan reguku. Ayah dan Chaz sudah menentukan reruntuhan Benteng Greystone sebagai tempat tujuan. Benteng peninggalan kerajaan di masa lalu yang sudah rusak dan lama tak digunakan.Tetapi strukturnya masih kuat dan terdapat beberapa bagian yang masih utuh untuk dijadikan tempat persembunyian bahkan menjadi tempat bertempur. Marlon sempat tidak setuju karena kami seolah mengumpankan diri ke kumpulan penyihir hitam."Jenderal, sepertinya ini hanya akan membahayakan nyawa kita sendiri. Benteng itu cukup dekat dengan Bukit Kanchea. Jika kita membawa cawan itu kesana, justru penyihir hitam akan merebutnya dengan mudah!""Tak ada pilihan l