Share

PART 4

Penulis: Amma Red
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-20 21:40:23

Aku menghabiskan malam bersama Elgar dan Kathleen dengan bermain salju di luar. Salah satu hal yang sangat jarang kulakukan sebelumnya. Tapi ini sangat menyenangkan. Bulan bersinar cerah walaupun sedang musim dingin.

Sinarnya memantul di permukaan kolam yang hampir membeku. Suasana begitu tenang, tapi aku tahu disaat bulan bersinar cerah seperti ini, adalah waktu yang sangat tepat bagi para penyihir untuk melakukan ritual. 

Kemudian aku merasa ada sesuatu yang aneh. Terdapat cahaya keunguan di antara awan-awan di langit. Tak salah lagi, itu adalah hasil dari aktivitas para penyihir. Cahaya itu juga terlihat dari permukaan kolam.

Aku tak bisa membiarkan Elgar dan Kathleen terus berada di luar. Tapi aku tak yakin untuk mengajak mereka ke dalam tanpa suatu alasan yang masuk akal. Mungkin saja mereka tak akan mempercayai ucapanku. Tiba-tiba Kathleen melempar salju ke arahku. 

“Jenna! Kulihat kau terus memandangi kolam itu. Apa kau sudah bosan?” tanya Kathleen dengan memegang sebongkah salju. Aku terdiam selama beberapa saat.

“Kathleen, Elgar, sepertinya kita harus segera masuk. Kita tak boleh terus berada di luar.”

“Ada apa Jenna?” tanya Elgar yang sejak tadi sibuk membuat boneka salju.

“Aku adalah pemburu penyihir, dan aku tahu apa yang mereka lakukan.

Sekarang, mereka sedang melakukan sebuah ritual. Kalian bisa melihatnya dari cahaya keunguan di antara awan-awan itu.” jawabku sambil menunjuk ke langit.

“Kita tidak boleh berada di luar, terlalu berbahaya!”

Kathleen dan Elgar setuju denganku untuk kembali ke dalam. Setelah itu Kathleen mengantarku ke kamar tamu yang disediakan untukku.

“Baiklah kami percaya denganmu. Waktunya tidur Jenna, dan ini kamarmu. Anggap saja seperti di rumahmu sendiri, selamat malam!”

“Selamat malam Kathleen.”

Kathleen berlalu. Aku merebahkan tubuh ke kasur yang empuk dan hangat. Tanpa kusadari sudah hampir sehari penuh berada disini. Aku sangat khawatir dengan Emma, kami dikeroyok oleh ratusan burung dan aku meninggalkannya begitu saja. Begitu juga dengan Alden, Kingsleigh, dan Marlon, mungkin saja mereka mencemaskanku saat ini. Tapi aku tak bisa melakukan apapun selain menunggu malam berlalu. Elgar dan Kathleen sangat baik padaku dan aku tak bisa pergi begitu saja.

Ku buka jendela dan kembali melihat semburat keunguan di langit. Rupanya para penyihir itu belum selesai melakukan ritual mereka. Aku curiga hal ini ada hubungannya dengan dua orang penyihir yang dilaporkan oleh Francis, jika dugaanku itu benar, maka kami sungguh berada dalam situasi berbahaya. 

Lalu aku merasa begitu lelah dan tertidur. Di dalam tidurku yang tak terlalu nyenyak aku mimpi bertemu Alden. Tersesat di tengah hutan dan tak tahu jalan, kemudian aku melihat Alden lewat di depanku. Aku memanggilnya dan Ia menoleh, namun tak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan Ia kembali berjalan tanpa menghiraukanku. 

Aku mengejarnya seraya memanggil- manggilnya, namun Ia sama sekali tak peduli. Kemudian kami memasuki area berkabut dan tiba-tiba Ia lenyap. Saat itu juga aku terbangun dan turun dari tempat tidur. Aku segera merapikan panah-panahku dan mengambil senapan yang ku gantung di dinding.

Semula aku berniat untuk pergi saat ini juga, namun terdengar suara pintu diketuk. Saaat ku buka pintunya, Elgar telah berdiri di luar.

“Kau belum tidur Jenna?” kemudian Ia melihat ke sekeliling. “Untuk apa kau mengemasi senjatamu?”

“Um…” aku terdiam sejenak untuk merangkai kalimat, sesekali kulihat wajahnya yang sangat tenang dengan matanya yang bersinar. Untuk beberapa saat aku berniat untuk mengelak, namun entah bagaimana aku langsung saja mengatakan yang sebenarnya. 

“Aku harus pergi sekarang Elgar, ada banyak hal yang harus kulakukan. Aku yakin keluargaku mencemaskanku.”

“Tidak! Tentu saja aku tak akan membiarkanmu pergi sekarang. Ini masih tengah malam Jenna, diluar sangat berbahaya. Sebaiknya kau harus lebih bersabar untuk menunggu pagi. Aku janji akan membiarkanmu pergi.” Elgar berusaha meyakinkanku.

“Tapi aku tak bisa berlama-lama disini. Aku harus mencari Emma!” aku bersikeras.

“Sudahlah Jenna, temanmu itu pasti telah ditolong oleh yang lain. Kau bilang punya beberapa teman kan?”

Elgar memandangku dengan tajam dan pupil matanya terlihat membesar. Aku menghindari tatapannya dan mengangguk. Ia ada benarnya juga, mungkin saja Alden dan yang lain telah menemukan Emma, itu lebih mungkin karena dia tak lari. Sementara aku sudah terlalu jauh dari tempat semula.

“Baiklah Elgar, kau benar. Aku memang tak berdaya melawan ucapanmu sejak awal!” ujarku sambil membuang napas, semenatar Elgar tertawa. 

“Ucapanku memang sulit dilawan.” Ia terlihat cukup percaya diri. “Jika kau mau, aku bisa menemanimu keluar. Maksudku di sekitar rumah ini.”

“Baiklah.”

Elgar mengajakku ke loteng dan membawa dua cangkir teh panas. Udara di loteng begitu dingin, menusuk hingga ke tulang dan membuatku menggigil.

Aku segera meminum tehku dan anehnya dua tegukan saja sudah cukup membuatku hangat. Bahkan mampu menghangatkan telapak tanganku yang terasa dingin selama berhari-hari. 

“Minuman ini luar biasa! Dengan apa kau membuatnya? Bahkan teh buatan koki terbaik di York tidak seperti ini.” tanyaku penasaran.

“Itu resep turun temurun yang dibuat dari tanaman dan sedikit ketulusan.”

“Ketulusan?” aku terkekeh mendengarnya.

“Baiklah, jika seseorang merasa bahagia  maka energi positif si pembuat akan mengalir dalam masakan yang dibuatnya. 

Kami tertawa bersama. Elgar selalu terlihat tenang dan elegan. Tetapi aku tak menyangka jika dia punya selera humor yang cukup bagus.

“Aku senang bisa menghabiskan waktu berdua denganmu. Dan aku ingin mengenalmu lebih jauh. Yang kutahu tentangmu hanyalah kau seorang pemburu penyihir.” Elgar tersenyum dan memandangku.

“Um…Aku sering menikmati bulan purnama dengan sahabatku. Kami berbaring di rerumputan dan meminum coklat panas.”

“Sahabatmu?”

“Alden. Salah satu dari teman-teman yang kuceritakan. Dia rekan satu timku bersama kakaknya, Kingsleigh. Juga Emma dan Marlon.” Rasanya aku ingin menceritakan beberapa hal tentangku padanya.

“Baiklah. Aku berasal dari klan pemburu penyihir yang bernama Glaze. Aku tersesat saat melakukan misi perburuan. Seorang penyihir telah mengirim ratusan burung gagak untuk mengeroyok Emma dan aku. Kami tak bisa melakukan apapun selain berlari, sialnya aku terjatuh dan pingsan. Kakiku tersandung pangkal pohon dan tanganku terluka saat terjerembab.” ujarku panjang lebar.

“Glaze?” Elgar terkejut mendengarnya.

“Ya, mereka keluargaku. Kenapa, kau mengenal kami?”

“Tidak, tak apa-apa. Maksudku aku memang sering mendengar nama mereka sebagai para pemburu penyihir yang hebat.”

“Tim kami ditugaskan untuk mencari dua orang yang diduga penyihir. Setelah cukup lama, kami tak menemukan apapun. Kami berpencar. tapi aku sendiri pergi entah kemana.” Aku mendesah, “Aku khawatir Chaz justru mengerahkan pasukan untuk mencariku, padahal aku baik-baik saja.”

“Chaz Egerton?” ujar Elgar, seolah dia telah mengenal pria itu sebelumnya.

“Ya, kau mengenalnya?” 

“Tentu saja. Aku dan Kathleen adalah penggemar kalian! Walaupun desa kami jauh di dalam hutan, kami tahu apa yang terjadi di luar sana. Dan pemburu penyihir, aku selalu berpikir kalian adalah  para pahlawan hebat!”

Aku tertawa mendengarnya, sepertinya aku tak sehebat yang Ia pikirkan.

“Bagaimana jika kau bergabung bersama kami?” tanyaku.

“Apa? Itu tidak mungkin! Kami hanyalah orang yang tinggal di pedalaman hutan dan hanya mempelajari ilmu pengobatan. Jika aku bergabung, itu hanya akan membuat kalian repot.” 

“Dirimu yang sebenarnya tidak seburuk yang kau pikirkan Elgar!”

“Tetapi aku lebih menikmati kehidupanku sebagai tabib dan orang biasa.”

***

Elgar memang menepati janjinya. Esok paginya aku bersiap-siap untuk pulang dan Ia memberiku sebuah cawan perak dengan ukiran-ukirannya yang indah.

“Kenapa kau memberiknnya padaku? Ini sangat indah dan mungkin saja sangat berharga untukmu.” aku takjub melihat cawan itu. Indah sekali.

“Tentu saja benda itu berharga dan kau pantas memilikinya. Terimalah Jenna, anggap saja itu kenang-kenangan dariku.” Ia tersenyum padaku.

Sejenak aku merasa ragu. Cawan perak itu berbentuk seperti piala dengan 

diameter mulut dan dan alasnya yang lebar kurang lebih sekitar sepuluh centimeter. Terdapat ukiran-ukiran yang indah dan beberapa butir batuan mulia di dindingnya. Kupikir benda ini terlalu berharga untuk diberikan padaku.

"Aku tak bisa menerimanya. Simpan saja benda itu, suatu saat jika kalian membutuhkan uang, kalian bisa menjualnya."

"Kami tak akan pernah menjualnya." raut wajah Elgar berubah dengan begitu cepat seperti tak suka dengan ucapanku.

"Ayolah Jenna, terima saja. Ayahku dulu adalah seorang pandai besi. Dia

punya banyak barang seperti ini termasuk beberapa anak panah yang kau lihat di dinding." ujarnya seraya menunjuk ruangan tempat mereka menyimpan panah-panah itu. Air mukanya kembali tenang seperti sebelumnya.

"Baiklah! Terima kasih. Aku akan menganggapnya sebagai hadiah dari teman." 

Aku melempar senyum seraya memasukkan cawan itu ke kantong serut pemberian Elgar dan menggantungnya di pinggang. Kugunakan mantelku yang panjang untuk menutupinya.

Kemudian Kathleen keluar dari kamar, namun ekspresinya terlihat berbeda dari kemarin. Ia duduk di depanku dan merapikan rambutnya.

“Jadi kau akan pulang?” tanyanya dengan suara datar.

“Benar.” Sebelum aku melanjutkan kalimatku, Ia memotong. “Ke Glaze?”

“Ya. Glaze adalah rumahku. Apa kalian ingin ikut bersamaku? Sekedar melihat-lihat.”Kathleen memandangku dengan tajam.

“Tidak, tentu saja tidak.” Ia tertawa seolah tadi hanya bercanda. Ekspresinya begitu cepat berubah seperti Elgar.

“Baiklah aku pergi. Terima kasih, kalian sangat baik.”

“Hati-hati Jenna.” ujar Elgar.

Aku mulai berjalan meninggalkan desa Cornwall. Elgar sedikit mengejarku saat aku berjalan menuju gerbang desa.

"Jenna...!! Jangan menjualnyaa...!!" suara Elgar menggema di antara pepohonan.

Aku menoleh kemudian mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Ia membalasku dengan senyumannya yang hangat seperti saat pertama kali melihatnya. Kami hanya bersama selama satu hari, tetapi aku tak akan pernah melupakannya.

Bab terkait

  • Tiga Cawan Sakti   PART 5

    Perjalanan pulangku tak berjalan mulus lantaran harus melewati beberapa tanjakan yang dipenuhi salju tebal. Aku memanjat dengan pelan dan menginjakkan kakiku kuat-kuat ke tanah. Tanganku berpegangan pada rerumputan rimbun yang cukup menyulitkan saat turun, namun sangat membantu saat naik. Setelah merasa cukup lelah karena medan yang sulit, kuputuskan untuk beristirahat sebentar. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari balik semak. Aku tak menghiraukannya dan kupikir itu hanya suara binatang-binatang liar, walaupun perasaanku berkata sebaliknya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Kudekati semak itu untuk memeriksanya, tetapi tak ada apapun. Aku bergegas pergi. Cornwall berada jauh di utara dan aku harus melewati Windstone untuk sampai ke York. Tapi aku tak ingin melewati tempat itu, jadi aku berencana mengambil rute ke selatan lalu berbelok ke timur. Melewati hutan yang menurutku lebih baik daripada dataran luas Windstone yang begitu dingin da

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Tiga Cawan Sakti   PART 6

    Aku pulang ke rumah dan mengunci pintu kamarku. Cawan perak pemberian Elgar masih tergantung di pinggang. Aku mengeluarkan cawan itu dari kantong dan mendekatkannya ke jendela. Seberkas sinar yang masuk membuat cawan itu berkilauan. Tubuh cawan itu dipenuhi ukiran seperti sulur tanaman yang meliuk-liuk, dengan ukiran utama berbentuk wanita. Elgar hanya memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan dan aku juga tak tahu harus menyimpannya dimana. Terdengar suara pintu diketuk. “Jenna, Ayahmu ingin bertemu denganmu, maksudku kita. Dia bilang inign menunjukkan sesuatu.” Rupanya dia Alden. Aku cepat-cepat mengembalikan cawan itu ke kantong dan meyembunyikannya di bawah tempat tidur. Alden telah menungguku di luar. “Baiklah! Kedengarannya seperti aku belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya.” Kami menuju ke rumah besar tepatnya di ruang kerja Ayah. Chaz dan Ayahku telah menunggu di sana. “Hai Ayah!” “Hai sayang. Mr. Everscott m

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-31
  • Tiga Cawan Sakti   PART 7

    Aku masih terjaga karena memikirkan cawan pemberian Elgar saat terdengar suara berisik di tengah malam. Suara itu sepertinya tak jauh dari tepatku sekarang. Aku lantas mengambil senapan dan berlari ke kebun belakang rumah. Sayup-sayup teriakan seorang gadis muda yang semakin lama semakin jelas. Kurasa berasal dari belakang tembok Glaze. Kupanggil Emma yang mungkin saja sedang tertidur pulas. Setelah mengetuk pintunya beberapa kali, Ia keluar dengan belati di tangannya. “Apa yang terjadi?” tanyanya seraya merapikan rambutnya. “Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Aku mendengar jeritan gadis muda yang meminta tolong.” “Bagaimana jika kita mencarinya?” usul Emma. “Baiklah! Kita ambil tangga saja.” Kami lantas mengambil tangga kayu dan melompati tembok. Untung saja bagian atasnya tidak dipasang kawat berduri ataupun pecahan kaca sehingga kami bisa melompat dengan mudah. Di luar tembok sangat sepi. Hanya ada

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-31
  • Tiga Cawan Sakti   PART 8

    Perasaan ragu tiba-tiba muncul, membuatku tak yakin untuk melangkah. Seketika teringat cawan perak pemberian Elgar yang merupakan salah satu cawan mistis penyihir hitam. Aku agak takut bertemu dengan mereka, tetapi aku juga ingin memastikan darimana mereka mendapat cawan itu. Kuputuskan untuk datang saja dan meminta penjelasan.Aku mengetuk pintu berkali-kali dengan agak keras. “ Elgar, Elgar, buka pintunya!”. Kemudian pintu kayu yang berat itu terbuka dan mengeluarkan suara mendecit.“Jenna! masuklah…”Mata birunya berbinar saat melihatku. Senyumnya merekah seperti bunga mawar di depan. Aku masuk dengan hati-hati.“Aku tak menyangka kau kembali ke sini.” Elgar terlihat senang dengan kedatanganku.“Tentu saja bukan tanpa alasan Elgar. Um.. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu." jawabku tegas seraya memandang matanya dengan tajam.“Menanyakan apa?"Kepalaku terasa pening. S

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-31
  • Tiga Cawan Sakti   PART 9

    Willeth tampak sepi saat aku kembali. Sepertinya anggota reguku telah kembali ke markas kecuali Alden. Dari kejauhan aku melihatnya berdiri di dekat bekas rumah penyihir. Dia bergegas menghampiriku setelah aku memanggilnya. “Darimana saja kau? Apa kau tersesat lagi?” Ia begitu khawatir. “Begitulah. Aku tersesat setelah mendengar suara-suara aneh. Dan…” “Dan kau menemui kenalanmu itu lagi?” Alden memotong ucapanku. Aku menghela napas. Rupanya Ia tahu apa yang kupikirkan. “Aku tersesat jauh ke utara, dan jika berjalan lurus aku akan mencapai Cornwall. Itu yang kuingat saat kebingungan di tengah hutan. Alden, aku punya sesuatu yang sangat penting.” Aku berbisik padanya sambil menunjukkan gulungan kertas di dalam mantel. Sebelum Ia sempat bertanya, aku lantas menarik tangannya dan berlari menuju Glaze. Pencarian yang tak membuahkan hasil membuat senjataku masih utuh. Kami bergegas ke rumah besar untuk memberitahu semua yang kud

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-04
  • Tiga Cawan Sakti   PART 10

    Aku mengetuk pintu rumah Kathleen seolah berkunjung seperti biasa, dan aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia baru saja pergi ke desa. Aku mengetuk pintu berkali-kali, tapi sama sekali tak ada jawaban. Tiba-tiba, pintu itu membuka sendiri tanpa ada siapapun yang membukanya. Aku melihat ke dalam dan masuk dengan hati-hati. Suasana rumah itu sangat sepi walaupun Kathleen baru saja masuk.“Elgar, Kathleen! Dimana kalian? Aku Jenna.”Aku terus memanggil nama mereka, namun tetap saja tak ada jawaban. Lalu terdengar suara-suara di lantai atas. Tanpa berpikir panjang aku menaiki tangga dan menemukan Elgar berdiri disana.“Elgar, aku memanggilmu sejak tadi. Tapi tak ada jawaban.” ujarku pelan dan agak ragu-ragu.“Kau kembali Jenna.” ucapannya pelan dan tak seperti biasanya. Mungkin dia tak senang dengan kedatanganku.“Um...Elgar, aku..aku ingin mengatakan sesuatu.” Sebelum sempat melanju

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-04
  • Tiga Cawan Sakti   PART 11

    epalaku terasa pening serta pandanganku tampak kabur. Leherku terasa sakit setelah sebuah benda menghantamku dengan keras. Aku duduk bersandar pada sebuah kursi dengan tangan terikat dalam sebuah ruangan yang terlihat seperti gudang. Beberapa kotak kayu terlihat menumpuk di pojok ruangan dan penuh dengan sarang laba-laba. Debu memenuhi seluruh ruangan hingga membuat tenggorokanku terasa gatal.Ruangan ini begitu dingin tanpa perapian atau satupun lampu yang menggantung di dinding. Kemudian terdengar langkah kaki dari tangga pendek yang menuju ke pintu ruangan ini. Aku sudah bisa menebaknya, Elgar masuk dan membawa senapan serta pedangku lalu meletakkannya di depanku.“Kau sudah sadar?” Ia bertanya tanpa melihat wajahku.“Lepaskan aku! Kenapa kau menyekapku di ruangan sempit ini?” aku bicara dengan pelan tanpa meronta atau berusaha melakukan perlawanan sedikitpun.“Kami terpaksa melakukannya karena kau begitu brutal tadi. Aku tak bermaksud melukaimu dengan kayu itu.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Tiga Cawan Sakti   PART 12

    Aku membawa dua senjata andalan, senapan dan belati. Kathleen membawa beberapa buah anak panah dengan busurnya. Kami menuju ke gerbang tempat Alden menunggu. Sayangnya Ia tak ada disana.“Alden...Alden..apa kau masih disini?” aku terus memanggil namanya dan berjalan menjauh dari Cornwall. Tumpukan salju masih saja tebal seperti biasanya, dan permukaan tanah masih tertutup sepenuhnya. Aku berjalan dengan pelan di permukaan tanah yang licin dan merasa ujung sepatu bootku menginjak sebuah benda tipis dan panjang.Aku mengambil benda itu yang merupakan potongan anak panah, pangkalnya hilang dan ujungnya gosong karena terbakar. Entah kenapa aku merasa bahwa Alden dalam bahaya. Aku melempar anak panah itu dan berlari mecari Alden sambil terus meneriakkan namanya. Tiba-tiba Kathleen menemukan sesuatu.“Jenna, lihat!” Ia menemukan sebuah mantel hitam dan tak salah lagi itu benar-benar milik Alden. Mantel itu terlihat lusuh dan ada bekas terbakar. Aku memeluk mantel itu dan me

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24

Bab terbaru

  • Tiga Cawan Sakti   PART 42

    15 tahun kemudian Menjelang gerhana bulan beberapa hari lagi, Glaze mengirim para Hunters untuk memperketat penjagaan di York dan Carvage. Tetapi setiap misi tak terasa seperti dulu. Aku tak lagi satu tim dengan Alden setelah kami menjadi kapten di tim masing-masing. Emma telah berhenti karena cidera yang didapatkannya dua tahun lalu dan sekarang beralih menjadi pelatih. Marlon telah pindah ke kota lain dan berhenti dari pekerjaannya, mencari kehidupan yang lebih tenang. Kingsleigh begitu sibuk dengan urusannya setelah menggantikan Komandan Egerton. Meskipun Millorick dan kaumnya telah hancur lima belas tahun lalu, bukan berarti para penyihir itu lenyap untuk selamanya. Mereka masih terus muncul dan berbuat keonaran walau tak sebrutal dulu dan tanpa ketiga cawan sakti mereka. Aku masih menjalankan tugas bersama keempat anggota tim ku. Menyusuri hutan Greenleaves yang sunyi dan bersalju. Suara-suara mencurigakan menggema di antara pepohonan, membuatku tertarik untuk menemukan sumbe

  • Tiga Cawan Sakti   PART 41

    Hari sudah mulai terang dan sesuai kesepakatan aku akan keluar lebih dulu. Elgar menawarkan dirinya untuk mengambil alih cawan keabadian. "Sebaiknya aku saja yang membawa cawan itu. Jika Millorick menemukanmu, dia pasti tidak akan ragu membunuhmu demi benda terkutuk itu." ujarnya. "Kau yakin? Dulu kau menyerahkannya padaku, apa kau benar-benar ingin mengambilnya lagi?" aku merasa tak yakin. "Ini demi keselamatanmu Jenna. Saat itu aku memberikannya padamu agar benda itu tersimpan dengan aman di Glaze. Tetapi keadaan sudah berubah. Lagipuls aku punya kemampuan melindungi diri." "Baiklah." Aku memberikan cawan itu padanya. "Jaga dirimu!" Aku bergegas meninggalkan belukar tempat kami bersembunyi lalu berjalan ke arah sungai tempat kami terjatuh. Tak ada siapapun di tempat ini. Tebing di seberang juga tampak sepi. Entah kemana perginya para penyihir dan Hunters yang lain. Seharusnya ritual gerhana bulan darah sudah pasti gagal mengingat Millorick belum berhasil mendapatkan cawan ke

  • Tiga Cawan Sakti   PART 40

    Elgar mengayunkan tangan kanannya. Telapak tangannya memancarkan cahaya kekuningan yang membuat penyihir itu terjerembab. Tak cukup dengan satu penyihir, tiga orang lainnya meluncur ke arah kami. Aku dan Elgar meninggalkan benteng dan berlari sejauh mungkin. Salah satu dari mereka mencoba menerkamku. Dengan refleks yang cepat, aku menembakkan pistol padanya dan sebuah peluru menembus dadanya. Sementara dua penyihir lainnya masih terus mengejar. Kami sampai di tepi tebing dengan sungai besar di bawah sana. Aku dan Elgar terpojok, sedangkan kedua penyihir itu terus mendekati kami. "Jika kau berikan cawan-cawan kami, aku akan memberi kesempatan kalian untuk hidup." ujar salah satu penyihir. "Aku lebih baik mati daripada memberikan cawan-cawan itu pada kalian!" Elgar terdengar ketus. "Kepercayaan dirimu sangat bagus penyihir putih. Apalagi sihirmu yang lucu itu." penyihir itu meremehkan kekuatan Elgar. "Berikan cawannya sekarang!" dia mulai marah. Elgar menggenggam tanganku. "Tidak

  • Tiga Cawan Sakti   PART 39

    Matahari mulai menghilang di balik perbukitan, meninggalkan seberkas sinar oranye kekuningan yang semakin menipis. Belum sepenuhnya tenggelam, dan langit belum sepenuhnya gelap. Kami mulai bersiap meninggalkan benteng dengan persenjataan lengkap. Senapan beserta belati di sepatu seperti biasa. Elgar dan Kathleen memegang panah masing-masing dan beberapa anak panah yang dilumuri racun."Kita keluar sekarang!" Kingsleigh memberi aba-aba dan memimpin kami keluar benteng. Berjalan mengendap endap seraya mengawasi sekitar. Penyihir-penyihir disana pasti mulai mengawasi kami setelah hari gelap. Aku yakin mereka tahu bahwa para Hunters akan berusaha menggagalkan ritual sakral mereka.Rute ke arah perbukitan tidaklah terlalu sulit. Tanah disini relatif landai dengan sedikit bebatuan. Tak butuh waktu lama untuk mencapai kaki bukit di ujung utara, sementara lokasi bukit Kanchea masih berjarak sekitar 2 bukit lagi dari tempat kami sekarang. Sepi, tak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Aku kha

  • Tiga Cawan Sakti   PART 38

    Aku masih terduduk di tanah saat Elgar menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya seperti yang pernah dilakukannya padaku, pertama kali saat kami bertemu. Tatapan matanya masih sama. Dalam dan sejuk. Aku menerima ulurannya dan berdiri. "Kau baik-baik saja kan?" tanyanya khawatir. "Tidak jika kalian tidak datang tepat waktu." ucapku dengan senyum lebar. Alden dan yang lain lantas menuju ke arah kami diikuti Kathleen. "Kau tidak terluka kan? Penyihir itu melemparmu dua kali." kali ini Alden yang menghawatirkanku sambil menggenggam tangan kananku. "Yah...kurasa tulangku sedikit remuk." aku memasang muka masam. Mereka justru tertawa mendengarku. Tentu saja aku hanya bercanda. Meskipun seluruh tubuhku benar-benar terasa sakit sekarang. "Ayo kita ke tempat yang lebih aman. Aku akan mengobati lukamu." ajak Kathleen. "Emm....sepertinya aku juga butuh pengobatan." ujar Marlon seraya mengangkat lengannya yang sedikit terbakar. "Baiklah. Serahkan semuanya padaku." Kathleen tampak hangat dan

  • Tiga Cawan Sakti   PART 37

    Kami menyalakan api untuk menghangatkan diri. Udara di tempat terbuka seperti ini luar biasa dingin. Lokasi kami yang berada di balik bebatuan besar dan dinaungi pohon lebat memang cukup menguntungkan. Setelah menyantap makan malam, Emma mulai membicarakan kejadian penting yang nyaris kulupakan."Aku tak percaya kita mampu mencapai detik ini. Membayangkan kau hampir saja mati karena keputusan ceroboh Chaz Egerton!" Emma memandangku dengan mata bekaca-kaca."Dia termakan hasutan ratu penyihir yang menyamar sebagai Francis Blake." ujarku kesal."Aku heran bagaimana dia bisa punya ide untuk menghancurkan kita dari dalam?" Kingsleigh menimpali."Malam itu aku pernah membahasnya dengan Chaz Egerton dan dia juga memikirkan hal yang sama. Dia mungkin tahu kita menyembunyikan cawan-cawan mereka di Glaze, tetapi dia bisa menyerang secara brutal saja dengan kekuatannya!" "Kalau begitu, mungkin dia yang menemukan cawan itu di rumahmu. Menyamar sebagai Francis Blake dan menghasut orang-orang." t

  • Tiga Cawan Sakti   PART 36

    Beberapa buah perahu kecil ditambatkan di tepi danau semenjak perairan itu mencair kembali di musim semi. Setiap perahu hanya muat untuk dua orang. Kingsleigh lantas menaiki satu perahu untuk dirinya sendiri. Ia memimpin rombongan menyeberang. Alden mendayung di belakang, sementara aku duduk di depan seraya mencelupkan telapak tangan ke air.Meski telah mencapai pertengahan musim semi, airnya masih begitu dingin dan menusuk kulit. Saat Elgar melempar belatiku ke dalamnya, aku lantas melompat ke air tanpa berpikir panjang. Padahal aku merasa takut berjalan di permukaannya saat masih membeku.Mendung-mendung tipis tampak menggantung di langit, namun sinar matahari masih bisa menemukan celahnya untuk sampai ke bumi. Udara semakin menghangat saat perahu-perahu kami hampir mencapai daratan. Kami mengambil rute lain ke arah barat, rute yang hampir sama saat penyerbuan ke Bukit Kanchea.Setelah menyeberangi danau, kami terus berjalan menembus belantara melalui jalan barat yang landai. Tetapi

  • Tiga Cawan Sakti   PART 35

    Ritual gerhana bulan darah tinggal menghitung hari. Meskipun kaum penyihir hanya memiliki cawan api dan kemudaan, sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencari orang-orang yang akan dikorbankan demi ritual gelap mereka. Terutama anak-anak dan remaja. Aku baru saja kembali dari rumah Everscott bersaudara setelah mengubur cawan saat Merliah Stood melapor pada Chaz Egerton. Ia terengah-engah dan menemui Chaz yang baru saja hendak memasuki rumah besar. Melihatnya, aku lantas mendekat. Dua orang remaja, laki-laki dan perempuan berusia enam belas dan tujuh belas tahun diculik oleh seorang penyihir bertanduk dalam perjalanan pulang mereka ke York. Merliah benar. Penyihir dengan wajahnya mengerikan itu, aku pertama kali melihatnya di bukit Kanchea saat misi penyelamatan. Meskipun diantar dengan kereta, penyihir itu mampu membawa dua orang sekaligus. Pengawal mereka pun tak berdaya setelah dilemparkan ke tumpukan kayu oleh si penyihir. Merliah bergegas ke tempatnya berjaga setelah meny

  • Tiga Cawan Sakti   PART 34

    Tim pembawa cawan akan pergi di pagi hari secara sembunyi-sembunyi. Kami tak boleh menarik perhatian siapapun terutama penyihir hitam sebelum seluruh Hunters bersiap. Malam sebelum keberangkatan, reguku mengadakan rapat kecil dengan Ayah dan Chaz Egerton.Kami mengitari papan strategi dan membahas apa saja yang harus dilakukan reguku. Ayah dan Chaz sudah menentukan reruntuhan Benteng Greystone sebagai tempat tujuan. Benteng peninggalan kerajaan di masa lalu yang sudah rusak dan lama tak digunakan.Tetapi strukturnya masih kuat dan terdapat beberapa bagian yang masih utuh untuk dijadikan tempat persembunyian bahkan menjadi tempat bertempur. Marlon sempat tidak setuju karena kami seolah mengumpankan diri ke kumpulan penyihir hitam."Jenderal, sepertinya ini hanya akan membahayakan nyawa kita sendiri. Benteng itu cukup dekat dengan Bukit Kanchea. Jika kita membawa cawan itu kesana, justru penyihir hitam akan merebutnya dengan mudah!""Tak ada pilihan l

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status