Aku bingung, resah, jiwaku gelisah dan seolah tanpa arah, aku galau apa yang harus aku lakukan. Hingga kuturuni tangga dan kutemui Ibu mertua di bawah sana yang seperti biasa santai menikmati tayangan tivi kesukaannya."Ma, aku ke rumah, Ibu dan Bapak sehari ya, besok kembali," pintaku pelan."Lho, tumben, kenapa?""Rindu aja, Ma. Boleh kan? Aku akan minta izin pada Mas Rafiq juga.""Ya udah." Mama hanya tersenyum tipis dan aku pun berterima kasih padanya.Sembari kukemasi tas bayi dan Raisa ku telpon Masrafiq namun ia tak mengangkatnya, meski aku berencana pergi ke rumah ibu, hati ini masih gamang memikirkan langkah apa yang harus aku lakukan.Hingga kiteringat sesuatu, ya kertas pagi tadi, dimana kertas itu? Aku segera menuju bak sampah dekat meja kerja, aku lupa pagi tadi aku meletakkan di mana.Kuobrak-abrik keranjang sampah kecil itu di lantai kamar dan kubuka kertas yang sudah di remas-remas Mas Rafiq itu satu-persatu. Aku tak menemukannya. Segera kuturuni tangga dan berarti ke
Dengan mata yang masih mengabur oleh lelehan air mata, perlahan kueja kata per kata, huruf-huruf yang merangkai sebuah kalimat yang mendeskripsikan bahwa mereka telah melakukan pernikahan.Nama kedua mempelai terpampang di sana, Ahmad Rafiq Sanjaya dan Angel Claudia Hermawan, dari foto yang mereka daftarkan terlihat mereka penuh kebahagiaan dengan senyuman dan tatapan mata yang berbinar."Ah, ini hanya mimpi ... hanya mimpi," teriakkku dalam hati, tapi air mata ini tak mampu lagi kuhentikan tetesannya.Sekuat apapun aku meyakinkan diri, tetap kenyataannya adalah kertas itu benar adanya. Mungkin karena merasa terhubung dengan Ibunya, Bayiku mulai menangis, mungkin juga lapar, mengingat aku yang sejak pagi tidak memakan apapun.Dengan mengumpulkan sisa tenaga kuseret langkah keluar dari kantor KUA Jati Baru berjalan di sepanjang trotoar dengan gamang, tidak mengerti aku harus ke mana, hanya mengikuti langkah kaki dan air mata yang terus berjatuhan.Aku tidak peduli apa penilaian orang
"Kalo tuhan izinkan saya membawa anak dan istri saya pulang ya Pak, Ibu," pinta mas Raffi kepada kedua orang tuaku."Tentu saja, Nak, kau adalah suaminya. Bapak hanya minta tolong kamu menjaga mereka dengan baik, ya," ucap Bapak lembut."Insya Allah, kalo begitu Rafiq izin pamit ya, karena harus berangkat kerja juga," katanya yang kemudian memberi isyarat padaku agar aku segera berkemas.Kucium tangan Ibu dan Bapak sambil memohon doa agar aku bisa menjalani hari ini dengan lapang dada."Kamu hati-hati ya, Nduk," bisik Ibu dengan wajah prihatin."Iya, Bu.""Kamu yakin bisa menghadapi semua ini?""Insya Allah," balasku sambil meraih Rayyan dan melangkah pergi.*Sepanjang perjalanan aku lebih banyak memilih diam sambil menerawang menatap jauh ke depan sana. Aku sedang memikirkan cara Mas Rafi mau jujur mengakui bahwa ia telah melangsungkan pernikahan dengan Angel.Ada hal yang menggelikan di sini ketika aku kehilangan Mas Iqbal, Mas Raffiq selalu bersedia ada didekatku dia selalu melua
"Jannah, aku bisa jelaskan, Jannah," ucap Mas Rafiq sambil berusaha meraih jemariku."Hah,Berhentilah mengulang-ulang kalimat yang sering diucapkan pemain drama." aku tertawa getir di hadapan mereka berdua."Mama, Mama tahu kan masalah ini Ma? Kenapa tidak pernah menceritakan kepadaku?"Ibunda suamiku semakin menggenggam kuat sendok yang ada di tangannya tanpa mampu bicara ia mendongak kepada putranya yang juga berdiri terpaku entah mungkin tidak bisa mengucapkan kata-kata apapun."Kenapa kalian diam saja?""Jannah, tenang dulu, aku mohon duduklah dan kita bicarakan ini," pinta mas Rafiq."Kamu menyuruh aku tenang, suamiku yang tercinta?" Aku bertepuk tangan dan tertawa sambil meneteskan air mata di hadapannya."Andai aku tidak pernah tahu masalah ini Apakah kalian akan memberitahu? Adakah di antara kalian yang mau membuka pembicaraan dan membahas bahwa akan menikahi Angel?jika selama bertahun-tahun aku tidak tahu tidak adakah satu orang pun di antara kalian yang mau bicara?"Kehenin
Sambil membenahi pakaian ke dalam koper kutatap cincin yang melingkar di jariku,cincin yang menjadi penanda ikatan suci kami, cincin yang menjadi pengikat hubungan cinta dan bukti bahwa kami akan merajut mimpi bersama.Sayang sia-sia.Aku hanya mampu menghela nafas menatapnya bergantian dengan bayi yang kini tertidur pulas dan juga koper yang sedang terbuka menunggu untuk diisi dengan pakaian-pakaian milikku.Setelah satu jam tadi menangis, meratapi diri sendiri dan sedihnya takdir ini, aku bangkit dan mengambil keputusan bahwa tidak ada gunanya bertahan di dalam kepalsuan ini.Masih bergelayut di dalam pikiranku ribuan pertanyaan dan misteri yang terus pergantian silih berganti menunggu jawaban.Mengapa Mas Rafiq bisa terlibat dengan Angel sampai tidur bersama dan menghamilinya, kapan mereka melakukan itu dan dimana orang tua Angel.Seingatku, hari itu mas Rafiq mengantarnya menuju apartemen baru, seharusnya ia hanya mengantarnya saja. Lalu apa yang terjadi setelahnya?Sebelum pergi
Di dalam layar pipih berukuran 6,5 inchi itu aku bisa melihat rekaman cctv dari apartemen Angel, karena terlihat mereka sekeluarga pertama kali masuk dengan tersenyum. Kemudian tayangan di percepat berlanjut ke adegan Papa dan Mamanya Angel terlihat berpamitan pergi. Tayangan berikutnya Mas Rafiq dan Angel terlihat duduk berhadapan mengobrol santai, mereka terlihat menikmati kopi, anehnya di sana, yang notabene apartemen baru, tapi sudah penuh dengan perabot, artinya Angel berbohong tentang alasan membeli perabot."Apakah ini akal-akalan Angel saja?"Video kemudian dipercepat pada menit ke 24 di dalam video di mana Mas Rafiq bersiap pergi dan Angel berusaha menahannya. Ia menghadang Mas Rafiq di pintu dengan senyum menggoda dan membujuknya.Suamiku menolak, ia terlihat menangkupkan tangan dan gadis itu kemufainennagis sehingga mau tak mau Mas Rafiq kembali membujuknya dan gadis itu melabuhkan diri ke pelukan mantan kekasihnya itu.Adegan selanjutnya Mas Rafiq mengajaknya duduk kembal
"Ayah udah pergi, Nak, ayah udah tidur dengan tenang," bisikku sambil merangkul bahunya."Kenapa ayah enggak ngajak Raisa, Raisa sedih, tadinya Raisa pikir ... Om Rafiq bisa gantiin ayah," ucapnya yang seketika membuat hati ini terluka.Aku memaksakan tersenyum tipis untuk menghiburnya, "Mungkin kita belum beruntung, Sayang.""Aku rindu ayah," ucapnya dengan suara serak dan nada yang begitu memilukan."Nanti kita pergi jenguk ayah ke makamnya, ya," bujukku."Memangnya Bunda tahu, makam ayah di mana?"Ah, aku hanya pernah dengar alamatnya namun belum pernah ke sana. Mudah-mudahan aku masih punya kontak pemuda yang dulu sering menghubungi ketika Mas Ikbal masih di rumah sakit.Kuraih ponsel yang tadi sempat kulempar, layarnya retak tapi aku masih bisa memakainya, kucari nama Fahmi di daftar kontak dan alhamdulillah, kutemukan.Kucoba menghubungi dengan hati berdebar, dan tak lama kemudian pemuda itu menjawab dari seberang sana."Assalamualaikum, Fahmi," sapaku."Waalaikumsalam Mbak
Tidak ada alasan untuk bertahan sehingga tanpa memiliki banyak hambatan akhirnya aku melayangkan gugatan cerai dan ditanggapi oleh pengadilan tanpa banyak rintangan.Palu di ketuk tanda perceraian kami membuatku menarik napas lega sekaligus berat, lega karena terlepas dari ikatan yang menyakitkan dan berat karena pernikahan kami yang nyaris tanpa cela itu harus dinodai dengan perselingkuhan.Sepanjang beberapa kali pertemuan sidang Mas Rafiq tak pernah sekalipun menunjukkan batang hidungnya. Entah, malu atau acuh aku tak tahu, yang pasti hal itu kian menambah kekecewaanku padanya.Kuturuni tangan pelataran pengadilan agama yang sama, pengadilan yang telah memutuskan pernikahanku dengan Mas Ikbal dulu, kini aku juga harus berpisah dari Mas Rafiq di tempat yang sama.Ingin menangis tapi rasanya air mata ini sudah kering, aku iba pada diri sendiri tapi aku tak bisa mendramatisir itu, karena aku punya anak dan masih memiliki orang tua yang insyallah mendukungku.Aku yakin suatu hari All
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan
Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.
*Pemuda itu, datang lagi ke toko sore menjelang aku menutup gerai pakaian dan barang milikku itu.Ia melangkah santai lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja dan mendudukkan dirinya sambil tersenyum."Mbak Jannah, belum mau pulang?" tanyanya."Belum, masih sibuk," jawabku."Uhm, aku akan menunggu,", jawabnya."Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"tanyaku dengan tatapan tajam. "Aku sudah cukup memberimu ruang, Wira.""Apa maksudnya Mbak, Mbak terlihat marah," ucapnya pelan."Aku sudah cukup baik kepadamu dengan tidak bersikap kasar dan frontal, aku harap kau mengerti kalau aku tidak nyaman dengan semua sikap ini.""Aku tidak tahu cara terbaik untuk bisa merebut hatimu Mbak," jawabnya pelan."Kamu tidak perlu bersusah payah karena aku belum membuka hati untuk siapapun Wira," ucapku dengan tetap menatap lekat padanya."Aku tahu kalau tidak denganku, Mbak Jannah pasti akan kembali lagi dengan dokter Rafiq, iya kan?" cecarnya sok tahu.Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan
Ting tong ...Pagi pagi bel rumah sudah berdenting dan entah siapa berkunjung di pagi buta seperti ini. Sesaat aku sempat bertanya-tanya sekaligus kesal, denting yang terus menerus mengganggu telingaku."Siapa di luar?" tanyaku."Aku," jawab suara yang familiar kudengar itu."Kamu ngapain pagi-pagi gini, bahkan embun pun belum kering di pucuk daun," ujarku."Biarkan embun, yang penting aku menatapmu di awal hari sudah cukup membuatku seolah memiliki semua kebahagiaan.""Hentikan gombalan recehmu!" teriakku di pengeras suara yang tersambung ke gerbang."Jangan marah pagi-pagi aku datang ke sini membawa sesuatu untuk Raisa dan Rayan,". ujarnya santai."Tidak usah bawakan apapun anak-anakku baik-baik saja," jawabku ketus."Tapi Raisa menyukaiku kok. Buktinya ia senang menerima sepaket boneka LoL yang aku belikan," lanjutnya sambil tertawa kecil, " Raisa Sapa Bunda," suruhnya."Bunda ...." Tiba tiba suara anakku timbul dari depan gerbang sana."Raisa kamu ngapaian di gerbang pagi-pagi, k
"Ini makanan banyak banget siapa yang beli makanan sebanyak ini?""itu dari pemuda tampan yang pagi-pagi sudah datang ke sini dan membawa semobil makanan," jawab asistenku Rina."Apa? Siapa?""Teman Mbak, yang berondong itu lho," jawab Rina setengah berbisik."Ya ampun," desahku."Kenapa Mbak, kan bagus mbak dapat banyak perhatian," jawabnya sambil berkedip aneh."Ish ...mendapat perhatian dari orang yang kita suka itu bagus, tapi kalo gak suka, bikin ilfil kan?""Emangnya mbak sekarang lagi ilfil?" timpal Rudi supirku."Iya, karena aku gak mau didekati pria itu." Aku menghempas diri di sofa sambil melempar pandangan ke tumpukan kotak makanan di meja tamu.Kuhela napas berkali-kali untuk melegakan dadaku, namun kedua pegawaiku itu masih heran dengan sikapku itu. Mereka seperti menunggu adegan berikutnya."Apa lagi? Kenapa pada berdiri?""Makanan sebanyak itu Mbak Jannah bisa habiskan?""Siapa bilang aku akan memakannya?" jawabku sewot."Kasihan yang beli, Mbak," jawab Rina memelas."