Fia, terjatuh lunglai sesaat sesosok makhluk tak kasatmata keluar dari tubuhnya. Wajahnya kembali terlihat berwarna, bola matanya terlihat sayup menggeledah tempat yang masih terlihat samar.
Rintik hujan perlahan mereda, di gantikan tiupan angin yang terasa mencekam. Wanita bermata monolid itu sejenak menghembuskan napas kasar, sesaat tubuhnya terjatuh di dasar tanah yang di alasi rumput liar yang merambat bebas.
Bagai orang yang habis melakukan lomba lari dengan jarak beberapa kilo meter, terdengar suara desahan napas Fia tak beraturan. Seluruh dahinya di penuhi peluh yang mengalir membasahi wajahnya. Kedua telapak tangannya kompak menopang tubuhnya, bokongnya terduduk tak mengenal tempat.
Bola matanya terpaku pada satu titik. Tubuh kaku tak bergerak, yang terlihat di hadapannya, membuatnya sedikit menahan napas.
“Mark,” gumamnya tak yakin.
Fia menarik langkah, membangunkan tubuhnya berjalan perlahan menghampiri sosok tubuh yang terbaring kaku tak jauh darinya.
Sejenak Fia memicingkan sedikit bola matanya guna melihat dengan jelas sosok tubuh yang terbaring kaku di hadapannya. Matanya terbelalak, dan seketika mulutnya ternganga merasa tak yakin dengan apa yang tengah ia saksikan.
Fia menarik napas dalam diiringi bola matanya yang tampak akan mencuat keluar.
“Mark! A-apa yang terjadi?” tuturnya tak menyangka. Fia sekilas menelan ludah kasar, seakan tak percaya dengan apa yang itu lihat.
Fia duduk bersimpuh, mengedarkan sentuhannya pada tubuh Mark yang sudah kaku tak bernyawa. Memeriksa tubuh itu, guna mencari sebab kematian sang suami.
“Apa ini?” tanyanya heran.
“Apa?”
“Perjanjian apa yang kau maksud?” suara Fia terdengar menggema seperti menjawab pertanyaan dari seseorang.
Fia kembali mengedarkan pandangannya, menyisir habis tempat itu guna mencari asal suara yang baru saja di ajaknya berbicara. Namun tak tampak siapa pun, hanya pepohonan yang tinggi menjulang, serta ranting kayu yang bergerak mengikuti irama angin yang bertiup kencang.
“Apa yang kau katakan? Dan apa yang terjadi pada suamiku?” teriaknya bertanya pada sosok yang sama sekali tak terlihat.
“Apa?”
“Tidak!”
“Aku tidak mau melakukannya!”
“Kau sungguh gila!”
Perkataan monolog yang dilakukan Fia terdengar sedang beradu argument yang tak pasti. Beberapa kali Fia terdengar menolak kasar permintaan sosok yang ia ajak bicara.
“Mark bangunlah,” ucapnya lirih sembari mengangkat kepala suaminya itu dan berpindah di pangkuannya.
“Ada apa denganmu?”
“Apa yang terjadi?”
Fia mencoba mencari tahu penyebab kematian Mark yang sungguh tragis. Luka di lehernya sedikit membusuk dan memancarkan aroma anyir yang sedikit menyengat, tubuh itu dingin, kedua bola matanya putih secara keseluruhan yang tak tertutup sama sekali.
Fia terus meraba tubuh Mark, dan berharap mendapatkan apa yang ia cari. Sesekali Fia mengedarkan tangannya menyentuh seluruh sudut tubuh itu. Entah apa yang ia cari, namun Fia terlihat bersikukuh mencari apa yang tidak ia temukan.
Malam itu semakin larut, tepat pukul 01:07 dini hari. Fia tak kunjung beranjak dari tengah hutan yang minim pencahayaan. Dingin yang mulai mengancam, serta suara gesekan bambu-bambu yang menjulang tinggi mengacaukan sejenak keheningan.
Suara burung hantu perlahan terdengar kasar, ranting pohon yang rapuh sesekali berjatuhan. Aroma anyir dari tubuh Mark menambah mengerikannya suasana malam itu.
Tak tampak apa pun di sana, jika meluruskan pandangan pada satu titik, untuk sesaat akan menggambarkan sosok-sosok yang terlihat seperti seseorang. Namun, itu hanya ilusi dari otak yang mengacaukan pikiran, siluet dari beberapa pohon dan dedaunan yang beterbangan seakan membuat gambar itu semakin terlihat membentuk tubuh orang yang tengah berdiri tegak menatap lurus ke depan.
“Apa yang kau inginkan? Bukankah ini terlalu mengerikan?”
“Kau tidak pernah mengatakan sebelumnya, akan ada korban dalam perjanjian ini.”
“Lalu apa sekarang? Suamiku telah tiada di tanganku sendiri!”
“Aku masih menyayanginya.”
Monolog lagi dari Fia, berbicara sendiri bak di temani orang yang menjawab seluruh perkataannya. Suara tangisan itu pecah setelah mengingat bahwa Mark menghembuskan napas terakhirnya di tangannya sendiri.
“Perjanjian apa yang kau maksud?”
“Bukankah ini sudah lebih dari cukup?”
“Apa?”
“Apa maksudmu?”
Setelah berdialog sendirian. Fia secara perlahan menaruh kembali kepala Mark yang sedari tadi di pangkuannya. Ia membangunkan tubuhnya, dan menarik langkah kesisi kirinya. Berjalan perlahan, menyibakkan rumput ilalang yang menghalau pandangan. Jalan setapak yang ia pijak, perlahan membekas meninggalkan jejak. Fia terus melangkah, tanpa tahu arah.
Kedua tangannya lihai menyapu rumput ilalang yang menjulang, langkahnya tak henti meski di suguhkan duri kecil dari berbagai tumbuhan liar yang merambat bebas di setiap langkahnya.
Kedua kakinya tak beralas, tubuhnya terasa melemah seiring berlalunya pergi meninggalkan mayat sang suami. Entah apa yang ia cari, namun langkah itu tak berhenti meski sudah sangat jauh pergi.
Sejenak langkah Fia akhirnya terhenti. Di tepi telaga yang menyuguhkan air yang terlihat bening. Sinar bulan memantul ke air telaga yang bersih sehingga terlihat paparan cahaya yang sedikit membantu penglihatan yang sedari tadi buram.
Fia kembali melangkah dan terhenti tepat di tepinya. Tubuhnya menunduk setengahnya, memandang wajahnya di pantulan air yang dibantu cahaya purnama.
“Cantik,” gumamnya seraya menangkap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Aku suka.”
“Hm, em.”
“Bagaimana kau melakukannya?”
“Mark?”
“Mengorbankannya?”
“Bagaimana bisa?”
“Tapi aku suka wajah ini?”
Monolog lagi dari, Fia. Entah siapa yang diajaknya berdialog, namun percakapan itu terdengar begitu akrab.
“Bisa kau memberiku lebih dari ini?”
Fia, mendongak menegakkan tubuhnya. Terlihat senyuman simpul dari wajahnya, yang tampak begitu menikmati hasil dari usahanya.
“Benarkah?”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Melukai diriku?”
Fia tertegun sejenak. Masih berdiri di tepi telaga. Cahaya bulan purnama perlahan menghilang dan akan di gantikan mentari yang mulai menyapa. Waktu kini menunjukkan pukul 03:33 dini hari.
“Aku akan melakukannya.”
“Cepat katakan apa yang harus kulakukan?”
Suara Fia terdengar menggema. Perlahan menarik langkah memutar tubuhnya, melirik kanan kiri guna menemukan apa yang tengah ia cari.
Tatapan itu terhenti pada satu tempat. Pohon tua yang tak lagi tumbuh, besar terbaring mengering. Sorot matanya tajam memandang pohon yang sedikit lembap akibat tumpahan air hujan yang menyerang.
Langkahnya terhenti, dan sejenak terpaku menatap batang yang sedikit berukuran lumayan besar. Lagi-lagi Fia mengedarkan pandangannya, guna mencari apa yang ia butuhkan.
Tak lama mencari, Fia berjongkok di tempatnya. Meraih sebuah paku tajam yang sedikit berkarat. Tangan kirinya memegangi paku yang baru saja dikutipnya, meletakkan di atas pohon tua yang tumbang tak berarah.
Tanpa berpikir dua kali, Fia memukul puncak paku itu menggunakan telapak tangannya. Seakan sedang menancapkan sebuah paku untuk merekatkan benda berat pada benda satunya. Telapak tangannya dengan kuat memukul ujung paku, guna menancapkannya di pohon tua yang sudah tak bernyawa.
Rintihan kecil terdengar dari daun bibirnya. Telapak tangannya perlahan mengeluarkan banyak cairan merah kental. Ia menahan segala perih yang mulai menyiksa, dan terus melakukannya sampai paku yang ia genggam terkubur sepenuhnya.
Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya paku yang ia tancapkan menggunakan tangannya sendiri, kini sukses mendarat di dalam perut pohon besar itu.
“Sudah...” ucapnya lirih.
“Apa lagi sekarang?” tubuh itu terduduk, dan sejenak memandang luka di telapak tangan kanannya.
“Baiklah, aku akan berjanji padamu.”
“Mulai hari ini, aku akan mengikuti segala perintah darimu.”
“Apa pun itu, asal aku bisa mendapatkan imbalan yang tak kalah besar dari pengorbananku.”
Hutan belantara menjadi saksi bisu perbuatan keji Fia. Setelah melakukan aktivitas yang sulit digambarkan dalam satu ucapan, wanita yang sudah menikah itu akhirnya keluar dan menghirup udara segar di alam terbuka.Wanita yang kini menginjak usia 48 tahun itu, tersenyum bebas sesaat melihat sebuah rumah yang cukup mewah tepat saat ia menatap lurus pandangannya.“Itu milikku?” Tanyanya entah pada siapa.Lagi-lagi senyuman simpul terpatri jelas di wajah ovalnya. Wanita yang tak bisa di katakan muda lagi, perlahan menarik langkah menuju rumah yang cukup mewah yang tidak jauh darinya.Rumah mewah di pinggir aspal hitam, yang jarang dilalui para pengendara. Bisa dikatakan jalan itu hanya jalan pintas jikalau ada pemeriksaan serentak dari pihak kepolisian yang menjalankan tugas negara.Rumah mewah berwarna abu-abu gelap itu, hanya terlihat tunggal di sana. Tak ada rumah atau tempat apa pun lagi yang tampak menemani rumah mewah it
Setelah hubungan terlarang yang di lakukan Fia dengan sosok yang sulit dicerna oleh akal sehat. Kini wanita itu mengandung seorang anak yang menjadi permintaan dari sosok bertubuh kekar itu.Tapi ada yang aneh dari kehamilan Fia. Meski usia kandungannya sudah menginjak bulan kelahiran bayinya, perutnya tampak tak terlihat membesar atau pun sekedar memberikan pertanda bahwa ia sedang mengandung.Tubuhnya tetap memperlihatkan tubuhnya yang sempurna. Lekukan tubuh itu masih saja terlihat jelas.“Ini bulan kelahiran bayi ini, tapi kenapa perutku sama sekali tidak membesar?” gumamnya pada pantulan bayangannya di cermin.“Ini benar-benar gila,” ucapnya lagi tak percaya.“Itu karena dia anakku.” Tiba-tiba suara berat membalas ucapan Fia, sedikit mengejutkan wanita yang masih asik memandangi tubuhnya di pantulan cermin itu.“Brengsek!” gerutunya kasar.“Tidak bisakah kau data
‘Gia Panta’ julukan yang diberikan oleh Fia pada rumah barunya. Bukan rumah, bisa dikatakan istana. Namun, tempat itu tak tampak seperti istana pada umumnya.Jika biasanya istana terlihat megah, penuh warna, dan identik dengan warna yang terang benderang, dipenuhi beberapa penjaga, dan ditumbuhi bunga-bunga di sekitar halamannya.Berbeda dengan istana yang di miliki Fia. Suram, mencekam. Aura yang dipancarkan istana itu benar-benar terlihat sangat menyeramkan. Castel yang di beri nama ‘Gia Panta’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘Abadi selamanya'.Berdiri kokoh di tengah perbatasan kota B. Setiap pengendara yang melintasi Castil megah itu, tak sedikit yang bergidik ngeri. Tak jarang juga orang yang tidak sengaja melintasi bangunan megah itu, memilih memutar balik arahnya karena aura yang terpancar dari sana benar-benar berbeda.Omorfia Pou diarkey. Atau Fia. Wanita penikmat harta tahta dari makhluk tatkasat mata
Lima tahun sudah Fia menjalani hidup yang hampir tak mengenal lagi dunia yang bersifat sementara. Kekayaan yang ia raup kini semakin melimpah. Tidak tahu akan ke mana dan untuk apa. Namun, kekayaan itu terus bertambah seiring berlalunya waktu dan kontrak yang ia jalani dengan sosok tak kasatmata.Sejak lima tahun terakhir ini, Fia, tidak pernah berhenti melahirkan seorang bayi yang menjadi perjanjian mereka tempo lalu. Kadang bayi perempuan, dan juga bayi laki-laki. Hanya hitungan detik, bayi itu kembali pada tempatnya, mengembuskan napas di tangan ibunya sendiri.“Kenapa harus wajah suamiku yang kau gunakan? Tidak ada sosok yang lainkah?”“Memangnya ada apa? Kau merindukan suamimu?”Fia memutar bola matanya menatap sinis. “Kau benar-benar iblis!” gumamnya kesal, setelah mendengar jawaban Incubus.Fia yang sedari tadi duduk santai menikmati sarapan paginya, bangun dan
15 tahun kemudianSuara tepuk tangan menggema di persimpangan lampu merah jalanan. Riuh piuh terdengar gaduh, didominasi dengan suara sepeda motor yang terus menarik pedal gas. Orang-orang menyoraki beberapa pemain favorit mereka.“Januar! Januar! Januar!”Begitu seterusnya hingga satu orang gadis berpakaian mini mendekat ke arah sepeda motor yang sudah berbaris tepat di pembatas yang sudah di tentukan.Suaranya semakin gaduh, kala gadis berpakaian mini itu menghitung mundur.“Tiga...dua...satu!”Sepeda motor yang jumlahnya lebih dari tiga orang itu pun melaju dengan kecepatan penuh. Bagai angin yang melintas di permukaan kulit, mereka dengan cepat menghilang dari pandangan.“Gue jamin. Januar bakalan menang,” seru salah satu gadis berambut sebahu.“Bener banget. Secara Januar’ kan kepala kapten dari geng motor Rejoks. Ya kali bakalan kalah,” sahu
Rintik hujan di tengah hutan belantara, samar perlahan membasahi permukaan kulit, dingin menusuk tulang, secara perlahan mulai mencekam.“Apa yang kau lakukan di sini? Sudah kukatakan padamu, bersabarlah!”“Aku sudah tidak tahan denganmu! Aku muak hidup seperti ini terus menerus!”“Fia, aku akan berusaha lagi, dan aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan.”“Simpan saja omong kosongmu itu Mark!”Fia terus berjalan menyusuri hutan semakin dalam, rintik hujan yang mulai terdengar kasar, mengiri langkahnya yang tergesa-gesa. Mark mengikuti ke mana perginya, Fia. Walau pun berusaha menghentikan langkah yang begitu tak karuan.“Ini sudah sangat larut! Ke mana kau akan pergi?” ujar Mark lagi menghentikan langkah istrinya itu, mencekal perlahan pergelangan tangannya, menahan langkah yang tak tahu akan ke mana.“Diamlah!” H
15 tahun kemudianSuara tepuk tangan menggema di persimpangan lampu merah jalanan. Riuh piuh terdengar gaduh, didominasi dengan suara sepeda motor yang terus menarik pedal gas. Orang-orang menyoraki beberapa pemain favorit mereka.“Januar! Januar! Januar!”Begitu seterusnya hingga satu orang gadis berpakaian mini mendekat ke arah sepeda motor yang sudah berbaris tepat di pembatas yang sudah di tentukan.Suaranya semakin gaduh, kala gadis berpakaian mini itu menghitung mundur.“Tiga...dua...satu!”Sepeda motor yang jumlahnya lebih dari tiga orang itu pun melaju dengan kecepatan penuh. Bagai angin yang melintas di permukaan kulit, mereka dengan cepat menghilang dari pandangan.“Gue jamin. Januar bakalan menang,” seru salah satu gadis berambut sebahu.“Bener banget. Secara Januar’ kan kepala kapten dari geng motor Rejoks. Ya kali bakalan kalah,” sahu
Lima tahun sudah Fia menjalani hidup yang hampir tak mengenal lagi dunia yang bersifat sementara. Kekayaan yang ia raup kini semakin melimpah. Tidak tahu akan ke mana dan untuk apa. Namun, kekayaan itu terus bertambah seiring berlalunya waktu dan kontrak yang ia jalani dengan sosok tak kasatmata.Sejak lima tahun terakhir ini, Fia, tidak pernah berhenti melahirkan seorang bayi yang menjadi perjanjian mereka tempo lalu. Kadang bayi perempuan, dan juga bayi laki-laki. Hanya hitungan detik, bayi itu kembali pada tempatnya, mengembuskan napas di tangan ibunya sendiri.“Kenapa harus wajah suamiku yang kau gunakan? Tidak ada sosok yang lainkah?”“Memangnya ada apa? Kau merindukan suamimu?”Fia memutar bola matanya menatap sinis. “Kau benar-benar iblis!” gumamnya kesal, setelah mendengar jawaban Incubus.Fia yang sedari tadi duduk santai menikmati sarapan paginya, bangun dan
‘Gia Panta’ julukan yang diberikan oleh Fia pada rumah barunya. Bukan rumah, bisa dikatakan istana. Namun, tempat itu tak tampak seperti istana pada umumnya.Jika biasanya istana terlihat megah, penuh warna, dan identik dengan warna yang terang benderang, dipenuhi beberapa penjaga, dan ditumbuhi bunga-bunga di sekitar halamannya.Berbeda dengan istana yang di miliki Fia. Suram, mencekam. Aura yang dipancarkan istana itu benar-benar terlihat sangat menyeramkan. Castel yang di beri nama ‘Gia Panta’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘Abadi selamanya'.Berdiri kokoh di tengah perbatasan kota B. Setiap pengendara yang melintasi Castil megah itu, tak sedikit yang bergidik ngeri. Tak jarang juga orang yang tidak sengaja melintasi bangunan megah itu, memilih memutar balik arahnya karena aura yang terpancar dari sana benar-benar berbeda.Omorfia Pou diarkey. Atau Fia. Wanita penikmat harta tahta dari makhluk tatkasat mata
Setelah hubungan terlarang yang di lakukan Fia dengan sosok yang sulit dicerna oleh akal sehat. Kini wanita itu mengandung seorang anak yang menjadi permintaan dari sosok bertubuh kekar itu.Tapi ada yang aneh dari kehamilan Fia. Meski usia kandungannya sudah menginjak bulan kelahiran bayinya, perutnya tampak tak terlihat membesar atau pun sekedar memberikan pertanda bahwa ia sedang mengandung.Tubuhnya tetap memperlihatkan tubuhnya yang sempurna. Lekukan tubuh itu masih saja terlihat jelas.“Ini bulan kelahiran bayi ini, tapi kenapa perutku sama sekali tidak membesar?” gumamnya pada pantulan bayangannya di cermin.“Ini benar-benar gila,” ucapnya lagi tak percaya.“Itu karena dia anakku.” Tiba-tiba suara berat membalas ucapan Fia, sedikit mengejutkan wanita yang masih asik memandangi tubuhnya di pantulan cermin itu.“Brengsek!” gerutunya kasar.“Tidak bisakah kau data
Hutan belantara menjadi saksi bisu perbuatan keji Fia. Setelah melakukan aktivitas yang sulit digambarkan dalam satu ucapan, wanita yang sudah menikah itu akhirnya keluar dan menghirup udara segar di alam terbuka.Wanita yang kini menginjak usia 48 tahun itu, tersenyum bebas sesaat melihat sebuah rumah yang cukup mewah tepat saat ia menatap lurus pandangannya.“Itu milikku?” Tanyanya entah pada siapa.Lagi-lagi senyuman simpul terpatri jelas di wajah ovalnya. Wanita yang tak bisa di katakan muda lagi, perlahan menarik langkah menuju rumah yang cukup mewah yang tidak jauh darinya.Rumah mewah di pinggir aspal hitam, yang jarang dilalui para pengendara. Bisa dikatakan jalan itu hanya jalan pintas jikalau ada pemeriksaan serentak dari pihak kepolisian yang menjalankan tugas negara.Rumah mewah berwarna abu-abu gelap itu, hanya terlihat tunggal di sana. Tak ada rumah atau tempat apa pun lagi yang tampak menemani rumah mewah it
Fia, terjatuh lunglai sesaat sesosok makhluk tak kasatmata keluar dari tubuhnya. Wajahnya kembali terlihat berwarna, bola matanya terlihat sayup menggeledah tempat yang masih terlihat samar.Rintik hujan perlahan mereda, di gantikan tiupan angin yang terasa mencekam. Wanita bermata monolid itu sejenak menghembuskan napas kasar, sesaat tubuhnya terjatuh di dasar tanah yang di alasi rumput liar yang merambat bebas.Bagai orang yang habis melakukan lomba lari dengan jarak beberapa kilo meter, terdengar suara desahan napas Fia tak beraturan. Seluruh dahinya di penuhi peluh yang mengalir membasahi wajahnya. Kedua telapak tangannya kompak menopang tubuhnya, bokongnya terduduk tak mengenal tempat.Bola matanya terpaku pada satu titik. Tubuh kaku tak bergerak, yang terlihat di hadapannya, membuatnya sedikit menahan napas.“Mark,” gumamnya tak yakin.Fia menarik langkah, membangunkan tubuhnya berjalan perlahan m
Rintik hujan di tengah hutan belantara, samar perlahan membasahi permukaan kulit, dingin menusuk tulang, secara perlahan mulai mencekam.“Apa yang kau lakukan di sini? Sudah kukatakan padamu, bersabarlah!”“Aku sudah tidak tahan denganmu! Aku muak hidup seperti ini terus menerus!”“Fia, aku akan berusaha lagi, dan aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan.”“Simpan saja omong kosongmu itu Mark!”Fia terus berjalan menyusuri hutan semakin dalam, rintik hujan yang mulai terdengar kasar, mengiri langkahnya yang tergesa-gesa. Mark mengikuti ke mana perginya, Fia. Walau pun berusaha menghentikan langkah yang begitu tak karuan.“Ini sudah sangat larut! Ke mana kau akan pergi?” ujar Mark lagi menghentikan langkah istrinya itu, mencekal perlahan pergelangan tangannya, menahan langkah yang tak tahu akan ke mana.“Diamlah!” H