Rintik hujan di tengah hutan belantara, samar perlahan membasahi permukaan kulit, dingin menusuk tulang, secara perlahan mulai mencekam.
“Apa yang kau lakukan di sini? Sudah kukatakan padamu, bersabarlah!”
“Aku sudah tidak tahan denganmu! Aku muak hidup seperti ini terus menerus!”
“Fia, aku akan berusaha lagi, dan aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan.”
“Simpan saja omong kosongmu itu Mark!”
Fia terus berjalan menyusuri hutan semakin dalam, rintik hujan yang mulai terdengar kasar, mengiri langkahnya yang tergesa-gesa. Mark mengikuti ke mana perginya, Fia. Walau pun berusaha menghentikan langkah yang begitu tak karuan.
“Ini sudah sangat larut! Ke mana kau akan pergi?” ujar Mark lagi menghentikan langkah istrinya itu, mencekal perlahan pergelangan tangannya, menahan langkah yang tak tahu akan ke mana.
“Diamlah!” Hardik Fia, dengan sorot mata yang tajam.
“Aku tidak mau lagi hidup denganmu! Aku sudah muak, Mark!” sambungnya lagi berteriak menggertak suaminya.
“Apa ini sesulit itu untukmu? Cobalah bersabar sedikit lagi, semuanya akan kembali membaik!”
Fia menatap dalam wajah Mark yang sudah dibasahi air langit yang perlahan mulai jatuh tak beriringan. “Bersabar katamu? Kalau begitu bersabarlah sendiri, tidak usah memaksaku untuk ikut bersamamu lagi.” Fia menarik langkah memutar tubuhnya dan kembali berjalan menyusuri hutan yang semakin gelap.
Tak ingin meninggalkan istrinya sendirian, Mark mengikuti langkah Fia yang bahkan tidak mengerti ke mana dan apa tujuan Fia mendatangi hutan yang di penuhi cerita mitos di dalamnya.
Dingin malam itu semakin terasa akibat hujan yang tak juga mereda, langkah kaki yang terdengar kasar dari keduanya, menyapu perlahan rumput liar yang mereka pijak. Pohon yang menjulang tinggi, rerumputan yang tumbuh semakin tinggi menghalangi pandangan dari sepasang suami istri itu.
Entah apa yang membawa Fia menyusuri hutan yang seharusnya tak dikunjungi, banyak yang mengatakan, bahwa hutan itu tempat bersemayamnya sosok makhluk yang sulit dijelaskan.
“Fia, hentikan! Kau tidak takut berada di hutan gelap seperti ini?” Mark kembali mencekal istrinya itu, menahan langkah yang semakin cepat. Fia tak menggubris apa pun yang diucapkan sang suami, dengan kasar ia menepis tangan Mark, dan kembali melanjutkan langkahnya.
Beberapa menit menyusuri hutan yang semakin gelap hampir tak ada pencahayaan apa pun. Tepat di tengah hutan yang terlihat menakutkan, Fia menghentikan langkahnya dan terlihat tengah menanti kehadiran seseorang.
“Aku sudah datang! Katakan apa yang harus kulakukan!” teriaknya lantang di tengah hutan yang tak tampak siapa pun yang ada di sana. Matanya liar menggeledah tempat itu, seakan mencari keberadaan seseorang.
“Siapa yang sedang kau cari? Dengan siapa kau berbicara?” tanya Mark heran, sikap istrinya itu benar-benar membuatnya bingung tak karuan.
Lagi-lagi Fia tak menghiraukan ucapan suaminya itu, ia terus mengedarkan pandangannya mencari sosok yang ingin ia temui.
Hujan malam itu tak mereda bahkan airnya semakin lebat jatuh membasahi tubuh kedua insan itu. Sesekali Fia menyeka wajahnya dari air langit yang tak kunjung mereda.
“Datanglah! Cepat katakan apa yang harus kulakukan! Aku sudah muak dengan semua ini!” ucap Fia lagi, kali ini dengan teriakan yang benar-benar terdengar memekakkan telinga.
Mark yang terlihat bingung, ikut mencari sosok yang diajak berbicara oleh istrinya itu. Sejauh apa pun Mark mengedarkan pandangannya, tetap saja tak menemukan siapa pun, bahkan tak terdengar suara apa pun, kecuali desiran air hujan yang membasahi bumi semakin kencang.
Disela-sela pencariannya pada sosok yang ia tunggu, Fia terlihat terpaku untuk beberapa saat. Dia membisu, menatap lurus dengan bola mata yang sedikit terbelalak. Diam mematung, berdiri tegak tak bergeming.
Beberapa menit dengan posisinya, tiba-tiba saja tubuhnya memutar perlahan, menatap dalam suaminya. Mark yang terkejut dengan sikap istrinya itu, perlahan terlihat bingung, dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dengan Fia saat ini.
“Ada apa?” tanyanya penuh penasaran diiringi rasa takut yang sedikit mengusik.
Tak ada jawaban apa pun dari Fia, wajahnya datar, bola mata menatap tajam, dengan napas yang mulai memburu. Secara perlahan memulai langkah menghampiri Mark yang berjeda beberapa langkah darinya.
Jelas saja Mark merasa semakin aneh dari sikap istrinya itu, “Ada apa denganmu?” tanyanya lagi, penuh dengan penasaran.
Lagi-lagi tak ada jawaban, Fia membisu dengan langkah yang semakin maju. Mark sesekali menyeka wajahnya, guna melihat dengan jelas istrinya yang perlahan mulai mendekat. Wajah itu tampak sedikit berubah, bola mata Fia terlihat mengancam, didampingi kepalan tangan yang terlihat membulat.
“Aku tidak tahan lagi Mark, sudahi penderitaanku sampai di sini,” ucap Fia yang akhirnya sampai di hadapannya.
“Apa maksudmu?” balas Mark tak mengerti maksud ucapan Fia.
Tak berselang lama, kebingungan yang menghantui Mark perlahan terjawab. Seiring terlihatnya sosok yang begitu menakutkan di dalam tubuh istrinya. Wajah Fia berubah menjadi sangat menakutkan, bola matanya memutih, wajahnya memucat, serta mengalirnya cairan merah dari mulutnya yang tertutup rapat.
“A-apa ini? Si-siapa kau?” gumam Mark terbata-bata, napasnya mulai memburu, detakan jantungnya semakin cepat melaju disusul tubuh yang mulai gemetar.
“Terima kasih sudah datang Mark,” ucap Fia dengan nada suara yang berbeda, terdengar berat, dan sedikit serak, senyuman yang dipancarkannya itu juga tak terlihat mirip Fia, istrinya.
Mark berusaha menahan ketakutannya yang mulai mencekam, menarik napas dalam, seraya menyeka pelan wajahnya yang disirami air hujan.
“Ayo pulang Fia, aku rasa ada yang tidak beres darimu.” Mark meraih pergelangan tangan Fia, untuk segera membawanya kembali ke alam terbuka.
Berharap mendapati kembali istrinya, justru hal yang sulit di percaya terjadi pada pria bermata monolid itu. Tiba-tiba saja jemari tangan wanita yang ada di hadapannya itu, terangkat dan mencekik kuat lehernya.
Tentu saja hal itu membuatnya begitu terkejut, “Fia, sadarlah! Apa yang terjadi padamu?” ucap Mark samar, hujan serta cekikan itu menahan suaranya yang berteriak.
Fia semakin kuat mencengkeram leher suaminya, dan secara perlahan mengangkat tubuh yang seharusnya sulit untuk dilakukan seorang wanita seperti Fia.
“Kau kalah! Hidup adil tak berpihak padamu!” ucap Fia setengah berteriak, menyuguhkan senyuman yang benar-benar terlihat menakutkan.
Tanpa sadar perlahan tubuh Mark semakin melemah, kedua kakinya yang terangkat tak perpijak pada tanah, menggerakkan kasar memberi isyarat sudah tak kuat.
Kedua tangannya berusaha menepis cengkeraman yang semakin terasa menyakitkan, kuku panjang jemari Fia secara perlahan menembus kulit Mark. Senyuman iblis yang terpatri jelas di wajah Fia, terlihat begitu menikmati aksinya.
Tak butuh waktu lama, tubuh Mark tak lagi bergerak, dan tanpa perintah apa pun, Fia dengan kasar menjatuhkan tubuh yang sudah tak lagi bernyawa ke permukaan bumi yang di basahi air langit serta beralaskan tumbuhan liar di atasnya. Leher sisi kanan Mark terlihat mengeluarkan begitu banyak cairan merah yang terlihat pupus diguyur air hujan, kedua matanya terbelalak menahan rasa sakit yang tak lagi tertahan.
Senyuman iblis itu sangat terlihat bahagia dengan penampakan tubuh Mark yang sudah tak lagi bernyawa.
Fia, terjatuh lunglai sesaat sesosok makhluk tak kasatmata keluar dari tubuhnya. Wajahnya kembali terlihat berwarna, bola matanya terlihat sayup menggeledah tempat yang masih terlihat samar.Rintik hujan perlahan mereda, di gantikan tiupan angin yang terasa mencekam. Wanita bermata monolid itu sejenak menghembuskan napas kasar, sesaat tubuhnya terjatuh di dasar tanah yang di alasi rumput liar yang merambat bebas.Bagai orang yang habis melakukan lomba lari dengan jarak beberapa kilo meter, terdengar suara desahan napas Fia tak beraturan. Seluruh dahinya di penuhi peluh yang mengalir membasahi wajahnya. Kedua telapak tangannya kompak menopang tubuhnya, bokongnya terduduk tak mengenal tempat.Bola matanya terpaku pada satu titik. Tubuh kaku tak bergerak, yang terlihat di hadapannya, membuatnya sedikit menahan napas.“Mark,” gumamnya tak yakin.Fia menarik langkah, membangunkan tubuhnya berjalan perlahan m
Hutan belantara menjadi saksi bisu perbuatan keji Fia. Setelah melakukan aktivitas yang sulit digambarkan dalam satu ucapan, wanita yang sudah menikah itu akhirnya keluar dan menghirup udara segar di alam terbuka.Wanita yang kini menginjak usia 48 tahun itu, tersenyum bebas sesaat melihat sebuah rumah yang cukup mewah tepat saat ia menatap lurus pandangannya.“Itu milikku?” Tanyanya entah pada siapa.Lagi-lagi senyuman simpul terpatri jelas di wajah ovalnya. Wanita yang tak bisa di katakan muda lagi, perlahan menarik langkah menuju rumah yang cukup mewah yang tidak jauh darinya.Rumah mewah di pinggir aspal hitam, yang jarang dilalui para pengendara. Bisa dikatakan jalan itu hanya jalan pintas jikalau ada pemeriksaan serentak dari pihak kepolisian yang menjalankan tugas negara.Rumah mewah berwarna abu-abu gelap itu, hanya terlihat tunggal di sana. Tak ada rumah atau tempat apa pun lagi yang tampak menemani rumah mewah it
Setelah hubungan terlarang yang di lakukan Fia dengan sosok yang sulit dicerna oleh akal sehat. Kini wanita itu mengandung seorang anak yang menjadi permintaan dari sosok bertubuh kekar itu.Tapi ada yang aneh dari kehamilan Fia. Meski usia kandungannya sudah menginjak bulan kelahiran bayinya, perutnya tampak tak terlihat membesar atau pun sekedar memberikan pertanda bahwa ia sedang mengandung.Tubuhnya tetap memperlihatkan tubuhnya yang sempurna. Lekukan tubuh itu masih saja terlihat jelas.“Ini bulan kelahiran bayi ini, tapi kenapa perutku sama sekali tidak membesar?” gumamnya pada pantulan bayangannya di cermin.“Ini benar-benar gila,” ucapnya lagi tak percaya.“Itu karena dia anakku.” Tiba-tiba suara berat membalas ucapan Fia, sedikit mengejutkan wanita yang masih asik memandangi tubuhnya di pantulan cermin itu.“Brengsek!” gerutunya kasar.“Tidak bisakah kau data
‘Gia Panta’ julukan yang diberikan oleh Fia pada rumah barunya. Bukan rumah, bisa dikatakan istana. Namun, tempat itu tak tampak seperti istana pada umumnya.Jika biasanya istana terlihat megah, penuh warna, dan identik dengan warna yang terang benderang, dipenuhi beberapa penjaga, dan ditumbuhi bunga-bunga di sekitar halamannya.Berbeda dengan istana yang di miliki Fia. Suram, mencekam. Aura yang dipancarkan istana itu benar-benar terlihat sangat menyeramkan. Castel yang di beri nama ‘Gia Panta’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘Abadi selamanya'.Berdiri kokoh di tengah perbatasan kota B. Setiap pengendara yang melintasi Castil megah itu, tak sedikit yang bergidik ngeri. Tak jarang juga orang yang tidak sengaja melintasi bangunan megah itu, memilih memutar balik arahnya karena aura yang terpancar dari sana benar-benar berbeda.Omorfia Pou diarkey. Atau Fia. Wanita penikmat harta tahta dari makhluk tatkasat mata
Lima tahun sudah Fia menjalani hidup yang hampir tak mengenal lagi dunia yang bersifat sementara. Kekayaan yang ia raup kini semakin melimpah. Tidak tahu akan ke mana dan untuk apa. Namun, kekayaan itu terus bertambah seiring berlalunya waktu dan kontrak yang ia jalani dengan sosok tak kasatmata.Sejak lima tahun terakhir ini, Fia, tidak pernah berhenti melahirkan seorang bayi yang menjadi perjanjian mereka tempo lalu. Kadang bayi perempuan, dan juga bayi laki-laki. Hanya hitungan detik, bayi itu kembali pada tempatnya, mengembuskan napas di tangan ibunya sendiri.“Kenapa harus wajah suamiku yang kau gunakan? Tidak ada sosok yang lainkah?”“Memangnya ada apa? Kau merindukan suamimu?”Fia memutar bola matanya menatap sinis. “Kau benar-benar iblis!” gumamnya kesal, setelah mendengar jawaban Incubus.Fia yang sedari tadi duduk santai menikmati sarapan paginya, bangun dan
15 tahun kemudianSuara tepuk tangan menggema di persimpangan lampu merah jalanan. Riuh piuh terdengar gaduh, didominasi dengan suara sepeda motor yang terus menarik pedal gas. Orang-orang menyoraki beberapa pemain favorit mereka.“Januar! Januar! Januar!”Begitu seterusnya hingga satu orang gadis berpakaian mini mendekat ke arah sepeda motor yang sudah berbaris tepat di pembatas yang sudah di tentukan.Suaranya semakin gaduh, kala gadis berpakaian mini itu menghitung mundur.“Tiga...dua...satu!”Sepeda motor yang jumlahnya lebih dari tiga orang itu pun melaju dengan kecepatan penuh. Bagai angin yang melintas di permukaan kulit, mereka dengan cepat menghilang dari pandangan.“Gue jamin. Januar bakalan menang,” seru salah satu gadis berambut sebahu.“Bener banget. Secara Januar’ kan kepala kapten dari geng motor Rejoks. Ya kali bakalan kalah,” sahu
15 tahun kemudianSuara tepuk tangan menggema di persimpangan lampu merah jalanan. Riuh piuh terdengar gaduh, didominasi dengan suara sepeda motor yang terus menarik pedal gas. Orang-orang menyoraki beberapa pemain favorit mereka.“Januar! Januar! Januar!”Begitu seterusnya hingga satu orang gadis berpakaian mini mendekat ke arah sepeda motor yang sudah berbaris tepat di pembatas yang sudah di tentukan.Suaranya semakin gaduh, kala gadis berpakaian mini itu menghitung mundur.“Tiga...dua...satu!”Sepeda motor yang jumlahnya lebih dari tiga orang itu pun melaju dengan kecepatan penuh. Bagai angin yang melintas di permukaan kulit, mereka dengan cepat menghilang dari pandangan.“Gue jamin. Januar bakalan menang,” seru salah satu gadis berambut sebahu.“Bener banget. Secara Januar’ kan kepala kapten dari geng motor Rejoks. Ya kali bakalan kalah,” sahu
Lima tahun sudah Fia menjalani hidup yang hampir tak mengenal lagi dunia yang bersifat sementara. Kekayaan yang ia raup kini semakin melimpah. Tidak tahu akan ke mana dan untuk apa. Namun, kekayaan itu terus bertambah seiring berlalunya waktu dan kontrak yang ia jalani dengan sosok tak kasatmata.Sejak lima tahun terakhir ini, Fia, tidak pernah berhenti melahirkan seorang bayi yang menjadi perjanjian mereka tempo lalu. Kadang bayi perempuan, dan juga bayi laki-laki. Hanya hitungan detik, bayi itu kembali pada tempatnya, mengembuskan napas di tangan ibunya sendiri.“Kenapa harus wajah suamiku yang kau gunakan? Tidak ada sosok yang lainkah?”“Memangnya ada apa? Kau merindukan suamimu?”Fia memutar bola matanya menatap sinis. “Kau benar-benar iblis!” gumamnya kesal, setelah mendengar jawaban Incubus.Fia yang sedari tadi duduk santai menikmati sarapan paginya, bangun dan
‘Gia Panta’ julukan yang diberikan oleh Fia pada rumah barunya. Bukan rumah, bisa dikatakan istana. Namun, tempat itu tak tampak seperti istana pada umumnya.Jika biasanya istana terlihat megah, penuh warna, dan identik dengan warna yang terang benderang, dipenuhi beberapa penjaga, dan ditumbuhi bunga-bunga di sekitar halamannya.Berbeda dengan istana yang di miliki Fia. Suram, mencekam. Aura yang dipancarkan istana itu benar-benar terlihat sangat menyeramkan. Castel yang di beri nama ‘Gia Panta’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘Abadi selamanya'.Berdiri kokoh di tengah perbatasan kota B. Setiap pengendara yang melintasi Castil megah itu, tak sedikit yang bergidik ngeri. Tak jarang juga orang yang tidak sengaja melintasi bangunan megah itu, memilih memutar balik arahnya karena aura yang terpancar dari sana benar-benar berbeda.Omorfia Pou diarkey. Atau Fia. Wanita penikmat harta tahta dari makhluk tatkasat mata
Setelah hubungan terlarang yang di lakukan Fia dengan sosok yang sulit dicerna oleh akal sehat. Kini wanita itu mengandung seorang anak yang menjadi permintaan dari sosok bertubuh kekar itu.Tapi ada yang aneh dari kehamilan Fia. Meski usia kandungannya sudah menginjak bulan kelahiran bayinya, perutnya tampak tak terlihat membesar atau pun sekedar memberikan pertanda bahwa ia sedang mengandung.Tubuhnya tetap memperlihatkan tubuhnya yang sempurna. Lekukan tubuh itu masih saja terlihat jelas.“Ini bulan kelahiran bayi ini, tapi kenapa perutku sama sekali tidak membesar?” gumamnya pada pantulan bayangannya di cermin.“Ini benar-benar gila,” ucapnya lagi tak percaya.“Itu karena dia anakku.” Tiba-tiba suara berat membalas ucapan Fia, sedikit mengejutkan wanita yang masih asik memandangi tubuhnya di pantulan cermin itu.“Brengsek!” gerutunya kasar.“Tidak bisakah kau data
Hutan belantara menjadi saksi bisu perbuatan keji Fia. Setelah melakukan aktivitas yang sulit digambarkan dalam satu ucapan, wanita yang sudah menikah itu akhirnya keluar dan menghirup udara segar di alam terbuka.Wanita yang kini menginjak usia 48 tahun itu, tersenyum bebas sesaat melihat sebuah rumah yang cukup mewah tepat saat ia menatap lurus pandangannya.“Itu milikku?” Tanyanya entah pada siapa.Lagi-lagi senyuman simpul terpatri jelas di wajah ovalnya. Wanita yang tak bisa di katakan muda lagi, perlahan menarik langkah menuju rumah yang cukup mewah yang tidak jauh darinya.Rumah mewah di pinggir aspal hitam, yang jarang dilalui para pengendara. Bisa dikatakan jalan itu hanya jalan pintas jikalau ada pemeriksaan serentak dari pihak kepolisian yang menjalankan tugas negara.Rumah mewah berwarna abu-abu gelap itu, hanya terlihat tunggal di sana. Tak ada rumah atau tempat apa pun lagi yang tampak menemani rumah mewah it
Fia, terjatuh lunglai sesaat sesosok makhluk tak kasatmata keluar dari tubuhnya. Wajahnya kembali terlihat berwarna, bola matanya terlihat sayup menggeledah tempat yang masih terlihat samar.Rintik hujan perlahan mereda, di gantikan tiupan angin yang terasa mencekam. Wanita bermata monolid itu sejenak menghembuskan napas kasar, sesaat tubuhnya terjatuh di dasar tanah yang di alasi rumput liar yang merambat bebas.Bagai orang yang habis melakukan lomba lari dengan jarak beberapa kilo meter, terdengar suara desahan napas Fia tak beraturan. Seluruh dahinya di penuhi peluh yang mengalir membasahi wajahnya. Kedua telapak tangannya kompak menopang tubuhnya, bokongnya terduduk tak mengenal tempat.Bola matanya terpaku pada satu titik. Tubuh kaku tak bergerak, yang terlihat di hadapannya, membuatnya sedikit menahan napas.“Mark,” gumamnya tak yakin.Fia menarik langkah, membangunkan tubuhnya berjalan perlahan m
Rintik hujan di tengah hutan belantara, samar perlahan membasahi permukaan kulit, dingin menusuk tulang, secara perlahan mulai mencekam.“Apa yang kau lakukan di sini? Sudah kukatakan padamu, bersabarlah!”“Aku sudah tidak tahan denganmu! Aku muak hidup seperti ini terus menerus!”“Fia, aku akan berusaha lagi, dan aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan.”“Simpan saja omong kosongmu itu Mark!”Fia terus berjalan menyusuri hutan semakin dalam, rintik hujan yang mulai terdengar kasar, mengiri langkahnya yang tergesa-gesa. Mark mengikuti ke mana perginya, Fia. Walau pun berusaha menghentikan langkah yang begitu tak karuan.“Ini sudah sangat larut! Ke mana kau akan pergi?” ujar Mark lagi menghentikan langkah istrinya itu, mencekal perlahan pergelangan tangannya, menahan langkah yang tak tahu akan ke mana.“Diamlah!” H