Pagi ini aku berangkat seorang diri, Zio berangkat lebih pagi untuk mengerjakan sesuatu tapi dia tidak memberitahu kata ‘sesuatu’ yang dimaksud itu apa. Seperti biasa aku berjalan melewati pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun rimbun. Sepi, hening. Hanya itu yang menjadi temanku dalam perjalanan menuju sekolah yang sangat membosankan, sudah seminggu sejak kejadian Zen melempariku dengan bongkahan batu dan sudah seminggu pula aku berada di sekolah campuran itu. Tidak ada yang berbeda, semua orang masih sama menatapku dengan tatapan aneh seperti biasa, beruntung aku sudah terbiasa dengan tatapan itu.
Sudah seminggu pula aku selalu merasa haus seperti tengah berada di padang pasir yang gersang dan panas, kerongkonganku terasa sangat panas dan gatal, air putih yang biasa aku minum seperti tidak mempan meredakan panas dalam terowongan panjang ini. Aku tidak memberitahu paman atau bibi soal ini, aku ingin bertanya pada Zio tapi dia sudah berangkat lebih pagi. Lalu tinggal aku sendiri berjalan menuju sekolah dengan tangan yang terus mengepal menahan haus, aku bertekad setibanya di sekolah akan pergi ke kanti meminta air minum sebanyak-banyaknya sampai terowongan panjang dalam tubuhku terasa segar seperti biasanya.
Sayang seribu sayang, kelas masuk lebih awal dan terpaksa aku menahan rasa haus yang menyiksa sejak seminggu lalu. Apa aku menderita radang kerongkongan? Tapi apa mungkin seorang vampire mengalami radang kerongkongan? Bahkan saat aku bertanya pada Beatrix, dia hanya melempar ranting pohon ke arahku sambil terbahak-bahak memegang perutnya. “HAHAHAHA…. Kau ada-ada saja Farrel, bagaimana bisa kau sakit radang tenggorokan? Kau saja bukan manusia Farrel, kau seorang vampire mana mungkin bisa radang tenggorokan.”
“Kau kenapa? Apa kau sakit? Bibirmu pucat sekali.” Suara Zen memecahkan pikiranku yang sejak tadi berkhayal tidak jelas.
“Tidak, aku hanya haus.” Aku malas menjawab ucapan Zen.
Entah dari mana asalnya, satu kotak makan berwarna hitam mendarat di hadapanku. Zen hanya menatap kotak makan berwarna hitam itu, lalu menatapku seolah bertanya, ‘Itu dari mana?’. Dan tentu aku hanya menggedikkan bahu, aku juga tidak tahu kotak apa itu. aku membukanya perlahan, kotak itu terbuka menampilkan satu kantong plastik kecil minuman berwarna merah darah. Aku mengambil plastik kecil berisi minuman warna merah darah dari kotak hitam tadi, membalikannya dan menatap Zen berharap dia tahu sesuatu, tapi sayang dia hanya menggeleng tidak mengerti.
“Kenapa kau tidak minum itu? siapa tahu itu hanya jus buah naga buatan si Gandis dari Klan Penyihir.” Ucapan Zen mendapatkan anggukan kepala dariku.
Perlahan aku membuka sedikit celah untu meminum cairan merah itu dari kantong plastik kecil, tapi aneh, rasanya bukan seperti jus buah naga tapi seperti rasa yang entahlah. Rasa minuman itu baru pertama kali menyapa indra pengecapku, tapi minuman itu enak meski sedikit berbau anyir. Zen menatapku dengan mata penuh selidik, memperhatikan minuman berwarna merah darah yang tengah aku minum. Hebat, rasa haus, panas, bahkan gatal di kerongkonganku sirna seketika. Kerongkonganku kembali segar seperti biasa, sungguh ajaib cairan yang aku minum ini, dan siapa pula yang memberikan kotak hitam ini? tidak mungki si Gandis dari Klan Penyihir, dia terkenal pelit.
“Apa itu enak? Bibirmu kembali merah seperti biasanya. Apa aku boleh mencicip minuman itu?”
“Tidak, ini bukan minuman bagi Klan Wolf sepertimu.”
“Aku curiga, apa itu darah manusia?”
Byur.. spontan aku memuntahkan minuman berwarna merah darah itu, menatap Zen dengan tajam. Mana mungkin ini darah manusia, memang bau-nya anyir tapi rasanya tidak seperti darah atau mungkin memang aku yang belum pernah merasakan darah pada indra pengecapku? Tapi aku rasa itu tidak mungkin.
“Iuwwhh, kau jorok sekali Farrel. Sebentar, bau ini sepertinya aku kenal.” Zen mulai mengendus bajuku yang terkena muntahan minuman berwarna merah darah dengan hidung manjungnya. “Ini darah rusa, siapa yang mengirimkan darah rusa padamu Farrel?”
“Hah?! Aku bahkan tidak tahu siapa pemiliki kotak hitam ini.”
“Lalu kenapa kau meminum itu?”
“Bukankah kau yang tadi menyuruhku meminumnya, kau sendiri yang bilang siapa tau minuman berwarna merah darah ini hanya jus buah naga.”
“Hmm.. aneh. Coba aku lihat kotak makan itu.” Tangan Zen dengan cepat meraih kotak makan berwarna hitam itu, mencari bau yang sekiranya tertinggal. “Ahh.. aku tahu, ini seperti bau dia. Apa kau kenal dengan dia? Sebenarnya siapa dirimu Farrel?”
“Hei, aku bahkan tidak tahu dia yang kau maksud itu siapa. Kau bertanya siapa aku? Tentu aku adalah Farrel sepupu dari Zio, ada apa denganmu? Apa semua Klan Wolf memang tidak sopan dan aneh sepertimu?”
Tepat kalimat terakhirku tadi, satu bogeman mendarat di kulit pipiku, membuatku terpelanting hingga menghantam dinding kelas. BRAKK… suara tubuhku yang menyapa dinding kelas karena bogeman Zen tadi membuat seluruh atensi kelas teralih dan menatapku, bahkan Mr. Gams yang tengah menerangkan materi menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Dan berakhirlah aku disini bersama Zen, di ruangan Miss. Glory kepala sekolah.
Setengah jam aku dan Zen berada di ruangan bernuansa neraka, apa lagi kalau bukan ruangan Miss. Glory kepala sekolah. akhirnya aku dan Zen keluar dari ruangan itu setelah mendapat jutaan ocehan yang keluar dari bibir tebal Miss. Glory, tentu aku dan Zen sudah berbaikan. Zio sudah menungguku sejak tadi, dia menyeretku dan membawa tasku di pundak sebelah kirinya. Zio melangkah seperti kilat, belum ada tiga menit aku dan dia sudah sampai di depan rumah kayu tua. Aku mengikuti Zio yang berjalan di depan, memasuki rumah kayu tua itu dan duduk di kursi dekat perapian, paman sudah duduk di kursi tepat di sebelah Zio. Paman memberikan isyarat agar aku duduk, dan aku menuruti perintahnya.
“Kenapa kau tidak bilang jika kerongkonganmu panas? Atau kau merasa haus padahal sudah minum puluhan teko air?” nada suara paman kini terdengar sangat serius di gendang telingku.
“Aku kira, setelah minum air semuanya akan seperti biasa.”
“Kau itu butuh darah Farrel, darah. Kau haus darah bukan haus air, coba kau bilang padaku sebelumnya pasti aku akan memberikan stok darahku padamu. Dan lagi dari mana kau dapat darah rusa itu? lalu kenapa kau minum darah rusa itu padahal tidak tahu siapa pemilik kotak makannya.” Zio tidak percaya dengan perbuatanku yang meminum darah rusa dari kotak hitam yang entah milik siapa.
“Tidak apa-apa Zio, memang ayah yang salah. Maafkan paman Farrel, seharusnya aku memberi kau darah sejak kecil. Tidak apa-apa setidaknya darah pertama yang kau minum bukan darah manusia, jika itu darah manusia maka kau akan kalap setelah meminumnya. Jadi apa kerongkonganmu terasa lebih baik?”
“B-baik paman, maafkan aku. Aku tadinya tidak mau meminum minuman berwarna merah darah itu, tapi aku haus dan tidak punya pilihan lain selain mencoba meminum minuman dari kotak yang tiba-tiba mendarat di hadapanku itu.” aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi kepada paman, aku tahu paman pasti akan mengerti dengan alasanku.
“Tidak apa-apa, lain kali jika kau haus bisa buka lemari pendingin di dapur.” Paman megakhiri obrolan itu dengan menepuk pundakku dan Zio dengan lembut.
“Beritahu aku jika kau merasakan sesuatu yang lain!’ Zio pergi meninggalkanku sendirian di dekat kursi perapian.
Sejak peristiwa kotak makan hitam yang berisi minuman berwarna merah darah mendarat di hadapanku, saat aku meminuman tegukan pertama dari minuman berwarna merah darah itu aku tidak bisa mencerna donat dengan krim vanilla buatan bibi lagi. Aku bahkan tidak bisa merasakan apapun kecuali rasa darah yang manis dan segar. Sepertinya ucapan paman sebelumnya benar, aku akan kehilangan indra pengecapku suatu saat nanti dan hal itu terjadi hari ini, hari dimana aku meminum minuman berwarna merah darah dari kotak makan hitam.
Sejak kejadian kotak hitam yang berisi minuman berwarnai merah darah, darah rusa yang terasa amat manis di lidahku. Saat itu pula semuanya berubah, sangat berubah, dulu bibi selalu menyajikan makanan manusia tetapi semenjak kejadian itu semua berubah. Bibi tidak lagi memasak makanan manusia, apalagi donat dengan krim vanilla yang sangat memanjakan indra pengecapku. Sekarang, bibi hanya menyediakan olahan dari darah hewan untuk aku makan, entah itu darah rusa beku, minuman dari darah sapi dan darah hewan lainnya. Aku tidak perlu makan setiap hari seperti dulu, aku hanya makan ketika aku merasa haus atau ketika kerongkonganku terasa terbakar api. Dan begini kehidupanku sekarang, aku masih bisa memakan donat, ayam panggang, roti bahkan jus jeruk sekalipun tapi hanya satu masalah terbesarnya. Indra pengecapku tidak bisa merasakan rasa nikmat dari setiap makanan yang masuk ke dalam mulutku kecuali satu, darah. &nbs
“ARGHHH….” Terikan itu keluar dari mulutku membuat seluruh rumah segera berbondong-bodong masuk ke dalam kamar. Tubuhku berguling-guling di atas kasur, tangan yang terus menjambak rambuku sendiri, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, kepalaku terasa hampir pecah merasakan sakit yang sangat luar biasa. “Ada apa Farrel?” Zio, orang pertama yang masuk ke dalam kamarku dengan rusuh, diikuti paman dan bibi dibelakangnya. “Aku tidak tahu, kepalaku terasa sangat pusing seperti dihantam batu besar.” “Apa kau sudah sering merasakan sakit seperti itu?” Tanya paman. “Aku rasa semenjak meminum darah rusa dari kotak hitam paman. Awalnya hanya sakit kepala biasa tapi akhir-akhir ini terasa lebih sak
Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya. Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping t
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Aku, Zio, Beatrix dan Zen sudah memberikan peringatan pada setiap klan untuk bersiap denga hal besar yang akan terjadi entah kapan. Gavin terkurung di ruangan gelap di rumah batu milik Osgar, mata merah dan hanzelnya suah hilang tergantikan dengan mata hitam pekat mirip Kristal sejak malam dimana gavin berhasil menyerap sisi kehidupan dari guru yang tengah menjelaskan ramun-ramuan kemarin. Osgar, Paman dan Pria berambut merah terjaga semalaman di depan pintu ruangan dimana Gavin terkurung, sedangkan wanita berambut coklat dan bibi menguhubungi setiap klan vampire di penjuru bumi untuk berkumpul menyiapkan kekuatan. Osgar pernah berkata kepadaku saat malam gavin tidak sadarkan diri hari itu, dia menyuruhku untuk mengumpulkan seluruh kekuatan dari setiap Klan. Kakek tua Deglan tidak akan berhasil jika hanya dilawan oleh satu klan, tapi jika setiap klan bersatu maka kekuatan kakek tua Deglan akan kalah. Aku tidak tahu ini penglihatan dari mana, tapi aku bisa melihat Gavin yang
Cahaya lampu bersinar meyilaukan mata, aku terbangun di ruangan bernuansa hitam. Bukan, bukan ruangan dengan pohon wisteria hitam dan akar yang menjuntai di hadapanku. Aku berada di dimensi yang sama dengan dimensi buatan kakek tua deglan sebelumnya, hanya saja rungan di dimensi ini terlihat sangat bercahaya dengan kerlip lampu yang terpancar dari bunga-bunga di atas langit langit kastil. Aku melihat Gavin, tergopoh-gopoh ia mendekatiku dengan kaki dan bibir yang terus mengeluarkan darahs egar. Entah apa yang di perbuat kakek Deglan hingga membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Perlahan namun pasti Gavin berdiri di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tempat aku dan dia berdiri. Dia tersenyum dengan tulus dengan darah yang terus mengalir dari ujung bibir ranumnya. “ Hahaha… lihat wajah aku Farrel amat lucu. Ah tidka seharusnya aku bergurau saat ajalku akan tiba bukan? Kau ingin menghentikan pertempuran ini? aku tahu apa yang harus kau lakukan untuk menghentikan pas
Sudah setahun sejak aku hidup tak beraga, melayang kesana, melayang kesini. Bosan? Sudah tentu itu yang aku rasakan setiap hari. Hanya Gavin yang bisa melihatku, dan hanya dengan dia aku menghabiskan waktuku menunggu ajal yang tak kunjung datang. Sesekali Gavin datang ke kastil tua yang sudah hancur sebagian bagunannya. Atau terkadang aku yang pergi bermain ke kamar Gavin. Aku tetap berkunjung hampir setiap hari ke rumah paman, melihat Zio yang membantu bibi karena paman sudah tidak ada. Berkunjung melihat rumah batu milik Osgar, berkunjung kesekolah melihat Zen. Gubuk tua tempatku bermain dengan Beatrix sudah di perbaiki oleh Zio dan Zen, Beatrix sering duduk sendirian disana menatap langit, dan aku sering menemaninya meski dia tidak tahu. Gavin memberitahuku, batu safir hitam itu menyerap seluruh kekuatan kakek tua Degalna yang ada di tubuhku. menghisap sebagian tena
Sudah setahun sejak aku hidup tak beraga, melayang kesana, melayang kesini. Bosan? Sudah tentu itu yang aku rasakan setiap hari. Hanya Gavin yang bisa melihatku, dan hanya dengan dia aku menghabiskan waktuku menunggu ajal yang tak kunjung datang. Sesekali Gavin datang ke kastil tua yang sudah hancur sebagian bagunannya. Atau terkadang aku yang pergi bermain ke kamar Gavin. Aku tetap berkunjung hampir setiap hari ke rumah paman, melihat Zio yang membantu bibi karena paman sudah tidak ada. Berkunjung melihat rumah batu milik Osgar, berkunjung kesekolah melihat Zen. Gubuk tua tempatku bermain dengan Beatrix sudah di perbaiki oleh Zio dan Zen, Beatrix sering duduk sendirian disana menatap langit, dan aku sering menemaninya meski dia tidak tahu. Gavin memberitahuku, batu safir hitam itu menyerap seluruh kekuatan kakek tua Degalna yang ada di tubuhku. menghisap sebagian tena
Cahaya lampu bersinar meyilaukan mata, aku terbangun di ruangan bernuansa hitam. Bukan, bukan ruangan dengan pohon wisteria hitam dan akar yang menjuntai di hadapanku. Aku berada di dimensi yang sama dengan dimensi buatan kakek tua deglan sebelumnya, hanya saja rungan di dimensi ini terlihat sangat bercahaya dengan kerlip lampu yang terpancar dari bunga-bunga di atas langit langit kastil. Aku melihat Gavin, tergopoh-gopoh ia mendekatiku dengan kaki dan bibir yang terus mengeluarkan darahs egar. Entah apa yang di perbuat kakek Deglan hingga membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Perlahan namun pasti Gavin berdiri di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tempat aku dan dia berdiri. Dia tersenyum dengan tulus dengan darah yang terus mengalir dari ujung bibir ranumnya. “ Hahaha… lihat wajah aku Farrel amat lucu. Ah tidka seharusnya aku bergurau saat ajalku akan tiba bukan? Kau ingin menghentikan pertempuran ini? aku tahu apa yang harus kau lakukan untuk menghentikan pas
Aku, Zio, Beatrix dan Zen sudah memberikan peringatan pada setiap klan untuk bersiap denga hal besar yang akan terjadi entah kapan. Gavin terkurung di ruangan gelap di rumah batu milik Osgar, mata merah dan hanzelnya suah hilang tergantikan dengan mata hitam pekat mirip Kristal sejak malam dimana gavin berhasil menyerap sisi kehidupan dari guru yang tengah menjelaskan ramun-ramuan kemarin. Osgar, Paman dan Pria berambut merah terjaga semalaman di depan pintu ruangan dimana Gavin terkurung, sedangkan wanita berambut coklat dan bibi menguhubungi setiap klan vampire di penjuru bumi untuk berkumpul menyiapkan kekuatan. Osgar pernah berkata kepadaku saat malam gavin tidak sadarkan diri hari itu, dia menyuruhku untuk mengumpulkan seluruh kekuatan dari setiap Klan. Kakek tua Deglan tidak akan berhasil jika hanya dilawan oleh satu klan, tapi jika setiap klan bersatu maka kekuatan kakek tua Deglan akan kalah. Aku tidak tahu ini penglihatan dari mana, tapi aku bisa melihat Gavin yang
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya. Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping t
“ARGHHH….” Terikan itu keluar dari mulutku membuat seluruh rumah segera berbondong-bodong masuk ke dalam kamar. Tubuhku berguling-guling di atas kasur, tangan yang terus menjambak rambuku sendiri, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, kepalaku terasa hampir pecah merasakan sakit yang sangat luar biasa. “Ada apa Farrel?” Zio, orang pertama yang masuk ke dalam kamarku dengan rusuh, diikuti paman dan bibi dibelakangnya. “Aku tidak tahu, kepalaku terasa sangat pusing seperti dihantam batu besar.” “Apa kau sudah sering merasakan sakit seperti itu?” Tanya paman. “Aku rasa semenjak meminum darah rusa dari kotak hitam paman. Awalnya hanya sakit kepala biasa tapi akhir-akhir ini terasa lebih sak
Sejak kejadian kotak hitam yang berisi minuman berwarnai merah darah, darah rusa yang terasa amat manis di lidahku. Saat itu pula semuanya berubah, sangat berubah, dulu bibi selalu menyajikan makanan manusia tetapi semenjak kejadian itu semua berubah. Bibi tidak lagi memasak makanan manusia, apalagi donat dengan krim vanilla yang sangat memanjakan indra pengecapku. Sekarang, bibi hanya menyediakan olahan dari darah hewan untuk aku makan, entah itu darah rusa beku, minuman dari darah sapi dan darah hewan lainnya. Aku tidak perlu makan setiap hari seperti dulu, aku hanya makan ketika aku merasa haus atau ketika kerongkonganku terasa terbakar api. Dan begini kehidupanku sekarang, aku masih bisa memakan donat, ayam panggang, roti bahkan jus jeruk sekalipun tapi hanya satu masalah terbesarnya. Indra pengecapku tidak bisa merasakan rasa nikmat dari setiap makanan yang masuk ke dalam mulutku kecuali satu, darah. &nbs
Pagi ini aku berangkat seorang diri, Zio berangkat lebih pagi untuk mengerjakan sesuatu tapi dia tidak memberitahu kata ‘sesuatu’ yang dimaksud itu apa. Seperti biasa aku berjalan melewati pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun rimbun. Sepi, hening. Hanya itu yang menjadi temanku dalam perjalanan menuju sekolah yang sangat membosankan, sudah seminggu sejak kejadian Zen melempariku dengan bongkahan batu dan sudah seminggu pula aku berada di sekolah campuran itu. Tidak ada yang berbeda, semua orang masih sama menatapku dengan tatapan aneh seperti biasa, beruntung aku sudah terbiasa dengan tatapan itu. Sudah seminggu pula aku selalu merasa haus seperti tengah berada di padang pasir yang gersang dan panas, kerongkonganku terasa sangat panas dan gatal, air putih yang biasa aku minum seperti tidak mempan meredakan panas dalam terowongan panjang ini. Aku tidak memberitahu paman atau bibi soal ini, aku ingin bertan