Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya.
Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping tempat tidurku dan mulai mengobatinya. Aku melihatnya dengan seksama, tapi ada yang aneh dengan wajah anak laki-laki yang kini berbaring di sampingku. Aku tidak terlalu mempedulikan anak yang tidur di sampingku, aku sibuk berbincang dengan Zio.
“Kau memberitahu Beatrix?”
“Tidak. Jika dia tahu kau sakit sambil meraung-raung seperti singa, dia akan datang ke sini.”
“Memang kenapa kalo dia datang ke sini?”
“Tidak ada masalah, hanya saja dia berisik nanti kau tidak bisa istirahat.”
“Tapi dia bisa diam jika kau menyuruhnya diam.”
“Berisik, kau sakit pun masih menyebalkan seperti biasa. Ah iya, apa Zen sahabatmu atau temanmu atau siapa? Kenapa dia panik sekali kau tidak masuk sekolah satu hari, bahkan dia datang ke kelasku setiap sejam sekali bertanya ‘kemana Farrel?’ atau ‘kau tahu Farrel kemana? Kenapa tidak masuk sekolah?’ dan ya itu sangat menyebalkan.”
“Dia teman sebangku, hanya dia yang mau berbincang dan berteman denganku. Anak lain tidak ada yang begitu, bahkan mendekati kursi yang aku duduki saja engga. Tapi kenapa semua orang selalu mengira aku sebuah inang? Memangnya aku tumbuhan.”
“Tidak tahu.” Zio memalingkan wajahnya ke arah rak yang di penuhi ramuan buatan Osgar. Aku tahu ada yang Zio, paman, bahkan si pria berambut merah terang sembunyikan. Jika memang benar, sebenarnya ada apa? Seolah aku tidak boleh mengetahui sesuatu yang mereka rencanakan.
Anak laki-laki di sampingku sudah diobati Osgar, rintihannya mulat tidak terdengar sepertinya lukanya sudah membaik. Ekor mataku bertemu dengan mata sayu anak laki-laki itu, tapi tunggu sebentar. Kenapa? Kenapa wajahnya mirip denganku? Mata itu?! kenapa matanya sama denganku? Maksudku mata kanan dan kirinya berbeda warna. Sekarang kepalaku dipenuhi pertanyaan, siapa anak itu? mata kananku berwarna hijau, sedangkan dia berwarna merah. Tapi kenapa? Kenapa wajahnya mirip denganku? Aneh, semuanya sangat aneh. Anak laki-laki di depanku sama kagetnya denganku, mata yang tadinya terlihat sayu sekarang mata itu membulat sempurna, terlihat kaget saat melihatku.
“SI-SIAPA KA-KAU?” Anak laki-laki tadi beringsut mundur hingga tubuhnya membentur dinding kayu.
“A-Aku?” Tanyaku binggung. “Aku Farrel, kau siapa? Apa kau penyihir yang bisa berubah wujud? Kenapa wajahmu mirip dengaku? HEI, KAU PENYIHIR YA?!” Aku teringat dengan pelajaran di sekolah, penyihir level tinggi bisa berubah wujud dengan meniru apa yang dia mau.
“AKU TIDAK MENIRUMU!!! BUNDA!!” Anak laki-laki itu menjerit, membuat semua orang yang tengah berbincang menatap panik ke arahnya. “BUNDA!!”
“Aku tahu kalian pasti sangat terkejut melihat wajah satu sama lain. Biar aku jelaskan, kemari!” Osgar duduk di ujung kasur anak laki-laki yang tadi berteriak. Menyuruhku mendekat dengan lambaian tangan keriputnya.
Aku mendekat ke arah Osgar, dengan hati-hati duduk di tempat tidur anak laki-laki tadi. memasang ancang-ancang apabila anak laki-laki itu memang penyihir level tinggi seperti yang di ceritakan oleh guru penyihir di sekolah campuran. Aneh, aku terasa tersengat listrik berkekuatan ringan saat duduk di kasur tempat Osgar dan anak laki-laki itu duduk. Osgar tersenyum ke arahku, ia menepuk bahuku dan anak laki-laki itu.
“Apa aku perlu memperkenalkan diri juga?” ucapan Osgar menadapat gelengan dariku dan anak laki-laki itu. “Hahaha,,, baiklah. Farrel kenalkan ini Gavin. Gavin ini Farrel. Kalian saudara kembar, Gavin lahir lima menit lebih dulu. Jadi dengan kata lain, Farrel perkenalkan Gavin, kakak kembarmu.”
“Ke-kembar?” aku bertanya dengan wajah binggung, ada apa sebenarnya dengan semua hal yang terjadi sekarang.
“Benar, dia kakak kembar-mu.” Osgar tersenyum melihatku.
“Aku punya pertanyaan, jika aku dan dia kembar kenapa mata kami berbeda?”
“Karena kalian memiliki keistimewaan yang berbeda. Baiklah dengarkan aku, seharusnya kalian tidak bertemu saat ini. Tapi sayang dia lebih kuat dari yang aku kira sehingga membuat kalian terluka bahkan bertemu satu sama lain di rumah batuku ini. Rasa sakit dan luka lebam yang kalian dapatkan tadi adalah ulah dia, Deglan, roh kakek buyut kalian. Dia ingin hidup abadi dan menguasai dunia hingga mempelajari sihir terkuat, bahkan dia meminum darah sesama vampir untuk mencapai tujuan itu. Dia masih hidup hanya saja aku sudah menyegel roh dan kekuatannya agar tidak bisa berbuat ulah, tapi saat kalian lahir kekuatanku melemah karena kalian inang darinya. Tidak ada yang bisa menghentikan dia kecuali kalian bekerjasama satu sama lain!”
Osgar menatapku dan anak laki-laki bernama Gavin yang disebut sebagai kakak kembarku tadi. Dia mencengkram kuat pundak kami berdua, menatap kami berdua dengan mata tajamnya. Paman, Zio, pria berambut merah terang dan wanita berambut coklat hanya terdiam mendengar ucapan Osgar, sepertinya tidak ada dari mereka yang berniat memotong ucapan Osgar. “Aku tahu kalian terkejut, aku pun sama terkejutnya dengan kalian. Aku harus mempertemukan kalian diwaktu yang kurang tepat. Keadaan dunia sekarang sudah lebih baik semenjak aku menyegel roh dan kekuatan Deglan. Tapi sepertinya sesuatu yang besar akan segera tiba. Mungkin kalian bertanya kenapa kalian istimewa bukan? Kalian istimewa karena inang dari kakek buyut kalian sekaligus senjata utama untuk memusnahkannya. Satu roh dalam dua tubuh, bukankah itu hebat? Kalian bisa bekerjasama untuk menyelamatkan dunia.” Osgar tersenyum ke arah kami.
Aku menatap Gavin yang ada di sebelahku, memberinya isyarat bahwa aku tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Osgar tadi. Sebenarnya aku sedikit mengerti, tapi aku tidak paham apa yang harus kami musnahkan? Dan apa yang harus kami lakukan?. Tapi belum sempat aku bertanya lebih lanjut Osgar dan yang lain pergi meninggalkan aku dan Gavin di ruangan ini. sepertinya beberapa pertanyaan di kepalaku sudah terjawab, hanya saja cukup lama untukku menyimpulkan pertanyaan mana saja yang sudah dapat jawaban.
Gavin menatapku dari ujung rambut hingga kaki, tangannya mencubit pipi kananku, kakinya menendang pelan kakiku. Lalu kembali menatapku dengan seksama, menilaiku tanpa ada celah yang terlewat. Aku pun akhirnya melakukan hal yang sama, aku masih tidak percaya memiliki kakak kembar. Tapi memang itu kenyataannya, dia tengah duduk di sampingku dan menatapku penuh penilaian.
“Apa kau benar adikku?”
“Tidak tahu.”
“Hei kenapa kau bodoh sekali, sudah tentu kau adikku kenapa kau menjawab tidak tahu? Apa kepalamu terbentur? Atau kau memang sangat bodoh hingga tidak bisa mencerna kalimat Osgar tadi?”
“Kenapa kau menyebutku bodoh?” aku tidak terima disebut bodoh seperti itu, apa dia merasa paling pintar? Cih,, bahkan dia tidak bisa memanjat pohon seperti Beatrix. Lagi pula kakak macam apa yang menyebut adiknya sendiri bodoh.
“Karena kau bodoh, kenapa kau bertanya lagi?” anak laki-laki bernama Gavin kembali berbaring setelah mengatakan itu, dia tidur membelakangiku.
“Kenapa kananmu berwarna merah?”
“Entah, kata ayah aku mewarisi roh kakek Deglan. Mata hijau kau mewarisi kekuatannya. Jadi, kau harus melindungiku dari roh kakek Deglan jika segelan Osgar terbuka! Ini perintah!”
“Kenapa aku?”
“Kau ternyata memang bodoh ya adikku, tentu saja karena kau yang mewarisi kekuatan dari roh kakek Deglan bukan aku. Kau inang terkuat sedangkan aku terlemah.” Satu jitakan melayang di kepalaku cukup keras, sedangkan pelakunya hanya memasang wajah datar dan kembali berbaring.
Aku masih tidak mengerti, jika memang aku inang terkuat karena mewarisi kekuatan roh kakekh Deglan kenapa aku tidak tahu potensi dari kekuatanku? Jika memang benar aku inang terkuat itu artinya aku harus bisa melindungi Gavin, Zio, Beatrix dan yang lainnya agar tetap aman. Tapi kenapa kakek Deglan ingin hidup kekal abadi? Sedangkan menurutku memiliki umur panjang itu sangat membosankan, aku bahkan ingin merasakan mati itu rasanya seperti apa.
“Hei kau pernah minum darah manusia?” pertanyaan itu terlontar dari anak laki-laki bernama Gavin yang tidak lain adalah kakak kembarku.
“Tidak, memangnya kenapa?”
“Apa kau tahu jika kika minum darah manusia mata merahku dan mata hijaumu dapat berubah menjadi satu warna yang sama. Warna hitam. Kau jangan Tanya aku pernah atau tidak, karena aku akan menjawab belum. Kenapa belum? Karena aku ingin merasakan darah manusia, darahnya terlihat lebih menggoda dari pada darah hewan tapi dalam buku yang aku baca di perpustakaan peninggalan kakek Deglan itu sangat berbahaya.”
“Kenapa?” aku bertanya karena aku tidak tahu seberapa bahaya darah manusia jika aku meminumnya. “Kau akan haus darah, kau akan terus menerus menginginkan darah lebih banyak. darah hewan sudah tidak mempan di lidahmu. Ah kau tahu siapa yang mengirim darah rusa saat kau sekolah?”
“Kenapa kau tahu soal kotak hitam itu?” sepertinya ada yang tidak beres dengan kotak hitam yang isinya sudah habis aku minum sampai bertengakar dengan Zen di sekolah.
“Karena aku yang mengirimnya. Aku selalu memantaumu dari jauh, kita bahkan satu sekolah tapi kau tidak menyadarinya. Wajar saja menurutku, karena aku menutup mata merahku dengan mantra sihir ajaran ayah jadi mata merah ini tetap terlihat berwarna hanzel di mata orang lain. Tipuan mata sederhana.”
“Kau tinggal bersama orangtua ya?” aku menatap lantai batu yang terlihat mengkilap, sepertinya aku iri dengan Gavin. Bagaimana bisa dia tumbuh dan di besarkan langsung oleh orangtuaku, sedangkan aku? Di besarkan susah payah oleh paman dan bibi bersamaan dengan mereka membesarkan Zio. Aku baru tahu kedua orangtuaku saat berumur 14 tahun, dan bahkan enggan untuk menyebut mereka dengan sebutan ‘Ayah’ ‘Bunda’ seperti Gavin.
“Hei!” Suara Gavin memecahkan pikiranku, dia sudah duduk di sampingku, tangannya sudah merangkul pundakku. “Kita bisa tinggal bersama sekarang, kau bisa bertemu Kak Ong, Kak megan, dan Kak Vio. Mereka bertiga kakak kita, jadi bisa aku totalkan kita lima bersaudara dank au anak terakhir karena aku lebih dulu menghirup udara di bumi. Farrel, kau tidak perlu sedih lagi, ada aku kakakmu disini.”
Aku hanya diam mendengar ucapan Gavin, lebih tepatnya aku binggung harus menjawab apa ucapannya. Aku sudah tahu pasti akan canggung jika aku tinggal di rumah, mungkin aku akan memilih tetap tinggal bersama paman jika boleh. Entah kenapa aku merasa seperti anak yang terbuang, jika aku besar di rumah paman kenapa Gavin besar di rumah orangtuaku? Padahal kita saudara kembar tapi kenapa aku dan dia tumbuh terpisah? Jika memang aku anak yang tidak diinginkan kenapa aku dilahirkan? Kenapa tidak Gavin seorang saja yang menghirup udara di bumi yang tidak adil ini.
Aku melepaskan rangkulan Gavin dan berbaring membelakanginya. Aku tidak peduli dia marah atau bahkan menjitak atau memukulku, pikiranku sangat kacau sekarang. Aku memang lebih istimewa dengan mata hijau ini dari pada gavin, tapi aku juga merasa sebagai anak paling terbuang dari pada Gavin. Entahlah, aku tidak mau memikirkan tentang ini. jika aku memang tidak punya ayah dan bunda seperti Gavin pun itu tidak masalah, aku masih punya paman, bibi, dan Zio.
***
Tidurku terusik dengan tangan yang terus mengelus rambuku pelan, perlahan aku mengerjapkan kelopak mata ini dan membukanya lebar-lebar. Wanita berambut coklat yang datang bersama pria berambut merah dan Gavin tadi siang tengah mengelus rambutku dengan lembut. Rasanya sangat nyaman hingga aku ingin tertidur kembali, tapi tubuhku berkata lain. Tubuhku beringsut terduduk di kasur, menjauh dari jangkauan wanita berambut coklat itu. menatapnya dengan tajam seolah dia adalah musuh yang perlu aku waspadai. Tapi kalian tahu? Wanita itu perlahan mendekatiku, duduk di sampingku dengan senyuman manis dari bibir merah ranumnya, menatapku dengan penuh kelembutan seperti seorang ibu kepada anaknya, teduh.
“Kau tidak suka aku mengelus rambutmu, Farrel?” Tanya wanita berambut coklat itu. Aku hanya diam, masih bersikap waspada dengan wanita berambut coklat di sampingku sekarang. Apa dia ibuku? Aku tidak peduli jika dia ibuku, bahkan dia tega menyuruh paman untuk membesarkan aku dibanding dengan membesarkan aku dengan tangannya sendiri. Gavin masih terlelap menjelajah dunia mimpi di kasur sebelahku, sepertinya jika ada gempa bumi dia juga tidak akan terbangun dengan mudah. “Aku bunda-mu Farrel. Namaku Raii, kau bisa memanggil aku dengan sebutan Bunda Raii.” Wanita itu melanjutkan ucapannya, menatapku dengan tatapan lembutnya.
“Aku tahu, tapi tidak suka denganmu. Jadi mohon untuk menyingkir dari kasurku karena aku butuh istirahat!” aku tidak tahu itu jawaban yang tepat atau bukan tapi aku memang sangat membenci wanita berambut coklat di hadapanku ini.
“Baiklah, istirahat yang baik anakku.” Sebelum jemari lentik milik wanita berambut coklat itu menyentuhku, aku segera menutup tubuhku dengan selimut.
Pertanyaan tentang kenapa tubuhku terasa sakit dan luka lebam yang tiba-tiba muncul sudah terjawab sejak siang tadi, pertanyaan tentang apa yang membuatku istimewa pun sudah terjawab sejak Osgar menceritakan roh kakek buyutku yang disegelnya, pertanyaan tentang siapa orangtuaku menurutku sudah terjawab, aku sudah dapat menyimpulkan bahwa pria berambut merah yang sejak tadi dipanggil dengan nama Yohan adalah ayahku. Wanita berambut coklat bernama Raii tadi adalah ibuku, dan anak laki-laki yang berbaring di samping kasurku bernama Gavin dan dia adalah saudara kembarku, lebih tepatnya kakakku. Sudah cukup aku menyimpulkan bahwa banyak dari pertanyaan yang ada di kepalaku sudah terjawab dengan jelas. Tapi sayang, kepalaku kembali diisi oleh pertanyaan lain, pertanyaa yang sangat menggangguku bahkan saat aku tertidur. ‘Kenapa aku dibuang dan tumbuh besar di rumah paman?’.
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Aku, Zio, Beatrix dan Zen sudah memberikan peringatan pada setiap klan untuk bersiap denga hal besar yang akan terjadi entah kapan. Gavin terkurung di ruangan gelap di rumah batu milik Osgar, mata merah dan hanzelnya suah hilang tergantikan dengan mata hitam pekat mirip Kristal sejak malam dimana gavin berhasil menyerap sisi kehidupan dari guru yang tengah menjelaskan ramun-ramuan kemarin. Osgar, Paman dan Pria berambut merah terjaga semalaman di depan pintu ruangan dimana Gavin terkurung, sedangkan wanita berambut coklat dan bibi menguhubungi setiap klan vampire di penjuru bumi untuk berkumpul menyiapkan kekuatan. Osgar pernah berkata kepadaku saat malam gavin tidak sadarkan diri hari itu, dia menyuruhku untuk mengumpulkan seluruh kekuatan dari setiap Klan. Kakek tua Deglan tidak akan berhasil jika hanya dilawan oleh satu klan, tapi jika setiap klan bersatu maka kekuatan kakek tua Deglan akan kalah. Aku tidak tahu ini penglihatan dari mana, tapi aku bisa melihat Gavin yang
Cahaya lampu bersinar meyilaukan mata, aku terbangun di ruangan bernuansa hitam. Bukan, bukan ruangan dengan pohon wisteria hitam dan akar yang menjuntai di hadapanku. Aku berada di dimensi yang sama dengan dimensi buatan kakek tua deglan sebelumnya, hanya saja rungan di dimensi ini terlihat sangat bercahaya dengan kerlip lampu yang terpancar dari bunga-bunga di atas langit langit kastil. Aku melihat Gavin, tergopoh-gopoh ia mendekatiku dengan kaki dan bibir yang terus mengeluarkan darahs egar. Entah apa yang di perbuat kakek Deglan hingga membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Perlahan namun pasti Gavin berdiri di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tempat aku dan dia berdiri. Dia tersenyum dengan tulus dengan darah yang terus mengalir dari ujung bibir ranumnya. “ Hahaha… lihat wajah aku Farrel amat lucu. Ah tidka seharusnya aku bergurau saat ajalku akan tiba bukan? Kau ingin menghentikan pertempuran ini? aku tahu apa yang harus kau lakukan untuk menghentikan pas
Sudah setahun sejak aku hidup tak beraga, melayang kesana, melayang kesini. Bosan? Sudah tentu itu yang aku rasakan setiap hari. Hanya Gavin yang bisa melihatku, dan hanya dengan dia aku menghabiskan waktuku menunggu ajal yang tak kunjung datang. Sesekali Gavin datang ke kastil tua yang sudah hancur sebagian bagunannya. Atau terkadang aku yang pergi bermain ke kamar Gavin. Aku tetap berkunjung hampir setiap hari ke rumah paman, melihat Zio yang membantu bibi karena paman sudah tidak ada. Berkunjung melihat rumah batu milik Osgar, berkunjung kesekolah melihat Zen. Gubuk tua tempatku bermain dengan Beatrix sudah di perbaiki oleh Zio dan Zen, Beatrix sering duduk sendirian disana menatap langit, dan aku sering menemaninya meski dia tidak tahu. Gavin memberitahuku, batu safir hitam itu menyerap seluruh kekuatan kakek tua Degalna yang ada di tubuhku. menghisap sebagian tena
“Kau yakin akan memisahkan mereka berdua? Bahkan jika mereka berpisah suatu saat akan bertemu entah dalam keadaan yang lebih baik atau lebih buruk, coba kau pikirkan kembali keputusanmu Yohan. Aku mohon!” “Aku tahu ini sulit Raii, tapi jika mereka tumbuh di lingkungan yang sama semakin banyak orang yang akan celaka. Aku tahu ini sulit untukmu, bahkan untukku ini terasa sulit. Percaya padaku Raii!!” “Kau yakin? Bagaimana jika sebaliknya? Apa kau bisa menjamin anak-anakku? AKU BERTANYA APA KAU BISA MENJAMIN ANAK-ANAKKU YOHAN?!” tangan wanita itu mengcengkram kuat kerah pria di hadapannya dengan mata merah menyala, menatap dalam mata lawan bicaranya. “Raii. Aku tau ini sulit, kita masih bisa mengawasi mereka, aku janji!!” Tangan besar pria itu meremat lembut pundak
“Paman, apakah kita masih berkerabat dengan Klan Vampire dan Dracula?” Pertanyaan itu aku ajukan saat paman fokus mengukir kayu di hadapannya. “Tentu Farrel, kita masih berkerabat dengan mereka. Kau ingin mendengar kisahku?” “Apa aku menganggumu, paman?” “Tidak, kau tidak mengangguku. Jadi apa kau mau mendengar ceritaku?” “Hmm.. Aku sebenarnya ingin mendengar cerita paman, tapi aku lebih ingin bermain, jadi aku bisa mendengarkan ceritamu saat makan malam. Bagaimana paman?” “Baik, kau harus mendengarkan ceritaku saat makan malam Tuan Muda Farrel.” Aku tersenyum mendapat persetuan paman.
Kursi kayu dekat perapian adalah spot terbaik untuk duduk ketika udara dingin menusuk kulit seperti saat ini, aku duduk dengan tangan yang terjulur lurus di depan perapian, hangat. Ekor mataku menangkap bayangan paman yang berjalan menghampiriku dengan donat buatan bibi yang amat lezat tercium harumnya menggugah selera. Paman duduk di kursi sebelahku, meletakan piring yang penuh dengan donat buatan bibi. Sungguh tangan ini sudah tidak sabar untuk mengambil potongan donat hangat dengan krim vanilla di atasnya, memasukkan donat itu ke dalam gua dengan mesin menghancur yang sudah bersiap sejak aroma harum donat itu tercium. Aku menatap paman apakah aku bisa memiliki setidaknya satu potong donat dari piring di hadapanku, dan YES!! Paman mengangguk membiarkan tangan kecilku mengambil satu potong donat dengan krim vanilla di atasnya, memasukan potongan besar donat itu ke dalam gua dengan mesin penghancur yang
Sudah setahun sejak aku hidup tak beraga, melayang kesana, melayang kesini. Bosan? Sudah tentu itu yang aku rasakan setiap hari. Hanya Gavin yang bisa melihatku, dan hanya dengan dia aku menghabiskan waktuku menunggu ajal yang tak kunjung datang. Sesekali Gavin datang ke kastil tua yang sudah hancur sebagian bagunannya. Atau terkadang aku yang pergi bermain ke kamar Gavin. Aku tetap berkunjung hampir setiap hari ke rumah paman, melihat Zio yang membantu bibi karena paman sudah tidak ada. Berkunjung melihat rumah batu milik Osgar, berkunjung kesekolah melihat Zen. Gubuk tua tempatku bermain dengan Beatrix sudah di perbaiki oleh Zio dan Zen, Beatrix sering duduk sendirian disana menatap langit, dan aku sering menemaninya meski dia tidak tahu. Gavin memberitahuku, batu safir hitam itu menyerap seluruh kekuatan kakek tua Degalna yang ada di tubuhku. menghisap sebagian tena
Cahaya lampu bersinar meyilaukan mata, aku terbangun di ruangan bernuansa hitam. Bukan, bukan ruangan dengan pohon wisteria hitam dan akar yang menjuntai di hadapanku. Aku berada di dimensi yang sama dengan dimensi buatan kakek tua deglan sebelumnya, hanya saja rungan di dimensi ini terlihat sangat bercahaya dengan kerlip lampu yang terpancar dari bunga-bunga di atas langit langit kastil. Aku melihat Gavin, tergopoh-gopoh ia mendekatiku dengan kaki dan bibir yang terus mengeluarkan darahs egar. Entah apa yang di perbuat kakek Deglan hingga membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Perlahan namun pasti Gavin berdiri di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tempat aku dan dia berdiri. Dia tersenyum dengan tulus dengan darah yang terus mengalir dari ujung bibir ranumnya. “ Hahaha… lihat wajah aku Farrel amat lucu. Ah tidka seharusnya aku bergurau saat ajalku akan tiba bukan? Kau ingin menghentikan pertempuran ini? aku tahu apa yang harus kau lakukan untuk menghentikan pas
Aku, Zio, Beatrix dan Zen sudah memberikan peringatan pada setiap klan untuk bersiap denga hal besar yang akan terjadi entah kapan. Gavin terkurung di ruangan gelap di rumah batu milik Osgar, mata merah dan hanzelnya suah hilang tergantikan dengan mata hitam pekat mirip Kristal sejak malam dimana gavin berhasil menyerap sisi kehidupan dari guru yang tengah menjelaskan ramun-ramuan kemarin. Osgar, Paman dan Pria berambut merah terjaga semalaman di depan pintu ruangan dimana Gavin terkurung, sedangkan wanita berambut coklat dan bibi menguhubungi setiap klan vampire di penjuru bumi untuk berkumpul menyiapkan kekuatan. Osgar pernah berkata kepadaku saat malam gavin tidak sadarkan diri hari itu, dia menyuruhku untuk mengumpulkan seluruh kekuatan dari setiap Klan. Kakek tua Deglan tidak akan berhasil jika hanya dilawan oleh satu klan, tapi jika setiap klan bersatu maka kekuatan kakek tua Deglan akan kalah. Aku tidak tahu ini penglihatan dari mana, tapi aku bisa melihat Gavin yang
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya. Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping t
“ARGHHH….” Terikan itu keluar dari mulutku membuat seluruh rumah segera berbondong-bodong masuk ke dalam kamar. Tubuhku berguling-guling di atas kasur, tangan yang terus menjambak rambuku sendiri, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, kepalaku terasa hampir pecah merasakan sakit yang sangat luar biasa. “Ada apa Farrel?” Zio, orang pertama yang masuk ke dalam kamarku dengan rusuh, diikuti paman dan bibi dibelakangnya. “Aku tidak tahu, kepalaku terasa sangat pusing seperti dihantam batu besar.” “Apa kau sudah sering merasakan sakit seperti itu?” Tanya paman. “Aku rasa semenjak meminum darah rusa dari kotak hitam paman. Awalnya hanya sakit kepala biasa tapi akhir-akhir ini terasa lebih sak
Sejak kejadian kotak hitam yang berisi minuman berwarnai merah darah, darah rusa yang terasa amat manis di lidahku. Saat itu pula semuanya berubah, sangat berubah, dulu bibi selalu menyajikan makanan manusia tetapi semenjak kejadian itu semua berubah. Bibi tidak lagi memasak makanan manusia, apalagi donat dengan krim vanilla yang sangat memanjakan indra pengecapku. Sekarang, bibi hanya menyediakan olahan dari darah hewan untuk aku makan, entah itu darah rusa beku, minuman dari darah sapi dan darah hewan lainnya. Aku tidak perlu makan setiap hari seperti dulu, aku hanya makan ketika aku merasa haus atau ketika kerongkonganku terasa terbakar api. Dan begini kehidupanku sekarang, aku masih bisa memakan donat, ayam panggang, roti bahkan jus jeruk sekalipun tapi hanya satu masalah terbesarnya. Indra pengecapku tidak bisa merasakan rasa nikmat dari setiap makanan yang masuk ke dalam mulutku kecuali satu, darah. &nbs
Pagi ini aku berangkat seorang diri, Zio berangkat lebih pagi untuk mengerjakan sesuatu tapi dia tidak memberitahu kata ‘sesuatu’ yang dimaksud itu apa. Seperti biasa aku berjalan melewati pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun rimbun. Sepi, hening. Hanya itu yang menjadi temanku dalam perjalanan menuju sekolah yang sangat membosankan, sudah seminggu sejak kejadian Zen melempariku dengan bongkahan batu dan sudah seminggu pula aku berada di sekolah campuran itu. Tidak ada yang berbeda, semua orang masih sama menatapku dengan tatapan aneh seperti biasa, beruntung aku sudah terbiasa dengan tatapan itu. Sudah seminggu pula aku selalu merasa haus seperti tengah berada di padang pasir yang gersang dan panas, kerongkonganku terasa sangat panas dan gatal, air putih yang biasa aku minum seperti tidak mempan meredakan panas dalam terowongan panjang ini. Aku tidak memberitahu paman atau bibi soal ini, aku ingin bertan