“Paman, apakah kita masih berkerabat dengan Klan Vampire dan Dracula?” Pertanyaan itu aku ajukan saat paman fokus mengukir kayu di hadapannya.
“Tentu Farrel, kita masih berkerabat dengan mereka. Kau ingin mendengar kisahku?”
“Apa aku menganggumu, paman?”
“Tidak, kau tidak mengangguku. Jadi apa kau mau mendengar ceritaku?”
“Hmm.. Aku sebenarnya ingin mendengar cerita paman, tapi aku lebih ingin bermain, jadi aku bisa mendengarkan ceritamu saat makan malam. Bagaimana paman?”
“Baik, kau harus mendengarkan ceritaku saat makan malam Tuan Muda Farrel.” Aku tersenyum mendapat persetuan paman. Secepat kilat aku meninggalkan paman untuk bermain dengan satu-satunya teman yang aku punya.
JANGAN LUPA TUTUP MATA KANANMU, FARREL!!. Teriakan paman ternyata cukup keras untuk didengar sampai ujung gerbang.
Kaki kecilku berjalan dengan santai, melewati hutan dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang menghadang matahari. Udara hari ini terasa hangat meski cahaya matahari tetap tidak bisa menembus pertahanan pasukan daun rimbun dari pohon yang menjulang tinggi, mungkin tinggi pohon ini bisa mencapai sebuah istana di langit. Tidak banyak hewan yang berkeliaran di hutan, kecuali ulat-ulat dengan tubuh gemuk yang setia berada di atas lembaran daun hijau.
Aku sedikit penasaran apakah ada tempat yang lebih indah dan berwarna dibanding hutan gelap yang kini tengah aku lewati. Jika kalian bertanya kenapa aku berpikir begitu, maka jawabannya karena aku hanya ingin tahu. Bukankah bagus jika tempat berwarna-warni itu ada, aku bisa melihat warna biru di langit, awan berbentuk permen kapas, bunga warna-warni yang indah, burung-burung dengan warna dan corak yang indah. Tidak seperti di sini, yang aku lihat hanya warna hijau, coklat, hitam, gelap, kelam, seperti tidak ada tanda kehidupan selain aku dan keluarga paman. Entah kemana semua orang pergi, aku pun bertanya tentang itu. banyak sekali pertanyaan yang ada hampir di setiap sudut otak jeniusku.
Sepertinya aku terlalu banyak berpikir, bahkan aku tidak menyadari jika kaki kecil ini telah sampai di depan gubuk kayu tua yang masih terlihat kokoh. Aku melihat anak perempuan dengan telinga runcing tengah mengayunkan sepasang kaki kecilnya di atas pohon oak dekat gubuk kayu tua. Entah ide brilian dari mana, aku segera melempar ranting pohon kering menjaili anak perempuan dengan telinga runcing yang tengah duduk santai di atas pohon.
“HEI, KAU JAIL SEKALI FARREL!!” anak perempuan dengan telinga runcing meloncat dengan ringan ke permukaan tanah. Melemparkan ranting lain ke arahku dengan senyum mengejek yang tampil dari bibir manisnya. “Farrel, apa kau sudah bertanya pada pamanmu?” Tanya anak perempuan dengan telinga runcing ketika ranting kayunya tepat mengenai tanganku. Dia duduk di atas tanah tanpa berpikir panjang.
“Ah, aku sudah bertanya. Tapi paman akan menceritakannya saat makan malam.” Aku berjalan menghampiri anak perempuan dengan telinga runcing dan duduk disampingnya. “Aku iri denganmu Beat, kau tahu bangsa asalmu, kau bahkan tinggal bersama ayah dan ibumu, bergaul dengan Elf lain, pasti seru bukan? Berbeda denganku, dari mana asalku, apakah aku termasuk Klan Vampir atau Dracula atau mungkin Wolf. Sangat rumit sekali hidupku ini beat, tidak seperti hidupmu. Kau bahkan punya kekuatan sihir alami, kau juga licik dan—“
“Dan, hei! apa kau baru saja menghinaku?” anak perempuan dengan telinga runcing memotong ucapanku dengan wajah merah mencoba menahan ledakan amarahnya karena ucapan terakhirku, wajahnya menggemaskan dengan hidung kembang kempis dan ujung telinga yang terlihat merah bergerak-gerak menahan ledakan emosi.
“Aku hanya bercanda, ya meski itu memang faktanya. Para Elf memang licik.”
Satu tamparan dari tangan kecil anak perempuan dengan telinga runcing itu mendarat di kepalaku cukup keras. Satu hal baru yang aku ketahui, ternyata para Elf sangat kasar bahkan berani memukul teman dengan paras tampan sepertiku. Tapi satu kekagumanku pada Elf, mereka saling menghargai satu sama lain, tak pandang bulu untuk ikut turun tangan membantu sesama Elf.
“Ah, sudah lupakan. Mari fokus pada dirimu sekarang! Jadi apa kau sudah bertanya kenapa matamu harus selalu tertutup kain setiap keluar rumah?”
“Belum, akan aku tanyakan saat makan malam nanti.” Mataku sibuk memandang daun-daun rimbun di atas sana. Terkadang aku ingin membuka kain penutup mata kanan ini, aku ingin tahu apa yang akan terjadi ketika penutup mata ini dilepas tapi paman selalu melarangku membukanya ketika di luar rumah.
“Oke.. oke.. terserah dirimu saja tuan muda. Kau tahu ada festival di ujung desa dekat sungai, aku dan beberapa teman sesama Elf berencana pergi ke sana, apa kau mau ikut?”
“Entahlah Beat, aku harus dapat izin dari paman. Kau tahu sendirilah pamanku, dia memang sering bercanda tapi terlalu takut jika menyangkut dunia luar.”
“Hmm,, baiklah. Beritahu aku jika kau ingin ikut ya!? aku harus pulang karena sudah malam.”
“Dari mana kau tahu ini sudah malam? Di sini memang gelap sejak pagi.”
“Sekarang lebih gelap. Sebaiknya kau pulang, sebelum pamanmu panik seperti waktu itu. bye Farrel, aku pulang dulu!!” anak perempuan dengan telinga runcing itu perlahan pergi, gesit meloncat dari pohon satu ke pohon lainnya sampai bayangannya tidak terlihat oleh ekor mataku. Aneh, dia selalu datang dengan berjalan kaki, tapi setiap pulang selalu meloncat-loncat seperti tupai.
Akhirnya kaki ini menurut untuk di ajak melangkah, satu langkah, dua langkah kaki kecil ini berjalan menuju rumah kayu di pojokan hutan, rumah paman. Angin sore terasa dua kali lebih dingin dari pada sebelumnya, mungkin karena suasana sudah gelap gulita banyak arwah-arwah yang saling berkejaran menembus tubuh kecilku. Hutan gelap memberikan semangat lebih jangkrik-jangrik melantunkan melodi indah, gesekan ranting menjadi penambah orkestra pada malam hari ini.
Namanya Beatrix, temanku satu-satunya yang berasal dari Klan Elf. Lebih tepatnya satu-satunya temanku selama ini. Tidak banyak yang ingin berteman dengan orang aneh dengan bola mata berbeda, terlebih hampir semua orang yang aku temui selalu mengejekku karena kulit pucat ini. Hanya Beatrix yang mau berteman denganku, kami bertemu saat dia hendak di jahili oleh anak-anak dari Klan Wolf, katanya kaum Beatrix adalah bangsa yang lemah. Tapi aku tidak berpikir demikian, mungkin Klan Wolf lebih lemah dari pada Elf. Beatrix terlihat cantik dengan bibir tipis merah muda, kaki jenjang, dan yang paling aku suka telinga runcingnya yang tajam seperti jarum. Beatrix juga sering mengajariku mantra sihir, tapi mantra itu tidak berlaku untukku. Dia anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya bekerja sebagai pengajar sihir di sekolah khusus Elf, adiknya masih kecil, aku tidak terlalu tahu tentang adiknya karena dia jarang bercerita.
Rumah kayu tua itu menyambut kepulangku dengan hangat, paman sudah berkumpul bersama bibi dan anak-anaknya yang tidak lain adalah sepupuku. Aku masuk ke dalam rumah kayu tua itu, udara hangat menyelimuti seluruh bagian tubuhku, nyaman. Tapi aku teringat ucapan paman bahwa bangsaku tidak akan merasakan lagi hawa maupun udara sekitar ketika sudah waktunya, ucapan itu yang menjadi asal mula ribuan pertanyaan memenuhi kepalaku, terutama tentang warna bola mataku yang berbeda? dari mana asalku? siapa ayah dan ibuku? Apakah aku punya adik atau kakak mungkin? Apakah aku seorang pangeran dari klan terkuat di dunia? Atau apakah aku anak yang terbuang dari klan terlemah? Dan ribuan pertanyaan lain.
Kursi kayu dekat perapian adalah spot terbaik untuk duduk ketika udara dingin menusuk kulit seperti saat ini, aku duduk dengan tangan yang terjulur lurus di depan perapian, hangat. Ekor mataku menangkap bayangan paman yang berjalan menghampiriku dengan donat buatan bibi yang amat lezat tercium harumnya menggugah selera. Paman duduk di kursi sebelahku, meletakan piring yang penuh dengan donat buatan bibi. Sungguh tangan ini sudah tidak sabar untuk mengambil potongan donat hangat dengan krim vanilla di atasnya, memasukkan donat itu ke dalam gua dengan mesin menghancur yang sudah bersiap sejak aroma harum donat itu tercium. Aku menatap paman apakah aku bisa memiliki setidaknya satu potong donat dari piring di hadapanku, dan YES!! Paman mengangguk membiarkan tangan kecilku mengambil satu potong donat dengan krim vanilla di atasnya, memasukan potongan besar donat itu ke dalam gua dengan mesin penghancur yang
Paman salah, aku tidak menyukai sekolah ini, sangat berbeda dengan sekolah yang sering aku dengar dari cerita-cerita Beatrix. Aku tidak menyukai tatapan mata mereka yang melihatku dengan tatapan aneh sejak tubuh ini memasuki gerbang tinggi sebagai jalan utama masuk ke dalam sekolah. Zio masih setia menemaniku yang berjalan lambat bagai siput, menunduk menatap sepatu hitam yang terus melangkah membelah lautan anak-anak yang terus menatap aneh ke arahku. Aku tidak nyaman, sungguh aku tidak suka tatapan mata mereka. PUKK.. sebuah bongkahan batu yang cukup besar mendarat tepat di belakang kepalaku, belum sempat aku melihat siapa yang berani melempar bongkahan batu yang mengenai kepala belakangku, seorang anak laki-laki berambut putih berlari secepat kilat membawa tubuh Zio, menghantam tubuh ringkih Zio ke arah dinding koridor sekolah. aku melihat Zio yang berusaha dengan susah payah untuk berdiri tegak setelah tu
Pagi ini aku berangkat seorang diri, Zio berangkat lebih pagi untuk mengerjakan sesuatu tapi dia tidak memberitahu kata ‘sesuatu’ yang dimaksud itu apa. Seperti biasa aku berjalan melewati pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun rimbun. Sepi, hening. Hanya itu yang menjadi temanku dalam perjalanan menuju sekolah yang sangat membosankan, sudah seminggu sejak kejadian Zen melempariku dengan bongkahan batu dan sudah seminggu pula aku berada di sekolah campuran itu. Tidak ada yang berbeda, semua orang masih sama menatapku dengan tatapan aneh seperti biasa, beruntung aku sudah terbiasa dengan tatapan itu. Sudah seminggu pula aku selalu merasa haus seperti tengah berada di padang pasir yang gersang dan panas, kerongkonganku terasa sangat panas dan gatal, air putih yang biasa aku minum seperti tidak mempan meredakan panas dalam terowongan panjang ini. Aku tidak memberitahu paman atau bibi soal ini, aku ingin bertan
Sejak kejadian kotak hitam yang berisi minuman berwarnai merah darah, darah rusa yang terasa amat manis di lidahku. Saat itu pula semuanya berubah, sangat berubah, dulu bibi selalu menyajikan makanan manusia tetapi semenjak kejadian itu semua berubah. Bibi tidak lagi memasak makanan manusia, apalagi donat dengan krim vanilla yang sangat memanjakan indra pengecapku. Sekarang, bibi hanya menyediakan olahan dari darah hewan untuk aku makan, entah itu darah rusa beku, minuman dari darah sapi dan darah hewan lainnya. Aku tidak perlu makan setiap hari seperti dulu, aku hanya makan ketika aku merasa haus atau ketika kerongkonganku terasa terbakar api. Dan begini kehidupanku sekarang, aku masih bisa memakan donat, ayam panggang, roti bahkan jus jeruk sekalipun tapi hanya satu masalah terbesarnya. Indra pengecapku tidak bisa merasakan rasa nikmat dari setiap makanan yang masuk ke dalam mulutku kecuali satu, darah. &nbs
“ARGHHH….” Terikan itu keluar dari mulutku membuat seluruh rumah segera berbondong-bodong masuk ke dalam kamar. Tubuhku berguling-guling di atas kasur, tangan yang terus menjambak rambuku sendiri, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, kepalaku terasa hampir pecah merasakan sakit yang sangat luar biasa. “Ada apa Farrel?” Zio, orang pertama yang masuk ke dalam kamarku dengan rusuh, diikuti paman dan bibi dibelakangnya. “Aku tidak tahu, kepalaku terasa sangat pusing seperti dihantam batu besar.” “Apa kau sudah sering merasakan sakit seperti itu?” Tanya paman. “Aku rasa semenjak meminum darah rusa dari kotak hitam paman. Awalnya hanya sakit kepala biasa tapi akhir-akhir ini terasa lebih sak
Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya. Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping t
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Sudah setahun sejak aku hidup tak beraga, melayang kesana, melayang kesini. Bosan? Sudah tentu itu yang aku rasakan setiap hari. Hanya Gavin yang bisa melihatku, dan hanya dengan dia aku menghabiskan waktuku menunggu ajal yang tak kunjung datang. Sesekali Gavin datang ke kastil tua yang sudah hancur sebagian bagunannya. Atau terkadang aku yang pergi bermain ke kamar Gavin. Aku tetap berkunjung hampir setiap hari ke rumah paman, melihat Zio yang membantu bibi karena paman sudah tidak ada. Berkunjung melihat rumah batu milik Osgar, berkunjung kesekolah melihat Zen. Gubuk tua tempatku bermain dengan Beatrix sudah di perbaiki oleh Zio dan Zen, Beatrix sering duduk sendirian disana menatap langit, dan aku sering menemaninya meski dia tidak tahu. Gavin memberitahuku, batu safir hitam itu menyerap seluruh kekuatan kakek tua Degalna yang ada di tubuhku. menghisap sebagian tena
Cahaya lampu bersinar meyilaukan mata, aku terbangun di ruangan bernuansa hitam. Bukan, bukan ruangan dengan pohon wisteria hitam dan akar yang menjuntai di hadapanku. Aku berada di dimensi yang sama dengan dimensi buatan kakek tua deglan sebelumnya, hanya saja rungan di dimensi ini terlihat sangat bercahaya dengan kerlip lampu yang terpancar dari bunga-bunga di atas langit langit kastil. Aku melihat Gavin, tergopoh-gopoh ia mendekatiku dengan kaki dan bibir yang terus mengeluarkan darahs egar. Entah apa yang di perbuat kakek Deglan hingga membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Perlahan namun pasti Gavin berdiri di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tempat aku dan dia berdiri. Dia tersenyum dengan tulus dengan darah yang terus mengalir dari ujung bibir ranumnya. “ Hahaha… lihat wajah aku Farrel amat lucu. Ah tidka seharusnya aku bergurau saat ajalku akan tiba bukan? Kau ingin menghentikan pertempuran ini? aku tahu apa yang harus kau lakukan untuk menghentikan pas
Aku, Zio, Beatrix dan Zen sudah memberikan peringatan pada setiap klan untuk bersiap denga hal besar yang akan terjadi entah kapan. Gavin terkurung di ruangan gelap di rumah batu milik Osgar, mata merah dan hanzelnya suah hilang tergantikan dengan mata hitam pekat mirip Kristal sejak malam dimana gavin berhasil menyerap sisi kehidupan dari guru yang tengah menjelaskan ramun-ramuan kemarin. Osgar, Paman dan Pria berambut merah terjaga semalaman di depan pintu ruangan dimana Gavin terkurung, sedangkan wanita berambut coklat dan bibi menguhubungi setiap klan vampire di penjuru bumi untuk berkumpul menyiapkan kekuatan. Osgar pernah berkata kepadaku saat malam gavin tidak sadarkan diri hari itu, dia menyuruhku untuk mengumpulkan seluruh kekuatan dari setiap Klan. Kakek tua Deglan tidak akan berhasil jika hanya dilawan oleh satu klan, tapi jika setiap klan bersatu maka kekuatan kakek tua Deglan akan kalah. Aku tidak tahu ini penglihatan dari mana, tapi aku bisa melihat Gavin yang
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya. Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping t
“ARGHHH….” Terikan itu keluar dari mulutku membuat seluruh rumah segera berbondong-bodong masuk ke dalam kamar. Tubuhku berguling-guling di atas kasur, tangan yang terus menjambak rambuku sendiri, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, kepalaku terasa hampir pecah merasakan sakit yang sangat luar biasa. “Ada apa Farrel?” Zio, orang pertama yang masuk ke dalam kamarku dengan rusuh, diikuti paman dan bibi dibelakangnya. “Aku tidak tahu, kepalaku terasa sangat pusing seperti dihantam batu besar.” “Apa kau sudah sering merasakan sakit seperti itu?” Tanya paman. “Aku rasa semenjak meminum darah rusa dari kotak hitam paman. Awalnya hanya sakit kepala biasa tapi akhir-akhir ini terasa lebih sak
Sejak kejadian kotak hitam yang berisi minuman berwarnai merah darah, darah rusa yang terasa amat manis di lidahku. Saat itu pula semuanya berubah, sangat berubah, dulu bibi selalu menyajikan makanan manusia tetapi semenjak kejadian itu semua berubah. Bibi tidak lagi memasak makanan manusia, apalagi donat dengan krim vanilla yang sangat memanjakan indra pengecapku. Sekarang, bibi hanya menyediakan olahan dari darah hewan untuk aku makan, entah itu darah rusa beku, minuman dari darah sapi dan darah hewan lainnya. Aku tidak perlu makan setiap hari seperti dulu, aku hanya makan ketika aku merasa haus atau ketika kerongkonganku terasa terbakar api. Dan begini kehidupanku sekarang, aku masih bisa memakan donat, ayam panggang, roti bahkan jus jeruk sekalipun tapi hanya satu masalah terbesarnya. Indra pengecapku tidak bisa merasakan rasa nikmat dari setiap makanan yang masuk ke dalam mulutku kecuali satu, darah. &nbs
Pagi ini aku berangkat seorang diri, Zio berangkat lebih pagi untuk mengerjakan sesuatu tapi dia tidak memberitahu kata ‘sesuatu’ yang dimaksud itu apa. Seperti biasa aku berjalan melewati pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun rimbun. Sepi, hening. Hanya itu yang menjadi temanku dalam perjalanan menuju sekolah yang sangat membosankan, sudah seminggu sejak kejadian Zen melempariku dengan bongkahan batu dan sudah seminggu pula aku berada di sekolah campuran itu. Tidak ada yang berbeda, semua orang masih sama menatapku dengan tatapan aneh seperti biasa, beruntung aku sudah terbiasa dengan tatapan itu. Sudah seminggu pula aku selalu merasa haus seperti tengah berada di padang pasir yang gersang dan panas, kerongkonganku terasa sangat panas dan gatal, air putih yang biasa aku minum seperti tidak mempan meredakan panas dalam terowongan panjang ini. Aku tidak memberitahu paman atau bibi soal ini, aku ingin bertan