“ARGHHH….” Terikan itu keluar dari mulutku membuat seluruh rumah segera berbondong-bodong masuk ke dalam kamar. Tubuhku berguling-guling di atas kasur, tangan yang terus menjambak rambuku sendiri, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, kepalaku terasa hampir pecah merasakan sakit yang sangat luar biasa.
“Ada apa Farrel?” Zio, orang pertama yang masuk ke dalam kamarku dengan rusuh, diikuti paman dan bibi dibelakangnya.
“Aku tidak tahu, kepalaku terasa sangat pusing seperti dihantam batu besar.”
“Apa kau sudah sering merasakan sakit seperti itu?” Tanya paman.
“Aku rasa semenjak meminum darah rusa dari kotak hitam paman. Awalnya hanya sakit kepala biasa tapi akhir-akhir ini terasa lebih sakit. Tubuhku juga kadang terasa sakit ketika bangun tidur.”
“Aku antar kau bertemu Osgar, tabib dari Klan Vampir Origin.”
Paman menggendongku di punggungnya dan berlari secepat kilat menuju rumah Osgar. Aku tidak tahu siapa Osgar ini, tapi sepertinya paman sangat percaya bahwa dia dapat menyembuhkanku. Aku terkulai lemas di balik punggung paman dengan mata sayu dan bibir pucat. Aku merasa seperti tidak berdaya saat ini, kepalaku terus terasa sakit seperti hantaman batu besar itu tiada hentinya menghantam kepalaku. Ranting-ranting pohon menyapa tubuhku yang tengah di gendong paman, mencoba berjabat tangan dan bersentuhan dengan kulit pucatku. Namun sayang, tubuh lemas akibat sakit kepala yang di hantam batu besar bertubi-tubi membuatku menghiraukan uluran meraka untuk berjabat tangan denganku.
Kurang dari satu jam paman sudah tiba di depan menara batu yang menjulang tinggi, gerbang dari kayu tua seperti pintu-pintu kastil berabad-abad lalu terbuka lebar menyambut kedatangaku dan paman. Kaki paman berlari masuk membelah menara batu yang menjulang tinggi tersebut, berlari dan berteriak memanggil Osgar yang tengah berlari dari arah yang berlawanan di depan sana. Tubuh Osgar terlihat sangat ringkih, hanya terlihat tulang belulang yang dibalut kulit tipis serta bibir merah keriput serta mata yang terlihat sama khawatirnya dengan paman saat melihatku yang lemah tak berdaya. Aku sudah tidak menarik-narik rambut seperti di rumah paman tadi, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi membuat tanganku terasa percuma untuk terus menarik-narik rambut.
“Ada apa? Ada apa ini Alex?”
“Osgar tolong, tolong keponakanku.”
“Baik, mari ikut aku.” Osgar memandu jalan paman yang tengah menggendongku. Tubuh kecilku terbaring pada kasur tua lapuk yang terlihat bersih, kembali tangan kecilku menarik rambut yang ada di kelapu dengan brutal, rasa sakitnya kembali berkali-kali lipat.”
“ARGHHHH…. SA-SAKITHH….” Aku semakin berteriak kencang dengan tangan yang mulai memukul kepalaku sendiri.
“kenapa dia bisa seperti ini Alex? Apa kau sudah beritahu Yohan?”
“Belum. Aku belum memberitahunya, aku bahkan panik melihat dia berteriak dan berguling-guling di atas kasur tadi.”
“Kau beritahu Yohan, biar Farrel bersamaku. Dan lihat dia, apakah dia terluka sama seperti Farrel.”
“Baik.” Paman segera berlari secepat kilat menuju rumah Yohan, entah aku tidak tahu siapa Yohan. Apa mungkin Yohan ayahku? Atau dia hanya teman paman seperti teman-teman paman yang sering berkunjung ke rumah? Entahlah, aku tidak ingin membuat kepalaku semakin sakit dengan memikirkan sesuatu yang tidak berguna.
Di ruangan kecil yang dindingnya terbuat dari batu, hanya ada aku dan Osgar. Dia terus mengoleskan ramuan berwarna bening di sekitar kepalaku dengan tangan keriputnya. Terkadang aku melihat bibir keriputnya komat-kamit merapalkan mantra sembari mengoleskan ramuan berwarna bening di sekitar kepalaku. Dan ajaib, kepalaku terasa lebih baik dari sebelumnya, memang masih terasa sakit tapi tidak menyiksa seperti sebelumnya. Osgar pergi meninggalkanku di ruangan itu, dan kembali dengan ramuan berwarna Hijau terang ditangan kanannya. Menuangkan sedikit ramuan berwarna hijau terang itu ke dalam mangkuk kecil, mencampurnya dengan ramuan berwarna bening yang sebelumnya dia oleskan pada kepalaku. Mencampur kedua ramuan itu dan kembali mengoleskannya pada kepalaku sambil merapalkan mantra yang mungkin hanya dia seorang yang tahu. Seiring dengan berjalannya waktu dan olesan dari ramuan itu mulai mongering di kepalaku, rasa sakit itu berangsur menghilang. Aku tertidur setelah rasa sakit itu hilang sempurna dari kepalaku, sedangkan Osgar masih terus mengawasiku dan sesekali memeriksa bagian tubuhku dengan cermat.
***
Di sisi lain, Alex berlari dengan kecepatan penuh menuju rumah Yohan. Tidak peduli sudah berapa orang yang dia tabrak untuk sampai di rumah mewah bernuansa hitam mengkilat itu. langkah kakinya bergerak semakin cepat hingga tiba di depan gerbang hitam, membukanya dengan kasar dn berlari memasuki rumah bernuansa hitam mengkilat di hadapannya. Ekor matanya mencari-cari dimana adik sepupunya itu, sampai dia menangkap bayangan seorang wanita cantik dengan surai coklatnya berjalan menuju ke arahnya.
“Ada apa Kak Alex? Kenapa kau terlihat sangat panik, apa ada masalah?” Tanya wanita bersurai coklat yang menghampiri Alex.
“Yohan? Yohan mana?”
“Apa terjadi sesuatu pada anakku?”
“YOHAN MANA?” teriakan Alex memecah keheningan di rumah itu, membuat ayah dan seorang anak laki-laki seumuran Farrel segera turun untuk menemuinya.
“Ada apa Lex?”
“Farrel. Kau harus segera kesana? Dia ada di rumah Osgar, kead—“ belum sempat Alex meneruskan kalimatnya, Yohan sudah pergi dengan kecepatan kilat menuju rumah Osgar. Wanita bersurai coklat tadi mengambil alih anak laki-laki yang tadi digandeng oleh yohan, memeluknya dengan erat sembari menatap Alex, bertanya melalui tatapan matanya yeng terlihat sendu.
“Farrel sakit kepala sampai menjerit-jerit di rumah. Apa dia tidak terluka?” Alex menatap anak laki-laki di dekapan wanita bersurai coklat.
“Dia sering mengeluh merasakan sakit kepala semenjak beberapa minggu kebelakang dan tadi pagi rasa sakitnya membuat dia menjerit sama seperti yang kau bilang. Sama persis dengan Farrel. Apa anakku akan baik-baik saja?”
“Ya, aku tahu si Kembar akan baik-baik saja, mereka anak yang kuat.”
Alex meninggalkan wanita bersurai coklat bernama Raii, ibu dari si kembar, Farrel. Dia pergi menyusul adik sepupunya Yohan menuju rumah Osgar. Berharap saat sampai di sana Farrel sudah baik-baik saja. Pikirannya melayang membayangkan hal-hal buruk, peristiwa kepala Farrel dan anak laki-laki di rumah Yohan tadi membuatnya cemas. Entah apa yang akan terjadi ke depannya nanti, tapi firasatnya mengatakan aka nada hal besar di depan sana.
***
Aku terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa di sekitar perut, aku tidak tahu apa yang terjadi tapi luka lebam yang tiba-tiba muncul seperti sekarang sudah beberapa hari ini terlihat dan terasa sangat sakit. Aku bahkan tidak tahu sebab dari luka lebam yang muncul itu. Pandanganku menelusuri seluruh ruangan dengan dinding batu, ternyata masih sama. Aku masih berada di ruangan kecil di rumah Osgar. Tibalah pandangku pada sosok pria dengan rambut merah terang yang tengah berbincang dengan Osgar dan paman.
“Pa-paman.” Rintihanku mengalihkan fokus ketiga pria dewasa yang berada di ruangan tempat aku berbaring. Paman segera menghampiriku, wajahnya terlihat jelas sangat khawatir. Lalu aku melirik ke arah pria berambut merah terang, sama halnya dengan paman, wajahnya terlihat sama paniknya melihat keadaanku. Tapi aku tidak tahu siapa pris berambur merah terang yang kini berdiri di samping tempatku berbaring. Aku hanya tahu paman dan Osgar dengan tubuh ringkihnya. “Dia siapa paman?” sedikit berbisik aku mengatakan kalimat itu kepada paman. Sedangkan paman hanya tersenyum dan berdiri untuk memberi ruang kepada pria berambut merah terang untuk duduk di samping tempatku berbaring.
“Kau baik-baik saja?” Kalimat itu keluar dari bibir pria berambut merah terang, bibirnya memiliki warna yang sama dengan rambut merah terangnya. Tangan pria itu menepuk dadaku pelan dan lembut, tapi sentuhan itu, “ARGHHH SAKIT, JAUHKAN TANGANMU. AKHH…” sentuhan tangan pria berambur merah itu membuat lebam baru di sekitaran dadaku. Rasanya sakit sekali, perutku terasa seperti dihantam batu besar begitu pula dadaku yang mulai terlihat luka lebam yang lebih jelas.
“Orgas dia kenapa?” Pria berambut merah terang itu bertanya dengan wajah paniknya melirik ke arah Osgar yang segera menghampiriku. Osgar melihat luka lebam yang ada di perut dan dadaku, menekan pelan luka itu,”Apa terasa sakit?” aku membalas pertanyaan Osgar dengan gelengan kepala. Luka itu memang sakit, sangat sakit. Tapi entah kenapa setelah tangan pria berambut merah terang itu menjauh dari tubuhku rasa sakitnya hilang dengan sekejap.
“Bawa dia ke sini!” Osgar menatap pria berambut merah terang, menyuruhnya dengan suara dan tatapan mata tegas.
“Ta-tap—“ belum sempat pria berambut merah terang itu menjawab Osgar mendorong tubuhnya hingga keluar dari rumahnya, aku melihat dinding batu itu berlubang karena tubuh pria berambut merah terang terdorong dengan sangat keras sampai membuat dinding batu yang aku kira kokoh berlubang dalam satu dorongan Osgar.
“Alex, kau bawa Zio kemari!” tanpa di suruh dua kali paman kembali ke rumah untuk membawa Zio ke rumah Osgar.
Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya. Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping t
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Aku, Zio, Beatrix dan Zen sudah memberikan peringatan pada setiap klan untuk bersiap denga hal besar yang akan terjadi entah kapan. Gavin terkurung di ruangan gelap di rumah batu milik Osgar, mata merah dan hanzelnya suah hilang tergantikan dengan mata hitam pekat mirip Kristal sejak malam dimana gavin berhasil menyerap sisi kehidupan dari guru yang tengah menjelaskan ramun-ramuan kemarin. Osgar, Paman dan Pria berambut merah terjaga semalaman di depan pintu ruangan dimana Gavin terkurung, sedangkan wanita berambut coklat dan bibi menguhubungi setiap klan vampire di penjuru bumi untuk berkumpul menyiapkan kekuatan. Osgar pernah berkata kepadaku saat malam gavin tidak sadarkan diri hari itu, dia menyuruhku untuk mengumpulkan seluruh kekuatan dari setiap Klan. Kakek tua Deglan tidak akan berhasil jika hanya dilawan oleh satu klan, tapi jika setiap klan bersatu maka kekuatan kakek tua Deglan akan kalah. Aku tidak tahu ini penglihatan dari mana, tapi aku bisa melihat Gavin yang
Cahaya lampu bersinar meyilaukan mata, aku terbangun di ruangan bernuansa hitam. Bukan, bukan ruangan dengan pohon wisteria hitam dan akar yang menjuntai di hadapanku. Aku berada di dimensi yang sama dengan dimensi buatan kakek tua deglan sebelumnya, hanya saja rungan di dimensi ini terlihat sangat bercahaya dengan kerlip lampu yang terpancar dari bunga-bunga di atas langit langit kastil. Aku melihat Gavin, tergopoh-gopoh ia mendekatiku dengan kaki dan bibir yang terus mengeluarkan darahs egar. Entah apa yang di perbuat kakek Deglan hingga membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Perlahan namun pasti Gavin berdiri di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tempat aku dan dia berdiri. Dia tersenyum dengan tulus dengan darah yang terus mengalir dari ujung bibir ranumnya. “ Hahaha… lihat wajah aku Farrel amat lucu. Ah tidka seharusnya aku bergurau saat ajalku akan tiba bukan? Kau ingin menghentikan pertempuran ini? aku tahu apa yang harus kau lakukan untuk menghentikan pas
Sudah setahun sejak aku hidup tak beraga, melayang kesana, melayang kesini. Bosan? Sudah tentu itu yang aku rasakan setiap hari. Hanya Gavin yang bisa melihatku, dan hanya dengan dia aku menghabiskan waktuku menunggu ajal yang tak kunjung datang. Sesekali Gavin datang ke kastil tua yang sudah hancur sebagian bagunannya. Atau terkadang aku yang pergi bermain ke kamar Gavin. Aku tetap berkunjung hampir setiap hari ke rumah paman, melihat Zio yang membantu bibi karena paman sudah tidak ada. Berkunjung melihat rumah batu milik Osgar, berkunjung kesekolah melihat Zen. Gubuk tua tempatku bermain dengan Beatrix sudah di perbaiki oleh Zio dan Zen, Beatrix sering duduk sendirian disana menatap langit, dan aku sering menemaninya meski dia tidak tahu. Gavin memberitahuku, batu safir hitam itu menyerap seluruh kekuatan kakek tua Degalna yang ada di tubuhku. menghisap sebagian tena
“Kau yakin akan memisahkan mereka berdua? Bahkan jika mereka berpisah suatu saat akan bertemu entah dalam keadaan yang lebih baik atau lebih buruk, coba kau pikirkan kembali keputusanmu Yohan. Aku mohon!” “Aku tahu ini sulit Raii, tapi jika mereka tumbuh di lingkungan yang sama semakin banyak orang yang akan celaka. Aku tahu ini sulit untukmu, bahkan untukku ini terasa sulit. Percaya padaku Raii!!” “Kau yakin? Bagaimana jika sebaliknya? Apa kau bisa menjamin anak-anakku? AKU BERTANYA APA KAU BISA MENJAMIN ANAK-ANAKKU YOHAN?!” tangan wanita itu mengcengkram kuat kerah pria di hadapannya dengan mata merah menyala, menatap dalam mata lawan bicaranya. “Raii. Aku tau ini sulit, kita masih bisa mengawasi mereka, aku janji!!” Tangan besar pria itu meremat lembut pundak
“Paman, apakah kita masih berkerabat dengan Klan Vampire dan Dracula?” Pertanyaan itu aku ajukan saat paman fokus mengukir kayu di hadapannya. “Tentu Farrel, kita masih berkerabat dengan mereka. Kau ingin mendengar kisahku?” “Apa aku menganggumu, paman?” “Tidak, kau tidak mengangguku. Jadi apa kau mau mendengar ceritaku?” “Hmm.. Aku sebenarnya ingin mendengar cerita paman, tapi aku lebih ingin bermain, jadi aku bisa mendengarkan ceritamu saat makan malam. Bagaimana paman?” “Baik, kau harus mendengarkan ceritaku saat makan malam Tuan Muda Farrel.” Aku tersenyum mendapat persetuan paman.
Sudah setahun sejak aku hidup tak beraga, melayang kesana, melayang kesini. Bosan? Sudah tentu itu yang aku rasakan setiap hari. Hanya Gavin yang bisa melihatku, dan hanya dengan dia aku menghabiskan waktuku menunggu ajal yang tak kunjung datang. Sesekali Gavin datang ke kastil tua yang sudah hancur sebagian bagunannya. Atau terkadang aku yang pergi bermain ke kamar Gavin. Aku tetap berkunjung hampir setiap hari ke rumah paman, melihat Zio yang membantu bibi karena paman sudah tidak ada. Berkunjung melihat rumah batu milik Osgar, berkunjung kesekolah melihat Zen. Gubuk tua tempatku bermain dengan Beatrix sudah di perbaiki oleh Zio dan Zen, Beatrix sering duduk sendirian disana menatap langit, dan aku sering menemaninya meski dia tidak tahu. Gavin memberitahuku, batu safir hitam itu menyerap seluruh kekuatan kakek tua Degalna yang ada di tubuhku. menghisap sebagian tena
Cahaya lampu bersinar meyilaukan mata, aku terbangun di ruangan bernuansa hitam. Bukan, bukan ruangan dengan pohon wisteria hitam dan akar yang menjuntai di hadapanku. Aku berada di dimensi yang sama dengan dimensi buatan kakek tua deglan sebelumnya, hanya saja rungan di dimensi ini terlihat sangat bercahaya dengan kerlip lampu yang terpancar dari bunga-bunga di atas langit langit kastil. Aku melihat Gavin, tergopoh-gopoh ia mendekatiku dengan kaki dan bibir yang terus mengeluarkan darahs egar. Entah apa yang di perbuat kakek Deglan hingga membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Perlahan namun pasti Gavin berdiri di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti dari tempat aku dan dia berdiri. Dia tersenyum dengan tulus dengan darah yang terus mengalir dari ujung bibir ranumnya. “ Hahaha… lihat wajah aku Farrel amat lucu. Ah tidka seharusnya aku bergurau saat ajalku akan tiba bukan? Kau ingin menghentikan pertempuran ini? aku tahu apa yang harus kau lakukan untuk menghentikan pas
Aku, Zio, Beatrix dan Zen sudah memberikan peringatan pada setiap klan untuk bersiap denga hal besar yang akan terjadi entah kapan. Gavin terkurung di ruangan gelap di rumah batu milik Osgar, mata merah dan hanzelnya suah hilang tergantikan dengan mata hitam pekat mirip Kristal sejak malam dimana gavin berhasil menyerap sisi kehidupan dari guru yang tengah menjelaskan ramun-ramuan kemarin. Osgar, Paman dan Pria berambut merah terjaga semalaman di depan pintu ruangan dimana Gavin terkurung, sedangkan wanita berambut coklat dan bibi menguhubungi setiap klan vampire di penjuru bumi untuk berkumpul menyiapkan kekuatan. Osgar pernah berkata kepadaku saat malam gavin tidak sadarkan diri hari itu, dia menyuruhku untuk mengumpulkan seluruh kekuatan dari setiap Klan. Kakek tua Deglan tidak akan berhasil jika hanya dilawan oleh satu klan, tapi jika setiap klan bersatu maka kekuatan kakek tua Deglan akan kalah. Aku tidak tahu ini penglihatan dari mana, tapi aku bisa melihat Gavin yang
“ARGHHH…. LE-LEPAS AKHH… KAU MENYEBALKAN RAMBUT UBAN!!” Aku terbangun pagi itu karena suara Gavin dari ruangan di sampingku. Zen, Zio dan Beatrix yang tengah tertidur pulas segera menuju ke ruangan Gavin, mereka berlari ke ruangan itu dan melihat apa yang terjadi. Sedangkan aku masih tertatih untuk bangun, badanku terasa seperti akan remuk, sangat sakit. Perlahan aku berjalan menuju ruangan Gavin sambil bertumpu pada dinding batu rumah Osgar. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Pandanganku menatap Gavin yang di ikat oleh rantai-rantai besi, bergerak ke segala arah untuk melepaskan ikatan pada tubuhnya. Aku melihat osgar yang terus berkomat-kamit seperti melantunkan mantra untuk membuat Gavin tenang, tapi hasilnya nihil. KRAKK… KRAKK… rantai besi yang mengikat tubuh kecil Gavin terlepas dengan brutal, dia loncat ke hadapanku, menatapku. M
Aku memilih tinggal di rumah paman bersama Zio, menurutku itu keputusan yang tepat dari pada ikut tinggal bersama Gavin dan kedua orangtua-ku. Aku lebih suka tinggal bersama paman dan bibi, aku bisa bermain dengan Beatrix seperti biasa, aku bisa mengacau dan menjahili Zio, menurutku paman dan bibi adalah orangtua bagiku, panutanku, dan keluarga yang sangat berarti untukku. Hari-hari berjalan seperti biasanya, tidak ada yang spesial belakangan ini kecuali Gavin yang sekarang satu kelas denganku. Awalnya beberapa anak menatapku dan Gavin bergantian, berebutan bertanya apakah kami kembar. Dan jangan dilupa, kain penutup mata masih tetap setia menghiasi mata hijauku, sesuai perkataan paman aku selalu menutup mata itu dengan kain penutup agar tidak ada orang yang meilhatnya. Zen masih duduk di sampingku, hanya saja dia semakin banyak bertanya dan berkicau seperti burung. Baik kembali pada Gavin, aku tidak tahu kenapa dia pindah ke kelasku tapi pernah sekali aku bertanya dan dia hanya men
Zio datang bersama paman, dia segera menghampiriku dengan kaki jenjangnya. Aku ingin tertawa melihat wajah Zio yang terlihat sangat lucu, aku tahu dia khawatir hanya saja wajahnya sangat lucu. Aku melihat paman yang tengah berbincang dengan Osgar, sepertinya obrolan mereka sangat serius. Rasa sakitku sudah lebih baik dari sebelumnya, Osgar adalah tabib terbaik menurutku, luka lebam yang ada di tubuhku sudah tidak terlihat karena ramuan yang di oleskan Osgar saat semua orang pergi dari rumahnya. Tidak menunggu berapa lama, pria berambut merah terang tadi kembali dengan anak laki-laki seumuranku di gendongannya. Tidak hanya itu, seorang wanita cantik berambut coklat turut datang dan masuk ke dalam rumah batu milih Osgar. Anak di gendongan pria berambut merah terang itu sepertinya terlihat sangat kesakitan, terdengar rintihan-rintihan dari bibir kecilnya. Osgar segera membaringkan anak laki-laki itu di samping t
“ARGHHH….” Terikan itu keluar dari mulutku membuat seluruh rumah segera berbondong-bodong masuk ke dalam kamar. Tubuhku berguling-guling di atas kasur, tangan yang terus menjambak rambuku sendiri, rasa sakit di kepalaku semakin menjadi, kepalaku terasa hampir pecah merasakan sakit yang sangat luar biasa. “Ada apa Farrel?” Zio, orang pertama yang masuk ke dalam kamarku dengan rusuh, diikuti paman dan bibi dibelakangnya. “Aku tidak tahu, kepalaku terasa sangat pusing seperti dihantam batu besar.” “Apa kau sudah sering merasakan sakit seperti itu?” Tanya paman. “Aku rasa semenjak meminum darah rusa dari kotak hitam paman. Awalnya hanya sakit kepala biasa tapi akhir-akhir ini terasa lebih sak
Sejak kejadian kotak hitam yang berisi minuman berwarnai merah darah, darah rusa yang terasa amat manis di lidahku. Saat itu pula semuanya berubah, sangat berubah, dulu bibi selalu menyajikan makanan manusia tetapi semenjak kejadian itu semua berubah. Bibi tidak lagi memasak makanan manusia, apalagi donat dengan krim vanilla yang sangat memanjakan indra pengecapku. Sekarang, bibi hanya menyediakan olahan dari darah hewan untuk aku makan, entah itu darah rusa beku, minuman dari darah sapi dan darah hewan lainnya. Aku tidak perlu makan setiap hari seperti dulu, aku hanya makan ketika aku merasa haus atau ketika kerongkonganku terasa terbakar api. Dan begini kehidupanku sekarang, aku masih bisa memakan donat, ayam panggang, roti bahkan jus jeruk sekalipun tapi hanya satu masalah terbesarnya. Indra pengecapku tidak bisa merasakan rasa nikmat dari setiap makanan yang masuk ke dalam mulutku kecuali satu, darah. &nbs
Pagi ini aku berangkat seorang diri, Zio berangkat lebih pagi untuk mengerjakan sesuatu tapi dia tidak memberitahu kata ‘sesuatu’ yang dimaksud itu apa. Seperti biasa aku berjalan melewati pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun rimbun. Sepi, hening. Hanya itu yang menjadi temanku dalam perjalanan menuju sekolah yang sangat membosankan, sudah seminggu sejak kejadian Zen melempariku dengan bongkahan batu dan sudah seminggu pula aku berada di sekolah campuran itu. Tidak ada yang berbeda, semua orang masih sama menatapku dengan tatapan aneh seperti biasa, beruntung aku sudah terbiasa dengan tatapan itu. Sudah seminggu pula aku selalu merasa haus seperti tengah berada di padang pasir yang gersang dan panas, kerongkonganku terasa sangat panas dan gatal, air putih yang biasa aku minum seperti tidak mempan meredakan panas dalam terowongan panjang ini. Aku tidak memberitahu paman atau bibi soal ini, aku ingin bertan